Minggu ini kita memulai sebuah seri khotbah baru dengan pendekatan eksposisi tematik. Artinya, kita akan membahas satu tema tertentu secara mendalam, namun tetap berpijak pada teks Alkitab yang dibahas secara utuh dan kontekstual. Pendekatan ini bukan berangkat dari ide atau opini kita lalu mencari ayat pendukung, melainkan dimulai dari teks—misalnya hari ini dari Mazmur 1—dan melihat bagaimana tema tersebut dikembangkan dan dijawab secara konsisten di seluruh Alkitab.
Kita hidup di zaman yang penuh kebisingan—media sosial, budaya, teknologi, dan opini publik terus-menerus membentuk cara kita memandang diri, nilai hidup, dan tujuan. Dunia menawarkan berbagai solusi untuk kedamaian, mulai dari mindset baru, nilai-nilai modern, hingga teknologi seperti artificial intelligence. Namun kenyataannya, manusia modern justru makin cemas dan stres.
Mungkin masalahnya bukan pada dunia luar, tetapi lebih dalam—pada kondisi hati manusia. Solusi sejati bukanlah hal baru, tetapi sesuatu yang sudah ada sejak semula: Injil. Firman yang hidup, kasih yang menebus, dan kebenaran yang mentransformasi. Dalam seri ini, kita akan menelusuri berbagai pergumulan zaman—seperti identitas, seksualitas, kekuasaan, ketidakadilan, dan komunitas—melalui kacamata Injil. Karena Injil bukan hanya teori, tapi kekuatan Allah yang mampu mengubah hati dari dalam ke luar.
Tujuan khotbah-khotbah ini bukan hanya menambah wawasan, tetapi membawa pembaruan: membebaskan hati, menata ulang kasih, dan mengarahkan hidup ke masa depan yang lebih baik. Dunia terus berubah, tetapi Injil tetap menjadi jawaban bagi pergumulan manusia yang paling mendasar.
Hari ini, kita membuka seri ini dengan tema tentang kebahagiaan. Kebetulan juga hari ini adalah hari Pentakosta—hari pencurahan Roh Kudus. Maka tema khotbah hari ini adalah: “Kebahagiaan Sejati di Dalam Roh Kudus.”
Bacaan : Mazmur 1:1-6
Jalan orang benar dan jalan orang fasik
1:1 Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,
1:2 tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.
1:3 Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.
1:4 Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin.
1:5 Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar;
1:6 sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.
Pernah nggak terpikir, hidup ini sebenarnya sedang mengejar apa? Pernah merasa sudah punya segalanya, tetapi tetap kosong? Bagi yang sudah memiliki banyak, tetap ada rasa hampa. Bagi yang belum memiliki, sedang mengejar supaya bisa mendapatkan. Tapi dalam pengejaran itu terasa lelah, letih.
Yang belum menikah berpikir, “Kalau aku menikah dengannya, aku pasti bahagia.” Setelah menikah, muncul pertanyaan baru: “Kapan punya anak?” Setelah punya anak, muncul lagi: “Kalau punya anak laki-laki, mungkin lebih bahagia.” Lalu ingin punya anak perempuan. Kemudian mulai berpikir, “Kapan ya aku mencapai financial freedom?”
Hidup ini seperti main Mario Bros — selesai satu level, muncul level berikutnya. Selalu ada tantangan baru yang harus dilawan. Dan rasanya tidak pernah benar-benar menang, karena levelnya seolah tidak habis-habis.
Ironisnya, di dunia yang paling bebas, paling maju, paling melek teknologi ini, kita justru hidup di tengah generasi yang paling cemas, paling stress, paling kesepian dalam sejarah umat manusia. Kenapa? Karena dari dulu sampai sekarang manusia masih salah kaprah soal satu hal: kebahagiaan.
Kita sering salah mengerti soal kebahagiaan. Kita pikir kebahagiaan itu perasaan. Kita kejar dia seperti mengejar kupu-kupu. Tapi semakin dikejar, semakin terbang dan menjauh. Mazmur 1 berkata bahwa kebahagiaan itu bukan seperti kupu-kupu. Kebahagiaan ada hubungannya dengan akar—di mana kita ditanam. Bukan soal apa yang dirasa, tetapi di mana hidup ini berakar.
