Call To Worship

LITURGI WEEK 1 "Call to Worship" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Kita sedang berada dalam rangkaian khotbah berseri yang baru, topiknya adalah liturgi—bagaimana Injil menjadi pusatnya. Banyak orang mengira liturgi itu tidak lebih dari sebuah rundown acara. Bahkan ada yang berpikir, “Tidak apa-apa kalau firman belum mulai, ini masih puji-pujian, masih ada waktu.” Seakan-akan saat puji-pujian hanya seperti menunggu film utama di bioskop, sementara yang berjalan hanyalah bagian ekstra. Maka orang bisa berkata, “Oh, ini masih puji-pujian, masih katekismus, dan lain-lain.”

Bahkan saat mengikuti ibadah secara online, ketika bagian pujian berlangsung, ada yang masih santai makan soto atau melakukan hal lain sambil menunggu khotbah dimulai. Baru setelah firman disampaikan, barulah serius duduk memperhatikan. Saya tidak sedang menyindir siapa pun, tetapi kenyataan ini memang sering terjadi di antara kita.

Hari ini kita akan membahas betapa pentingnya liturgi, khususnya bagian pertama yaitu call to worship—panggilan untuk beribadah. Apa artinya dipanggil untuk menyembah? Apakah sekadar ajakan bernyanyi, atau ada sesuatu yang lebih dalam? 

Bacaan: Mazmur 147:1-3,10-12,18-20

147:1 Haleluya! Sungguh, bermazmur bagi Allah kita itu baik, bahkan indah, dan layaklah memuji-muji itu. 

147:2 TUHAN membangun Yerusalem, Ia mengumpulkan orang-orang Israel yang tercerai-berai; 

147:3 Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka; 

147:10 Ia tidak suka kepada kegagahan kuda, Ia tidak senang kepada kaki laki-laki; 

147:11 TUHAN senang kepada orang-orang yang takut akan Dia, kepada orang-orang yang berharap akan kasih setia-Nya. 

147:12 Megahkanlah TUHAN, hai Yerusalem, pujilah Allahmu, hai Sion! 

147:18 Ia menyampaikan firman-Nya, lalu mencairkan semuanya, Ia meniupkan angin-Nya, maka air mengalir. 

147:19 Ia memberitakan firman-Nya kepada Yakub, ketetapan-ketetapan-Nya dan hukum-hukum-Nya kepada Israel. 

147:20 Ia tidak berbuat demikian kepada segala bangsa, dan hukum-hukum-Nya tidak mereka kenal. Haleluya!

Ada yang menganggap liturgi berbahaya karena bisa menghalangi pekerjaan Roh Kudus. Ada pula yang menilainya membosankan karena hanya tradisi kuno. Sebaliknya, ada yang memandang liturgi penting karena memuridkan, membentuk, dan memberi struktur esensial dalam ibadah. Spektrum pandangan tentang liturgi memang luas.

Firman Tuhan banyak berbicara tentang liturgi. Kolose 3:16 menuliskan: “Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu… sambil menyanyikan mazmur, puji-pujian, dan nyanyian rohani; dan sambil mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.” Ada mengajar, menegur, menyanyi, memuji, dan mengucap syukur. Artinya, liturgi esensial dalam ibadah. Perkataan Kristus berdiam bukan hanya lewat khotbah, tetapi juga melalui nyanyian, doa, dan berkat penutup. Semua itu membentuk kehidupan rohani.

Menyanyi bukan sekadar mengekspresikan emosi. Ada yang berkata, “Saya suka menyanyi karena bisa menyalurkan perasaan, tapi kurang cocok dengan lagu di sini.” Namun tujuan nyanyian bukan kepuasan diri, melainkan penyembahan kepada Tuhan. Saat kita menyembah, hati dibentuk dan iman diperdalam. Karena itu setiap lagu, doa, dan bagian liturgi memiliki makna rohani yang mendalam. Liturgi bukan urutan acara yang kaku, melainkan sarana Allah menanamkan Injil. Pemuridan berlangsung dari awal hingga akhir ibadah, bukan hanya melalui khotbah.

