BEBAN KESEDIHAN

Dan dengan hati pedih ia berdoa kepada TUHAN sambil menangis tersedu-sedu. Kemudian bernazarlah ia, katanya: “TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya.” Sesudah itu berkatalah perempuan itu: “Biarlah hambamu ini mendapat belas kasihan dari padamu.” Lalu keluarlah perempuan itu, ia mau makan dan mukanya tidak muram lagi. 1 Samuel 1:10-11, 18

 

Ketika kita tidak dapat melihat jalan ke depan, kita harus memandang ke atas kepada Allah kita.

 

Inilah yang dilakukan Hana. Kemandulannya berarti dia menanggung beban kesedihan, yang diperparah dengan provokasi Penina, istri kedua suaminya, yang telah melahirkan banyak anak (1 Samuel 1:4, 6), dan oleh pertanyaan-pertanyaan suaminya yang tidak peka dan tidak dipikirkan matang-matang (ayat 8). Ketika kita menghadapi cobaan atau kesedihan, Hana menjadi contoh pertama kita dalam hal apa yang tidak dilakukannya. Dia tidak menjadi pendendam terhadap Allah, dan tidak pula membalas dendam terhadap saingannya, Penina. Sebaliknya, dia menjauhkan diri dari lingkungan yang memancing rasa kecewanya dan menempatkan dirinya di hadapan Dia yang memiliki jawaban. Dia membawa air matanya, keluh kesahnya, kerinduannya—semua ekspresi dari hatinya yang sedih—di hadapan Allah.

 

Ketika Hana berdoa, dia tidak berusaha untuk mendapatkan kemurahan hati Allah dengan sebuah janji. Hana mengakui Allah sebagai yang agung dan berdaulat dan dirinya sebagai hamba-Nya. Dia hanya meminta Allah untuk melakukan baginya apa yang telah Dia lakukan bagi umat-Nya di masa lalu.

 

Setelah Hana membawa kesedihannya kepada Tuhan, tetapi sebelum doanya dijawab, nafsu makannya kembali dan wajahnya berubah. Dengan kata lain, resolusi bagi Hana bukanlah pada kehamilannya atau kelahiran seorang anak, melainkan pada kenyataan bahwa dia telah menyerahkan kekhawatirannya kepada Tuhan. Itulah yang menenangkan jiwanya dan meringankan langkahnya.

 

Mazmur 73 mengisahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pemazmur yang menyebabkannya hampir kehilangan imannya. Dia tahu bahwa Allah itu baik dan memelihara umat-Nya—tetapi pengalamannya tampaknya berbeda. Namun, semuanya berubah ketika dia datang kepada Allah dalam keputusasaannya: “Tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu menjadi kesulitan di mataku, sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka” (Mazmur 73:16-17). Bagi Hana dan pemazmur, kedamaian dan pengertian datang ketika mereka membawa kesedihan dan masalah mereka ke tempat kudus—ke hadirat Allah sendiri.

 

Ketika Anda menghadapi keadaan sulit yang memprovokasi Anda dan menguji keyakinan Anda pada kebaikan Allah, ke mana Anda akan pergi? Apakah Anda membenamkan diri di bawah masalah-masalah Anda? Atau apakah Anda memasuki tempat kudus hadirat Allah dengan berdoa? Ketika Anda menghadapi kesusahan, berserulah kepada Allah, yang di hadirat-Nya Anda berdiri karena karya Kristus yang telah selesai. Ketika Anda mengingat bahwa Dia berdaulat dan baik dan bertindak atas nama umat-Nya, Anda dapat berdoa dengan keyakinan dan keberanian dan mengalami kedamaian yang hanya datang dari atas—bahkan sebelum Anda melihat bagaimana Dia akan menjawab doa Anda.

 

Refleksi

Bacalah 1 Samuel 1:1-20 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:

 

  1. Pola pikir apa yang harus saya ubah?
  2. Bagaimana saya bisa lebih mengasihi Allah?
  3. Apa yang bisa saya terapkan hari ini?

 

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 25–26Matius 25: 1-30