Hari ini kita akan melanjutkan sermon series kita, dan kita akan berbicara tentang "Siapa aku? Apa kata Injil?" Tema ini mungkin terdengar seperti tema untuk anak-anak muda. Saya sendiri, jujur saja, ketika menyiapkan khotbah ini, sempat merasa bahwa topik ini cocoknya untuk remaja, youth, atau retreat sekolah. Tapi ternyata, setelah direnungkan lebih dalam, pertanyaan "Siapa aku?" adalah pergumulan yang terus muncul sepanjang perjalanan iman seseorang.
Banyak orang dewasa yang bertanya-tanya, “Bagaimana masa depan keluargaku? Bagaimana aku bisa menjaga eksistensiku dalam keluarga?” Atau mereka yang sudah senior bertanya, “Kalau aku dilupakan anak-cucuku, bagaimana? Kalau aku tidak dihormati menantu, bagaimana?” Maka jelas bahwa pertanyaan ini tidak berhenti di usia tertentu. Ini adalah pertanyaan yang menyertai perjalanan hidup sampai akhir.
Sering kali kita mendengar bahwa dunia menawarkan tiga cara untuk membangun identitas diri: yang pertama, dari apa yang kita miliki; kedua, dari apa yang kita rasakan; dan ketiga, dari kebebasan untuk menentukan sendiri siapa diri kita. Tiga jalan inilah yang ditawarkan dunia dalam menavigasi identitas kita.
Namun hari ini kita akan belajar bersama dari kitab Mazmur. Yang semangat katakan, “Yes!”
BACAAN: Mazmur 8:1-10
8:1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Gitit. Mazmur Daud.
8:2 Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan.
8:3 Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam.
8:4 Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan:
8:5 apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?
8:6 Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
8:7 Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya:
8:8 kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang;
8:9 burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.
8:10 Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!
Kalau kita menengok sedikit ke latar belakang penulisan Mazmur 8 ini, ini adalah salah satu mazmur pujian Daud yang mengekspresikan kekaguman akan keagungan Tuhan dalam ciptaan. Dia memandang semesta dan alam ciptaan Tuhan dengan perspektif yang kosmologis dan agung.
Perlu diketahui bahwa pada zaman itu, bangsa-bangsa di sekitar Israel juga memiliki konsep tentang dewa-dewa pencipta langit dan bumi. Tapi Daud menegaskan secara kuat tentang monoteisme—bahwa hanya Allah satu-satunya yang layak dimuliakan dan dikagumi.
Hari ini kita akan merenungkan tiga poin utama:
SIAPAKAH AKU?
Waktu saya kelas 3 sampai kurang lebih kelas 5 SD, saya sering bertanya-tanya, “Siapa sih aku ini?” Saya merasa bingung, sedih, dan bertanya dalam hati, “Kenapa aku bisa merasakan ini? Apa orang lain juga merasakan hal yang sama?” Saat itu saya sempat berpikir cukup dalam untuk ukuran anak kecil. Bahkan saya sempat mempertanyakan eksistensi saya sendiri—semua itu terpicu setelah menonton Power Rangers. Saya sempat berpikir, “Jangan-jangan semua orang di sekitarku ini robot? Jangan-jangan aku satu-satunya manusia?”
Saya pun bertanya pada mama saya, “Mah, aku ini siapa sih? Kenapa aku hidup di dunia ini? Apakah orang lain bisa merasakan seperti yang aku rasakan?” Mama saya menjawab, “Dave, kamu itu dicintai Tuhan. Kamu itu biji mata Allah.” Saya sempat bingung. “Apa, Ma? Biji mata Allah itu apa?” Mama menjelaskan, “Itu artinya kamu sangat berharga di mata Tuhan.” Walaupun saat itu saya belum sepenuhnya mengerti, hati saya merasa tenang. Saya percaya itu adalah karya Roh Kudus. Sejak saat itu saya percaya bahwa saya berharga dan mulia di hadapan Tuhan.