James K.A. Smith dalam You Are What You Love menulis: ibadah Kristen adalah kontra-formasi terhadap liturgi dunia yang setiap hari membentuk kita. Sejak pagi kita dibombardir berita, media sosial, algoritma, bahkan percakapan sehari-hari—semua itu “berkhotbah” tentang hidup yang baik. Bandingkan dengan ibadah yang hanya 52 kali setahun, sering pula terlewat. Karena itu ibadah adalah jantung pemuridan. Hati tidak dikalibrasi ulang hanya lewat pengetahuan, melainkan melalui kebiasaan liturgis yang menyentuh hati.

Setiap gereja pasti memiliki liturgi, sadar atau tidak. Pertanyaannya: apakah liturgi kita berakar pada firman Tuhan, atau sekadar mengikuti preferensi dan budaya? Liturgi tidak bisa dihindari; yang penting adalah melakukannya dengan benar.

Alkitab memberi pola. Dalam Keluaran 3, Musa dipanggil Allah (call to worship), disadarkan akan dosa (confession), menerima firman, merespons, lalu diutus (benediction). Pola serupa tampak di Gunung Sinai (Kel 19-24) maupun penglihatan Yesaya (Yes 6): panggilan, pengakuan dosa, berita anugerah, respon, dan pengutusan. Bahkan dalam metanarasi Alkitab pun ada alur yang mirip: penciptaan (creation), kejatuhan dalam dosa (fall into sin), penebusan oleh anugerah (redemption by grace), pemulihan (restoration).

Jadi liturgi bukan ciptaan manusia semata, melainkan pola ilahi yang berulang dari awal hingga akhir Alkitab.

Hari ini kita hanya akan fokus pada bagian pertama: call to worship. Ada empat hal yang akan kita lihat: apa, mengapa, bagaimana, dan kapan. Apa itu panggilan beribadah, mengapa kita dipanggil, bagaimana panggilan itu terjadi, dan kapan panggilan itu berlangsung.

         1.KITA DIPANGGIL UNTUK MELAKUKAN APA?

Kita dipanggil untuk melakukan apa sebenarnya? Mazmur 147 tadi membuka dengan kata “Haleluya.” Kata ini bukan sekadar salam, bukan juga semacam yel-yel yang diteriakkan. “Haleluya” adalah panggilan untuk menyembah. Kata itu sendiri adalah call to worship.

“Haleluya” berasal dari dua kata: halal dan Yah. Halal berarti bermegah, berbangga, atau bersandar. Identitas seseorang berdiri di atas apa yang ia megahkan. Sedangkan Yah adalah singkatan dari Yahwe, Allah perjanjian, Allah yang setia. Jadi ketika kita mengucapkan “haleluya,” artinya kita sedang menerima panggilan untuk berhenti bermegah pada hal-hal lain, dan mengalihkan kemegahan itu hanya kepada Tuhan.

Dunia setiap hari berkhotbah kepada kita: kamu berharga kalau kaya, kamu berarti kalau punya prestasi, kamu somebody kalau berhasil. Semua itu fana. Ketika orang bermegah pada hal-hal itu, akhirnya hanya kecewa. Karena itu panggilan liturgi berkata: haleluya. Bermegahlah bukan pada yang sementara dan bisa binasa, tetapi bermegahlah hanya pada Tuhan.

Mengapa hal ini penting? Karena setiap manusia pasti bermegah dalam sesuatu. Semua orang membutuhkan sesuatu untuk merasa berarti. Kita semua menginginkan makna hidup. Banyak orang berpikir, “Aku berharga kalau punya uang, kalau sukses.” Ada juga yang bermegah pada relasi: “Aku berharga karena aku dicintai.” Tapi apakah orang yang mencintai kita akan selalu setia? Mereka pun manusia yang berdosa. Itu sebabnya gereja punya semboyan: bukan tempat untuk orang sempurna, karena kita semua tidak sempurna.

