SUKACITA DALAM KEKURANGAN
Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah. Ialah membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru. 2 Korintus 3:5-6
Tujuan Allah bagi umat-Nya di setiap zaman adalah bahwa kita akan bergantung sepenuhnya kepada-Nya.
Ketergantungan ini tidak datang secara alami karena salah satu berhala besar dari setiap zaman adalah kekuasaan. Daya tariknya kuat, kemampuannya untuk merusak bahkan lebih kuat lagi. Dan mereka yang memperoleh kekuasaan — mereka cenderung memiliki karisma dan kepribadian yang kuat — adalah mereka yang cukup berani untuk mengejarnya, Inilah cara banyak orang mengukur kekuatan dan kegunaan. Tragisnya, bahkan di dalam gereja, para pemimpin sering diberi wewenang dan pengaruh karena daya tarik mereka daripada karakter mereka dan karena ambisi mereka daripada kerendahan hati mereka.
Paulus sangat menyadari kesalahan seperti itu. Bahkan, dia menghabiskan sebagian dari dua suratnya untuk menginstruksikan gereja Korintus agar tidak mengevaluasi para pemimpin rohani dengan standar duniawi. Pada beberapa kesempatan, jemaat Korintus tergoda untuk menyelaraskan diri dengan orator favorit mereka dan menghargai hikmat duniawi. Pada kesempatan lain, Paulus harus memerangi pengaruh dari "rasul-rasul yang tak ada taranya" yang kekuatan, karunia, dan kuasanya menarik menurut jemaat Korintus (2 Korintus 11:5; 12:11). Sebaliknya, Paulus berkata, “jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Korintus 12:10). Dia tahu bahwa kuasa Kristus dinyatakan dalam kelemahannya, dan dia dengan mudah mengakui bahwa dia tidak mampu untuk melakukan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya: “siapakah yang sanggup menunaikan tugas yang demikian?” (2:16).
Kita mungkin bukan “rasul-rasul yang tak ada taranya” tetapi kita dapat memahami godaan pemikiran duniawi. Kita semua cenderung mengandalkan diri sendiri—kepribadian atau karunia kita. Yang harus kita pelajari adalah bahwa kegunaan rohani tidak ditemukan dalam hal-hal seperti itu. Sebaliknya, kegunaan rohani ditemukan ketika kita merendahkan diri di hadapan Allah, ketika kita mengakui bahwa kita sama sekali tidak mampu. Pengakuan Paulus harus menjadi pengakuan kita: kelemahan sebenarnya adalah kekuatan. Sifat hakiki dari “perjanjian baru,” yang dibuat oleh Yesus dalam darah-Nya dan yang kepadanya kita tidak membawa apa pun kecuali dosa kita, seharusnya menjadi semua yang kita butuhkan untuk mengingatkan kita bahwa kita tidak memiliki apa yang kita butuhkan tetapi Dia memilikinya. Allah sedang bekerja untuk membawa kita ke titik itu—untuk meyakinkan kita bahwa hanya Dia yang mampu. Apakah kita ingin berani? Maka kita harus mengakui kelemahan kita di hadapan Allah, dan Dia akan menuntun kita kepada keberanian penuh iman di hadapan orang lain. Apakah kita ingin berguna? Maka kita harus mengakui kekurangan kita secara pribadi, dan Allah akan membuktikan kecukupan-Nya melalui kita.
Pernahkah Anda memikirkan kemungkinan bahwa salah satu hambatan terbesar bagi Anda dalam melayani Allah mungkin sebenarnya adalah perasaan cukup? Pastikan untuk meluangkan waktu untuk berdoa dan meminta Allah untuk menunjukkan kepada Anda apakah delusi kecukupan diri telah merasuki pikiran Anda. Mintalah Dia untuk mengambilnya dari Anda, sehingga Anda dapat melayani dalam kebebasan dan sukacita karena kekurangan—dan saksikan Dia melakukan pekerjaan-Nya!
Refleksi
Bacalah Hakim-hakim 7:1-8, 16-32 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut
Bacaan Alkitab Setahun: 1 Raja-raja 1–2; Matius 6:1-18
Truth For Life – Alistair Beg