Harapan Di Tengah Gelapnya Dosa

FROM JUDGES TO JESUS WEEK 16 "Harapan di Tengah Gelapnya Dosa" 

Ps. Natanael Thamrin

 

Pembacaan : Hakim-Hakim 20-21

Minggu ini kita memasuki week 16 yang sekaligus mengakhiri sermon series From Judges to Jesus. Tema yang diambil minggu ini adalah Harapan di Tengah Gelapnya Dosa. Suatu kerusakan yang fatal seringkali dimulai dari kompromi kecil. Bila kita melihat kembali apa yang terjadi pada awal kitab Hakim-Hakim dimana bangsa Israel mulai berkompromi dengan tindakan-tindakan yang merusak moral mereka, hingga pada akhirnya terjadi kemerosotan moral yang semakin ekstrim seiring waktu berjalan. Pada bagian penutup ini kita akan melihat sejauh mana kerusakan yang terjadi dan bagaimana Tuhan dapat menjadi harapan di tengah kegelapan.

1:1 Sesudah Yosua mati, orang Israel bertanya kepada TUHAN: "Siapakah dari pada kami yang harus lebih dahulu maju menghadapi orang Kanaan untuk berperang melawan mereka?" 

1:2 Firman TUHAN: "Suku Yehudalah yang harus maju; sesungguhnya telah Kuserahkan negeri itu ke dalam tangannya." 

1:3 Lalu berkatalah Yehuda kepada Simeon, saudaranya itu: "Majulah bersama-sama dengan aku ke bagian yang telah diundikan kepadaku dan baiklah kita berperang melawan orang Kanaan, maka akupun akan maju bersama-sama dengan engkau ke bagian yang telah diundikan kepadamu." Lalu Simeon maju bersama-sama dengan dia. 

Mari kita melihat kembali pasal 1 dari kitab Hakim-Hakim ini. Apa yang salah dari bagian ini? Kita bisa melihat bagaimana suku Yehuda tidak benar-benar mengindahkan apa yang menjadi perintah Tuhan. Yehuda mengajak Simeon untuk maju berperang, padahal Tuhan hanya memerintahkan Yehuda untuk maju.

Sikap Yehuda ini menunjukkan iman yang setengah hati. Besar kemungkinan ada kekhawatiran akan penyertaan dan janji Tuhan. Mereka takut Tuhan tidak akan menepati janjinya sehingga akhirnya memodifikasi perintah Tuhan dengan mengajak bala bantuan tambahan. Inilah kompromi pertama yang terjadi pada bangsa Israel. 

KOMPROMI KECIL MEMBAWA KEHANCURAN BESAR

1:21 Tetapi orang Yebus, penduduk kota Yerusalem, tidak dihalau oleh bani Benyamin, jadi orang Yebus itu masih diam bersama-sama dengan bani Benyamin di Yerusalem sampai sekarang. 

1:28 Setelah orang Israel menjadi kuat, mereka membuat orang Kanaan itu menjadi orang rodi dan tidak menghalau mereka sama sekali. 

Kita bisa melihat bangsa Israel kembali berkompromi di ayat 21 dan 28. Mereka dengan jelas diceritakan tidak menghalau orang-orang Yebus dan Kanaan. Padahal, Tuhan memerintahkan mereka untuk tidak hidup bersama dengan orang-orang tersebut. Namun bangsa Israel lebih mengutamakan kepentingannya dan kembali berkompromi dengan tidak menghalau orang-orang tersebut.

Kehidupan iman orang Israel dapat disebut dengan istilah A Mediocre Faith atau iman yang setengah-setengah. Dalam konteks saat ini, ini terlihat pada mereka yang semangat melayani di gereja, tetapi enggan bersandar sepenuhnya pada Tuhan dalam keseharian. Mereka mungkin mengenakan kaos bertuliskan “Christ is Enough for Me” di hari Minggu, tetapi mengandalkan diri sendiri dalam hidup.