Pertanyaan ini juga pernah ditanyakan oleh Daud. Ketika ia menulis Mazmur 8:4-5, ia berkata: "Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau tempatkan, apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?"
Daud memandangi langit dan semesta ciptaan Tuhan dan bertanya-tanya, “Siapa aku ini, Tuhan? Mengapa Engkau mengingatku?”
Kalau pernah ke Bromo, khususnya di Penanjakan saat malam hari, bintang dan bulan terasa begitu dekat. Saya ini, walaupun sering terlihat konyol, sebenarnya cukup melankolis. Kalau lihat gunung atau senja, saya bisa termenung. Saya bisa meneteskan air mata sambil berkata, “Tuhan, kok bisa ya Engkau menciptakan semua ini?” Rasa kagum itu begitu dalam. Daud pun mengalaminya.
Dan luar biasanya, Mazmur ini mencatat bahwa Tuhan mengingat kita. Artinya, Tuhan bukan hanya tahu, tetapi peduli, hadir, dan terlibat dalam hidup kita.
Namun kebenaran ini sering disanggah oleh para ateis. Mari kita lihat beberapa pandangan mereka:
1. Richard Dawkins mengatakan: “Alam semesta yang kita lihat memang seperti itu adanya. Tidak ada rancangan, tidak ada tujuan, tidak ada kejahatan, tidak ada kebaikan, hanya ketidakpedulian yang buta dan tanpa belas kasihan.” Bagi Dawkins, iman adalah halusinasi. Manusia hanyalah hasil evolusi acak. Kekristenan dianggap sebagai ancaman dan delusi.
2. Bertrand Russell berkata: “Manusia ada karena rangkaian sebab tanpa maksud atau tujuan. Asal-usul, harapan, dan ketakutan manusia hanyalah hasil kebetulan dari susunan atom.”
3. Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis ateis terkemuka, berkata:“Karena tidak ada Allah, manusia harus menciptakan makna dan nilai hidupnya sendiri.”
Ini adalah pandangan yang menyerang inti kekristenan. Tapi bagaimana Alkitab memandang manusia?
Alkitab tidak menyangkal bahwa manusia hadir secara fisik—dari debu tanah, unsur kimiawi. Tetapi di sisi lain, Alkitab juga mengajarkan bahwa Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam manusia. Maka manusia terdiri dari dua hal: materi (yang terlihat) dan imateri (yang tidak terlihat).
Kejadian 2:7 menuliskan: “Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.”
Jadi, lumpur bisa membentuk tubuh, tapi hanya Roh Allah yang bisa memberi manusia kemampuan untuk berpikir, merasakan, dan bermoral. Unsur imateri inilah yang tidak bisa dijelaskan hanya oleh teori evolusi.
Jika pikiran hanyalah hasil reaksi materi, mengapa kita bisa berpikir logis? Jika otak hanya sirkuit kimia, dari mana datangnya logika, kebenaran, dan moralitas?
Coba bayangkan sebuah meja. Meja ini terbuat dari materi. Tapi meski dibiarkan jutaan tahun, meja itu tidak akan bisa berpikir atau memiliki akal. Argumentasi ateis runtuh di sini.
C.S. Lewis dengan cerdas berkata: “Jika tata surya terbentuk karena tabrakan yang tidak disengaja, maka munculnya kehidupan organik di planet ini juga merupakan kebetulan. Dan jika demikian, semua pemikiran kita hanyalah hasil dari kebetulan. Maka kenapa kita harus percaya pada pikiran kita sendiri?"
Jadi, iman Kristen punya argumentasi yang kokoh. Ateis gagal menjawab dua kebutuhan dasar manusia: kebenaran dan makna moral.
Iman Kristen meyakini bahwa hidup manusia punya makna objektif karena Allah yang menetapkannya. Sedangkan ateisme mengklaim bahwa makna itu harus diciptakan sendiri.
Apa itu makna objektif? Makna objektif adalah kebenaran universal. Misalnya, pembunuhan atau pemerkosaan adalah tindakan jahat—semua orang tahu itu, tak peduli agama atau latar belakang. Itulah bukti bahwa manusia punya hati nurani, punya moralitas.