Hari ini kita juga memperingati Pentakosta—pencurahan Roh Kudus. Salah satu buah dari Roh Kudus adalah sukacita. Maka kita akan membahas: apa itu sukacita? Roh Kudus bukan hanya membuat kita bisa berbahasa roh atau bersemangat. Roh Kudus ingin menanam hati ini ke dalam aliran air yang hidup. Jika ditanam di sana, bahkan di musim kekeringan, pohon itu tidak akan mati. Sebaliknya, akan menghasilkan buah.
Hari ini kita akan belajar empat poin:
1. KEBAHAGIAAN ITU MUNGKIN
Mazmur 1:1 berkata begini: "Berbahagialah orang yang..." Nah, perhatikan, kalimat ini bukan perintah, tetapi deklarasi. Tuhan tidak berkata, “Berusahalah untuk berbahagia,” melainkan, “Berbahagialah.” Kata berbahagia di sini mengandung makna sukacita yang penuh—hidup yang utuh, terpenuhi, dan puas. Artinya, memiliki kebahagiaan itu mungkin.
Kenapa hal ini penting untuk dibahas? Saya mau ajak kita lihat sebuah fakta. Reaksi setiap orang terhadap kebahagiaan bisa berbeda. Bagi yang mengalami masa kecil yang menyenangkan, mungkin akan punya pandangan yang cenderung naif. Misalnya, karena sejak kecil sudah dilindungi oleh orang tua, dibesarkan dalam kenyamanan, dan selalu mengalami hal-hal baik, maka timbul pemikiran: “Bahagia itu wajar, semua orang pasti bisa bahagia.” Ditambah lagi tontonan seperti Disney yang mengajarkan bahwa setiap kisah akan berakhir dengan happily ever after—asal ketemu pangeran atau menikah dengan orang yang tepat, hidup pasti bahagia.
Tetapi bagi yang masa kecilnya tidak begitu mudah—mungkin dari keluarga yang berantakan, mengalami kesulitan ekonomi sejak dini—mereka tumbuh dengan mendengar, “Kamu harus jadi orang sukses, baru bisa bahagia.” Dan setelah bekerja keras, pintar, mungkin berhasil secara finansial... ternyata rasa bahagia itu tetap tidak muncul juga. Akhirnya muncul pandangan sinis: “Bahagia itu ilusi. Hidup itu berat, penuh masalah. Jangan berharap terlalu tinggi, nanti kecewa.”
Menariknya, kalau kita perhatikan, bahkan orang-orang yang sudah mencapai puncak sukses, saat ditanya soal kebahagiaan, banyak dari mereka justru makin sinis. “Aku sudah punya segalanya, tapi tetap enggak bahagia.” Jadi, dua ekstrem ini nyata: yang satu naif, yang lain sinis.
Dunia pun merefleksikan dua pandangan ekstrem ini. Sastra Shakespeare, misalnya, menampilkan keduanya. Dalam Much Ado About Nothing, hidup digambarkan sebagai drama indah yang pasti berakhir bahagia. Tapi di sisi lain, karya seperti Hamlet dan Macbeth menggambarkan hidup sebagai tragedi besar yang penuh penderitaan—bahagia itu enggak nyata, tak ada akhir yang indah.
Pertanyaannya: yang mana kita? Apakah percaya bahwa sukacita itu mungkin? Atau diam-diam sudah mulai sinis, karena realita hidup yang keras? Atau... kita memilih untuk jadi “realistis” saja. Enggak terlalu naif, tapi juga enggak mau terlalu berharap. “Selama bisa dapat untung dari situasi yang ada, itu sudah cukup.”
Tim Keller pernah berkata: “Kita memulai hidup dengan berpikir bahwa kebahagiaan adalah hal yang wajar. Tapi kita mengakhiri hidup dengan menyadari bahwa kebahagiaan itu mustahil” Maka saya ingin ajak kita untuk mempertimbangkan satu jalan lain—jalan ketiga. Bukan naif, bukan sinis, bukan sekadar realistis, tetapi cara pandang Injil.
Mazmur 1 menunjukkan bahwa orang yang bahagia bukanlah mereka yang ikut arus, tapi yang berakar di tempat yang benar. Kebahagiaan bukan soal keadaan yang selalu menyenangkan, tapi soal dimana hati kita berakar. Apakah identitas kita tertanam dalam Kristus, dan apakah kita dimampukan oleh Roh Kudus?
Jika ya, maka bahkan dalam keadaan sulit, kita tetap bisa bersukacita. John Piper pernah menulis: “Firman Tuhan tidak menjanjikan hidup tanpa penderitaan, tetapi menjanjikan sukacita yang tidak bisa dicuri oleh penderitaan.” Kalau kita percaya, kita tidak akan mudah terombang-ambing oleh suasana hati. Kebahagiaan sejati itu bukan mimpi, bukan juga ilusi—itu mungkin. Tapi jika begitu, pertanyaannya: kenapa kita masih sering tidak bahagia?
Mazmur 1 memberi jawabannya, dan menariknya, jawabannya tidak berhubungan dengan keadaan luar…
2. KEBAHAGIAAN ITU BUKAN TENTANG KEADAAN
Mari kita baca bersama Mazmur 1:3, “Ia seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” Perhatikan gambaran ini: orang yang berbahagia digambarkan seperti pohon yang ditanam dekat aliran air. Artinya, akarnya menjangkau sumber air yang terus mengalir, bahkan di musim kering. Pohon ini tidak mati, tidak layu, walaupun tidak selalu tampak berbuah atau indah. Hidupnya tidak bergantung pada musim, tapi pada akarnya.
Inilah kesalahan kita: kita mencari kebahagiaan dari keadaan di luar. Kalau kondisi keuangan baik, kita merasa bahagia. Tapi saat keuangan bermasalah, kesehatan terganggu, atau relasi rusak—kita hancur. Mazmur ini tidak berkata bahwa kebahagiaan sejati berasal dari musim yang baik. Justru dikatakan, “daunnya tidak layu.” Artinya, ada stabilitas rohani, bukan karena musimnya selalu baik, tapi karena sumbernya tidak berubah.
Pertanyaannya adalah: di mana akar hidupmu tertanam? Apakah pada hal-hal fana seperti uang, pencapaian, atau pengakuan? Atau pada Tuhan yang menjadi sumber sejati?
Mari kita baca 1 Petrus 1:6-7a, “Aku tahu hal ini membuatmu sangat gembira, walaupun kamu harus menderita dalam berbagai macam cobaan untuk sementara waktu. Cobaan-cobaan ini menguji imanmu dan membuktikan bahwa imanmu sungguh nyata.”
Perhatikan, Petrus tidak bilang, “kamu bahagia karena tidak ada masalah.” Justru, ia berkata bahwa sukacita tetap ada meski dalam penderitaan, karena iman diuji dan terbukti murni. Jadi, kebahagiaan sejati bukan tergantung pada apa yang terjadi padamu, tetapi siapa dirimu dan kepada siapa hatimu bersandar.
Bahasa Inggris membedakan antara happiness dan joy. Kata happiness berasal dari akar kata happ—yang berarti happening. Jadi, happiness itu bergantung pada kejadian. Kalau keadaan baik, kita happy. Kalau buruk, kita kehilangan itu.
Tapi joy—sukacita sejati—datangnya dari dalam. Ia tidak bergantung pada situasi luar, tetapi pada identitas yang berakar di dalam Tuhan. Kekristenan bukan soal senyum palsu atau penyangkalan realitas, tetapi sukacita yang tetap ada bahkan saat air mata mengalir.
Secara botani, pohon yang sehat saat menghadapi kekeringan justru akan menumbuhkan akarnya lebih dalam untuk mencari air. Demikian juga penderitaan bisa menjadi sarana Allah untuk membuat iman kita bertumbuh lebih dalam—jika iman itu benar-benar tertanam di dalam Tuhan.
Sebaliknya, jika kita menaruh kepercayaan pada hal-hal yang mudah goyah, kita akan mudah jatuh ke dalam keputusasaan. Bagaimana kita tahu apakah sukacita kita sejati atau palsu? Lihat respons kita saat tragedi datang. Orang yang akarnya kuat dalam Tuhan bisa berkata, “Tuhan itu baik,” bahkan ketika mengalami duka atau kehilangan. Itu bukan delusi, melainkan hasil dari hidup yang berakar dalam Dia.
“God gives, and God takes away, but blessed be the name of the Lord.” Itu adalah kesaksian dari hidup yang berakar dalam kasih dan kedaulatan Tuhan.
Jadi, apakah sukacita Anda tergantung pada musim hidup, atau berasal dari sumber yang kekal? Apakah hati Anda benar-benar berakar kepada Tuhan? Tanpa musim kering, kita tidak pernah belajar menancapkan akar lebih dalam. Kadang, penderitaan justru adalah kasih karunia—Tuhan sedang menarik kita lebih dalam kepada-Nya.
3. KEBAHAGIAAN TIDAK DATANG SAAT DIKEJAR
Saudara-saudara, pernahkah Anda mengalami saat ingin tidur, tetapi justru makin berusaha tidur, makin tidak bisa tidur? Saya sendiri sering mengalaminya. Semakin kita mengejar tidur, semakin sulit kita terlelap. Begitu juga dengan kebahagiaan. Orang yang paling terobsesi untuk bahagia justru sering menjadi orang yang paling mudah kecewa dan paling sulit menemukan kebahagiaan itu sendiri.
Mari kita baca kembali Mazmur 1:1–2:
“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.”
Perhatikan baik-baik: kebahagiaan dalam ayat ini bukanlah tujuan utama, melainkan hasil sampingan—buah—dari hidup yang tertanam dalam firman Tuhan. Tidak dikatakan: "Berbahagialah orang yang mengejar kebahagiaan." Tidak. Tapi: "Berbahagialah orang yang kesukaannya adalah Taurat TUHAN."
Artinya, orang yang mengejar Tuhan dan kebenaran-Nya, akan menemukan kebahagiaan sebagai sesuatu yang datang secara alami—tanpa harus dikejar. Banyak orang berkata: "Yang penting aku happy." Pernah dengar kalimat itu? Ini adalah pola pikir yang berbahaya. Demi kebahagiaan instan, orang rela mengorbankan imannya, mengkhianati janji pernikahan, melanggar integritas, bahkan menghancurkan pertemanan.
Kita korbankan kesetiaan demi seks. Kita tukar sahabat demi uang. Kita gadaikan prinsip demi keuntungan cepat. Tapi apakah hasilnya kebahagiaan sejati? Tidak. Itu semua semu.
Mazmur 1:4 berkata: “Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin.” Sekam adalah kulit luar gandum yang kosong, ringan, dan tidak berguna. Ia mudah hancur dan berterbangan ke mana-mana tanpa arah. Mazmur mengatakan: itulah orang fasik. Orang yang hidup tanpa Tuhan, yang tidak suka firman, yang mengikuti jalan orang berdosa—mereka seperti sekam: tidak berakar, tidak bertahan, dan tidak menghasilkan apapun.
Tanpa sadar, banyak dari kita hidup seperti sekam. Kita kejar validasi manusia, pujian, performa, penampilan luar. Tapi jiwa kita kosong. Rapuh. Mudah goyah. Begitu musim hidup berubah sedikit saja, kita langsung stres, cemas, depresi, dan putus asa.
Maka, inilah pertanyaannya: Apakah hidup kita seperti pohon yang berakar, atau seperti sekam yang terombang-ambing? Apakah kita sedang berakar dalam Tuhan, atau sedang ditiup angin karena mengejar hal-hal fana?
Saudara, saat kita menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan utama hidup, justru kita kehilangan kebahagiaan itu sendiri—dan kehilangan Tuhan.
Matius 6:33 berkata: “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
Banyak orang menghafal ayat ini, bahkan menggunakannya seperti rumus: "Cari Tuhan, supaya dapat semuanya." Tapi kalau kita jujur—apakah kita mencari Tuhan karena Dia itu indah, atau karena kita ingin hidup kita lancar?
CS Lewis pernah berkata dalam Mere Christianity:“Aim at heaven and you will get earth thrown in. Aim at earth and you will get neither.” --- Carilah surga, dunia akan menjadi bonus. Tapi carilah dunia, dan kamu akan kehilangan keduanya.
Sayangnya, banyak orang salah kaprah. Mereka berpikir: "Oh, jadi kita cari Tuhan supaya dunia diberikan sebagai bonus!" Tapi kalau begitu, Tuhan tetap bukan tujuan. Dunia tetap yang dikejar. Kita hanya memakai Tuhan sebagai alat. Ini bukan penyembahan sejati. Ini penyembahan berhala yang dikemas secara religius.
Maka tanyakan pada dirimu sendiri:
Apakah aku datang ke gereja karena Tuhan sungguh-sungguh indah bagiku, atau hanya karena aku ingin hidupku lebih mudah?
Apakah aku mengejar Tuhan karena Dia adalah sumber sukacita sejati, atau hanya karena aku ingin merasa lebih baik?
Orang yang mengejar Tuhan demi kebahagiaan tidak akan mendapatkan keduanya. Tapi orang yang mengejar Tuhan karena Tuhan itu layak—karena tahu bahwa dirinya sudah ditebus oleh kasih karunia—maka kebahagiaan itu akan datang sendiri, sebagai buah dari hidup yang berakar dalam Kristus.
Mazmur 16:11 berkata: “Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita yang berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.”
Saudara, kebahagiaan bukan tujuan utama. Kebahagiaan adalah buah. Pohon tidak pernah berusaha keras untuk menghasilkan buah. Ia hanya perlu bertumbuh dan berakar—maka buah akan muncul dengan sendirinya.
Demikian juga hidup kita: Jangan kejar kebahagiaan. Kejarlah Tuhan. Maka sukacita sejati akan mengikuti.
4. KEBAHAGIAAN DIMULAI DENGAN KEPUTUSAN
Pertanyaannya: apakah kita hanya pasif menunggu ditanam, atau ada sesuatu yang harus kita lakukan? Mazmur 1 menjawab bahwa kebahagiaan bukan soal nasib, tapi pilihan hidup. Perhatikan: "Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik..." Ini bukan tentang kebetulan, tapi keputusan sadar untuk menolak arus dunia.
Alkitab menggambarkan orang yang bahagia bukan sebagai orang pasif, tapi sebagai pribadi yang secara aktif memilih jalur yang berbeda. Kita tidak bisa hidup seperti dunia, lalu berharap punya damai yang hanya milik anak-anak Allah. Roma 12:2 berkata, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu.”
Banyak orang Kristen ingin diberkati seperti Abraham, tapi hidup seperti Babel. Dunia terus mengajak kita mencintai nilainya, mengikuti arusnya—nasihat orang fasik, jalan orang berdosa, kursi pencemooh. Kita perlu belajar berkata "tidak".
Ada yang berkata, “Hari Minggu saya ikut ibadah, CG, baca buku rohani... tapi selama seminggu saya juga harus cari cuan dong, Pastor!” Mereka pikir bisa netral. Tapi 2 Petrus 2:19 tegas berkata: “Setiap orang adalah hamba dari apa yang menguasainya.” Tidak ada yang netral. Kalau bukan Tuhan yang menanamkan identitas kita, dunia yang akan melakukannya—dengan akar kebohongan.
Mazmur 1 menampilkan progresi yang menarik: berjalan—berdiri—duduk. Awalnya sekadar mendengar nasihat fasik, lalu mulai berkawan, lalu duduk dan beridentitas bersama pencemooh. Hati-hati dengan siapa yang membentuk cara pikirmu. Suara siapa yang kamu dengar setiap hari? Konten apa yang kamu serap? Semua itu membentuk loyalitas hatimu.
Orang yang bahagia adalah orang yang tidak duduk bersama pencemooh, tapi duduk merenungkan firman. Bukan sekadar membaca, tapi menyerap, memutar ulang, menyanyikan firman ke dalam hatinya. Karena semua orang menyerap sesuatu—kalau bukan firman, pasti nilai dunia.
