HUKUM KASIH

Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri," kamu berbuat baik. – Yakobus 2:8

 

Kapan terakhir kali Anda mengatakan Anda mencintai, mengasihi, atau menyayangi seseorang atau sesuatu? Apa sebenarnya yang Anda maksud?

 

Di zaman ini, kita sering menyamakan kasih dengan pengalaman emosional tertentu. Banyak orang berkata mereka “mengasihi” berdasarkan apa yang mereka rasakan. Maka tidak heran, ketika mendengar bahwa tindakan yang penuh kasih dapat dilakukan karena kewajiban, kita merasa aneh. Bukankah jika sesuatu dilakukan karena kewajiban, itu berarti tidak tulus? Dapatkah tindakan yang dilakukan karena kewajiban disebut sebagai tindakan kasih?

 

Surat Yakobus menawarkan pandangan yang sangat berbeda tentang hubungan antara kasih dan hukum. Ketika Yakobus merangkum hukum Allah, tertulis demikian: "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Dengan kata lain, hukum itu dipenuhi dan digenapi dalam kasih. Karena itu, kita perlu memahami apa arti kasih yang sejati dan apa yang bukan.

 

Yakobus tidak mengatakan bahwa hukum itu digenapi ketika kita merasakan kasih terhadap sesama kita. Siapa pun yang pernah membaca Yakobus—atau sebagian besar Kitab Suci—akan tahu bahwa hal itu bukan maksudnya. Sepuluh Hukum Allah di Perjanjian Lama tidak banyak berbicara tentang bagaimana seharusnya kita merasa, tetapi lebih banyak tentang apa yang harus kita lakukan. Perintah tentang pembunuhan, perzinahan, dusta, dan pencurian berfokus pada tindakan kita. Hukum-hukum seperti ini, kata Yakobus, dapat dirangkum dalam kalimat: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

 

Lalu bagaimana kita mengasihi sesama kita? Dengan melakukan yang benar.

 

Perhatikan juga frasa Yakobus, “seperti dirimu sendiri.” Sejujurnya, seberapa sering kita merasa baik tentang diri kita sendiri? Hampir tidak pernah. Kita sering merasa tidak layak, malu, atau bahkan kecewa dengan diri kita. Tapi meski begitu, kita tetap memperhatikan diri kita—kita makan, beristirahat, dan menjaga diri. Kita tetap melakukan yang baik bagi diri kita meski tidak selalu merasa layak dikasihi. Begitulah seharusnya kita mengasihi sesama: bukan karena mereka pantas, bukan karena kita sedang merasa lembut, tapi karena Tuhan telah lebih dulu mengasihi kita.

 

Ini bukan berarti kita harus mengasihi dengan hati yang dingin dan tanpa rasa. Itulah sebabnya kita tetap harus berdoa agar hati kita selaras dengan tindakan kasih itu. Emosi bisa menjadi pelayan yang baik, tetapi tuan yang buruk. Mereka dapat mendukung kita untuk berbuat benar, tetapi tidak bisa menjadi dasar dari kasih sejati. Kita tidak dipanggil untuk menunggu “merasa cukup baik” baru mengasihi, tetapi untuk menatap pada kasih Kristus di salib, yang menjadi sumber dan motivasi kasih kita.

 

Kasih sejati adalah ketaatan yang lahir dari hati yang sudah disentuh oleh kasih Allah. Kita taat bukan supaya Allah mengasihi kita, tetapi karena Ia sudah mengasihi kita terlebih dahulu.

 

Jadi, berdoalah hari ini agar kasih Anda diarahkan kepada Tuhan dan kepada sesama, bukan kepada diri sendiri. Lihatlah kembali kepada salib—di sanalah kasih sejati dinyatakan. Karena ketika Kristus mengasihi kita dengan kasih yang penuh pengorbanan, Ia juga memampukan kita untuk mengasihi orang lain dengan kasih yang sama.

 

Refleksi

Bacalah Yakobus 2:8−17 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:

 

1. Kebenaran Injil mana yang mengubahkan hati saya?
2. Hal apa yang perlu saya pertobatkan?
3. Apa yang bisa saya terapkan hari ini?

 

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 19-20; 2 Yohanes 1