Pembacaan : 2 Korintus 9 : 1 - 15

 

Bacaan Alkitab Setahun :

2 Raja -raja 4 - 5

Saat saya menuliskan kualitas kasih sejati “benar, rendah hati, sukacita, bertahan” yang Anda baca di atas, hati saya sedih karena tertegur. Saya berpikir, “Kasih saya seringkali tidak benar.” Tidak, yang saya maksud bukan benar sebagai lawan dari palsu. Saya tidak berpikir secara munafik, “saya akan bertindak seakan mengasihi Anda padahal sebenarnya tidak.” Benar di sini artinya “lurus”, sama seperti anak panah yang ditarik seorang pemanah dari tabung panahnya. Dia ingin anak panah yang lurus supaya ketika ditembakkan, anak panahnya tidak akan melesat ke arah yang salah. Benar di sini berarti konsisten, dapat diandalkan, dan tidak cenderung mengarah ke arah yang tidak diinginkan. Sayangnya, masih ada ketidakkonsistenan dalam kasih saya. Ketika seseorang tidak sepakat dengan saya, ketika seseorang menghalangi rencana saya, ketika saya terpaksa menunggu, atau ketika seseorang mendapatkan apa yang menurut saya seharusnya saya yang dapatkan, saya sangat tergoda untuk merespons dengan cara yang kurang mengasihi.

Kata kedua, rendah hati, menjelaskan mengapa saya merespons seperti itu. Saya masih kurang rendah hati. Saya cenderung menjadikan hidup tentang rencana saya, perasaan saya, keinginan, ekspektasi saya. Saya masih tergoda untuk menilai suatu hari “baik” berdasarkan apakah saya merasa senang bukannya apakah saya menyenangkan Allah dan sesama. Saya masih tergoda untuk hidup sesuai keinginan sendiri dan gagal untuk mengingat bahwa saya sudah dibeli dengan harga yang mahal. Dan semua ini menyebabkan kasih menjadi beban bukannya sukacita, yang adalah kata ketiga. Memang benar ketika Anda hidup bagi diri sendiri, panggilan untuk mengasihi sesama selalu menjadi beban bagi Anda.

Kata terakhir adalah kata yang menunjukkan standar tertinggi dan tersulit dari kasih: bertahan. Kasih yang tidak setia adalah kasih yang tidak bernilai. Kasih yang berubah seiring dengan hembusan angin bukanlah kasih. Itu adalah kepalsuan yang rapuh dan fana yang bukannya membangun malah merusak. Itu sebabnya Allah itu setia, kasih yang kekal adalah penghiburan yang besar dan memotivasi.

Pertanyaannya adalah, “Di manakah saya akan bisa menemukan kasih seperti ini?” Well, kasih seperti ini tidak pernah didapatkan dengan cara berkata kepada diri sendiri bahwa Anda akan melakukan yang lebih baik. Jika Anda punya kemampuan untuk memperbaiki diri sendiri, salib Kristus tidak akan diperlukan. Satu-satunya cara saya bisa lepas dari belenggu fokus pada diri sendiri dan mengasihi diri sendiri dan mulai mengasihi sesama adalah menerima kasih yang mengampuni, melepaskan, memberdayakan, dan kekal dalam diri saya.

Semakin saya bersyukur bagi kasih itu, semakin saya menemukan sukacita dalam memberi kepada sesama. Kasih Allah, yang diberikan dengan cuma-cuma, memberikan satu-satunya harapan bahwa saya bisa punya kasih dalam hati yang bisa saya berikan dengan sukacita.

Kasih yang benar, rendah hati, sukacita, bertahan, tidak lahir dari kewajiban belaka, tetapi dari penyembahan yang penuh ucapan syukur. Kita mengasihi karena Dia terlebih dulu mengasihi kita.