Kita masih berada di dalam sermon series Facing the World with Gospel Confidence. Dan minggu ini kita memasuki minggu yang ke-17. Judul khotbah hari ini adalah Kemenangan dalam Peperangan.
Bacaan: Efesus 6:13-18
6:13 Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu.
6:14 Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan,
6:15 kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera;
6:16 dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat,
6:17 dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah,
6:18 dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus,
Firman Tuhan hari ini masih sangat berkaitan dengan yang kita renungkan minggu lalu: tentang peperangan rohani. Saat saya membaca dan merenungkan bagian ini, pikiran saya langsung teringat pada film-film action. Salah satunya film berlatar zaman dahulu yang menampilkan pertempuran epik antara kebaikan dan kejahatan. Ketika membaca bagian ini, rasanya seperti sedang menyaksikan film seperti itu.
Di bagian ini, Paulus menutup suratnya kepada jemaat Efesus dengan gambaran yang kuat: seorang prajurit dalam peperangan rohani. Mengapa Paulus memakai gambaran ini? Karena ia ingin menegaskan bahwa kehidupan orang percaya bukanlah kehidupan yang statis dan santai. Setiap pengikut Kristus dipanggil untuk masuk dalam perjuangan rohani yang nyata. Artinya, menjadi Kristen bukan berarti masuk zona nyaman, justru melangkah ke medan peperangan.
Seorang hamba Tuhan, Warren Wiersbe, pernah mengatakan: "Sooner or later, every believer discovers that the Christian life is a battleground, not a playground." Cepat atau lambat, kita akan menyadari bahwa hidup Kristen adalah medan perang, bukan taman bermain. Maka izinkan saya mengucapkan: selamat menjalani wajib militer rohani dan selamat berperang!
Sayangnya, gambaran prajurit Kristus ini sering terlupakan. Kita lebih familiar dengan sebutan garam dunia, terang dunia, atau imamat rajani. Tapi "prajurit Kristus" mungkin jarang kita renungkan secara mendalam. Mungkin anak-anak sekolah minggu lebih paham soal ini karena sering menyanyikan lagu “Saya Laskar Kristus”. Kita yang dewasa justru sering melupakannya.
Banyak orang berpikir bahwa menjadi Kristen adalah jalan keluar dari segala masalah. Mereka mengira tidak perlu lagi berjuang karena semua sudah diselesaikan oleh Yesus. Apalagi ditambah dengan ajaran-ajaran tidak bertanggung jawab yang mengatakan bahwa ikut Yesus berarti hidup akan selalu aman dan nyaman, tanpa ada lagi yang perlu dilakukan.
Padahal kenyataannya tidak demikian. Itu pemikiran yang keliru. Tuhan memang berdaulat, tetapi manusia tetap punya tanggung jawab. Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk berjaga-jaga, waspada, dan siap menghadapi serangan musuh. Itu bagian kita.
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa kita harus hidup dengan kewaspadaan, ketangguhan, dan kesiapan dalam menghadapi peperangan. Maka sebagai prajurit Kristus, penting untuk menyadari bagaimana seharusnya kita bersikap dalam peperangan ini.
Seperti yang Paulus sampaikan — dan juga yang dibahas minggu lalu — peperangan kita bukan melawan darah dan daging. Artinya, musuh kita bukan pasangan hidup, bukan atasan, bukan mertua. Meskipun kita bisa berkonflik dengan mereka, mereka bukanlah musuh sejati. Peperangan kita adalah melawan kuasa-kuasa jahat, roh-roh kegelapan yang bekerja di balik kekacauan.
Tony Merida dalam bukunya menulis bahwa ada pertempuran yang tidak kelihatan — bersifat kosmik dan spiritual — yang melibatkan kita semua. Dengan kata lain, peperangan rohani itu nyata dan berlangsung terus-menerus. Tidak terlihat, tapi benar-benar terjadi. Maka kita dituntut untuk selalu siap dan waspada.
Kita juga perlu memahami mengapa Paulus menuliskan bagian ini. Kemungkinan besar pada masa itu, Romawi dan Yunani hidup dalam budaya penuh penyembahan berhala. Kota Efesus adalah pusat keagamaan dengan kuil besar Dewi Artemis. Kehidupan masyarakatnya sangat dipengaruhi oleh okultisme dan sihir.
