Kalau kita berbicara tentang makna, saya yakin dan percaya semua orang mencarinya—tidak peduli apakah ia ateis, agnostik, merasa dirinya religius, atau bahkan skeptis—semua punya satu kesamaan: mencari makna, mencari hidup yang penuh arti.
Mungkin beberapa teman yang masih single merasa, "Kalau suatu hari saya punya pasangan, maka hidup saya menjadi bermakna." Tapi hati-hati—pasangan yang tidak tepat bisa jadi cuma angan-angan. Ada yang berpikir, "Kalau punya pasangan, nanti tiap pagi ada yang ucapin ‘Good morning’." Kalau cuma mau ‘selamat pagi’, datang saja ke minimarket terdekat, pasti disambut, “Selamat pagi, Kak.” Atau setelah punya pasangan malah muncul pertanyaan, “Kok gini-gini aja ya? Kok hidupku begini-begini terus?”
Saya pun pernah terjebak dalam perasaan seperti itu. Saya membayangkan, “Kalau saya menikah, membesarkan anak bersama istri, liburan bareng...” Bahkan saya membungkus angan-angan itu dalam sesuatu yang rohani: “Nanti kita pelayanan bareng.” Tapi kalau semua berhenti di situ saja, maka hidup ini tetap akan kosong. Bukan berarti pernikahan saya itu kosong atau tidak bermakna—bukan. Tapi kalau kita berhenti pada hal-hal itu saja, maka semuanya hanyalah sebuah kehampaan, kekosongan.
Bacaan : Mazmur 1:1-6
Jalan orang benar dan jalan orang fasik
1:1 Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,
1:2 tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.
1:3 Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.
1:4 Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin.
1:5 Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar;
1:6 sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.
Kalau boleh sedikit menjelaskan konteks historis dari Mazmur 1 ini—kisahnya adalah bangsa Israel sedang dalam proses pulang dari pembuangan di Babel. Mereka hidup lama di tengah-tengah orang Babel sampai kehilangan arah dalam hal identitas. Karena hidup di tengah bangsa yang tidak mengenal Allah, filosofi, nilai, dan cara pandang mereka menjadi tercampur. Mereka tidak tahu bagaimana menjalankan hidup sebagaimana mestinya menurut panggilan Allah.
Para sarjana teologi sepakat bahwa Mazmur 1 ini adalah semacam pengantar bagi bangsa Israel, agar mereka bisa menavigasi ulang perjalanan iman mereka. Di sini ditunjukkan ada dua jalur hidup: jalan orang benar dan jalan orang fasik. Dua benang merah ini menjadi dasar dari keseluruhan kitab Mazmur.
Minggu lalu kita belajar tentang kontras pohon dan sekam. Pohon adalah gambaran tentang sesuatu yang ditanam, berakar, bertumbuh, dan menghasilkan buah. Sekam adalah gambaran tentang orang fasik: mereka yang berterbangan, rapuh, kosong, ditiup angin, dan tidak punya masa depan.
Karena itu, hari ini kita akan membahas tiga poin penting yang bisa kita pelajari dan renungkan.
MENINGGALKAN NASIHAT ORANG FASIK
Hari ini kita mungkin menghadapi tantangan yang serupa dengan bangsa Israel—dibombardir oleh nilai-nilai yang campur aduk: ada unsur agama, pandangan dunia, filsafat sekuler, dan ambisi pribadi, semuanya bercampur menjadi satu. Banyak orang bicara soal makna, dan masing-masing memberikan definisi dari sudut pandangnya sendiri. Mungkin ini yang membuat kita bingung—mana yang benar? Mana yang sejalan dengan firman Tuhan?
Untuk itu, mari kita lihat beberapa perbedaan mendasar antara pandangan orang fasik dan iman Kristen:
Tantangannya, kita tahu kebenaran iman Kristen. Tapi seringkali, waktu kembali ke lapangan—ke dunia kerja, ke sekolah, ke relasi—kita malah hidup dengan cara pikir yang justru mencerminkan pandangan dunia.
Misalnya:
Masalahnya bukan pada hal-hal itu, tetapi pada pusat hidup kita. Kalau pusatnya bukan Kristus, semuanya jadi sekam—rapuh, kosong, tidak berakar. Pemazmur menyebut orang fasik itu seperti sekam yang ditiup angin. Kelihatan baik-baik saja, tapi rapuh dan tak punya masa depan. Sama seperti istana pasir yang dibangun anak-anak di pantai—kelihatan indah, tapi hancur seketika saat ombak datang.
Kita bisa membangun hidup dengan pencapaian, kenyamanan, kekuasaan, atau penerimaan dari orang lain. Tapi saat badai datang—penolakan, kegagalan, sakit penyakit, krisis eksistensial—kalau fondasi kita bukan Kristus, semuanya akan roboh.