Lebih dari itu, iman Kristen mengajarkan bahwa nilai manusia tidak berubah di mata Allah, bahkan ketika gagal atau tidak berguna menurut standar dunia. Sedangkan pandangan ateis menilai manusia dari manfaat sosial, peran dalam evolusi, atau kesepakatan budaya.
Ironisnya, manusia sering menganggap bahwa iman kepada Allah adalah bentuk pelarian dari akal sehat. Tapi satu-satunya dasar yang membuat akal sehat menjadi masuk akal justru adalah iman kepada Allah.
Kita juga harus waspada terhadap yang disebut functional atheism. Apa itu? Functional atheism adalah hidup seolah-olah Tuhan tidak ada, meskipun kita percaya bahwa Tuhan itu ada.
Apa ciri-cirinya?
- Berdoa hanya saat darurat, bukan sebagai relasi dengan Tuhan.
- Mengandalkan kekuatan diri sendiri, bukan pimpinan Roh Kudus.
- Mengambil keputusan tanpa mencari kehendak Tuhan.
- Menilai sukses dari standar dunia, bukan kesetiaan kepada Allah.
- Khawatir berlebihan, seolah Tuhan tidak menyertai.
Waktu menulis bagian ini, saya pun merenung. Ini bentuk pertobatan pribadi saya. Karena dalam kenyataan, sering kali doa kita hanya muncul saat kepepet. Kita membandingkan kesuksesan dengan standar dunia. Kita khawatir seolah Tuhan tidak hadir.
Tapi hari ini kita diingatkan bahwa jika kita menaruh identitas kita pada pencapaian atau kepemilikan, maka saat kita gagal, kita merasa tidak berguna. Tapi firman Tuhan berkata hidup kita bukan kebetulan.
Kita bukan debu yang tersesat di antara galaksi. Kita bukan butiran kecil yang tenggelam di samudra kehidupan. Kita adalah ciptaan yang dikasihi, dipilih, ditebus, dan diberikan identitas baru di dalam Kristus. Amin!
Maka kita tidak perlu membuktikan diri lewat pencitraan demi validasi dan penerimaan. Kita sudah diterima Allah melalui karya salib Kristus. Kita tidak perlu mengejar makna hidup versi kita sendiri. Identitas dan makna hidup kita bukan berdasarkan performa, tetapi berdasarkan identitas baru yang diberikan Kristus.
Saya ingin kita berhenti sejenak dan berefleksi:
Renungkan ini sebagai respons atas poin pertama.
MENGAPA AKU BERHARGA DI MATA ALLAH?
Kita lihat di Mazmur 8:6 : “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” Di sini, Daud — seorang penyair sekaligus raja — meneguhkan teologi penciptaan bahwa setiap manusia, besar atau kecil, kaya atau miskin, tidak peduli status sosial, semuanya berharga di mata Tuhan. Amin?
Daud menegaskan bahwa setiap manusia diberikan kehormatan dan nilai. Identitas manusia itu unik dan sekaligus paradoks: lemah tapi mulia, tak layak tapi dimahkotai. Dengan demikian, citra diri kita bukan ditentukan oleh dunia, tetapi oleh anugerah yang menciptakan dan menebus kita. Itulah diri kita di hadapan Allah.
Jika ditelusuri lebih dalam, kata “hampir sama seperti Allah” dalam Mazmur 8:6 menggunakan istilah me’elohim. Artinya, manusia berada di posisi yang sangat tinggi — hampir setara dengan makhluk surgawi, bahkan sedikit di bawah Allah. Ini bukan melebih-lebihkan, tetapi menegaskan bahwa kita diciptakan segambar dan serupa dengan-Nya. Ada image ilahi dalam diri manusia. Bukan sekadar makhluk biologis, tetapi memiliki kemuliaan rohani.