Selain itu, ada orang-orang yang meremehkan realitas kuasa gelap, menganggapnya hanya mitos. Kota Efesus yang maju dan terpelajar membuat sebagian orang cenderung rasional dan sulit percaya pada hal-hal spiritual.
Fenomena itu terjadi juga di zaman ini. Dunia cenderung bersikap ekstrem: ada yang terlalu spiritual, di mana segala hal disalahkan kepada iblis, dan ada yang justru under spiritual, menganggap kuasa gelap hanyalah dongeng.
Beberapa tahun lalu, Barna Institute mengadakan survei di Amerika. Mereka bertanya: apakah setan itu nyata atau hanya simbol kejahatan? Hasilnya mengejutkan: sekitar 40% responden Kristen tidak percaya bahwa setan benar-benar ada. Mereka menganggapnya hanya simbol. Tapi jika seorang Kristen tidak percaya bahwa setan itu nyata, secara tidak langsung dia menolak kebenaran Alkitab, yang secara jelas menyatakan bahwa kuasa kegelapan itu nyata dan aktif menjatuhkan umat Tuhan.
Makanya di ayat 13 Paulus menegaskan lagi pentingnya mengenakan perlengkapan senjata Allah. Mengapa dia begitu serius? Karena dia tahu betapa berbahayanya iblis — musuh terselubung orang percaya. Dalam bahasa aslinya, iblis disebut diabolos, yang berarti pemfitnah, pendusta, penuduh. Dia ahli menipu, memutarbalikkan kebenaran, membuat kita percaya bahwa sesama kita adalah musuh.
Di ayat 12, Paulus juga menggambarkan sistem kekuatan iblis yang rapi dan terstruktur: ada pemerintah, penguasa, penghulu kegelapan. Ini bukan sekadar kiasan. Ini menunjukkan bahwa iblis tidak bekerja sendiri — mungkin saja dia punya grup WA khusus untuk merancang serangan kepada manusia.
Inilah musuh yang kita hadapi. Karena itulah Paulus menutup suratnya dengan begitu serius. Iblis itu nyata, licik, dan sangat berbahaya. Mau baru percaya atau sudah puluhan tahun ikut Kristus, iblis tetap punya satu tujuan: menghancurkan kita. Dan dengan kekuatan sendiri, kita tidak akan mampu menang. Iblis tahu kelemahan kita — bahkan yang kita sendiri tidak sadari.
Penggambaran ini mirip dengan ketika kita berandai-andai: “Seandainya saya punya lebih banyak waktu mempelajari ini, pasti saya akan jadi ahli.” Saya pernah mengalaminya.
Dulu saya suka basket sejak SMP — bahkan bisa dibilang cinta mati. Sampai pernah doa begini ke Tuhan: “Tuhan, kalau Engkau izinkan saya jadi pemain NBA, saya janji enggak akan berdosa lagi.” Saya ingin jadi seperti Michael Jordan atau Shaquille O’Neal. Saya sempat mikir, kalau saya kenal basket sejak SD, pasti saya bisa masuk tim sekolah waktu SMP. Enggak akan dipanggil “si letoi” atau “si anemia” lagi. Paling tidak, saya bisa bela timnas Indonesia.
Mungkin beberapa dari kita juga punya impian seperti itu: “Kalau saya punya 10 tahun untuk belajar matematika, saya bisa jadi ahli.” Nah, bayangkan iblis punya ribuan tahun untuk mengamati manusia. Dia tahu titik lemah setiap orang. Maka kita perlu sadar betapa pentingnya mengenakan perlengkapan senjata Allah.
Namun Saudara perhatikan baik-baik—meskipun kita sudah membahas betapa licik dan kuatnya iblis, kebenarannya adalah iblis tetap tidak ada bandingannya dibandingkan Tuhan kita. Iblis tidak maha tahu. Ia tidak mengenal isi hati manusia. Ia tidak bisa hadir di mana-mana. Ia hanya bisa berada di satu tempat pada satu waktu. Kuasanya juga terbatas. Ia tidak dapat berbuat apapun tanpa izin Tuhan. Sebaliknya, Tuhan kita adalah Mahatahu, Mahahadir, dan Mahakuasa. Segala sesuatu tunduk di bawah otoritas-Nya.