Makna sejati hanya bisa ditemukan ketika Kristus menjadi pusat dan dasar hidup kita. Agustinus pernah berkata: “Engkau telah menciptakan kami untuk-Mu, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai beristirahat di dalam Engkau.”
Tanpa pengenalan yang benar akan Tuhan, manusia akan terus merasa kosong—punya segalanya, tapi tetap hampa. Itulah realita ketika seseorang hidup untuk diri sendiri, bukan bagi Allah. Kekosongan hati tidak bisa diisi dengan aktivitas, walaupun terlihat mulia. Banyak orang membangun yayasan, berbagi kepada sesama, tapi tetap merasa kosong. Bukan aktivitasnya yang salah, tetapi tanpa Kristus, semua itu tidak menghasilkan makna sejati.
STOP & REFLECT
Apa yang saat ini membuat saya merasa bermakna?
Apakah pencapaian? Kepemilikan? Relasi? Atau Kristus?
Nasihat siapa yang paling mempengaruhi keputusan-keputusan saya akhir-akhir ini?
Apakah firman Tuhan yang menjadi dasar, ataukah suara dunia yang terdengar manis tapi menyesatkan?
MEMAHAMI MAKNA SEJATI DALAM PENGENALAN AKAN FIRMAN
Bagaimana kita bisa mengerti Firman Tuhan? Mazmur 1 ayat 2 memberikan jawabannya: “Tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.” Kunci untuk memahami Firman Tuhan terletak pada sikap hati kita—bukan sekadar pengetahuan, tetapi pengenalan yang sejati yang lahir dari kesukaan akan Firman-Nya.
Menarik bahwa kata “kesukaan” dalam bahasa Ibrani bukan sekadar menunjuk pada hal yang disukai secara umum, tetapi pada kenikmatan yang mendalam, delight—suatu kegembiraan yang muncul dari dalam hati. Firman Tuhan bukan dimaksudkan sebagai beban atau kewajiban harian yang harus dicentang, tetapi sebagai makanan rohani yang kita nikmati, renungkan, dan resapi dalam hidup kita sehari-hari. Namun, jika kita jujur, seringkali kita membaca Firman karena merasa harus, bukan karena kita benar-benar menikmati-Nya. Kadang kita membaca agar merasa lega, atau karena kita merasa bersalah kalau tidak membaca. Bahkan, tidak jarang kita lebih tergoda untuk scrolling media sosial daripada membuka Alkitab.
Di sinilah kita perlu bertobat. Kita perlu menyadari bahwa ketidakmampuan kita untuk mencintai Firman adalah bukti bahwa hati kita masih perlu diselaraskan dengan kasih Kristus. John Piper pernah berkata bahwa orang percaya perlu mendisiplinkan diri untuk membaca Alkitab, bahkan ketika mereka tidak ingin melakukannya. Mengapa? Karena kedagingan kita sering menolak hal-hal yang rohani. Maka ketika kita tidak ingin membaca Firman, kita datang kepada Tuhan, berkata, “Tuhan, aku tidak ingin, tapi aku rindu untuk ingin. Tolong aku dengan Roh-Mu.” Kita melatih diri bukan demi prestasi rohani, tetapi karena kita tahu hanya Firman Tuhan yang bisa membedakan jalan kebenaran dan jalan kefasikan. Kita tidak mau hidup hanya berdasarkan perasaan dan mood seperti orang fasik, tetapi kita ingin hidup dipimpin oleh kebenaran yang kekal.
Itulah sebabnya disiplin rohani bukanlah sarana untuk mendapatkan berkat, seperti yang sering dikhotbahkan oleh sebagian orang. Disiplin rohani bukanlah cara membuka “tingkap-tingkap langit” agar Tuhan mencurahkan kelimpahan materi. Jika kita berpuasa supaya Tuhan tergerak memberkati, itu bukanlah ibadah—itu manipulasi. Itu bukan relasi, itu transaksi. Tuhan tidak bisa disuap oleh pengorbanan kita. Tuhan jauh lebih peduli pada perubahan hati kita daripada pencapaian ritual kita. Disiplin rohani adalah sarana anugerah—cara Tuhan menuntun kita semakin mengenal Dia, memahami jalan-Nya, dan mengasihi-Nya dengan segenap hati.
Mazmur 1 menggambarkan orang benar sebagai pribadi yang merenungkan Firman “siang dan malam.” Ini bukan berarti hanya pagi dan sore, melainkan sepanjang hari. Dalam bahasa Ibrani, kata “merenungkan” berasal dari kata yehge, yang artinya bukan hanya berpikir, tapi juga mengunyah, seperti sapi yang memamah biak. Sapi menelan rumput, lalu memuntahkannya kembali untuk dikunyah ulang, berulang kali, sampai semua sari makanan terserap sempurna. Begitu juga dengan Firman Tuhan. Kita tidak cukup hanya membaca sekali lalu lupa. Firman itu harus terus-menerus kita ingat, ulang, gumulkan, renungkan. Kita perlu bertanya: “Apa maksud firman ini? Apa yang perlu saya ubah dalam hidup saya?” Dan jika belum mengerti, diskusikanlah bersama orang lain. Jangan biarkan firman berhenti hanya di kepala, tapi biarlah meresap ke hati dan terwujud dalam tindakan.
Sayangnya, hari ini banyak orang lebih akrab dengan doom scrolling daripada deep reading. Mereka lebih mudah menghabiskan waktu satu jam menonton konten hiburan daripada lima belas menit membaca Firman dengan perlahan. Dan saat waktu kosong, seperti menunggu atau sulit tidur, bukannya berseru pada Tuhan, kita justru mencari pelarian pada layar. Padahal, justru saat-saat seperti itulah kita diajak untuk mengisi hati dengan Firman yang hidup.
Hamba Tuhan, betapapun pandainya berkhotbah, tetap terbatas. Tapi Firman Tuhan yang Anda renungkan setiap hari, disertai pimpinan Roh Kudus, akan menjadi pelita bagi jalan Anda. Itu sebabnya, Anda tidak bisa hanya bergantung pada khotbah hari Minggu. Perenungan pribadi adalah bagian penting dari pertumbuhan iman. Bukan hanya untuk tahu lebih banyak, tetapi untuk mengenal Tuhan lebih dalam.
Maka saya mengajak kita semua untuk bertanya jujur di hadapan Tuhan hari ini: Apakah saat saya merenungkan Firman Tuhan, saya melakukannya dengan sukacita atau keterpaksaan? Dan yang kedua: Apakah motivasi saya membaca Firman adalah agar diberkati secara materi, atau karena saya sungguh-sungguh ingin mengenal Kristus lebih dalam?
Kalau jawaban kita masih jauh dari ideal, kita tidak perlu malu. Kita hanya perlu datang kepada Tuhan dan berkata, “Tuhan, aku ingin mencintai Firman-Mu, tolong aku.” Karena ketika kita jujur di hadapan-Nya, Roh Kudus akan menopang perjalanan iman kita dan membentuk kita menjadi orang benar—yang hatinya melekat pada Firman, dan hidupnya berakar di dalam kasih karunia Kristus.
MENGHIDUPI MAKNA SEJATI DALAM KRISTUS
Bagaimana kita bisa menghidupi makna sejati di dalam Kristus? Mazmur 1 ayat 3 memberikan gambaran yang begitu kuat: “Ia seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” Ini bukan hanya gambaran keindahan, tetapi sebuah deklarasi rohani yang dalam tentang hidup orang benar—hidup yang tertanam, bertumbuh, berbuah, dan bermakna.
Perhatikan bahwa frasa “ditanam” dalam bahasa Ibrani adalah shatul, bentuk pasif yang menunjukkan bahwa pohon itu tidak menanam dirinya sendiri—melainkan ditanam oleh pribadi lain. Inilah karya Allah. Hidup yang bermakna tidak dimulai dari usaha manusia, tetapi dari inisiatif Tuhan. Kita tidak memutuskan untuk menjadi orang benar; kitalah yang terlebih dahulu dipanggil, ditentukan, dan ditempatkan oleh kasih karunia Allah. Ketika kita tertanam di tepi aliran air kehidupan itu—yang adalah Kristus—kita akan berbuah tepat pada waktunya. Buah ini bukan tentang kesuksesan materi atau kejayaan duniawi, tetapi buah yang berasal dari koneksi dengan Sang Sumber Hidup.
Yesus sendiri menyatakan dalam Yohanes 15:5 dan 7, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa… Jika kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki dan kamu akan menerimanya.” Ayat ini sering disalahpahami seolah-olah menjanjikan segala permintaan akan dikabulkan begitu saja.
Tetapi sebenarnya, ketika hati kita tinggal di dalam Kristus dan Firman-Nya tinggal dalam kita, maka yang kita minta pun selaras dengan kehendak-Nya. Kita tidak lagi berdoa demi keinginan egois, tetapi demi kerinduan Tuhan dinyatakan dalam hidup kita. Kita mulai berdoa, “Tuhan, jadikan aku sabar seperti Engkau. Tuhan, bentuk aku menjadi pribadi yang mencerminkan kasih dan karakter-Mu.” Maka, “apa yang kamu minta itu akan kamu terima,” bukan karena kita hebat, tetapi karena kita hidup sesuai dengan tujuan Allah.
