Menjadi Kuat Mengenakan Injil

FACING THE WORLD WITH GOSPEL CONFIDENCE – WEEK 18 "Menjadi Kuat Mengenakan Injil" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Ini adalah khotbah yang terakhir dalam seri khotbah Facing The World with Gospel Confidence setelah 18 minggu. Lima bulan kita bicara tentang kitab Efesus dan hari ini khotbahnya berjudul Menjadi Kuat Mengenakan Injil

Bacaan: Efesus 6:14-24

6:14 Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, 

6:15 kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera; 

6:16 dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, 

6:17 dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, 

6:18 dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus, 

6:19 juga untuk aku, supaya kepadaku, jika aku membuka mulutku, dikaruniakan perkataan yang benar, agar dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil, 

6:20 yang kulayani sebagai utusan yang dipenjarakan. Berdoalah supaya dengan keberanian aku menyatakannya, sebagaimana seharusnya aku berbicara.

6:21 Supaya kamu juga mengetahui keadaan dan hal ihwalku, maka Tikhikus, saudara kita yang kekasih dan pelayan yang setia di dalam Tuhan, akan memberitahukan semuanya kepada kamu. 

6:22 Dengan maksud inilah ia kusuruh kepadamu, yaitu supaya kamu tahu hal ihwal kami dan supaya ia menghibur hatimu. 

6:23 Damai sejahtera dan kasih dengan iman dari Allah, Bapa dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai sekalian saudara. 

6:24 Kasih karunia menyertai semua orang, yang mengasihi Tuhan kita Yesus Kristus dengan kasih yang tidak binasa.

Kalau diperhatikan, mengapa Paulus menutup Efesus dengan peperangan rohani? Karena kalau kita lihat struktur kitab ini, pasal 1 sampai 3 berbicara tentang siapa kita di dalam Kristus—tentang identitas, kasih karunia, misteri Injil. Ini adalah bagian doktrinal, indikatif. Kemudian, pasal 4 sampai 5 menjelaskan bagaimana kita hidup di dalam Kristus—tentang etika Injil, imperatif. Berbicara tentang kesatuan, kasih, terang, hikmat.

Lalu pasal 6 ayat 1 sampai 9 membahas hidup dalam relasi di rumah: sebagai orang tua, anak, suami, istri. Praktik ketaatan, kerendahan hati—masih dalam bentuk imperatif. Tapi kemudian dari ayat 10 sampai 24, Paulus memulai dengan tema peperangan rohani: berdiri teguh, kenakan perlengkapan senjata Allah. Kenapa? Karena di akhir surat ini, Paulus tidak menutup dengan berkat manis atau ucapan syukur lembut, melainkan dengan perintah: "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah." Mengapa? Karena hidup ini seperti medan peperangan.

Kalau boleh digambarkan, urutannya begini: indikatif – imperatif – konfrontatif. Ada konfrontasi dengan musuh rohani. Dan saya percaya bahwa Paulus tidak menyisipkan realitas peperangan rohani ini secara acak. Ini adalah penutup yang strategis, menggambarkan kenyataan kehidupan Kristen. Setiap kebenaran Injil yang sudah diajarkan, setiap identitas baru yang telah diterima, setiap langkah kecil ketaatan yang dilakukan—semuanya akan langsung diserang.

Paulus tahu, tidak ada transformasi tanpa oposisi. Semakin dalam menghidupi Injil, semakin besar perlawanan yang dihadapi. Maka tidak cukup hanya tahu tentang kebenaran, tapi juga harus siap berdiri teguh atas kebenaran. Bukan dengan kekuatan sendiri, tetapi dengan Injil yang dikenakan setiap hari.