Itulah sebabnya sebelum Paulus berbicara soal perlengkapan senjata Allah, ia terlebih dulu memberikan perintah penting dalam ayat 10: “Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya.” Dalam bahasa aslinya, ini adalah bentuk pasif imperatif—perintah untuk membiarkan diri kita dikuatkan, bukan oleh kekuatan kita sendiri, melainkan oleh kuasa Tuhan.
Paulus tidak sedang menjadi motivator yang berkata, “Kamu bisa!” Ia tidak menyuruh jemaat Efesus berusaha lebih keras. Sebaliknya, dia berkata, “Izinkan dirimu dikuatkan oleh Tuhan.” Sebab kecenderungan kita adalah mengandalkan kekuatan dan akal sendiri. Tapi dalam realitas rohani, kita tidak mungkin menang dengan kekuatan kita. Iblis terlalu licik dan berpengalaman. Karena itu, kekuatan kita harus datang dari Tuhan.
Dan ketika Paulus berkata, “kuat di dalam Tuhan,” ia sedang mengingatkan status baru kita yang telah dipersatukan dengan Kristus. Kita berada di dalam Kristus. Kuasa darah-Nya melindungi kita. Kebenaran-Nya menyelubungi kita. Kita bukan lagi orang asing bagi Allah, kita adalah anak-anak-Nya.
Mungkin kita sering merasa lemah dalam pergumulan—melawan dosa, godaan, atau diri sendiri. Tapi kekuatan kita bukan dari dalam diri, melainkan dari Tuhan yang menyertai kita. Sama seperti pengalaman saya waktu kecil. Saya suka main video game di tempat dingdong, tapi sering dipalak anak-anak yang lebih besar. Namun saat ayah saya menemani, tak satu pun berani mendekat. Bukan karena saya jadi lebih kuat, tapi karena ada papa saya. Demikian juga kita. Kita bisa menghadapi peperangan rohani ini bukan karena kita hebat, tetapi karena kita tahu siapa yang menyertai kita—Tuhan yang Mahakuasa.
Bahkan ketika kita jatuh atau gagal, kita tetap berada di dalam Kristus. Status kita tidak berubah. Kita tetap anak-anak Allah. Dan dari kesadaran itulah kita bisa bangkit kembali—bukan dengan kekuatan kita, tapi dengan kuasa-Nya. Sebab hanya dalam kuasa Tuhan kita dapat bertahan dan berdiri teguh.
Peperangan rohani ini nyata, Saudara. Musuh kita bukan manusia, tapi iblis dan sistem dunia yang memengaruhi pikiran dan hati kita. Karena itu, firman Tuhan mengingatkan kita: “Hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan dan dalam kekuatan kuasa-Nya.” Kekuatan itu datang karena kita dipersatukan dengan Kristus.
Mungkin hari ini ada di antara kita yang merasa gagal, lelah, dan ingin menyerah karena jatuh ke dalam dosa yang sama berulang kali. Kalau kita terus mengandalkan kekuatan sendiri, kita akan jatuh lagi. Tapi jika kita menyadari kelemahan kita dan bersandar kepada Kristus, maka kuasa-Nya akan memampukan kita.
Tuhan pernah berkata kepada Paulus, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Kita perlu mengakui ketidakberdayaan kita dan membiarkan Tuhan berkuasa dalam hidup kita.
Karena itu, mari kita bertanya:
Apakah kita sadar bahwa hidup ini adalah peperangan rohani? Dan jika kita sadar, apakah kita mengizinkan kuasa Tuhan bekerja dalam hidup kita? Atau kita masih mencoba menang dengan kekuatan sendiri?
Setelah Paulus memberikan perintah untuk menjadi kuat di dalam Tuhan, ia langsung melanjutkan dengan perintah berikutnya: “Kenakan seluruh perlengkapan senjata Allah.” Di ayat 14–17, Paulus menyebutkan enam bagian perlengkapan itu: ikat pinggang kebenaran, baju zirah keadilan, kasut kerelaan memberitakan injil, perisai iman, ketopong keselamatan, dan pedang Roh.
