KEBOHONGAN BESAR TENTANG KEHIDUPAN KRISTEN
“Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati.” – 1 Timotius 6:17
Ada satu kebohongan besar tentang Injil yang sering beredar di tengah budaya kita—dan sayangnya, juga sering tanpa sadar disebarkan oleh gereja dan orang percaya. Kebohongan ini adalah: Datang kepada Yesus dan percaya kepada Injil berarti tidak ada lagi kesenangan dalam hidup. Banyak yang mengira hidup sebagai orang Kristen itu membosankan, terbatas, bahkan mengecewakan. Puji Tuhan, kenyataannya justru sebaliknya.
Alkitab menggambarkan Allah sebagai Bapa yang baik yang memberikan anugerah yang indah kepada anak-anak-Nya (Mat. 7:11). Ia juga adalah “yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (1 Tim. 6:17) dan yang “tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela” (Mzm. 84:11). Kita perlu memahami hal ini dengan jelas: kesaksian Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa kita boleh melakukan apa pun yang kita mau, atau bahwa Allah akan memberikan apa pun yang kita inginkan. Namun, berulang kali Alkitab menegaskan bahwa kita memiliki Bapa yang murah hati, yang ingin anak-anak-Nya menikmati segala berkat yang Ia sediakan.
Dalam surat Paulus yang pertama kepada Timotius, tertulis: “semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatupun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” (1 Tim. 4:4–5). Jadi, standar hidup orang Kristen bukanlah hidup dalam kekurangan, penyiksaan diri, dan menjauh dari dunia. Tapi juga bukan hidup yang berpusat pada kenikmatan dan konsumsi tanpa batas. Sebaliknya, kita diarahkan oleh firman Allah untuk menaruh pengharapan kita kepada Allah dan menikmati dengan rasa syukur segala hal baik yang diberikan-Nya. Pendekatan seperti inilah yang menuntun kita pada sukacita yang sejati dan tidak berkesudahan.
Namun, ketika kita mengenal karakter Allah sebagai Pemberi yang penuh kasih, hati kita juga diarahkan untuk memiliki gaya hidup yang berbeda dari dunia. Kita belajar bahwa “adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima” (Kis. 20:35). Kita mulai melepaskan keterikatan pada diri sendiri dan belajar bahwa “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar” (1 Tim. 6:6). Maka, kita tidak lagi mencari kebahagiaan dari barang-barang baru atau kemewahan sesaat, karena kita tahu sumber kebahagiaan sejati kita adalah Allah sendiri.
Hidup Kristen bukanlah hidup yang hambar atau penuh penderitaan tanpa makna. Meskipun kita mungkin harus melepaskan kenyamanan duniawi dan memilih untuk mengikut Yesus dengan kerelaan hati, kita justru menerima kekayaan sejati — sukacita, kedamaian, dan kehidupan kekal yang hanya dapat ditemukan di dalam Dia.
Dan di surga nanti, berkat-berkat itu akan semakin melimpah, ketika kita menikmati kasih Bapa sepenuhnya dan melihat kemuliaan-Nya dengan mata kita sendiri. Karena itu, jangan percaya kebohongan bahwa hidup mengikut Yesus berarti kehilangan sukacita. Sebaliknya, di dalam Kristus, kita menemukan sukacita yang jauh lebih besar daripada yang pernah bisa ditawarkan dunia.
Refleksi
Bacalah 1 Tesalonika 1:2−10 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Kebenaran Injil mana yang mengubahkan hati saya?
2. Hal apa yang perlu saya pertobatkan?
3. Apa yang bisa saya terapkan hari ini?