KEWAJIBAN YANG TEGUH

Orang Yahudi menerima sebagai kewajiban dan sebagai ketetapan bagi dirinya sendiri dan keturunannya dan bagi sekalian orang yang akan bergabung dengan mereka, bahwa mereka tidak akan melampaui merayakan kedua hari itu tiap-tiap tahun, menurut yang dituliskan tentang itu dan pada waktu yang ditentukan, dan bahwa hari-hari itu akan diperingati dan dirayakan di dalam tiap-tiap angkatan, di dalam tiap-tiap kaum, di tiap-tiap daerah, di tiap-tiap kota, sehingga hari-hari Purim itu tidak akan lenyap dari tengah-tengah orang Yahudi dan peringatannya tidak akan berakhir dari antara keturunan mereka. – Ester 9:27-28

 

Kata “kewajiban” mungkin terdengar kuno atau kaku bagi banyak orang. Kita sering mendengar orang berkata, “Saya tidak mau membuat kamu merasa terpaksa.” Tetapi sebenarnya, kewajiban itu bisa jadi sesuatu yang baik. Misalnya, saya merasa punya kewajiban untuk setia kepada pasangan saya, dan saya juga berharap pasangan saya punya kewajiban yang sama kepada saya. Anak-anak pun punya kewajiban untuk menghormati orang tuanya. Bahkan, kewajiban dalam hubungan manusia sebenarnya berakar pada kewajiban kita kepada Allah.

 

Ketika bangsa Yahudi diselamatkan dari rencana jahat Haman, mereka “menetapkan kewajiban bagi diri mereka” untuk selalu mengingat karya penyelamatan Allah itu. Mereka tidak setengah-setengah atau hanya melakukannya kalau kebetulan sempat. Mereka berkomitmen penuh. Itulah arti kewajiban.

 

Mereka tidak hanya menetapkan kewajiban itu untuk diri mereka sendiri, tetapi juga mewariskannya kepada anak-anak mereka dan kepada siapa pun yang kemudian bergabung dengan mereka. Karena itulah, hingga lebih dari 2.500 tahun kemudian, perayaan Purim masih dirayakan oleh orang Yahudi di seluruh dunia—sebagai bukti kesungguhan mereka mengikatkan diri untuk tidak melupakan campur tangan Allah melalui keberanian Ester.

 

Sebaliknya, budaya kita sering berkata, “Jangan terikat. Hidup saja untuk diri sendiri. Kalau sudah tidak nyaman, tinggalkan saja.” Banyak orang menganggap bahwa komitmen hanya dilakukan kalau nyaman. Tetapi dalam kerajaan Allah, kewajiban itu penting. Allah sendiri telah menunjukkan komitmen-Nya untuk menyelamatkan dan menjaga umat-Nya.

 

Apa yang kita komitmenkan menunjukkan apa yang paling berharga bagi kita. Karena itu, mari kita setia berkomitmen untuk merayakan Injil—dengan mengambil bagian dalam momen-momen penting yang Allah berikan untuk mengingat apa yang telah Ia lakukan bagi kita, seperti melalui sakramen baptisan dan Perjamuan Kudus. Lalu, mari kita teruskan hal ini kepada anak-anak dan generasi berikutnya, agar sekalipun Kristus baru datang seribu tahun kemudian, Injil tetap dirayakan, dikumandangkan & dikenal sehingga nama Tuhan dimuliakan.

 

Refleksi

Bacalah Ester 9:20-32 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:

 

1. Kebenaran Injil mana yang mengubahkan hati saya?

2. Hal apa yang perlu saya pertobatkan?

3. Apa yang bisa saya terapkan hari ini?

 

Bacaan Alkitab Setahun: Amos 7-9; Yohanes 8:1-29