Namun, kita perlu mengingat: manusia bukan pusat semesta. Allah-lah pusatnya. Identitas manusia seharusnya dimulai dari pengenalan akan kemuliaan Allah, bukan dari pencapaian atau eksistensi diri.
Sayangnya, dosa membuat manusia memutarbalikkan semuanya. Manusia ingin menjadi pusat. Haus akan pengakuan dan validasi. Ingin diterima, ingin diperhatikan, ingin segalanya berpusat pada “aku”.
Kalau sedang berkhotbah untuk anak-anak muda, saya sering menyebut istilah: Me, Myself, and I — semuanya tentang aku. Bahkan tren saat ini pun memperkuat sentralitas diri: iPhone, iPad, dan sebagainya. Fungsinya sama saja, tapi mereknya memberi kesan istimewa. Dunia mengajarkan bahwa nilai seseorang tergantung pada apa yang dimiliki dan dicapai.
Dosa membuat kita kehilangan fokus terhadap siapa diri kita di hadapan Tuhan. Dosa menanamkan keraguan dan keresahan:
Semua itu adalah dampak dari dosa yang menumpulkan identitas sejati kita.
Hari ini kita kembali diingatkan bahwa keberhargaan kita tidak berasal dari performa. Di lingkungan pelayanan, tema ini sangat relevan, karena kita hidup di tengah tekanan performa — entah dalam pekerjaan, pendidikan, atau relasi sosial. Segalanya seolah-olah diukur dari bagaimana orang lain memandang kita.
Tapi kebenarannya: keberhargaan manusia berasal dari kasih Allah yang memilih, mengingat, dan menebus. Amin?
Allah tidak menunggu kita layak dikasihi. Justru karena kita tidak layak, kasih-Nya datang dan melayakkan. Ini sejalan dengan Roma 5:8:“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita oleh karena Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa.” Inilah Injil. Inilah kabar baik.
Namun kenyataannya, manusia sering terjebak dalam dua ekstrem:
Saat tidak dihargai, mudah tersinggung. Saat tidak dianggap, marah. Saat tidak diingat, merasa ditolak.
Martin Luther pernah berkata, dan ini sangat memberkati saya: “Allah tidak mengasihi kita karena kita berharga. Kita menjadi berharga karena Allah mengasihi kita.” Saya pun dikuatkan oleh kebenaran ini. Tanpa kasih Kristus, kita tidak lebih dari makhluk yang layak binasa. Masa depan kita tanpa Dia hanyalah kehancuran.
Karena itu, keberhargaan kita bukan karena kita layak, tapi karena kasih-Nya yang membuat kita layak.
Mari ambil waktu untuk berefleksi:
BAGAIMANA MENGENAL TUJUAN ALLAH DALAM HIDUPKU?
Setelah mengetahui siapa diri kita dan mengapa kita berharga, kini kita melihat bahwa Tuhan tidak hanya berkata bahwa kita berharga, tetapi juga memiliki tujuan yang besar dalam hidup kita. Amin?
Di luar sana, banyak orang berkata, “Ciptakan tujuan hidupmu supaya kamu berharga.” Mereka menekankan pentingnya menetapkan target: harus begini, harus begitu. Tidak sepenuhnya salah. Namun, yang perlu dipahami adalah: dari mana tujuan itu muncul? Apa dasarnya?
Di sisi lain, ada juga pandangan yang fatalis, misalnya pepatah Jawa: "Urip mung mampir ngombe." Hidup dianggap hanya mampir minum, lalu mati — tidak perlu terlalu ambisius, cukup mengalir saja. Tapi saya suka mengatakan, yang “ngalir” di sungai itu biasanya kotoran. Jadi, jangan hanya “mengalir”. Jangan-jangan kita sedang pasrah buta, bukan berserah yang bijak.
Firman Tuhan menunjukkan bahwa manusia tidak diciptakan untuk asal hidup saja. Mari baca Mazmur 8:7: “Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya Kau letakkan di bawah kakinya.”