Inilah makna sejati dalam hidup: bukan sekadar melakukan hal-hal yang baik, tetapi hidup yang terhubung dengan Kebenaran Sejati. Maka, kita tidak lagi mendefinisikan makna berdasarkan pencapaian atau status. Kita tidak harus menjadi orang sukses, terkenal, kaya, atau memiliki jabatan tinggi untuk hidup bermakna. Kita cukup tertanam di dalam Kristus. Maka pekerjaan sekecil apa pun, selama dilakukan bagi Dia, menjadi bernilai kekal. Menjadi ibu rumah tangga, mencuci piring, mengganti popok, menyiapkan bekal untuk keluarga—jika dilakukan dalam kasih kepada Kristus, semua itu berbuah dan bermakna. Kita tidak harus menjadi filantropis miliarder atau pendeta besar untuk hidup bernilai. Jika Kristus menjadi pusat kehidupan kita, maka seluruh hidup kita, bahkan bagian terkecilnya, penuh dengan makna.
Tim Keller pernah berkata, “You don’t realize Jesus is all you need until Jesus is all you have.” Atau jika saya parafrasekan: kita tidak akan sungguh-sungguh menyadari bahwa Kristus adalah makna sejati, sampai kita berhenti mengejar makna dari hal-hal lain. Sebab makna yang sejati bukan ditemukan dalam pencapaian diri, tetapi dalam relasi yang intim dengan Kristus. Maka, kita diundang bukan untuk sekadar melakukan lebih banyak, tetapi untuk berdiam dan berakar di dalam Kristus. Sebab hanya ketika kita tinggal di dalam-Nya, kita bisa menghasilkan buah yang sejati dan hidup yang bermakna.
Mazmur 1 ayat 6 menutup dengan kalimat yang penting: “Sebab Tuhan mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.” Jalan orang benar adalah jalan yang merenungkan Firman, yang menolak nasihat orang fasik. Tapi siapa di antara kita yang sanggup melakukan itu dengan sempurna? Siapa yang tidak pernah mengikuti suara dunia? Siapa yang bisa terus mencintai Firman Tuhan tanpa gagal? Maka kita sadar bahwa Mazmur 1 ini tidak sedang memuji manusia, tetapi menunjuk pada satu Pribadi—Yesus Kristus. Yesus adalah Pribadi yang sepenuhnya menaati dan mencintai Taurat Tuhan. Saat dicobai oleh iblis, Dia menjawab dengan Firman. Dia tidak mengikuti nasihat orang fasik. Yesus merenungkan Firman siang dan malam, dan taat bahkan sampai mati. Yesus adalah gambaran sempurna dari “orang benar” dalam Mazmur 1.
Dan bukan hanya itu—Yesus, Sang Firman Hidup, rela disalibkan dan diperlakukan seperti orang fasik. Dia mengalami kutuk yang seharusnya untuk kita. Dia haus di kayu salib agar kita bisa minum dari Air Hidup itu. Maka hari ini, kita yang tadinya adalah orang fasik, bisa menjadi orang benar karena karya penebusan Kristus. Kita bisa tertanam di tepi aliran air karena kita telah ditanam oleh kasih karunia. Kita bisa hidup bermakna karena kita hidup di dalam Kristus.
Yesus berkata dalam Yohanes 4:14, “Tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus selama-lamanya. Sebaliknya, air yang Kuberikan akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.”Mazmur 1 menggambarkan pohon di tepi aliran air. Yohanes 4 menegaskan bahwa Yesus sendiri adalah air hidup itu. Jika kita terkoneksi dengan Kristus, kita tidak akan layu, kita akan berbuah, dan hidup kita akan memancarkan makna yang sejati dan kekal.
Karena itu, marilah kita terus membangun hidup dalam relasi yang dalam dengan Kristus. Jangan kejar makna dari pencapaian dunia yang fana. Temukan makna sejati di dalam Kristus, Sang Air Hidup. Sebab hanya dengan tertanam di dalam Dia, kita bisa hidup dalam kekuatan Roh Kudus, menghasilkan buah rohani, dan berdiri teguh dalam setiap musim kehidupan. Maka, bukan siapa kita di mata dunia yang menentukan makna hidup kita, tetapi siapa Kristus di dalam kita.
GOSPEL PEOPLE
Tidak mendengarkan nasihat orang fasik yang senang mengejar makna hidup dari suatu pencapaian yang sementara
Rindu merenungkan kebenaran Firman dengan sukacita, karena melalui pengenalan Firman Kristus adalah sarana untuk memahami makna hidup yang sejati
Rindu hidup di dalam kebenaran Firman Kristus, karena di dalam Firman-Nya kita mendapat akar yang kokoh sehingga dimampukan untuk tidak terombang-ambing dan berbuah bukan dengan kekuatan sendiri.