Ada juga yang ahli dalam teologi tetapi gagal mengasihi, lebih mudah mengkritik daripada memberi kasih, atau memuji Tuhan di gereja tapi bungkam di ruang publik. Prioritas mereka lebih pada kenyamanan pribadi daripada ketaatan pada Amanat Agung. Bentuk lain adalah pemikiran bahwa ikut Tuhan pasti sukses. Ketika itu tidak terjadi, iman mereka runtuh. Banyak yang menjalani rutinitas agama tanpa benar-benar melekat dan bergantung sepenuhnya pada Tuhan.

Baca kembali Hakim-Hakim 1:1-2a, lalu perhatikan bagaimana kalimat serupa muncul lagi di Hakim-Hakim 20:18. Namun, ada tragedi besar yang tersembunyi di sini.

Di awal kitab, ketika Israel mulai menetap di Kanaan, mereka bertanya kepada Tuhan, “Siapa yang harus maju terlebih dahulu menghadapi orang Kanaan?” Tetapi di Hakim-Hakim 20:18, pertanyaan serupa diajukan dalam konteks yang berbeda kali ini tentang perang melawan sesama bangsa Israel.

Pasal 1 berbicara tentang melawan bangsa Kanaan, sedangkan pasal 20 berbicara tentang perang saudara melawan suku Benyamin. Ini mencerminkan bagaimana iman Israel semakin jauh dari Tuhan. Mereka mulai hanya mendekati Tuhan untuk mencari “persetujuan” atas rencana mereka sendiri, bahkan hidup seolah-olah Tuhan tidak lagi penting.

Lihat pertanyaan mereka di pasal 20:18—tidak ada yang bertanya, “Apakah kami harus berperang melawan suku Benyamin?” Mereka sudah memutuskan sendiri bahwa perang adalah jawabannya, tanpa benar-benar mencari kehendak Tuhan.

Bagaimana dengan kita saat ini? Apakah kita juga cenderung bertindak seperti itu—mencari Tuhan hanya untuk mengesahkan rencana kita sendiri, tanpa benar-benar bersandar kepada-Nya?

PERTANYAAN REFLEKTIF

  • Apakah saya seringkali dekat sama tuhan hanya untuk mendapatkan persetujuan atas keinginan saya? Ataukah saya benar-benar ingin mengetahui kehendaknya sekalipun itu mungkin berbeda dengan apa yang diinginkan?

KEGELAPAN HATI MANUSIA DAN KASIH KARUNIA

20:1 Lalu majulah semua orang Israel; dari Dan sampai Bersyeba dan juga dari tanah Gilead berkumpullah umat itu secara serentak menghadap TUHAN di Mizpa. 

20:2 Maka berdirilah para pemuka dari seluruh bangsa itu, dari segala suku orang Israel, memimpin jemaah umat Allah yang jumlahnya empat ratus ribu orang berjalan kaki, yang bersenjatakan pedang. 

20:3 Kedengaranlah kepada bani Benyamin, bahwa orang Israel telah maju ke Mizpa. Berkatalah orang Israel: "Ceritakan bagaimana kejahatan itu terjadi."

Bagian ini memiliki keunikan tersendiri. Jika kita melihat kisah Hakim terakhir, yaitu Simson, ia berjuang sendirian melawan bangsa Filistin. Namun, di sini kita melihat bangsa Israel bersatu, tetapi dengan tujuan menghancurkan sesama bangsa mereka sendiri.

Semua ini berawal dari peristiwa di pasal 19 (seperti disampaikan dalam khotbah Ps. Mike minggu lalu). Ketika seorang Lewi menemukan gundiknya telah tewas, ia membawa mayatnya pulang. Di rumah, ia memotong-motong tubuh gundiknya menjadi 12 bagian sesuai tulangnya, lalu mengirimkan potongan-potongan itu ke seluruh wilayah Israel.

