Kepastian Di Tengah Keraguan

KEBENARAN INJIL UNTUK PERGUMULAN MASA KINI – WEEK 4 "Kepastian di Tengah Keraguan" 

Ps. Lius Erik

Kita masih berada dalam sermon series Kebenaran Injil untuk Pergumulan Masa Kini. Dan minggu ini kita telah memasuki minggu keempat. Judul khotbah untuk firman Tuhan hari ini adalah "Kepastian di Tengah Keraguan", dengan ayat perenungan dari Mazmur 14:1–7.

Bacaan: Mazmur 14:1-7

14:1 Untuk pemimpin biduan. Dari Daud. Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada Allah." Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik. 

14:2 TUHAN memandang ke bawah dari sorga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah. 

14:3 Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak. 

14:4 Tidak sadarkah semua orang yang melakukan kejahatan, yang memakan habis umat-Ku seperti memakan roti, dan yang tidak berseru kepada TUHAN? 

14:5 Di sanalah mereka ditimpa kekejutan yang besar, sebab Allah menyertai angkatan yang benar. 

14:6 Kamu dapat mengolok-olok maksud orang yang tertindas, tetapi TUHAN adalah tempat perlindungannya. 

14:7 Ya, datanglah kiranya dari Sion keselamatan bagi Israel! Apabila TUHAN memulihkan keadaan umat-Nya, maka Yakub akan bersorak-sorak, Israel akan bersukacita.

Pada awal 1900-an, sebuah buletin di Inggris pernah mengajukan pertanyaan kepada sejumlah penulis dan pemikir besar pada masa itu. Pertanyaannya sederhana namun dalam: “What is wrong with the world?” Apa yang salah dengan dunia ini?

Dari banyak jawaban yang masuk, salah satu yang paling mengejutkan datang dari seorang penulis dan filsuf Kristen bernama G.K. Chesterton. Ia memberikan jawaban yang sangat singkat: “I am.”Saya.

Jawaban ini, meskipun singkat, memiliki makna yang dalam. Chesterton tidak sedang mengatakan bahwa dialah satu-satunya penyebab kekacauan dunia, tetapi ia menyampaikan sebuah kebenaran dengan kerendahan hati: kekacauan dunia ini bukan terutama berasal dari faktor luar, tetapi dari hati manusia yang telah tercemar oleh dosa.

Kalau kita melihat dengan jujur dunia saat ini, kita akan menyadari bahwa kita hidup dalam dunia yang penuh kegelisahan dan kekacauan. Krisis terjadi di mana-mana. Bukan hanya krisis politik atau ekonomi, tapi juga krisis identitas, moral, dan nilai-nilai hidup. Perang masih berlangsung. Kekerasan dan ketidakadilan menjadi berita harian. Kasih manusia semakin dingin. Banyak kehilangan arah dan harapan.

Di balik semua itu, manusia tetap berusaha mencari pegangan—kepastian. Mencari sesuatu yang kokoh. Tapi pencarian itu sering kali salah arah. Kepastian dicari dalam hal duniawi: kekuasaan, pencapaian, relasi, bahkan aktivitas keagamaan. Tapi semua itu hanya memberikan rasa aman sementara. Kepastian dunia ternyata tidak bertahan lama dan hanya meninggalkan kehampaan.

Mengapa demikian? Karena masalahnya bukan di luar, tapi di dalam. Masalah terbesar dunia ini bukanlah kekacauan eksternal, melainkan kehancuran internal: hati manusia yang berdosa. Dosa telah mencemari hati manusia sejak kejatuhan di Taman Eden. Manusia lebih mencintai diri daripada Tuhan. Akibatnya, banyak kehilangan arah dan kepercayaan kepada Pencipta.

Banyak orang mengaku percaya, tapi hidup seakan Tuhan tidak ada. Lebih menyedihkan, ada pula yang bukan hanya melupakan Tuhan, tapi mulai meragukan dan bahkan menolak-Nya. Dosa membutakan manusia bukan hanya dari jalan Tuhan, tapi juga dari kehadiran-Nya yang sebenarnya tidak jauh.