Saat menulis surat ini, Paulus sedang dipenjara dan dijaga oleh prajurit Romawi 24 jam. Kemungkinan besar dari situlah Paulus mendapat inspirasi visual tentang prajurit dan perlengkapannya.
Namun Paulus tidak sekadar menyuruh kita menghafal senjata-senjata ini. Fokusnya bukan pada hafalan, tetapi pada pengenaan Kristus. Tony Merida mengatakan: “Mengenakan perlengkapan senjata Allah berarti mengenakan Sang Mesias itu sendiri.” Demikian juga James Montgomery Boice menegaskan bahwa semua elemen itu menunjuk kepada Kristus. Kebenaran? Yesus adalah kebenaran. Keadilan? Yesus keadilan kita. Injil? Kabar baik tentang Kristus. Iman? Iman kita kepada Dia. Keselamatan? Kristus adalah keselamatan kita.
Mengenakan perlengkapan senjata Allah berarti hidup di dalam Kristus dan menjadikan Dia sebagai perlindungan dan kekuatan kita. Ini bukan soal teknik atau taktik, melainkan identitas kita di dalam Kristus.
Lalu apa tujuan dari perlengkapan senjata ini? Ayat 11 dan 13 menjelaskan: “supaya kamu dapat bertahan dan tetap berdiri.” Paulus tidak berkata “supaya kamu menang,” karena kemenangan itu bukan sesuatu yang masih harus kita capai—melainkan sesuatu yang sudah dimenangkan oleh Kristus.
Seperti dikatakan minggu lalu: “Kita tidak berperang untuk meraih kemenangan, tapi dari titik kemenangan di dalam Kristus.” Peperangan ini bukanlah peperangan kita, ini adalah peperangan Tuhan. Dan Dia sudah menang.
Sayangnya, banyak orang Kristen lupa bahwa mereka hanyalah prajurit, bukan raja. Kita bukan pemimpin perangnya—Yesuslah Raja kita. Dia memimpin kita dalam peperangan ini, dan Dia sudah memenangkan pertempuran melawan iblis. Seperti kata Martin Lloyd-Jones: “The ultimate issue is not so much my fight with the devil, but God’s fight with the devil.”
Artinya, kita bukan tokoh utama dalam peperangan ini—Tuhanlah yang utama. Dan Dia sudah menang. Maka kita berdiri, bertahan, bukan dalam ketakutan atau keputusasaan, melainkan dengan keyakinan dan keberanian. Sebab kita berdiri di atas kemenangan Kristus.
Sekarang pertanyaannya adalah: bagaimana Tuhan memenangkan peperangan itu?
Saudara, sesungguhnya berita tentang kemenangan ini telah diberitakan sejak Perjanjian Lama, sejak kitab Kejadian. Bahkan Tuhan sendiri yang mengumandangkan peperangan antara diri-Nya melawan si Iblis. Kita tahu bahwa pada mulanya Tuhan menciptakan dunia ini dengan amat sangat baik. Bahkan di hari terakhir setelah Ia menciptakan manusia, firman Tuhan mengatakan, “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik.”
Namun kemudian Iblis datang menggoda manusia. Ia menipu manusia, memperdaya mereka dengan tipu dayanya, sehingga manusia menjadi ragu akan kasih Allah dan lebih mempercayai perkataan Iblis. Akibatnya, manusia pertama jatuh dalam ketidaktaatan. Tetapi di tengah keberdosaan manusia, Tuhan tetap berinisiatif menghampiri mereka. Tuhan tidak berkata, “Oke, karena pemberontakan dan ketidaktaatan kalian, maka kalian harus menanggung akibatnya sendiri. Kalian harus berjuang melawan Iblis selama sisa hidup kalian.” Tidak. Tuhan justru berjanji di dalam Kejadian 3:15:
“Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya. Keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.”
Inilah yang disebut sebagai proto-evangelium— Injil yang pertama kali diberitakan langsung oleh Tuhan sendiri. Dan kita tahu siapa keturunan perempuan yang meremukkan kepala si ular itu: Yesus Kristus, Sang Anak Allah, pribadi kedua dari Allah Tritunggal. Ia turun ke dunia menjadi sama dengan manusia untuk berperang melawan dan menghancurkan Iblis.