Mazmur 1 menutup dengan kontras yang tajam: pohon dan sekam. Pohon ditanam, berakar, bertumbuh, berbuah. Sekam ringan, cepat, tapi kosong, mudah diterbangkan angin. Sekam terlihat menyenangkan, tapi rapuh. Pohon mungkin lambat, tapi kokoh.
Pertanyaannya: hidup kita seperti pohon, atau sekam? Kalau jujur, kita semua sering seperti sekam: mudah goyah, cepat kecewa, gampang stres. Kenapa? Karena identitas kita bukan di Injil, tapi di performa dan pengakuan. Kita bangun hidup dari luar ke dalam, bukan dari dalam ke luar. Akar kita rusak.
Akhir-akhir ini saya main padel seminggu tiga kali. Awalnya fun. Tapi lama-lama mulai beli sepatu, upgrade raket, makin kompetitif. Ketika kalah, mulai kecewa. Ketika partner nggak jago, mulai kesel. Ada yang mulai milih-milih partner, bikin grup elit. Yang pemula tersisih. Tempat fun jadi ajang pembuktian diri.
Bukan soal padelnya. Ini tentang hati manusia. Bahkan di arena yang paling netral, dosa muncul—karena dosa bukan cuma mencuri atau membunuh. Dosa adalah akar hati yang salah. Kita ingin menang, dipandang, diakui—bahkan dalam hal receh seperti skor permainan.
Ini bukti bahwa dosa bukan soal perbuatan saja, tapi posisi hati. Kita nilai orang bukan dari kasih, tapi dari performa. Bahkan dalam hal kecil, natur dosa muncul. Hati kita tidak netral—selalu membangun identitas dari luar.
Kita Butuh Ditabur Ulang di Tanah Anugerah
Inilah yang kita perlukan: bukan lebih kuat, tapi ditanam ulang. Bukan di tanah performa, tapi di tanah kasih karunia. Kita semua butuh Juru Selamat.
Kabar baiknya: ada satu Pribadi yang rela menjadi seperti sekam—Yesus Kristus. Dia bukan sekam, tapi rela dihancurkan seperti sekam, agar kita yang memang sekam ini bisa ditanam sebagai pohon. Di salib, Dia diceraiberaikan, dihukum, dibuang, seperti debu yang diinjak.
Waktu Yesus berseru, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”—Dia tidak sekadar menderita. Dia ditolak total, supaya kita yang seharusnya dibuang, bisa dipulihkan. Supaya kita yang rapuh, bisa berakar. Supaya kita yang kehilangan arah, bisa hidup dalam sukacita yang sejati.
Yesus tidak hanya mati untuk mengampuni dosamu. Dia mati untuk memberimu hati yang baru, akar yang baru—agar sukacitamu tidak tergantung pada keadaan, tapi tertanam dalam kasih-Nya. Dan di hari Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan agar hidup kita diubah dari dalam keluar.
Hari ini, pilihlah: hidup seperti pohon yang berakar dalam Injil, atau sekam yang diterbangkan angin dunia
Pertanyaan Reflektif
01 Selama ini saya mengukur kebahagiaan berdasarkan apa?
Apakah saya sedang menyalahkan keadaan padahal akar hati saya sedang menjauh dari Tuhan?
02 Apakah saya datang kepada Tuhan karena mengasihi Dia…
atau karena hanya ingin sesuatu yang lain dari Tuhan? mungkin saya perlu bertobat dari berhala palsu itu…
03 Apakah saya secara aktif memilih untuk membasahi hati saya dengan Firman Tuhan dan memandang karya Kristus setiap hari…
atau saya membiarkan hati saya direndam oleh kebohongan dunia dan kekhawatiran?
Gospel People
bisa tetap Bahagia & tenang, walau hidup menghadapi banyak pergumulan, karena hatinya ditanam di tempat yang aman di dalam Kristus.
tidak mengejar kebahagiaan sebagai tujuan, tapi justru menemukan kebahagiaan sejati saat mengakarkan identitasnya di dalam Tuhan.
tidak menaruh identitasnya dengan mengikuti arus dunia, namun identitasnya berakar dalam kasih yang telah lebih dulu menebus hidupnya.
bukan orang yang hidupnya selalu mulus, tapi orang yang tahu di mana dia dapat berpijak kuat waktu banyak goncangan.