Kondisi hati seperti ini—keraguan, penolakan, kehancuran—bukan hal baru. Mazmur 14 menggambarkan realitas ini dengan sangat jelas. Di bagian awal ini, kita melihat kebobrokan manusia akibat dosa. Mazmur 14 tidak menyebutkan secara eksplisit kapan Daud menulisnya atau latar peristiwa spesifiknya. Tapi jelas, situasi zaman Daud tidak jauh berbeda dengan kita sekarang. Ia menyaksikan kehancuran hati manusia. Orang hidup semaunya, meremehkan dosa, memutarbalikkan kebenaran, menjauh dari Tuhan.

Sering kali, ketika membaca Mazmur ini, terjadi kesalahpahaman. Banyak yang mengira bahwa "orang bebal" di sini adalah mereka yang terang-terangan tidak percaya Tuhan—ateis. Saya juga dulu berpikir demikian. Ayat pertama—“Orang bebal berkata: tidak ada Allah”—langsung terasa ditujukan pada orang ateis. Lalu, saat membaca ayat keempat tentang umat Tuhan yang tertindas, saya merasa ayat itu lebih relevan buat diri saya, sebagai umat Tuhan.

Namun, kenyataannya, kita juga termasuk orang bebal yang dimaksud Daud. Mengapa? Karena akibat dosa, seluruh manusia telah tercemar dan memberontak kepada Tuhan. James Johnston dalam bukunya mengatakan: Mazmur 14 adalah bagian penting dalam Alkitab yang mengajarkan bahwa seluruh umat manusia telah dirusak oleh dosa. Setiap kita telah memberontak terhadap Tuhan.

Kata "bebal" dalam terjemahan lain juga berarti “bodoh”, dan dalam versi Inggris disebut “fool”. Tapi ini bukan soal intelektual. Seseorang yang sangat cerdas pun bisa menjadi orang bebal. Kebebalan yang dimaksud adalah dalam hal moral dan spiritual. Dalam bahasa Ibrani, kata yang digunakan adalah “nabal”, yang berarti bodoh, bejat, atau tidak bermoral.

Ayat pertama berkata: “Orang bebal berkata dalam hatinya: tidak ada Allah.” Dalam bahasa Inggris biasanya diterjemahkan: “There is no God.” Namun dalam bahasa Ibrani aslinya, frasa tersebut lebih tepat diterjemahkan sebagai: “No God.” Perbedaannya signifikan. “There is no God” adalah pernyataan logis—seperti seorang ateis yang menolak eksistensi Tuhan. Tapi “No God” adalah seruan dari hati—sikap hati yang berkata, “Tuhan tidak relevan bagiku,” atau, “Aku tidak peduli pada Tuhan.”

Jadi, ini bukan cuma soal apa yang diyakini seseorang, tapi soal bagaimana ia hidup. Orang bebal bisa saja percaya bahwa Tuhan itu ada, namun hidupnya tidak mencerminkan itu. Ia hidup tanpa takut akan Tuhan, tanpa bersandar pada-Nya, tanpa tunduk pada otoritas-Nya.

Kesimpulannya: orang bebal bukan hanya mereka yang menyangkal Tuhan secara eksplisit, tapi juga mereka yang mengaku percaya, namun hidup seolah Tuhan tidak ada. Kita mungkin berkata di mulut, “Saya percaya Tuhan,” tapi hidup kita berkata, “No God.” Hidup tanpa takut, tanpa bergantung, tanpa tunduk pada firman.

Daud melanjutkan dengan mengatakan bahwa perbuatan orang bebal itu busuk dan menjijikkan. Tuhan, di ayat berikutnya, digambarkan seperti memeriksa dunia dari surga, mencari apakah ada yang benar. Dan kesimpulannya: tidak ada satu pun.

ESV Gospel Transformation Bible menyimpulkan bagian ini dengan kalimat: Meskipun tidak semua orang mengaku ateis, semua orang mempraktikkannya pada tingkat tertentu dengan menolak berbuat baik atau mencari Tuhan seolah-olah Dia tidak ada. Ini kesimpulan penting: orang bebal adalah semua orang yang hidup seolah Tuhan tidak ada—termasuk saya dan kamu. Kita bisa saja mengaku percaya, tapi menjalani hidup tanpa ketakutan akan Tuhan, tanpa tunduk, tanpa kebergantungan.

Firman hari ini mungkin terasa tidak nyaman. Karena pada dasarnya, manusia tidak suka dihadapkan pada kenyataan tentang diri sendiri yang berdosa. Kita cenderung menghindar. Seperti orang sakit yang enggan pergi ke dokter karena takut mendengar hasil diagnosis.

Saya teringat pengalaman tiga bulan lalu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya dirawat inap dan harus menjalani endoskopi. Diagnosanya: batu ginjal. Dokter berkata, saya adalah seorang stoneformer—manusia penghasil batu. Nama julukan yang cukup keren, ya. Tapi yang lebih mengejutkan, dokter berkata bahwa sekali kena batu ginjal, kemungkinan akan kena lagi. Saya kaget. Dan lebih kaget lagi saat dia menyebut daftar makanan yang harus dihindari—semuanya makanan favorit saya. Itu menyakitkan. Tapi istri saya senang, karena dia sering menasehati saya sebelumnya, dan saya keras kepala. Mungkin banyak istri di sini bisa relate, ya—kadang harus menunggu dokter untuk menjamah hati suaminya.

Intinya adalah, kita sering kali tidak suka realita yang menyakitkan. Kita menolak kebenaran yang tidak nyaman. Tapi bagian ini dari firman Tuhan tidak bisa dilewati begitu saja. Ini bagian penting. Bahkan, isi Mazmur 14 ini diulang lagi di Mazmur 53 dengan hanya sedikit perbedaan.

Kita tahu bahwa seluruh isi Alkitab, firman Tuhan, adalah penting. Namun ada sesuatu yang sangat menonjol ketika suatu bagian firman disampaikan lebih dari sekali. Terkait pengulangan ini, James Montgomery Boice mengatakan, “Apa pun yang Tuhan katakan sekali, menuntut perhatian kita. Apa pun yang Ia katakan dua kali, menuntut perhatian lebih.” Dengan kata lain, kita tidak bisa melewatkan Mazmur 14 begitu saja, karena ini adalah sesuatu yang sangat penting.

Coba bayangkan seandainya Mazmur 14 ditulis Daud saat ia masih muda—misalnya usia 30 tahun—dan puluhan tahun kemudian, ia menulis Mazmur 53 di usia 60 tahun. Apa yang bisa disimpulkan? Bahwa Daud melihat hal yang sama tidak berubah sejak muda sampai tua: kebebalan hati manusia.

Sebenarnya, bagian ini tidak hanya muncul dua kali. Sekitar seribu tahun kemudian, Paulus kembali menyampaikannya dalam suratnya kepada jemaat di Roma. Ia mengutip Mazmur ini dan menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun manusia yang benar, semua telah berdosa di hadapan Tuhan. Kalau saja penulisan Alkitab masih berlanjut sampai hari ini, besar kemungkinan bagian seperti Mazmur 14 akan terus diulang. Karena kenyataannya, kebebalan hati manusia masih nyata—dan mungkin terus ada hingga Tuhan datang kembali.

Inilah akibat dosa. Bukan sekadar masalah orang lain atau zaman, tetapi cermin yang sedang Tuhan sodorkan ke hadapan kita hari ini. Mungkin ada yang bertanya, “Kapan saya berkata ‘No God’?” “Saya tidak melakukan kejahatan seperti yang tertulis di Mazmur 14—busuk dan jijik perbuatan mereka. Saya tidak melakukan hal seperti itu.”

Perlu disadari bahwa kebebalan menurut Alkitab bukan soal tindakan yang kelihatan, melainkan soal hati. Di Mazmur 14:1 dikatakan, “Orang bebal berkata dalam hatinya,” bukan di mulutnya. Dosa telah mencemari hati. Firman Tuhan dalam Yeremia 17:9 berkata, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari segala sesuatu, hatinya sudah membatu. Siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Salah satu akibat dari hati yang tercemar adalah kecenderungan menilai segala sesuatu berdasarkan perbuatan. Relasi dengan Tuhan pun menjadi transaksional. Saat kita melakukan satu perbuatan baik, kita langsung merasa sudah menjadi orang baik. Ketika tidak melakukan dosa besar, kita merasa benar. Saat mendengar orang lain jatuh dalam dosa besar, kita mungkin marah terhadap dosanya, tapi juga merasa lebih baik dari mereka.

Saya pernah mendengar kisah seorang suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga, lalu meninggalkan istrinya begitu saja. Saat mendengarnya, saya sangat marah terhadap perbuatannya. Tapi jujur, hati saya yang rusak ini sempat berkata, “Saya lebih baik daripada dia. Saya tidak melakukan hal seperti itu.”

Bukankah itu kecenderungan hati manusia?

Pernah dengar nama Hans Christian Andersen? Ia bukan jemaat gereja ini, jadi tidak perlu tengok-tengok, ya. Ia adalah seorang penulis dongeng anak-anak terkenal. Jika masa kecilmu cukup bahagia, mungkin kamu pernah mendengar salah satu ceritanya yang sangat populer: Pakaian Baru Kaisar.

Begini kisahnya. Pada zaman dahulu, ada seorang kaisar yang sangat mencintai pakaian. Ia sangat memikirkan bagaimana bisa tampil menarik di hadapan rakyatnya. Suatu hari, dua penipu datang dan berkata, “Kami akan membuatkan pakaian yang sangat indah, bahkan ajaib. Karena pakaian ini hanya dapat dilihat oleh orang yang berhati baik dan bijaksana.”

Sang kaisar tertarik dan menyuruh mereka membuatnya. Penipu itu lalu berpura-pura menenun pakaian, padahal mereka tidak membuat apa-apa. Kaisar menyuruh anak buahnya mengecek, dan tentu saja mereka tidak melihat apa pun. Tapi karena takut dianggap bodoh, mereka semua berkata, “Keren, Kaisar.” Sampai akhirnya kaisar sendiri mengecek, tidak melihat apa-apa, tapi tetap berkata, “Bagus, saya mau pakai.” Dan tibalah hari yang dinantikan. Sang kaisar berjalan di hadapan rakyatnya tanpa pakaian. Semua rakyat pura-pura terpesona, sampai ada seorang anak kecil yang berseru, “Dia telanjang!”

Demikian kisahnya.

Sama seperti kaisar yang percaya diri padahal telanjang, demikian pula manusia berdosa yang merasa diri baik berdasarkan perbuatan. Mereka mengandalkan “pakaian” agama, tradisi, dan moralitas—padahal semua itu tak bisa menutupi ketelanjangan mereka di hadapan Allah yang kudus.

Inilah yang ditegaskan Paulus dalam Roma 3 ketika mengutip Mazmur 14: Tidak ada seorang pun yang benar. Tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Tidak ada seorang pun yang melakukan yang baik. Mengapa Paulus mengatakan ini kepada jemaat di Roma? Karena ia sedang “menelanjangi” orang Yahudi yang merasa diri benar karena merasa sebagai umat pilihan, menjalankan hukum Taurat, dan beragama. Paulus ingin menekankan bahwa standar Allah bukan hanya perbuatan lahiriah, melainkan kesucian hati yang benar-benar mencari Allah.

Bahkan seorang penyair Rusia bernama Turgenev yang tidak mengenal Tuhan pun menyadari ini. Ia berkata: “Saya tidak tahu seperti apa hati orang jahat, tapi saya tahu seperti apa hati orang baik, dan itu mengerikan.” Artinya, bahkan hati orang “terbaik” sekalipun tetap menyimpan kejahatan yang mengerikan.

Inilah yang sering luput dari perhatian kita. Tanpa sadar, kita bisa menjadi orang bebal. Bukan karena terang-terangan menolak Tuhan, tapi karena hidup seolah tidak membutuhkan-Nya. Kita merasa cukup baik karena perbuatan, padahal hati kita jauh dari Dia.

Mungkin ada yang berpikir, “Kapan saya berkata ‘No God’? Saya ini Kristen sejak lahir. Saya aktif di gereja, rajin berdoa, melayani, ikut komunitas. Rasanya tidak mungkin saya mengabaikan Tuhan.” Coba ubah pertanyaannya. “Apakah saya percaya kepada Tuhan dengan sepenuh hati?”

Pertanyaan ini membutuhkan waktu lebih lama untuk dijawab. Karena percaya kepada Tuhan sepenuh hati bukan soal hadir di gereja atau aktif pelayanan, tapi soal mengandalkan Tuhan sepenuhnya dalam setiap aspek hidup.

Masalah banyak orang percaya bukan karena tidak percaya Tuhan—semua datang ke gereja, melayani, berdoa. Tapi masalahnya adalah tidak percaya dengan sepenuh hati. Dan itu terlihat dari tindakan yang bertentangan dengan apa yang diucapkan. Kita berkata percaya sepenuh hati, tapi dalam praktik, kita masih mengandalkan pemikiran sendiri, logika sendiri, atau kemampuan sendiri—dalam bisnis, pekerjaan, mendidik anak, menghadapi pergumulan, bahkan dalam pelayanan.

Amsal 3:5 berkata, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.” Artinya, ketika tidak percaya dengan segenap hati, sebenarnya kita sedang meragukan Tuhan. Kita sedang menaruh kepercayaan kepada sesuatu yang lain: pada diri sendiri, pemikiran, logika, atau hal-hal duniawi.

Seorang hamba Tuhan, Horatius Bonar, berkata: “Di dalam setiap ketidakpercayaan ada dua hal: pandangan yang tinggi tentang diri sendiri, dan pandangan yang rendah tentang Tuhan.” Setiap kali tidak percaya, tidak taat, atau meragukan Tuhan, kita sedang berkata dalam hati, “Saya tahu yang terbaik untuk diri saya.”

Timothy Keller dalam khotbahnya tentang Mazmur 14 juga mengatakan, “Jika kamu tidak bisa percaya kepada Tuhan, itu karena hatimu sudah menaruh kepercayaan pada sesuatu yang lain—seorang pesaing, seorang rival.” Masalah terbesar kita bukan bahwa kita tidak percaya Tuhan, tapi kita tidak sungguh-sungguh bersandar kepada-Nya. Kita bisa aktif secara lahiriah, tapi hati sedang bergantung pada hal lain.

Dan saat itu terjadi, tanpa sadar kita sedang berkata di dalam hati, “No God.”

Bagian ini mengingatkan: kitalah orang bebal itu. Bukan karena menolak Tuhan terang-terangan, tapi karena hidup seolah Tuhan tidak ada. Kita berkata percaya, tapi bersandar pada kekuatan sendiri. Kita mengakui Tuhan berdaulat, tapi mengabaikan-Nya dalam keputusan sehari-hari. Kita datang beribadah, tapi dalam kehidupan nyata, kita kesampingkan Tuhan.

Intinya: setiap kali kita tidak percaya kepada Tuhan dengan sepenuh hati, kita sedang berkata dalam hati, “No God.”

Cukupkah kita rendah hati untuk mengakui dan berkata seperti G.K. Chesterton: “I am the problem, Lord.”  Sayalah masalahnya. Sayalah penyebab kekacauan yang terjadi.

Karena hanya ketika kita menyadari betapa hancur dan bobroknya hati kita, barulah kita bisa sungguh mengerti betapa indah dan berharganya kasih karunia Tuhan dalam hidup ini. Dan inilah yang akan kita lihat di bagian berikutnya.

Dalam bagian selanjutnya dari Mazmur 14, kita melihat kenyataan bahwa manusia semakin jahat. Namun, di tengah kebobrokan itu, kita juga menemukan satu kejutan besar: kasih karunia Allah bagi umat-Nya. Setelah bagian awal menunjukkan kondisi manusia yang rusak total, ayat 4 sampai 6 kembali menegaskan hal itu. Tetapi tiba-tiba muncul sebuah kalimat yang mengandung harapan besar—Tuhan berkata: “Umat-Ku.”

Pernyataan ini mengejutkan. Setelah semua orang dinyatakan telah menolak Allah, kita mungkin berpikir bahwa tidak ada lagi yang tersisa. Namun, Tuhan tetap menyebut ada “umat-Ku.” Dari mana datangnya umat Tuhan ini? Bukankah mereka juga termasuk dalam kelompok orang-orang berdosa itu? Benar. Mereka pun dulunya bebal, tidak mencari Allah. Tapi di sinilah kita melihat kasih karunia yang luar biasa: bukan manusia yang mencari Allah, melainkan Allah yang datang kepada manusia.

Seperti yang Paulus tulis dalam Roma 5:6–8: “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka… Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa.” Kita adalah orang-orang durhaka yang dimaksud. Dan kita diselamatkan bukan karena siapa kita, atau apa yang kita lakukan, melainkan semata-mata karena kasih karunia. Itu menjadi penghiburan sekaligus peringatan. Jika hari ini kita adalah umat Tuhan, itu bukan karena kita lebih baik dari dunia, tetapi karena kasih-Nya jauh lebih besar daripada dosa kita.

Namun menjadi umat Tuhan bukan berarti hidup tanpa tantangan. Justru sebaliknya. Kita hidup di tengah dunia yang menolak Allah dan berkata “No God.” Seperti dikatakan dalam ayat 4: “Mereka memakan umat-Ku seperti memakan roti.”

Roti pada zaman Daud adalah makanan pokok. Artinya, menyakiti umat Tuhan adalah hal yang biasa bagi dunia—dilakukan tanpa rasa bersalah, tanpa takut. Mungkin saat ini kita pun merasakan itu. Berusaha hidup setia di tempat kerja, tapi justru difitnah atau dijauhi. Berusaha jujur, tapi dianggap aneh. Atau saat tetap setia dalam iman, malah diejek, bahkan oleh lingkungan terdekat.

Kita sadar: kita ini dulu orang bebal, orang yang hidup tanpa Tuhan. Tapi kasih karunia-Nya menyelamatkan kita, bukan karena kita layak, tapi karena Dia penuh belas kasih. Kita diangkat menjadi umat-Nya, milik kepunyaan-Nya. Namun sebagai umat-Nya, kita hidup di tengah dunia yang terus menolak Allah. Dunia akan terus mencoba “memakan” kita. Pertanyaannya: bagaimana kita merespons?

Apakah kita akan marah terhadap dunia? Menjadi iri karena orang fasik hidupnya tampak lebih nyaman? Atau bahkan menyerah dan memilih untuk kompromi agar tidak “dimakan”?

Atau sebaliknya, kita memilih untuk terus mengingat siapa diri kita—orang bebal yang diselamatkan hanya karena kasih karunia. Dan karena itu, kita mau menanggapi dunia bukan dengan kepahitan, tapi dengan kesetiaan.

Ayat 5 dan 6 memberikan sebuah janji penghiburan: Tuhan sendiri menyertai umat-Nya. Dia menjadi perlindungan mereka. Ini bukan sekadar janji manis, tetapi jaminan nyata dari Allah yang hidup.

Bayangkan seorang anak kecil yang ketakutan masuk sekolah untuk pertama kalinya. Tapi ketika orang tuanya memeluk dan berkata, “Tenang, kami ada di sini bersamamu,” hati anak itu menjadi tenang. Atau rakyat yang panik karena peperangan, lalu mendengar pemimpinnya berkata, “Aku bersamamu.” Itu membawa ketenangan.

