TIDAK PERLU PAKAI ZIRAH INI
“Lalu Saul mengenakan baju perangnya kepada Daud, ditaruhnya ketopong tembaga di kepalanya dan dikenakannya baju zirah kepadanya. Lalu Daud mengikatkan pedangnya di luar baju perangnya, kemudian ia berikhtiar berjalan, sebab belum pernah dicobanya. Maka berkatalah Daud kepada Saul: ”Aku tidak dapat berjalan dengan memakai ini, sebab belum pernah aku mencobanya.” Kemudian ia menanggalkannya.” — 1 Samuel 17:38–39
Ini seperti nasihat yang sering diberikan seorang ibu—entah kepada anak kecil di masa-masa sulitnya, atau kepada anak yang sudah dewasa sebelum wawancara kerja: “Pastikan kamu berpakaian rapi, ya.”
Bagi Raja Saul, berpakaian “dengan benar” bisa jadi penentu antara kemenangan dan kekalahan. Jadi, ketika Daud menawarkan diri untuk melawan Goliat demi bangsa Israel, hal pertama yang Saul lakukan adalah mempersiapkan Daud dengan perlengkapan perang. Raja itu menaruh seluruh harapannya pada baju perangnya—dan adegan berikutnya pun jadi begitu berkesan, lucu sekaligus menyedihkan: seorang raja yang putus asa, dan seorang anak muda yang begitu kewalahan oleh beratnya perlengkapan perang hingga ia tak bisa bergerak.
Saul berpikir, kalau saja Daud memakai baju perangnya, mungkin itu cukup untuk menolongnya melawan Goliat—meski sebenarnya tidak masuk akal. Saul sendiri adalah pria yang tinggi besar (1 Sam. 10:23), sedangkan Daud hanyalah seorang remaja (1 Sam. 17:33). Baju perang itu jelas tidak akan pas. Selain itu, jika baju perang itu tidak cukup untuk menolong Saul sendiri menghadapi Goliat, mengapa ia pikir itu akan menolong Daud, seorang gembala muda? Kemenangan tidak tergantung pada baju perang. Saul adalah raja yang gagal—dan mengenakan atau tidak mengenakan baju perang tidak mengubah kenyataan itu.
Masalah Saul bukan terletak pada memakai atau tidak memakai baju perang — ia gagal bukan karena kurang perlengkapan, tapi karena hatinya sudah jauh dari Tuhan. Daud sadar bahwa baju perang yang berat itu justru akan membuatnya kesulitan. Jadi ia melepaskannya. Ia tahu bahwa ia tidak perlu menjadi orang lain supaya bisa dipakai Tuhan. Ia tahu bahwa ia tidak harus bergantung pada perlengkapan atau kekuatan manusia, karena Tuhan sendirilah yang akan menolong dan menyertainya.
Sungguh pemandangan yang menyedihkan. Saul berdiri di sana tanpa Roh Tuhan. Ia sudah kehilangan pandangan akan kemuliaan Allah dan juga keberaniannya. Bersama dengan itu, hilang pula sukacita, damai, dan ketenangan pikirannya. Kini ia hanya berdiri di sana tanpa kekuatan. Sementara Daud, seorang anak muda—melangkah ke lembah untuk mengambil beberapa batu dan menghadapi raksasa itu dengan iman.
Biarlah gambaran Saul ini menuntun kita untuk bertanya: “Apakah kita juga mengandalkan “baju perang” kita sendiri—hal-hal yang kita pikir memberi rasa aman: kemampuan, pengalaman, posisi, atau cara-cara dunia?” Apakah kita mencoba menghadapi tantangan dengan metode yang tidak pernah Tuhan minta kita pakai? Seperti Daud, kita dipanggil untuk percaya bahwa Tuhanlah yang menolong kita, bukan perlengkapan atau cara manusia.
Kristus adalah teladan sempurna dari Daud sejati yang berperang bukan dengan kekuatan dunia, melainkan dengan ketaatan kepada Bapa. Di salib, Ia menanggalkan semua “baju perang” manusia—kehormatan, kuasa, bahkan nyawa-Nya—demi menebus kita. Melalui kebangkitan-Nya, kita belajar bahwa kemenangan sejati tidak datang dari apa yang kita kenakan, tapi dari siapa yang menyertai kita.
Seperti Daud, pandanglah kepada Allah yang menolong dan menyertai Anda. Lepaskan “zirah” yang tidak perlu itu—hal-hal yang hanya membuat Anda bergantung pada diri Anda sendiri. Percayalah pada Tuhan yang memimpin Anda. Maka Anda akan dapat menghadapi hari-hari Anda dengan sukacita, damai, dan keberanian yang sejati.
Refleksi
Bacalah Mazmur 28 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Kebenaran Injil mana yang mengubahkan hati saya?
2. Hal apa yang perlu saya pertobatkan?
3. Apa yang bisa saya terapkan hari ini?
Bacaan Alkitab Setahun: Kidung Agung 6-8; Efesus 2