Selama hidup-Nya di dunia, Yesus mengalami tantangan dan godaan dari si jahat yang mencoba menjatuhkan-Nya. Sejak awal pelayanan-Nya, sesudah berpuasa selama 40 hari, Iblis mencobai Dia. Godaan demi godaan ditawarkan kepada-Nya—untuk menggunakan kuasa-Nya demi kepentingan pribadi, untuk membuktikan jati diri-Nya secara spektakuler, bahkan untuk mendapatkan seluruh kerajaan dunia dengan cara yang instan.
Namun Yesus menolak semuanya. Ia memilih untuk tetap taat kepada kehendak Bapa dan melawan setiap godaan dengan pedang Roh, yaitu firman Tuhan.
Tapi pencobaan itu tidak berhenti di padang gurun. Sepanjang pelayanan-Nya, Yesus terus menghadapi ujian. Bahkan pada malam terakhir sebelum Ia disalibkan, pencobaan itu datang melalui murid-Nya sendiri, Petrus. Ketika Yesus menyatakan bahwa Ia harus menderita, ditolak, dan disalibkan, Petrus menarik-Nya dan berkata, “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan Engkau dari hal itu! Hal itu sekali-kali tidak akan menimpa Engkau.”
Terdengar seperti sebuah pernyataan yang penuh perhatian dan kasih, Saudara. Tetapi sesungguhnya itu adalah godaan Iblis yang hendak menjauhkan Yesus dari salib. Dan Yesus langsung mengenali suara di balik kata-kata itu. Ia menegur Petrus, “Enyahlah Iblis! Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku.”
Yesus menang atas semuanya. Ia tidak berdosa. Ia tetap setia. Yesus tahu pasti tujuan-Nya datang ke dunia—bukan untuk menyenangkan diri sendiri, bukan untuk mencari kemuliaan manusia, melainkan untuk melakukan kehendak Bapa, menyelamatkan umat-Nya, dan meremukkan kepala si ular—musuh sejak semula. Ia tidak membiarkan godaan apa pun menggagalkan misi penebusan itu.
Sampai akhirnya, penggenapan dari Injil yang sejak semula disampaikan oleh Allah itu benar-benar terjadi. Yesus, Sang Raja sejati, Pemimpin yang sempurna, rela menanggung hukuman salib—hukuman yang tidak layak Ia terima. Bagi Iblis, salib tampak seperti kemenangan. Bagi dunia, salib tampak seperti kegagalan dan akhir segalanya. Tapi mereka tidak tahu bahwa justru melalui salib, Yesus sedang menyelamatkan umat-Nya dengan tidak menyelamatkan diri-Nya sendiri.
Di salib itu, Yesus adalah Raja di atas segala raja yang rela direndahkan dan dilecehkan. Di salib itu, Yesus adalah Pemimpin sejati yang rela menanggung hinaan dan siksaan. Dan di salib itu pula, Yesus—Allah sejati—rela disalibkan oleh ciptaan-Nya sendiri.
Namun justru melalui salib—lambang hukuman, kelemahan, dan kekalahan—Yesus melucuti kuasa musuh dan menang atas mereka. Seperti yang tertulis dalam Kolose 2:15:
“Ia telah melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, dan menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangannya atas mereka di salib.”
Salib bukanlah kekalahan, melainkan kemenangan Allah yang sejati. Apa yang tampak seperti kehancuran, sesungguhnya adalah karya keselamatan. Melalui ketidakberdayaan-Nya, bahkan sampai kematian-Nya di kayu salib, Yesus meremukkan kepala si ular seperti yang dijanjikan sejak semula.
Salib bukanlah akhir cerita, tapi titik balik seluruh sejarah. Di sanalah Kristus menang—bukan dengan pedang, tapi dengan pengorbanan; bukan dengan kekuatan duniawi, tapi dengan kasih yang tak tergoyahkan.