Ada juga yang bermegah pada moralitas: “Aku orang baik. Aku lebih baik daripada dia.” Jadi pertanyaannya bukan “apakah kita bermegah?” Karena setiap orang pasti melakukannya. Pertanyaan sebenarnya adalah: dalam apa kita bermegah? Atas siapa kita bermegah?

Setiap hari dunia mengarahkan kita untuk bermegah pada pencapaian, prestasi, harga diri berdasarkan performa, atau kebanggaan akan kekuatan dunia. Tetapi ketika kita datang beribadah, ada call to worship. Saat itu hati kita dikalibrasi ulang. Panggilan untuk menyembah adalah momen ketika Tuhan berkata, “Lihatlah, jiwamu sedang menggenggam hal-hal fana untuk bermegah. Lepaskan itu. Sandarkanlah kemegahanmu hanya kepada-Ku.”

Bayangkan: Allah yang mengenal bintang-bintang satu per satu juga mengenal kita. Padahal kita tidak layak dikenal, bahkan seharusnya binasa. Namun karena kasih karunia-Nya, Dia menebus, memulihkan, dan mengenal kita. Itulah kemegahan yang sejati.

Mari buka Yeremia 9:23–24. “Janganlah orang bijak bermegah karena kebijaksanaannya… tetapi siapa yang mau bermegah, bermegahlah karena ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah Tuhan.”

Jadi apa artinya call to worship? Artinya adalah mengubah akar kemegahan kita, mengkalibrasi ulang kemuliaan kita. Setiap minggu, dalam 52 kesempatan setahun, ketika kita datang beribadah, sebenarnya kita sedang menata ulang pusat kemegahan kita. 

          2.MENGAPA KITA DIPANGGIL?

Kalau membaca ayat pertama tadi, setelah kata “haleluya” ada kalimat: “Sungguh, bermazmur bagi Allah kita itu baik, bahkan indah dan layaklah memuji-muji.” Dalam terjemahan Inggris NIV, kata “layak” itu diterjemahkan fitting. Artinya pas.

Bayangkan sebuah puzzle. Potongan satu harus bertemu dengan potongan lain yang sesuai supaya menjadi gambar yang lengkap. Begitu juga dengan penyembahan. Kita diciptakan untuk menyembah Tuhan, dan ketika melakukannya, rasanya pas.

Ada alasan mengapa itu pas, karena Allah layak disembah. Dialah sumber segala kebaikan dan keindahan. Ketika manusia memuliakan ciptaan, bukan Sang Pencipta, hasilnya tidak pas. Misalnya ketika memuliakan uang atau penerimaan manusia, mungkin sesaat ada kepuasan: merasa dianggap, merasa somebody. Tapi segera akan ada orang lain yang lebih dianggap, lebih kaya, lebih berhasil. Tiba-tiba harga diri runtuh, rasa inferior muncul. Itu tidak pas. Hanya ketika memuliakan Sang Pencipta, keindahan sejati ditemukan, kepuasan yang tidak dapat diambil dari kita.

Namun, melihat Tuhan hanya sebagai sesuatu yang berguna juga tidak pas. Kalau hanya memandang-Nya sebagai sarana untuk berkat, kesembuhan, atau terobosan, maka ibadah berubah menjadi transaksi. Banyak orang yang ketika hidupnya baik-baik saja jarang berdoa atau beribadah. Tetapi saat ada masalah, barulah mereka rajin mencari Tuhan. Itu berarti mereka tidak benar-benar menyembah, melainkan memanfaatkan.

Penyembahan sejati lahir ketika melihat Tuhan bukan hanya berguna, melainkan indah. Dialah yang dirindukan. Pertanyaannya: apakah Tuhan indah bagi kita, atau hanya berguna?

Bayangkan perbedaan antara bertemu dengan partner bisnis dan bertemu dengan kekasih. Dengan partner bisnis, semua percakapan fokus pada strategi, profit, hasil. Tidak ada cinta, hanya performa. Tetapi dengan kekasih, yang dirayakan adalah hubungan itu sendiri. Tidak perlu tujuan lain. Hanya dengan saling menatap, berbicara, berjalan bersama, hati dipenuhi sukacita. Begitulah bedanya antara berdoa hanya dengan permintaan dan berdoa penuh dengan pujian, syukur, serta kasih. Yang pertama memperlakukan Tuhan seperti partner bisnis. Yang kedua memperlakukan-Nya sebagai kekasih jiwa.

Mazmur 27:4 berkata: “Satu hal yang kuminta… merenungkan keindahan Tuhan.” Manusia memang senang akan keindahan. Orang rela membayar mahal untuk duduk di rumah tepi pantai atau penginapan dengan pemandangan indah. Mereka bisa berjam-jam hanya menatap sunset, padahal itu tidak membayar cicilan, tidak menyelesaikan masalah. Mengapa? Karena kita diciptakan untuk menikmati keindahan. Begitu juga penyembahan. Kita diciptakan untuk menikmati keindahan Tuhan, bukan sekadar hasil atau imbalan.

Inilah mengapa menyembah Tuhan itu pas. Manusia dicipta untuk menyembah dan memuliakan-Nya. Jika tidak menyembah Tuhan, pasti akan menyembah yang lain. Sejak zaman primitif pun manusia selalu punya sesajen, ritual, sistem keagamaan. Tidak ada hewan yang menyembah, tetapi manusia selalu melakukannya. Dan di zaman modern, penyembahan bukan lagi kepada patung, tetapi kepada uang, kesenangan, cinta, reputasi. Semua itu akhirnya menghancurkan, karena tidak pas. Hanya penyembahan kepada Tuhan yang pas. Human beings are wired to worship.

Lalu muncul pertanyaan: mengapa Tuhan ingin disembah? Apakah Dia narsis, haus kemuliaan? Tidak. Allah Tritunggal sudah penuh kemuliaan sejak kekekalan. Dia tidak membutuhkan tambahan apa pun dari ciptaan. Bapa, Putra, dan Roh Kudus sudah saling mengasihi sempurna sejak awal. Maka ketika Allah memanggil kita untuk menyembah, itu bukan karena egoisme, melainkan karena kasih.

Di dalam kemuliaan Allah, jiwa manusia menemukan rumah. Hanya di sana ada makna sejati. Memuliakan Tuhan adalah undangan kasih: “Datanglah, masuklah dalam persekutuan dengan-Ku.” Itu bukan tuntutan yang lahir dari keegoisan, melainkan anugerah. Seperti yang dikatakan Agustinus: “Hatiku gelisah sampai menemukan perhentian di dalam Engkau.”

Bahkan seorang filsuf ateis, Iris Murdoch, menulis bahwa keindahan itu membebaskan. Ia bercerita bagaimana kegelisahan dan kemarahan lenyap ketika melihat seekor elang melayang bebas di udara. Kalau ciptaan seperti burung elang saja bisa membebaskan hati dari ego dan keresahan, apalagi melihat keindahan Sang Pencipta itu sendiri.

Mazmur 19 berkata bahwa langit, matahari, laut semuanya menceritakan kemuliaan Tuhan. Semua keindahan dunia hanyalah pantulan samar dari keindahan Allah. Keindahan-Nya seperti dinamit yang menghancurkan ego dan membebaskan dari belenggu diri. Itulah sebabnya ketika mendengar khotbah tentang salib dan kasih karunia, hati bisa bergetar dan air mata mengalir. Karena keindahan Tuhan bukan hanya mempesona, tetapi juga membebaskan dan merajut hati untuk berpaut kepada kasih-Nya.

          3.BAGAIMANA KITA DIPANGGIL UNTUK MENYEMBAH?

Ada hal menarik yang tertulis di ayat 10. Di situ dikatakan bahwa Allah tidak suka pada kegagahan kuda. Bahkan dilanjutkan, Dia tidak berkenan pada kekuatan kaki-kaki laki-laki. Sekilas terlihat seperti seksis, tetapi maksudnya bukan itu. Intinya, Allah tidak terkesan dengan kehebatan manusia, baik kekuatan fisik, moral, maupun prestasi. Pada zaman dahulu, kekuatan sebuah pasukan diukur dari jumlah kuda, prajurit, dan otot. Namun semua itu sama sekali tidak membuat Allah terkesan. Itulah sebabnya Dia tidak menyukainya.

Sebaliknya, ayat 11 menegaskan bahwa Tuhan senang kepada orang-orang yang takut akan Dia, yang berharap pada kasih setia-Nya. Jadi yang Allah kehendaki bukan pencapaian atau prestasi. Bukan pula ungkapan semacam, “Tuhan, aku sudah melayani Engkau, aku sudah setia ke gereja setiap minggu, aku sudah memberikan persepuluhan, aku sudah menyumbang, aku sudah terlibat dalam pelayanan.” Sikap religius seperti itu justru bisa menjadikan orang munafik, karena menonjolkan kehebatan diri. Yang Allah cari bukan performa, bukan hati yang membanggakan moralitas atau kesalehan diri, melainkan hati yang benar-benar bersandar pada kasih setia-Nya.

Inilah yang membedakan Injil dengan agama. Agama menonjolkan kemampuan dan kehebatan manusia, sedangkan Injil justru berkata: semakin sadar bahwa kita tidak mampu, semakin sadar bahwa kita berdosa, maka semakin kita melihat keindahan kasih setia Tuhan.

Kata “kasih setia” ini menjadi kunci. Dalam bahasa Ibrani disebut hesed yang artinya kasih yang tidak tergoyahkan, kasih yang teguh, kasih setia perjanjian. Kasih ini tidak tergantung pada performa manusia. Kata hesed muncul kurang lebih 250 kali di Perjanjian Lama. Artinya, Tuhan memiliki kasih setia yang tidak bisa gagal, karena dasarnya bukan kebaikan kita, melainkan keputusan Allah berdasarkan kasih karunia-Nya. Walaupun umat-Nya tidak layak, kasih setia itu tetap teguh.

Karena itu umat Tuhan diminta untuk menggantungkan diri, bukan pada kekuatan kuda, bukan pada kekuatan manusia atau uang, melainkan pada kasih setia Allah. Seakan-akan Tuhan berkata, “Taruhlah pengharapanmu pada kasih setia-Ku, bukan pada usahamu.” Janji ini ditegaskan kembali di Perjanjian Baru, dalam Ibrani 13:5b: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau, dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Dalam bahasa Yunani, penulis kitab Ibrani menekankannya sampai lima kali dalam bentuk negatif: “Aku tidak akan, tidak pernah, sama sekali tidak sekalipun, tidak meninggalkan engkau.” Tidak ada janji manusia yang bisa sekuat ini. Kasih setia Allah tidak rapuh, tidak bergantung pada ketaatan kita, karena berakar pada karakter-Nya sendiri.

Untuk menjelaskannya, film Martian Child (2007) yang dibintangi John Cusack memberi ilustrasi indah. Seorang anak yatim piatu merasa ditolak, hidup terasing, dan menutup diri dengan mekanisme pertahanan. Cusack berperan sebagai pria yang mengadopsinya, berusaha menembus tembok hati anak itu. Namun si anak tetap sulit didekati hingga suatu hari ia naik ke atap gedung, berniat “kembali ke Mars” karena merasa tak seorang pun menginginkannya.

Cusack mengejarnya dan berkata dengan penuh penekanan, “Orang tuamu dulu meninggalkanmu. Mereka tidak tahu betapa berharganya dirimu. Aku mencintaimu. I will never, ever, ever, ever, ever, ever, ever leave you.” Kata-kata itu membuat sang anak luluh, menangis, lalu memeluknya.

Mendengar kalimat itu, teringatlah janji Tuhan dalam Ibrani 13:5b. Namun, sesungguhnya, meskipun seorang ayah atau ibu bisa berkata tulus, “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,” pada akhirnya janji manusia tetap terbatas. Kita semua suatu saat pasti gagal atau mengecewakan, bahkan meninggalkan orang yang kita cintai karena kita akan mati. Mazmur 27:10 menegaskan, “Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, Tuhan akan menerima aku.” Karena manusia rapuh, hanya Tuhan yang sungguh bisa berkata, “I will never, ever, ever, ever, ever, ever, ever leave you.” dan benar-benar menjadikannya nyata.

Pertanyaannya: bagaimana mungkin Tuhan bisa berkata begitu kepada kita, padahal kita sering gagal, sering mengecewakan, sering berdosa? Bagaimana Allah yang kudus bisa tetap kudus, tetapi juga berjanji tidak pernah meninggalkan orang berdosa? Jawabannya ada di salib. Ada seseorang yang ditinggalkan, diabaikan, dan ditelantarkan menggantikan kita, yaitu Yesus Kristus.

Yesus, Allah yang mulia, rela lahir di Betlehem, tempat yang hina dan bau kandang binatang, supaya kita yang hina dapat diterima oleh Allah. Di kayu salib Yesus berteriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Pada saat itulah Dia menanggung keterasingan dan pengabaian yang seharusnya kita tanggung. Allah Tritunggal sendiri menyerap hukuman dosa, sehingga keadilan tetap terpelihara dan kasih tetap nyata. Karena itulah Allah bisa berkata kepada kita, “Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

Inilah yang mengubah segalanya. Salib membuat Allah bukan hanya sekadar berguna, tetapi juga indah. Allah bukan sekadar partner bisnis, melainkan kekasih jiwa. Di salib kita melihat yang paling indah dan mulia rela menjadi hina dan buruk rupa, supaya kita yang hina menjadi indah dan mulia di dalam Dia.

Itulah Injil. Injil memampukan kita untuk menyembah, karena di situ kita tidak lagi melihat Allah sekadar berguna, tetapi sungguh indah. Tanpa salib, Allah hanyalah fakta besar yang harus dihadapi. Dengan salib, Allah tampak dalam keindahan-Nya: Sang Pencipta alam semesta rela menderita supaya kita tidak binasa, supaya kita diselamatkan. Itu bukan hanya berguna—itu indah. Dan hanya keindahan itu yang mampu mendorong kita untuk sungguh-sungguh menyembah.

Setiap minggu, ada panggilan untuk beribadah. Itu seperti undangan untuk menata ulang hati, agar kemegahan kita tidak ditempatkan pada uang atau hal-hal duniawi yang justru menghancurkan. Melainkan, kemegahan itu harus diletakkan pada penyembahan. Karena hanya itulah yang benar-benar pas.

          4.KAPAN KITA DIPANGGIL UNTUK MENYEMBAH?

Ayat 19 mengatakan, “Ia memberitakan firman-Nya kepada Yakub.” Mengapa disebut Yakub? Mengapa Allah berulang kali menyapa umat-Nya dengan nama itu di dalam Mazmur? Mengapa bukan Abraham, padahal mereka semua keturunan Abraham? Mengapa bukan Ishak, padahal mereka juga keturunan Ishak?

Kalau menelusuri kisah hidup Yakub, hampir tidak ada yang bisa dijadikan teladan. Dalam banyak episode hidupnya ia jatuh, gagal, menipu, penuh kelicikan. Tidak ada guru sekolah minggu yang akan berkata, “Anak-anak, ikutilah teladan Yakub.” Namanya sendiri berarti penipu. Hampir di setiap peristiwa hidupnya, Yakub tidak bisa dijadikan contoh yang layak.

Namun justru di situlah letak pelajarannya. Yakub selalu mengejar pengakuan manusia. Ia mencari berkat dari ayahnya, dari pamannya, dari saudaranya. Hingga pada satu malam ia bergumul dengan Tuhan dan berkata, “Aku tidak akan melepaskan Engkau sebelum Engkau memberkati aku.” Di titik itu ia sadar bahwa semua yang dikejarnya selama ini hanya bisa ia temukan di dalam Tuhan.

Itulah sebabnya Tuhan kerap menyapa umat-Nya dengan nama Yakub. Karena kisah Yakub adalah kisah kita. Perjalanan menuju penyembahan penuh jatuh bangun. Ada kalanya kita merasa begitu berdosa, penuh kegagalan, tapi Tuhan tetap sabar, tetap memanggil kembali, membawa kita terus melangkah sampai akhirnya mata hati kita melihat Dia bukan hanya berguna, melainkan indah.

Setiap minggu, sepanjang 52 minggu dalam setahun, Tuhan memanggil umat-Nya. Ia bergumul dengan hati kita agar perhatian tidak lagi terikat pada masalah atau kemegahan dunia, melainkan berakar pada kasih setia dan kasih karunia-Nya. Setiap ibadah mingguan adalah perjalanan iman. Pemuridan, liturgi minggu demi minggu, adalah cara Tuhan melatih sedikit demi sedikit, sampai akhirnya seluruh hidup kita berakhir dalam penyembahan sejati.

Ada sebuah kesaksian dari saya. Pernah ada masa ketika hati saya merasa puas hanya jika orang mengakui sebagai pendeta hebat, jika gereja bertumbuh pesat, jika pelayanan berhasil. Diam-diam ada bisikan dalam hati: kalau semua itu berhasil, barulah hidup akan terasa berarti. Namun saat kenyataannya tidak demikian, muncul kemarahan, kegelisahan, bahkan mempertanyakan arti hidup.

Di situlah Tuhan menyingkapkan sesuatu. Sama seperti Yakub, hati ini sedang mencari berkat dari Esau, dari Laban, dari orang tua, dari orang-orang sekitar. Mencari penerimaan, pengakuan, dan kasih dari manusia. Lupa bahwa hanya Tuhan yang sanggup memuaskan. Hingga akhirnya sampai pada satu titik harus berkata, “Tuhan, hanya Engkau yang paling berarti. Aku salah mencari kepuasan di tempat lain. Ampuni aku.”

Di momen itu jelas sekali: kalau Tuhan cukup, maka apa pun yang dikejar di luar Dia tidak akan pernah cukup. Injil menyingkapkan bahwa semua keindahan palsu, semua kemegahan dunia, menjadi suram dibandingkan keindahan Kristus. Ternyata hanya Dia yang dapat benar-benar memuaskan. Bukan prestasi, bukan pengakuan, bukan keberhasilan pelayanan, tetapi Allah sendiri.

Perjalanan ini belum selesai. Sama seperti Yakub, jatuh bangun tetap ada. Tetapi setiap kali datang beribadah, setiap kali mendengar panggilan untuk menyembah, wajah Allah kembali terpampang—dan di sana Dia tampak bukan hanya berguna, melainkan indah.

REFLEKTIF

  • Apa yang selama ini jadi kemegahanmu? Maukah bermegah hanya di dalam Kasih Setia Tuhan?
  • Apakah saya melihat Allah hanya “berguna” atau sungguh “indah”?
  • Apakah engkau siap melihat diri sebagai Yakub—lemah, jatuh bangun—namun tetap dipanggil oleh Tuhan dalam perjalanan seumur hidup kepada penyembahan yang sejati?
  • Apakah kita beribadah sekedar rutinitas, atau sadar bahwa Tuhan mau membentuk hati kita? Liturgi ini bukan sekadar urutan, tapi undangan kasih untuk memusatkan hidup kembali pada Injil.

ORANG BERINJIL

  • Tidak lagi bermegah pada hal yang fana, namun hidupnya dipenuhi ucapan syukur karena bermegah hanya dalam kasih setia Allah.
  • Beribadah bukan karena Allah berguna, tapi menyembah karena melihat Dia indah.
  • Bisa jatuh bangun dalam perjalanan imannya, namun kasih setia Tuhan selalu sabar memanggilnya untuk menyembah Dia lagi & lagi.
  • Datang ibadah bukan karena rutinitas, tapi karena tahu hatinya butuh dipusatkan kembali pada Injil.