Orang Israel yang melihat hal tersebut merasa ini adalah kejadian yang belum pernah terjadi sejak mereka keluar dari Mesir. Mereka pun berkumpul di Mizpa, sekitar 400 ribu orang bersenjata pedang, dan meminta sang Lewi menjelaskan peristiwa tersebut.

Lewi itu pun menjelaskan bahwa kekejaman itu benar terjadi. Ia mengklaim bahwa orang-orang Gibea-lah yang berniat membunuhnya dan akhirnya memperkosa gundiknya. Namun, benarkah cerita ini sepenuhnya sesuai kenyataan?

Apa yang terlihat jelas dari bagian ini?

  1. Klaim berlebihan: Dalam Hakim-Hakim 20:5, orang Lewi mengklaim bahwa seluruh penduduk kota mengepung rumah tempat ia menginap. Padahal, di Hakim-Hakim 19, disebutkan bahwa yang melakukan itu hanyalah sekelompok preman dari kota tersebut. Ia melebih-lebihkan dengan menuduh seluruh warga Gibea.
  2. Distorsi fakta: Dalam pasal 19, yang sebenarnya hendak dilakukan oleh para preman itu adalah memperkosa orang Lewi. Namun, di hadapan seluruh bangsa Israel, ia menyatakan bahwa dirinya hampir dibunuh, lalu gundiknya diperkosa hingga tewas.
  3. Kebenaran yang disembunyikan: Dalam pasal 19 juga disebutkan bahwa pemilik rumah melindungi orang Lewi dengan menyerahkan anak perempuannya dan gundik orang Lewi sebagai gantinya. Fakta ini tidak disebutkan oleh orang Lewi, kemungkinan untuk melindungi reputasinya.

Kesaksian orang Lewi ini tampaknya dirancang untuk menyalahkan orang-orang Gibea sepenuhnya, sambil menutupi perannya dalam kematian gundiknya. Ia hanya mengungkapkan fakta yang mendukung dirinya sendiri, menyembunyikan kebenaran, dan memanipulasi cerita demi keuntungannya.

Memang tindakan orang-orang di Gibea (beberapa preman) jelas merupakan kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan. Tetapi disisi lain, perilaku moral orang lewi mungkin terlihat baik secara samar, meski sebenarnya sama buruknya.

Kita semua, pada suatu waktu tertentu mungkin pernah menceritakan kisah yang lebih baik tentang diri kita dan perilaku kita kepada orang lain atau bahkan kepada diri sendiri daripada kebenaran seutuhnya yang seharusnya diungkapkan.

Mungkin, tanpa disadari, ada hal kecil dalam diri kita yang menyerupai perilaku orang Gibea. Atau mungkin kita lebih mirip orang Lewi, yang sering menceritakan versi terbaik tentang diri kita—baik kepada orang lain maupun diri sendiri—daripada mengungkapkan kebenaran sepenuhnya.

Seperti yang sering ditekankan dalam kitab Hakim-Hakim, kita cenderung dipengaruhi dan diperbudak oleh budaya sekitar, alih-alih dibentuk oleh kebenaran firman Tuhan. Formula hidup yang kita pegang sering kali adalah: Jika saya terlihat baik, maka Yesus tampak baik.

Lihatlah media sosial: semua sisi baik ditonjolkan, sementara kegagalan dan kelemahan disembunyikan agar tidak mempermalukan diri. Saya tidak menyarankan untuk mengumbar aib tanpa rasa malu, tetapi ingin menyoroti bahwa kita sering menolak terlihat apa adanya. Kita hidup untuk tampil sempurna di depan orang lain, mengenakan “topeng Kristen” terbaik di gereja, bahkan di hadapan orang terdekat.

Namun, pola pikir ini berbahaya. Pada akhirnya, hal ini mendorong kita menuju kemunafikan. Kita perlu mengakui kehancuran kita agar hanya kecukupan Yesus yang nampak. 

BERHALA KEKERABATAN DAN KEBUTAAN DOSA

20:12 Kemudian suku-suku Israel mengirim orang kepada seluruh suku Benyamin dengan pesan: "Apa macam kejahatan yang terjadi di antara kamu itu! 

20:13 Maka sekarang, serahkanlah orang-orang itu, yakni orang-orang dursila yang di Gibea itu, supaya kami menghukum mati mereka dan dengan demikian menghapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel." Tetapi bani Benyamin tidak mau mendengarkan perkataan saudara-saudaranya, orang Israel itu.

Sikap suku Benyamin yang tidak mau mendengarkan justru menciptakan masalah yang lebih besar lagi. Bahkan mereka berkumpul di Gibea untuk berperang melawan orang israel. Mereka memanggil 26.700 tentara, sudah termasuk pasukan elit yang berkemampuan khusus dengan tangan kidal, yang dikatakan bahwa setiap mereka melemparkan batu tidak pernah meleset sampai sehelai rambut pun. 

Pertanyaannya mengapa suku Benyamin tidak menyerahkan orang-orang bersalah itu untuk diadili? Berhala kekerabatan merupakan akar dari respon suku Benyamin. Dimana suatu tindakan yang menempatkan ikatan darah, rasial atau suatu komunitas sebagai standar moral yang harus dibela entah itu benar atau salah.

PERTANYAAN REFLEKTIF

  • Apakah saya pernah merasa sulit untuk menyatakan kebenaran karena takut menentang orang yang dikasihi? Mengapa itu menjadi sulit? Atau apakah saya lebih condong mengutamakan hubungan yang damai meskipun itu berarti tidak menyatakan kebenaran? 

Pada akhirnya perang saudara tak terhindarkan lagi. Sekalipun jumlah orang Israel lebih banyak dari suku Benyamin (sekitar 15:1), tapi tercatat bahwa Israel mengalami kekalahan 2 kali. Kekalahan ini menyebabkan 40.000 orang Israel gugur. Kekalahan ini akhirnya membuat bangsa Israel kembali datang kepada Tuhan dengan sebuah sikap pertobatan (ayat 26-28). Pada akhirnya Tuhan memberi kemenangan pada bangsa Israel di ayat 35. 

20:26 Kemudian pergilah semua orang Israel, yakni seluruh bangsa itu, lalu sampai di Betel; di sana mereka tinggal menangis di hadapan TUHAN, berpuasa sampai senja pada hari itu dan mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan di hadapan TUHAN.

20:27 Dan orang-orang Israel bertanya kepada TUHAN--pada waktu itu ada di sana tabut perjanjian Allah, 

20:28 dan Pinehas bin Eleazar bin Harun menjadi imam Allah pada waktu itu--kata mereka: "Haruskah kami maju sekali lagi untuk berperang melawan bani Benyamin, saudara kami itu, atau haruskah kami hentikan itu?" Jawab TUHAN: "Majulah, sebab besok Aku akan menyerahkan mereka ke dalam tanganmu." 

20:35 TUHAN membuat suku Benyamin terpukul kalah oleh orang Israel, dan pada hari itu orang-orang Israel memusnahkan dari antara suku Benyamin dua puluh lima ribu seratus orang, semuanya orang-orang yang bersenjatakan pedang.

Pertobatan bangsa Israel terlihat dari adanya perubahan pertanyaan yang diajukan kepada Tuhan. Kali ini bangsa Israel benar-benar bertanya untuk mengetahui kehendak Tuhan, bukan hanya untuk mencari validasi atas keinginan mereka sendiri. 

Mengapa Tuhan perlu membuat bangsa Israel harus mengalami kekalahan 2 kali sebelum akhirnya membuat suku benyamin kalah?

Ia (Tuhan) menghakimi baik mereka yang merasa dirinya benar maupun mereka yang sepenuhnya salah. Dengan demikian, bagian ini menjadi peringatan bagi kita agar tidak jatuh dalam kesombongan, karena kesombongan kita seringkali tumbuh lebih cepat ketika melihat dosa orang lain yang terlihat jelas. 

(Dale Ralph Davis, Judges: Such a Great Salvation)

Dengan kata lain, kita diingatkan untuk tidak merasa lebih baik atau lebih benar daripada orang lain hanya karena kita bisa dengan mudah melihat kesalahan mereka.Mungkin ini adalah sifat dasar dosa kita: lebih cepat menemukan kesalahan kecil pada orang lain daripada menyadari kesalahan besar dalam diri sendiri.

Karena itu, kita perlu bertobat dan terus mengarahkan hati kita kepada Tuhan setiap hari, mengingat betapa licik dan menipunya hati manusia.

PERTANYAAN REFLEKTIF

  • Apakah saya sering terjebak dalam kesombongan karena merasa lebih baik atau lebih benar daripada orang lain? Ataukah saya lebih mudah melihat diri saya sendiri dengan jujur, mengingat bahwa saya pun terlebih dahulu membutuhkan pengampunan dari Tuhan?

HARAPAN DITENGAH GELAPNYA DOSA

21:1 Orang-orang Israel telah bersumpah di Mizpa, demikian: "Seorangpun dari kita takkan memberikan anaknya perempuan kepada seorang Benyamin menjadi isterinya." 

21:2 Ketika bangsa itu datang ke Betel dan tinggal di situ di hadapan Allah sampai petang, maka merekapun menyaringkan suaranya menangis dengan sangat keras, 

21:3 katanya: "Mengapa, ya TUHAN, Allah Israel, terjadi hal yang begini di antara orang Israel, yakni bahwa hari ini satu suku dari antara orang Israel hilang?"

Setelah hampir memusnahkan suku Benyamin, bangsa Israel kini meratap atas kehilangan mereka. Kesedihan ini menjadi tema utama dalam bagian akhir kitab Hakim-Hakim, di mana mereka menyesali kemungkinan hilangnya satu suku dari Israel. Namun bisa kita lihat dengan jelas bahwa bangsa Israel malah seperti menyalahkan Tuhan atas kemalangan yang terjadi akibat ulah mereka sendiri (ayat 3). 

Ketika menghadapi kemalangan, kita sering kali lebih mudah menyalahkan Tuhan daripada merenungkan kesalahan diri sendiri. Sebaliknya, dalam keberhasilan, kita cenderung menganggapnya sebagai hasil usaha sendiri, melupakan peran Tuhan sepenuhnya.

Melanjutkan pasal 21, muncul sebuah ironi yang diungkapkan Barry Webb dalam komentarnya: dari kasus pemerkosaan seorang wanita di pasal 19, muncul 600 wanita lain yang akhirnya dipaksa menikah di pasal 21, ditambah pembantaian ribuan pria dan wanita di pasal 20 dan 21. Kejahatan terus terungkap dan bahkan tampak semakin parah.

Di tengah kegelapan dosa manusia, muncul satu pertanyaan: adakah harapan yang tersisa?

21:23 Jadi bani Benyamin berbuat demikian; dari gadis-gadis yang menari-nari yang dirampas itu mereka mengambil perempuan, jumlahnya sama dengan jumlah mereka, kemudian pulanglah mereka ke milik pusakanya lalu membangun kota-kotanya kembali dan diam di sana. 

21:24 Pada waktu itu pergilah orang Israel dari sana, masing-masing menurut suku dan kaumnya; mereka masing-masing berangkat dari sana ke milik pusakanya. 

21:25 Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.

Bila kita melihat ayat 23 dan 24 maka nampaknya kisah ini berakhir dengan baik (happy ending). Namun rupanya tidak, karena di ayat 25 kembali tertulis bahwa setiap orang berbuat apa yang benar menurut mereka sendiri. Penulis kitab seakan ingin mempertegas bahwa masalah utama manusia adalah setiap orang merasa benar dan berbuat seenaknya sendiri. 

Jika masalahnya berasal dari dalam diri manusia, maka manusia tidak dapat menjadi solusi bagi dirinya sendiri.

Namun di tengah gelapnya keadaan sehingga sepertinya tidak ada lagi harapan, justru kita dapat melihat kasih karunia dengan sangat jelas. Kita lihat kembali di ayat 25, frasa tidak ada raja di antara orang Israel seakan menjadi petunjuk akan pencarian seorang pemimpin sejati. 

Apakah ada ‘Raja’ yang cukup kuat untuk membebaskan manusia dari perbudakan (dosa) dan menjadi solusi bagi masalah dosa dalam hati manusia?

Raja yang cukup kuat disini haruslah memiliki setidaknya 3 hal:

  1. Seorang yang datang tanpa dipanggil oleh manusia, karena tidak ada dari seorang manusia yang mencari Allah.
  2. Seorang yang dapat melakukan tindakan penyelamatan seorang diri, karena semua manusia telah berdosa dan tidak dapat berkontribusi atas tindakan penyelamatan itu. 
  3. Seorang yang tidak pernah bersalah namun sanggup ‘membersihkan’ manusia dari kejahatan, bukan hanya di dalam masyarakat tetapi terlebih kejahatan hati manusia.

Yesus datang bukan karena dipanggil oleh manusia melainkan karena kasih Allah yang begitu besar akan dunia ini. Kedatangan Yesus semata-mata karena tindakan kasih Allah itu sendiri. 

Yesus melakukan karya keselamatan tanpa kontribusi manusia. Kedatangannya ke dalam dunia yang tanpa dosa dan ketaatannya secara sempurna menunjukkan bahwa hanya Dia yang dapat melakukan dan menuntaskan karya penebusan.

Dan dampak dari ketaatan sempurna dari yesus, manusia dibebaskan dari hukuman atas tindakan kejahatan yang manusia lakukan. Dan bukan hanya dibebaskan dari hukuman, tetapi kita sebagai umatnya di beri status yang baru. Kita mendapat jaminan hidup yang kekal bersama-sama dengan allah selama-lamanya. 

Lantas, dimana yesus menuntaskan ini semua

Di salib 

  • Yesus, sang raja yang adil harus menanggung hukuman ketidakadilan untuk hidupnya yang berkenan. 
  • Yesus, sang hakim yang tertinggi harus direndahkan agar kita yang adalah hamba dosa dapat menerima status sebagai anak-anak Allah.
  • Yesus, sang hidup harus mengalami kematian untuk memberi hidup yang kekal bagi umatnya.

GOSPEL RESPONSE

  • Mari bertobat dari kecenderungan hati yang seringkali berkompromi atas dosa, hidup dalam kepura-puraan serta merasa diri lebih baik dan benar daripada orang lain.
  • Ingatkanlah diri kita akan kebenaran injil dan pandanglah salib Kristus setiap saat, agar hati kita senantiasa diselaraskan kembali dari keinginan daging dan berhala hati yang seringkali menggoda kita untuk hidup menurut apa yang kita anggap benar bagi diri sendiri. 

ORANG BERINJIL

  • Tidak hidup dalam kepura-puraan agamawi melainkan jujur dan dapat mengakui kerapuhannya agar seluruh kecukupan Kristus yang semakin nampak. 
  • Akan selalu rindu mengenal pribadi Tuhan bukan untuk mencari keuntungan tetapi justru karena telah menerima keselamatan sebagai berkat terbesar. 
  • Dapat senantiasa bersyukur atas pengampunan yang telah diterimanya dan dengan rendah hati dimampukan untuk mengampuni orang lain yang bersalah.