Yesus telah mengalami segala tekanan, pencobaan, dan ujian dari si jahat, namun Ia tetap taat sampai akhir. Karena kasih-Nya kepada Bapa dan kepada kita jauh lebih besar dari semuanya. Dan dalam ketaatan-Nya itulah, Dia menang.
Saudara, mungkin hari-hari ini ada di antara kita yang merasa sendiri, tidak berharga, dan tidak berarti. Kita tahu kebenaran, tetapi kita merasa lelah. Kita sudah mencoba untuk setia, tetapi terus-menerus jatuh dan gagal.
Selain itu, kita juga menghadapi peperangan rohani yang nyata dan tidak mudah. Saudara-saudara yang duduk di bangku kuliah mungkin bergumul dengan godaan untuk membuktikan diri, untuk diterima oleh lingkungan, dan tidak jarang tergoda untuk mencampur kebenaran dengan keinginan dunia.
Saudara-saudara yang bekerja secara profesional atau memiliki usaha mungkin bergumul dengan kompromi-kompromi kecil yang lama-lama dianggap biasa. Kita digoda untuk berpikir, “Semua orang juga melakukannya. Mengapa saya tidak?”
Kita mungkin tidak menyadari, tapi di situlah Iblis sedang berperang—melalui hal-hal kecil itu. Ia melemahkan hati dan mengikis iman sedikit demi sedikit.
Di rumah, peperangan itu muncul saat komunikasi menjadi dingin, saat kasih mulai pudar, dan tanggung jawab terasa seperti beban. Ada kalanya kita ingin menyerah, menghindar, atau berkata, “Untuk apa semua ini?” Dan di situlah musuh kita bekerja—melalui bisikan keputusasaan dan kepahitan.
Peperangan yang paling sering terjadi adalah di pikiran dan hati kita—saat kita bergumul dengan suara-suara tuduhan: “Kamu gagal. Tuhan tidak peduli. Kamu tidak layak.” Iblis menyerang lewat rasa bersalah, rasa malu, dan perasaan tidak cukup.
Tapi hari ini, firman Tuhan mengingatkan kita: kita tidak berperang sendirian. Kristus sudah menang. Dia sudah mengalahkan musuh. Dia tahu betapa kerasnya medan peperangan ini. Dan itulah sebabnya Kristus mengundang kita untuk mengenakan Dia sebagai perlindungan, kekuatan, dan kemenangan kita.
Ini bukan lagi soal mengandalkan diri sendiri, tapi soal menghidupi identitas baru kita di dalam Kristus. Kita sadar bahwa tanpa Kristus, kita mudah lelah, mudah goyah, mudah jatuh. Tetapi saat kita tinggal di dalam Dia dan Dia tinggal di dalam kita, di situlah kita mendapat kekuatan.
Dan ini menjadi penghiburan dan kekuatan kita: bahwa kita punya Tuhan yang tahu persis beratnya pergumulan hidup ini. Ia bukan hanya tahu, tetapi juga turut merasakan. Firman Tuhan berkata dalam Ibrani 4:15:
“Sebab Imam Besar yang kita punya bukanlah Imam Besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Sebaliknya, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.”
Itulah pengharapan kita. Kita punya Juruselamat yang bukan hanya berada di atas sana menonton kita. Ia pernah hidup di bumi dan merasakan semua yang kita rasakan. Dan sekarang Ia menyertai kita.
Oleh sebab itu, mari sekali lagi kita bertanya pada diri kita:
Apakah kita hidup dari kemenangan yang sudah Kristus menangkan?
Ataukah kita masih berusaha mengejar kemenangan itu dengan kekuatan sendiri?
Bagaimana kita dapat lebih lagi mengenakan Kristus dalam hidup kita setiap hari—di rumah, di tempat kerja, dan di tengah dunia yang penuh dengan kompromi?
ORANG BERINJIL
Tidak bersandar kekuatan sendiri, tetapi terus bergantung pada kekuatan kristus yang telah menang atas segala kuasa kegelapan.
Hidup dari kemenangan kristus dan melayani dengan kekuatan yang berasal dari-nya, bukan dari diri sendiri.
Memiliki keyakinan untuk berdiri di dalam menghadapi pergumulan hidup, karena kita tahu bahwa kemenangan itu sudah dimenangkan oleh kristus.