Demikian pula Tuhan berkata kepada umat-Nya: “Aku beserta engkau. Jangan takut. Aku akan menjadi perlindunganmu.” Apa yang lebih menenangkan daripada janji ini? Bahwa Allah pencipta langit dan bumi menyertai kita? Kasih karunia-Nya tidak hanya menyelamatkan kita, tapi menopang dan melindungi kita setiap hari. Ini memberikan pengharapan, bukan pengharapan semu, tapi pengharapan yang pasti—karena berakar dalam pribadi Kristus.

Dan di ayat 7, Daud berseru: “Ya, datanglah kiranya dari Sion keselamatan bagi Israel! Apabila Tuhan memulihkan keadaan umat-Nya, maka Yakub akan bersorak-sorak, Israel akan bersukacita.” Sion adalah simbol hadirat Allah, tempat di mana Dia berdiam di tengah umat-Nya. Maka seruan Daud adalah permohonan agar Allah sendiri turun tangan dan menyelamatkan. Dan kita tahu, Allah menjawab seruan itu dengan cara yang melampaui bayangan manusia: Ia mengutus Anak-Nya, Yesus Kristus, turun ke dunia.

Yesus menggenapi seruan Daud ini. Zakaria sudah menubuatkan kedatangan Raja yang lemah lembut. Dan dalam Matius 21:5 dikatakan, “Katakanlah kepada putri Sion, lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai…” Yesus masuk ke Yerusalem bukan dengan pasukan, tapi dengan kerendahan hati. Ia disambut dengan sorak-sorai: “Hosana bagi Anak Daud!” Tapi tidak lama kemudian, suara yang sama berbalik menjadi teriakan: “Salibkan Dia!”

Di sinilah kita melihat paradoks dari keselamatan sejati. Sang Raja datang bukan untuk berkuasa dengan cara dunia, tapi untuk menyerahkan diri di salib—simbol kebodohan dan kehinaan di mata dunia. Dunia menginginkan kemuliaan tanpa penderitaan, keselamatan tanpa pertobatan, pengampunan tanpa salib. Tapi Allah menunjukkan bahwa keselamatan sejati hanya datang melalui salib.

Di salib itulah, Yesus yang layak dimuliakan, rela dianggap bebal. Ia yang kudus, rela menanggung dosa. Ia yang pantas disembah, justru dihina dan disalibkan.

Tampak hina, tapi di sanalah rencana keselamatan Allah tergenapi. Di salib itulah kepastian keselamatan kita diletakkan. Di salib, kita yang bebal diubahkan menjadi anak-anak terang. Kita yang seharusnya binasa, justru diselamatkan. Dan kita yang berkata “No God,” justru dipanggil untuk mengenal-Nya dan hidup dalam kasih karunia-Nya.

Keselamatan dari Sion ini bukan janji yang jauh dan abstrak. Ini adalah janji yang nyata dan telah digenapi di dalam Kristus. Kita yang dahulu hidup terpisah dari kasih dan kebenaran Allah, kini dipanggil keluar dari kegelapan untuk hidup dalam terang kasih-Nya.

PERTANYAAN REFLEKTIF

Apakah ada bagian dalam hidup saya yang masih terus menolak Allah, baik dalam pikiran, keputusan, atau kebiasaan sehari-hari?

Apakah dalam rutinitas, pekerjaan, atau relasi, saya benar-benar mencerminkan hidup yang dipimpin oleh iman kepada Kristus?

Apakah saya hidup setiap hari dengan kesadaran penuh bahwa saya diselamatkan bukan karena layak, tetapi karena kasih karunia Kristus?

ORANG BERINJIL

Senantiasa bersyukur karena menyadari bahwa kita adalah orang-orang yang diselamatkan semata-mata karena kasih karunia, bukan karena usaha kita

Rindu untuk membagikan kabar keselamatan dengan rendah hati dan penuh kasih di tengah dunia yang berkata “tidak ada Allah”

Senantiasa bersandar pada Kristus sebagai sumber kepastian dan kekuatan sejati dalam kehidupan