Sering kali kita jatuh ke dalam tipu muslihat iblis. Kita sudah belajar bahwa salah satu strategi iblis adalah membuat kita berpikir terlalu tinggi tentang dirinya—over-spiritualisme, atau justru meremehkannya—under-spiritualisme. C.S. Lewis menyebut keduanya adalah kesalahan yang fatal. William Gurnall berkata, "Setan tidak meninggalkan bekas taring di dagingmu. Ia meninggalkan kebohongan di hatimu." Medan perang utama ada di hati dan pikiran kita sendiri.

Iblis sering mengguncang senar-senar hati dengan kecenderungan yang memang sudah ada dalam diri. Jadi, kalau ada yang berkata bahwa seseorang jatuh dalam dosa karena pindah ke suatu kota atau tempat tertentu—jangan buru-buru menyalahkan situasi. Bisa jadi dosanya memang sudah ada, hanya belum mendapat kesempatan untuk berbuah. Iblis hanya memicu, tapi keputusan dan kerusakan sesungguhnya berasal dari dalam.

Poin hari ini ada empat. Kapan mengenakan perlengkapan? Apa itu perlengkapan? Bagaimana cara mengenakannya? Dan siapa yang harus diingat? Kapan, apa, bagaimana, dan siapa. Hari ini kita akan belajar sesuatu yang sangat praktikal, dan mudah-mudahan bisa langsung diterapkan.

           1.Kapan kita mengenakan perlengkapan senjata Allah?

Mari kita lihat Efesus 6:13. "Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu..." Perhatikan, Paulus memakai bentuk perintah yang mendesak: ambillah sekarang. Artinya, kita harus mengenakan perlengkapan rohani sebelum serangan datang. Paulus tidak menyuruh kita menunggu sampai hari yang jahat tiba, baru bersiap-siap.

Namun kenyataannya, banyak orang justru baru mulai mencari Tuhan ketika badai hidup datang. Baru mulai berdoa, baru mulai datang ke ibadah, baru mulai sungguh-sungguh saat masalah muncul. Tanpa sadar, kita memperlakukan iman seperti ban serep, bukan kemudi kehidupan. Kita hanya ingat Tuhan ketika krisis tiba.

Pertanyaannya: Apakah kita sudah hidup dalam kesiapsiagaan rohani? Jangan sampai kita hanya mulai cari Tuhan ketika semuanya sudah hancur. Peperangan rohani tidak selalu datang dalam bentuk bencana besar. Paulus berkata “hari yang jahat” itu merujuk pada kehidupan sehari-hari, bukan hanya masa-masa krisis ekstrem.

Medan perangnya bukan di luar sana, tapi di hati dan pikiran kita sendiri. Dan serangannya datang diam-diam—tidak ada peringatan.

Setiap hari kita menghadapi peperangan kecil:

  • Ketidaksabaran pada orang lain
  • Kesombongan rohani
  • Kekhawatiran yang merayap
  • Rasa iri saat melihat keberhasilan orang lain
  • Ketakutan akan masa depan

Semua ini tampak sepele, tapi di situlah iblis bekerja—seperti senar yang bergetar ketika disentuh pelan. Dia menggoda atau menuduh—dua sisi serangan yang berbahaya. Misalnya, ketika melihat pencapaian orang lain di Instagram atau TikTok, hati kita berkata: "Kok dia lebih sukses? Hidupku gini-gini saja. Tuhan pilih kasih?"  Itu suara hati yang sedang digoyang, dan jika dibiarkan, akan tumbuh menjadi kepahitan.

Apa yang harus kita lakukan?  Khotbahkan Injil kepada diri sendiri. 

Katakan: “Tuhan tidak pilih kasih. Aku adalah ahli waris Kerajaan-Nya. Kristus cukup. Aku tidak perlu menjadi seperti orang lain. Aku dipanggil untuk setia dalam perjalanan imanku sendiri.”

Ketika muncul pikiran meremehkan orang lain—meskipun tidak diucapkan—kita perlu ingat: Kristus juga sabar terhadap kita. Dia bisa saja berkata, "Kamu tahu itu dosa, tahu itu menghancurkan, tapi kamu terus ulangi. Dasar bodoh!" Tapi Ia tidak berkata begitu. Dia sabar. Dia tidak mempermalukan, tapi menegur dengan kasih.

Ketika kita khawatir dan ingin menyerah, ingat: Tuhan lebih besar dari semua ketakutan kita.
Jangan larut dalam keputusasaan. Jangan biarkan hati hancur karena tidak diberi Injil.

Martin Luther pernah berkata, dan Jerry Bridges menggemakan hal itu:
 "Khotbahkan Injil kepada dirimu sendiri setiap hari."

Injil bukan hanya untuk orang yang belum percaya. Injil adalah kebutuhan sehari-hari bagi setiap orang percaya. Karena itu, jangan menunggu hari yang jahat datang baru cari perlengkapan rohani.

Kenakan Injil setiap hari.

Apakah Anda hari ini sudah siap secara rohani? Atau sedang menunggu krisis datang baru berseru kepada Tuhan?

Kalau yang kedua, maka Anda sedang membuka celah bagi musuh untuk menyerang.

          2. Apa itu perlengkapan senjata Allah?

Ayat 14–17 menjelaskan perlengkapan itu, dan dua minggu lalu, Ps Erik sudah mengupasnya dengan sangat jelas melalui gambar ini. Kita lihat bersama: ada ikat pinggang kebenaran, baju zirah keadilan, kasut kerelaan memberitakan Injil, perisai iman yang memadamkan panah api si jahat, ketopong keselamatan, dan pedang Roh. Semuanya ini adalah gambaran Injil. Maka, apa artinya mengenakan perlengkapan senjata Allah? Artinya: kenakan Injil. Artinya: hidupilah identitasmu di dalam Kristus.

Saudara, mengenakan perlengkapan senjata bukan berarti kita sedang berusaha mendapatkan sesuatu yang belum kita miliki. Ini bukan seperti main game—di mana kita mulai dari nol, lalu harus kalahkan musuh untuk mendapatkan senjata satu per satu. Tidak begitu. Dalam Kristus, kita sudah diberikan seluruh perlengkapan itu sejak awal. Kita tidak berjuang untuk mendapatkan kemenangan, tetapi kita berjuang dari kemenangan yang sudah diberikan.

Sayangnya, banyak orang Kristen memiliki Injil tapi tidak mengenakannya dalam hidup sehari-hari. Mereka tahu mereka anak Allah, tapi hidup seperti anak yatim rohani.

Saya beri ilustrasi. Saya punya teman yang istrinya punya adik angkat. Anak ini diadopsi dari latar belakang yang sangat kelam. Ibunya meninggal karena overdosis narkoba. Ayahnya dipenjara karena menjadi pengedar. Anak ini hidup sebatang kara sampai akhirnya diadopsi secara legal oleh keluarga teman saya.

Secara hukum, anak ini punya keluarga baru. Ia dicintai, diberi kamar, diberi makanan. Tapi selama beberapa bulan pertama, setiap kali makan malam, ia selalu menyembunyikan sebagian makanan di bajunya. Lalu dibawa ke kamar, disimpan di kolong tempat tidur. Kenapa? Karena di masa lalu, dia sering tidak diberi makan. Dia takut kelaparan. Pernah suatu malam, ayah angkatnya melihat dia sedang mengorek-ngorek tempat sampah. Ternyata dia sedang cari sisa makanan untuk bekal ke sekolah besok.

Saudara, walaupun secara hukum dia sudah anak dari keluarga baru, dia masih hidup dengan pola pikir lama—pola pikir anak yatim. Seringkali kita juga seperti itu. Kita ini anak Allah, kita punya identitas baru di dalam Kristus, tapi kita masih hidup seolah-olah Tuhan belum cukup bagi kita. Masih mencari penerimaan, pengakuan, validasi dari dunia.

Mari saya ajak saudara cek melalui beberapa situasi praktis.

1. Saat dikritik

Pernah dikritik? Pasti. Respon tanpa Injil bisa dua ekstrem: marah dan defensif, atau merasa gagal dan down. Kenapa? Karena kita masih menggantungkan identitas kita pada apa kata orang—bukan apa kata Tuhan.

Jika kita mengenakan baju zirah keadilan, yaitu kebenaran Kristus, maka hati kita tidak gampang goyah. Kita tahu, bahkan jika kritik itu benar, kasih Tuhan tidak berubah. Ego kita tidak hancur karena nilai kita bukan dari performa kita, tapi dari Kristus yang sudah membenarkan kita.

2. Saat gagal mencapai target

Gagal di akademik, pekerjaan, pelayanan—respon tanpa Injil: “Aku gagal. Aku tidak layak. Tuhan pasti kecewa.” Lalu mulai menarik diri.

Saudara, itu artinya kita belum mengenakan ketopong keselamatan. Kita belum membiarkan keselamatan oleh kasih karunia memenuhi pikiran dan keyakinan kita. Kita masih mengandalkan performa sendiri sebagai dasar harga diri.

Respon dengan Injil adalah: “Tuhan mengasihiku bukan karena aku berhasil. Bahkan ketika aku gagal, kasih-Nya tetap. Aku bisa bangkit, bukan untuk membuktikan diri, tapi untuk memuliakan Tuhan karena aku sudah dikasihi tanpa syarat.”

3. Saat tidak diajak oleh teman.

Tidak diajak ulang tahun, tidak diajak main, tidak diajak makan bareng. Respon tanpa Injil: “Wah, aku enggak penting. Mereka enggak sayang aku.” Lalu mulai membangun tembok sinis.

Itu artinya perisai iman belum diangkat. Kita membiarkan panah api dari si jahat—“kamu enggak berharga,” “kamu ditolak”—menembus hati kita.

Respon dengan Injil: “Aku bisa terluka, tapi identitasku tidak berubah. Aku tidak ditentukan oleh siapa yang menerima atau menolak aku, tapi oleh Tuhan yang seharusnya menolak aku, tetapi justru menerima aku dengan kasih dan membayar harga mahal untukku.

Timothy Keller pernah berkata: “Kamu tidak hanya tahu bahwa kamu diselamatkan oleh kasih karunia, tapi kamu harus menghidupinya di pusat hatimu. Sehingga ketika kamu gagal atau dikritik, hatimu tetap tenang, karena kamu berdiri di atas kebenaran Kristus, bukan kebenaranmu sendiri.”

Identitas kita di dalam Kristus bukan sesuatu yang dicapai, tetapi yang diterima. Our identity in Christ is not achieved, but received.

Perhatikan: kita tidak mungkin memenangkan pertempuran rohani dengan identitas yang lama.  Hanya dengan hidup dari identitas baru di dalam Kristus kita bisa bertahan dan menang.

Sebelum kita masuk ke poin ketiga, mari kita cek “dashboard” rohani kita:

  • Kalau kamu sering takut → bisa jadi kamu lupa bahwa Tuhan berdaulat memegang kendali.
  • Kalau kamu sering marah → bisa jadi kamu lupa bahwa Tuhan sudah membela kamu di salib.
  • Kalau kamu merasa minder → mungkin kamu lupa bahwa kamu sudah diangkat menjadi anak.
  • Kalau kamu defensif → bisa jadi kamu belum mengenakan baju zirah keadilan dan belum menyangkal diri.

Injil itu menghancurkan kesombongan dan mengangkat keminderan. Kenakan perlengkapan Injil bukan sekedar tahu injil. Biarlah Injil menjadi nafas hidupmu setiap hari.

          3.Bagaimana cara mengenakan Injil?

Perhatikan bagian ini (ayat 17-18): "Terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah. Dalam segala doa dan permohonan, berdoalah setiap waktu." Ada dua kata kunci yang penting di sini: firman dan doa. Perlengkapan Injil dikenakan melalui firman dan doa. Tidak ada jalan pintas dalam kehidupan rohani. Merenungkan firman dan berdoa bukan sekadar rutinitas agamawi, tetapi cara utama mengenakan Injil setiap hari.

Izinkan saya memberikan sebuah pernyataan yang mungkin terasa menampar kita semua: Kita ingin kekuatan rohani seperti Paulus, tetapi kehidupan doa dan firman kita seperti seorang ateis praktis. Mengaku percaya Tuhan, tetapi hidup seolah Tuhan tidak ada. Yang diandalkan: m-banking, kartu kredit, saldo rekening. Maka saat saldo menipis, hati pun cemas.

Kekuatan Injil tidak muncul secara otomatis. Itu hadir dalam hidup yang tertanam dalam firman dan doa. Bayangkan seperti latihan di gym. Komposisi otot kita sama seperti binaragawan, tetapi hasilnya berbeda. Kenapa? Karena tidak dilatih. Sama halnya dengan kerohanian. Tanpa disiplin dalam firman dan doa, kita berperang dengan tangan kosong.

Apakah ada firman yang kamu hafal? Renungkan? Hiduplah di dalamnya. "Berbahagialah orang yang merenungkan Taurat Tuhan siang dan malam." Itu bukan sekadar teori. Itu kekuatan nyata bagi hati.

Contoh dari Lukas 8:22–25. Murid-murid naik perahu bersama Yesus. Badai menerjang. Yesus tertidur. Mereka panik dan membangunkan Dia: “Guru, kita binasa!” Yesus bangun, menenangkan badai seketika. Lalu bertanya: “Di manakah imanmu?” Artinya bukan mereka tak punya iman. Tapi mereka tidak memakainya.

Para penafsir berkata: “Iman mereka ada, tapi tidak mereka aktifkan.” Mereka tahu Yesus sanggup melakukan mukjizat, mereka telah melihat kuasa-Nya. Tapi saat badai datang, mereka lupa siapa yang hadir bersama mereka.

Hal yang sama bisa terjadi pada kita. Kita tahu Yesus Tuhan, hafal doktrin, ikut seminar, menang kuis rohani. Tapi saat badai hidup datang, langsung panik, marah, takut. Karena kita tidak menghidupi Injil yang kita tahu.

Iman bukan sekadar data kognitif. Injil bukan hanya informasi kepala, tetapi perlengkapan senjata untuk menjaga hati. Karena itu saya sering tekankan: Yang kognitif harus menjadi afektif melalui proses reflektif. Reflektif itulah saat kita merenungkan firman dan berdoa. Di situ hati dibentuk.

Insting hati yang lama: marah, khawatir, takut.

Insting hati yang baru: percaya, berharap, berserah.

Saat badai datang, apa reaksi kita? Panik? Marah? Merasa ditinggalkan? Jika ya, mungkin Injil belum sungguh kita kenakan di pusat hati. Kita tahu teori, tapi tidak hidup di dalamnya. Kita belum mengizinkan Injil mengubah respons dan arah hati kita.

Makanya Yesus bertanya, “Di manakah imanmu?” Artinya: “Kenapa tidak kamu gunakan?”

Kekuatan hidup orang percaya bukan terletak pada kemampuan diri, tapi pada sejauh mana Injil dikenakan setiap hari. Maka berhentilah hanya menambah pengetahuan. Mulailah menghidupi Injil secara aktif—lewat firman dan doa.

          4. Siapa yang Harus Kita Ingat?

Mari kita lihat ayat 19: “Berdoalah juga untukku, supaya kepadaku, jika aku membuka mulutku, diberikan perkataan yang benar sehingga dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil.” Siapa “rahasia Injil” itu? Tentu saja: Yesus Kristus.

Dalam seluruh peperangan rohani, fokus kita bukan pada iblis, bukan pada strategi, bukan bahkan pada kekuatan pribadi kita. Fokus kita adalah Kristus, Sang Pejuang Sejati yang telah menang bagi kita. Kita berperang bukan supaya menang, tetapi dalam kemenangan-Nya. Kita kuat bukan karena kita disiplin, tapi karena kita mengenakan Kristus.

Tapi Saudara, jika kita lupa kepada Kristus, maka semua disiplin rohani—doa, firman, pelayanan—akan membawa kita ke dua ekstrem:

  1. Sombong saat berhasil.
    Ketika hidup sedang baik, dan disiplin rohani terasa lancar, kita bisa berpikir: “Ini karena aku rajin doa. Karena aku setia pelayanan. Karena aku disiplin.” Hati-hati. Kalau kita melupakan salib Kristus, keberhasilan rohani bisa membuat kita merasa hebat, bukan bersyukur. Padahal semua itu hanya anugerah Tuhan.
     
  2. Putus asa saat gagal.
    Di sisi lain, ketika kita gagal, mudah sekali kita merasa: “Saya tidak layak melayani. Saya malu datang kepada Tuhan.” Ini terdengar rendah hati, tetapi sebenarnya kita sedang menatap diri sendiri lebih lama daripada menatap salib. Kita lupa bahwa pengampunan dan kasih Tuhan bukan karena keberhasilan kita, tetapi karena Kristus sudah mati dan bangkit bagi kita.

Yesus masuk ke medan perang rohani yang paling gelap—bukan membawa pedang, tapi memikul salib. Dia tidak menghancurkan musuh dengan kekerasan, tapi mengalahkan kejahatan dengan kasih. Dia menanggung murka supaya kita bisa menerima damai. Dia tidak hanya memberi perlengkapan senjata rohani—Dia adalah perlengkapan itu sendiri. Dialah kebenaran. Dialah keselamatan. Dialah Injil damai sejahtera itu.

John Stott menulis, “Kristus menang bukan dengan membunuh musuh-Nya, melainkan dengan mati dibunuh untuk musuh-musuh-Nya.” Dan siapa musuh-Nya? Kita. Tetapi sekarang, oleh kasih karunia-Nya, kita dijadikan sahabat, bahkan anak-anak Allah. Maka, saat saudara merasa sendirian di medan perang hidup ini, ingatlah: Kristus adalah pejuang yang tidak pernah meninggalkan medan perang. Dia berkata, “Sudah selesai!”

PERTANYAAN REFLEKTIF

  1. Apakah saya cenderung menunggu masalah besar untuk cari Tuhan, atau secara konsisten mengenakan Injil dalam hidup sehari-hari sebelum masalah datang?
  2. Apakah saya hidup sesuai identitas saya di dalam Kristus, atau masih terus mencari penerimaan dan keamanan diri melalui hal-hal di luar Injil?
  3. Bagaimana kondisi kehidupan Firman & doa saya? Apa sekadar rutinitas agama, atau menjadi sumber utama kekuatan dan pengharapan saya sehari-hari?
  4. Dalam menghadapi pergumulan rohani, apa saya lebih seringmengandalkan kekuatan sendiri atau mengingat Kristus yang menang melalui kasih dan pengorbanan-Nya bagi saya?

 

GOSPEL PEOPLE

Selalu siap siaga menghadapi serangan di saat hidup terlihat damai, karena tahu kedamaian bukan dalam keadaan, tetapi dalam Kristus yang sudah menang.

Kuat bukan dengan berusaha menjadi kuat, namun meski lemah dikuatkan saat mengenakan identitas baru yang sudah Kristus berikan.

Menang bukan dengan kekuatan diri sendiri, tetapi melalui kelemahan yang diubah menjadi kekuatan lewat Firman dan doa.

Mengalahkan kejahatan bukan dengan membalas, namun dengan kasih, saat mengingat Kristus yang menang lewat Kematian & Kebangkitan-Nya.