Artinya jelas: manusia tidak hanya mulia dan berharga, tetapi juga punya misi dan tanggung jawab — untuk menjadikan segala sesuatu lebih baik. Di mana pun kita berada, ini adalah panggilan awal manusia.
Namun, untuk memahami dan menjalani tujuan Allah, kita perlu memahami tiga hal penting — bukan 3M kampanye DBD, tapi:
1. Mengenal Allah sebagai sumber kemuliaan
Tanpa pengenalan akan Allah, segala yang kita lakukan berisiko jatuh pada narsisme. Terlihat mulia di luar, tetapi ternyata hanya ingin dipuji. Bahkan sebagai pelayan Tuhan, saya mengakui, ini dosa yang paling rentan kami alami: haus akan pengakuan.
Ciri-ciri narsisme rohani:
Pernah dengar lagu pujian lama, “Walau sana sini pusing, tetapi aku tetap tertawa”? Lagu ini seolah mengajarkan tertawa di atas penderitaan orang lain. Padahal Roma 12:15 berkata, “Menangislah dengan orang yang menangis, dan bersukacitalah dengan orang yang bersukacita.”
Kita sering menyangka sedang menjalani tujuan hidup, padahal sedang menegakkan ego sendiri.Mengenal kebesaran Allah membuat kita rendah hati. Saat kita tahu siapa Allah, kita akan berkata, “Tuhan, aku bukan siapa-siapa, tetapi aku bersyukur Engkau mengikutsertakanku dalam rencana-Mu yang mulia.” Maka, dipuji tidak sombong, dihina tidak tumbang.
2. Menerima identitas dalam Kristus sebagai gambar-Nya
Tim Keller pernah berkata: “Identitas Kristen tidak dibentuk oleh pencapaian, tetapi diterima dari kasih Allah di dalam Kristus.”
Tanpa kesadaran ini, kita mudah terjebak dalam pembuktian diri dan pencitraan, bukan hidup dalam anugerah. Kita lupa bahwa panggilan dan utusan Tuhan bukan tentang kita, tapi tentang Allah yang berkarya melalui kita.
3. Menjalani hidup sebagai wakil Allah
Menjadi wakil Tuhan artinya:
Namun faktanya, kita sering tergoda untuk menguasai — orang lain, sumber daya, bahkan situasi. Kita ingin semua memuaskan diri kita. Bahkan dalam pelayanan pun, kita bisa mencari otoritas bukan untuk mewakili Allah, tapi untuk menggantikan peran-Nya.
Contohnya? Pernah dengar orang berkata, “Tuhan bicara bahwa kamu harus kasih asetmu ke saya”? Atau, “Kamu baru jual tanah ya? Jangan lupa perpuluhan ke gereja.” Itu bukan suara Roh Kudus. Itu manipulasi. Itu roh lain. Tengking dalam nama Yesus.
Kita perlu mengoreksi hati. Apakah kita sedang mewakili Allah atau malah menggantikan-Nya?
Karena sering kali, kita gagal:
Akibatnya:
Tapi puji Tuhan, kasih-Nya lebih besar daripada dosa-dosa kita. Amin?
Mari buka Ibrani 2:6–9. Ini kutipan langsung dari Mazmur 8:
“Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya, atau anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya sedikit lebih rendah daripada malaikat-malaikat dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat...”
Dan ayat 9 kita baca bersama:
“Tetapi Dia, untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah daripada malaikat-malaikat, yaitu Yesus, yang oleh karena penderitaan maut dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi semua manusia.”
Yesus adalah penggenapan sempurna dari gambaran manusia di Mazmur 8.
Yesus rela dimahkotai duri, supaya kita dimahkotai kemuliaan.
Yesus rela menjadi rendah, supaya yang merasa rendah diangkat dan diberi identitas baru.
Yesus rela taat sepenuhnya, supaya kita dimampukan untuk taat dan menjadi wakil-Nya.
Saat ini, mari merenung sejenak:
Mari refleksikan. Orang yang hidup berpusat pada Injil tahu bahwa: