Confession of Sin & Assurance of Pardon

LITURGI – WEEK 2 "Confession of Sin & Assurance of Pardon" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Hari ini kita memasuki minggu kedua dari khotbah berseri yang berjudul Liturgi: Menjadikan Injil sebagai Pusat. Minggu lalu kita belajar tentang call to worship, dan kali ini kita akan membahas confession of sin and assurance of pardon—atau dalam bahasa Indonesia, pengakuan dosa dan berita anugerah.

BACAAN: Mazmur 130:1-8

130:1 Nyanyian ziarah. Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN! 

130:2 Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku. 

130:3 Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan? 

130:4 Tetapi pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang. 

130:5 Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti, dan aku mengharapkan firman-Nya. 

130:6 Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi. 

130:7 Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel! Sebab pada TUHAN ada kasih setia, dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan. 

130:8 Dialah yang akan membebaskan Israel dari segala kesalahannya.

Setahun hanya ada 52 kali ibadah untuk hati kita dikalibrasi kepada Injil, sementara tiap hari dunia “berkhotbah” melalui YouTube, Instagram, dan TikTok. Maka ibadah Minggu menjadi sarana formasi yang berharga.

Struktur liturgi bukanlah sekadar budaya, melainkan sejalan dengan firman: call to worship, confession of sin, berita anugerah, respons, dan doa berkat. Pola ini tampak sejak awal Alkitab—ciptaan yang baik (call to worship), kejatuhan manusia (confession of sin), janji Injil (berita anugerah), respons, dan pemulihan (benediction). Karena itu ketika jemaat hadir dari awal ibadah, mereka sedang dibentuk dalam iman.

Minggu lalu kita belajar bahwa call to worship bukan hanya ajakan menyanyi, melainkan panggilan untuk mengalihkan kemegahan kita. Apakah Tuhan hanya berguna, atau sungguh indah? Kita sering bermegah pada hal lain, maka call to worship menolong kita bermegah hanya dalam kasih setia Allah.

Hari ini kita masuk ke confession of sin—pengakuan dosa dan berita anugerah. Jujur, ini bukan topik populer. Tidak ada orang yang bersemangat mengaku dosa. Namun pengakuan dosa bukanlah ritual menyiksa diri. Bukan sekadar berkata, “Betapa buruk aku.”

Ada yang berpikir pengakuan dosa tidak perlu, cukup memikirkan Kristus. “Jangan sin conscious, jadilah Christ conscious.” Tetapi Alkitab berkata kita harus terus bertobat. Pengakuan dosa adalah langkah pertobatan. Bukan untuk menjerumuskan dalam rasa bersalah, tetapi untuk kembali kepada Tuhan. Pertobatan membuka pintu bagi sukacita keselamatan.

Tanpa pertobatan, tidak mungkin ada relasi dengan Tuhan. Tujuan hidup manusia adalah mengenal Allah dan menikmati-Nya. Itu mustahil jika kita hidup dalam dosa tanpa pertobatan.

Yesus menekankan hal ini. Sebelum pelayanan-Nya dimulai, Ia berkata: “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1:15). Bahkan sebelum naik ke surga, Lukas 24:47 mencatat bahwa berita yang harus disampaikan adalah pertobatan dan pengampunan dosa dalam nama-Nya.

Martin Luther juga menegaskan hal ini. Dari 95 dalilnya, nomor satu berbunyi: “Seluruh kehidupan orang percaya adalah pertobatan.” Tanpa pertobatan, sukacita keselamatan tidak akan kita alami, dan hadirat Tuhan tidak bisa kita nikmati.

Karena itu, Mazmur 130 akan menolong kita melihat tiga hal: pertama, masalah yang dihadapi ketika mengaku dosa; kedua, janji yang ditawarkan melalui pengakuan dosa, yaitu berita anugerah; dan ketiga, kuasa yang lahir dari pengakuan dosa.

          1.Masalah yang dihadapi ketika mengaku dosa

Mari kita lihat konteks dari Mazmur 130. Mazmur ini adalah nyanyian ziarah, lagu-lagu yang dinyanyikan umat Israel saat mereka berziarah ke Yerusalem, khususnya ke Bait Allah pada hari-hari raya. Jadi, konteksnya adalah umat Allah yang sedang berjalan menuju hadirat-Nya, sambil membawa pergumulan, dosa, pengakuan, sekaligus pengharapan akan pengampunan dari Tuhan.

Mazmur 130 juga termasuk dalam kategori Mazmur ratapan atau pertobatan, bersama dengan Mazmur 6, 32, 38, dan 51. Ciri khasnya adalah suara seorang berdosa yang sadar akan pelanggarannya, lalu berseru meminta belas kasihan, dan akhirnya menemukan pengampunan dalam Tuhan. Itulah yang terjadi di Mazmur ini.

Perhatikan bagaimana Mazmur 130 langsung dibuka dengan kalimat, “Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya Tuhan.” Dalam bahasa Inggris tertulis, out of the depths. Kata “depths” di sini bukan sekadar kedalaman biasa, melainkan sebuah lubang yang gelap, sangat dalam, bahkan seperti kuburan atau dasar samudera tempat orang terkubur tanpa harapan. Gambaran ini sangat mengerikan, dan dipakai untuk melukiskan kondisi spiritual manusia—kondisi rohani kita yang seperti tenggelam dalam lubang tanpa jalan keluar.

Sering kali orang berpikir masalah terbesar hidup ini adalah soal uang, pernikahan, cicilan, pinjaman, atau kondisi pemerintahan. Banyak yang merasa masalah-masalah itu tidak punya jalan keluar. Namun, sebenarnya, masalah-masalah duniawi selalu ada solusinya—entah itu lewat uang, koneksi, atau strategi. Tetapi masalah yang digambarkan Mazmur 130 berbeda. Ini bukan sekadar kesulitan hidup. Ini bicara tentang kondisi tanpa pengharapan sama sekali—bukan seperti orang yang hampir tenggelam di kolam renang lalu bisa diraih dengan pelampung atau tali. Gambaran Mazmur 130 adalah seperti sudah tenggelam jauh di dasar samudera, tanpa mungkin naik kembali. Itulah awal pengakuan dosa, menyadari betapa dalamnya lubang dosa tempat kita berada.

Ayat 2 melanjutkan, “Tuhan, dengarkanlah suaraku. Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku.” Dalam bahasa Inggris lebih jelas: listen to the voice of my plea for mercy. Kata yang dipakai bukan sekadar permohonan, melainkan permintaan belas kasihan. Bedanya besar sekali. Mengatakan “help me” berarti menempatkan diri sebagai korban situasi. Tetapi “have mercy on me” berarti mengakui bahwa kesalahan ada pada diri sendiri.

“Help me” berkata, “Tuhan, aku sudah beribadah, sudah berusaha, sudah berdoa, tetapi situasi ini menimpaku.” Itu sikap playing victim. Tetapi “have mercy” berkata, “Tuhan, aku memang bobrok. Aku memang salah. Situasi ini ada karena dosaku. Aku tidak layak ditolong, tetapi aku mohon belas kasihan-Mu.” Itulah inti pertobatan sejati. Pemazmur sadar bahwa dirinya berada di jurang bukan karena orang lain, melainkan karena dosanya sendiri.

Sayangnya, manusia cenderung seperti Adam dan Hawa. Ketika jatuh dalam dosa, mereka tidak mengakuinya. Adam justru menyalahkan Hawa, dan pada akhirnya menyalahkan Tuhan sendiri. Tidak ada pertobatan, hanya peran sebagai korban. Pengakuan dosa sejati justru adalah ketika berhenti menyalahkan orang lain, berhenti mencari kambing hitam, dan dengan rendah hati berkata di hadapan Tuhan, “Ini salahku. Ini dosaku.”

Ayat 3 melanjutkan, “Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat kesalahan, siapakah yang dapat tahan?” Kalau Tuhan menghitung dosa, tidak ada seorang pun bisa berdiri tegak di hadapan-Nya. Rasul Paulus dalam Roma 3 mengutip realita ini: tidak ada seorang pun yang benar, semua sudah berdosa, tidak ada yang mencari Allah.

Namun orang modern sering menolak gagasan bahwa Tuhan menghitung dosa. Mereka berpikir Tuhan itu kasih, jadi tidak mungkin mencatat kesalahan. Tetapi jujurlah, manusia pun suka menghitung skor. Dalam relasi, dalam pernikahan, dalam masyarakat, kita selalu punya sistem credit and blame—siapa yang salah, siapa yang benar, siapa yang layak dihukum, siapa yang layak dipuji. Kalau kita saja punya sistem itu, mengapa berpikir Tuhan berbeda?

Contoh paling sederhana, banyak tokoh yang dulu berjuang melawan ketidakadilan kini justru menjadi pelaku ketidakadilan baru. Kita mengingatnya, kita menuntut, kita menghitung. Tetapi pertanyaannya: kalau kita ada di posisi mereka, apakah kita yakin bisa tetap murni? Realitanya, kita pun sama lemahnya. Bahkan memenuhi ekspektasi diri sendiri pun kita gagal. Berapa banyak resolusi pribadi yang tidak pernah tercapai? Kalau ekspektasi diri saja tidak bisa dipenuhi, bagaimana mungkin tahan di hadapan Allah yang kudus?

Efek dosa membuat manusia merasa bersalah dan malu. Rasa malu inilah yang membuat kita menyalahkan orang lain, agar tidak menanggung beban itu sendiri. Sama seperti Adam dan Hawa menutupi ketelanjangan dengan daun pohon ara, manusia modern pun punya banyak menggunakan “daun ara” untuk menutupi rasa bersalah seperti: kerja keras berlebihan, mengejar materialisme, mencari identitas dalam relasi, mengejar kecantikan, atau membangun pencitraan. Semua itu hanyalah cara bersembunyi. Tetapi di hadapan Tuhan, tidak ada yang bisa disembunyikan.

Mazmur 130 menyatakan bahwa tidak ada seorang pun bisa tahan di hadapan Allah. Dan sebenarnya kita pun tahu kita tidak mampu tahan, bahkan di hadapan ekspektasi diri kita sendiri. Itulah sebabnya setiap minggu pengakuan dosa sangat penting. Bukan sebagai ritual rasa bersalah, melainkan sebagai kasih karunia dari Tuhan yang menolong kita berhenti bersembunyi, berhenti menutupi rasa malu, dan berhenti membuktikan diri.

Kabar baiknya adalah, meski kita jauh lebih rusak daripada yang kita bayangkan, kasih karunia Allah juga jauh lebih besar daripada yang bisa kita pikirkan. Charles Spurgeon pernah berkata, “Kalau orang berbicara buruk tentangmu, ketahuilah bahwa engkau sebenarnya lebih buruk daripada yang dikatakan.” Jack Miller pun menulis, “Saat kamu merasa berdosa, ketahuilah keadaanmu sebenarnya jauh lebih buruk dari yang kamu pikirkan.” Tetapi kabar baiknya: kasih karunia Allah jauh lebih besar daripada semua itu.

Pengakuan dosa mengingatkan kita akan apa yang telah Tuhan selamatkan kita darinya: dari dosa yang menghancurkan, dari murka Allah yang adil, dari identitas palsu yang selalu kita pakai untuk menutupi diri. Itulah sebabnya pengakuan dosa menolong kita untuk benar-benar jujur, berhenti menyalahkan orang lain, dan dengan rendah hati datang kepada Tuhan.

Mazmur 130 tidak berhenti di gambaran jurang yang gelap itu. Ada satu kata kecil yang penuh kuasa di ayat 4: “Tetapi pada-Mu ada pengampunan.”

          2.Janji yang ditawarkan melalui pengakuan dosa

Meskipun kita berada di jurang terdalam, penuh kegagalan, rasa malu, bahkan sering bersembunyi, saat datang dengan jujur di hadapan Tuhan selalu ada pengampunan, kasih setia, dan penebusan penuh. Itulah janji anugerah. Dalam ayat 7 tertulis, “Berharaplah kepada Tuhan, hai Israel, sebab pada Tuhan ada kasih setia.” Kasih setia ini berbicara tentang hesed, kasih yang tidak tergoyahkan. Kasih setia-Nya tidak bergantung pada performa atau kebaikan manusia, melainkan pada keputusan Allah sendiri untuk terus mengasihi. Kasih seperti ini bukan hanya mengobati rasa bersalah, tetapi juga menyembuhkan rasa malu, membebaskan dari kebutuhan untuk terus menutupi diri. Tidak ada lagi tuntutan untuk membuktikan diri di hadapan Tuhan, sebab Ia telah memilih untuk mengasihi dengan kasih yang tidak pernah gagal.

Pertanyaannya, bagaimana Allah menunjukkan kasih-Nya itu? Bagaimana Ia menghapus rasa bersalah dan menyembuhkan rasa malu? Bagaimana kasih-Nya membebaskan manusia dari upaya menutupi diri dengan “daun pohon ara” yang palsu? Jawabannya ada pada ayat 8: “Dialah yang akan membebaskan Israel dari segala kesalahannya.” Dalam bahasa asli, kata “Dialah” ditegaskan sebagai He Himself. Allah tidak sekadar mengutus nabi atau memberikan firman, melainkan turun tangan sendiri. Pemazmur percaya bahwa Allah akan menyediakan jalan pengampunan dan penebusan, meskipun ia belum tahu bagaimana caranya.

Inilah titik sambung dengan Injil. Allah sendiri yang turun tangan, bukan dengan sekadar aturan baru, melainkan dengan menjadi pribadi yang menarik manusia keluar dari jurang kegelapan dosa. Ia melakukannya dengan lahir di kandang hina, bukan di istana megah, melainkan di kota kecil Betlehem, berbaring di palungan yang najis—semua itu demi manusia yang najis, bobrok, lemah, dan penuh dosa. Selama 33 tahun Ia hidup tanpa dosa, menjalani kehidupan sempurna yang seharusnya dijalani manusia. Namun Ia dihukum sebagai orang berdosa, disalibkan bersama penyamun, bahkan ditukar dengan Barabas, seorang pembunuh. Yesus, yang tidak pernah membunuh, justru mati menggantikan seorang pembunuh.

Di kayu salib, Yesus masuk ke jurang kegelapan terdalam, diperlakukan sebagai terdakwa, ditelanjangi, dihina, dan dipermalukan. Semua rasa bersalah dan rasa malu manusia Ia tanggung. Ia dibuang ke tempat tergelap agar kita menerima terang kekal. Ia ditolak supaya kita menerima pelukan penuh kasih dari Bapa. Status-Nya yang benar menjadi status kita. Kita yang selama ini menutupi diri dengan pencapaian, pembuktian, atau pencitraan, sekarang menerima jubah keselamatan dan kemuliaan.

Para teolog menyebut ini a beautiful exchange. Adam dahulu mengalami a tragic exchange ketika menukar kemuliaan Allah untuk menjadi seperti Allah. Tetapi di salib terjadi kebalikan: Sang Tuhan menukar tempat dengan kita, supaya kita yang ingin menjadi Allah dapat kembali menjadi anak-anak Allah. Paulus menulis di Roma 5 bahwa Kristus mati bagi kita ketika kita masih lemah dan berdosa—bukan saat kita kuat atau hebat. Ini menghancurkan usaha menyelamatkan diri sendiri. Inilah tangan penebusan Allah yang menarik manusia keluar dari jurang kegelapan. Keselamatan bukanlah tips atau langkah, melainkan anugerah murni.

R.C. Sproul menulis dalam bukunya What We Are Safe From: Allah yang seharusnya memurkai kita adalah Allah yang sama yang menyediakan keselamatan melalui diri-Nya sendiri, yaitu Yesus Kristus. Kita diselamatkan oleh Allah, dari Allah, melalui Allah, dan untuk Allah. Itulah Injil: kasih Allah tidak mengabaikan murka-Nya, melainkan menggenapinya dalam Kristus. Karena itu sekarang kita bisa menikmati Allah dan hidup untuk kemuliaan-Nya.

Inilah assurance of pardon, berita anugerah, kepastian penebusan. Roma 8:1 berkata, “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” Inilah kabar baik Injil: tidak ada lagi penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus.

          3.Kuasa yang lahir dari pengakuan dosa

Dan yang terakhir, kuasa yang lahir dari pengakuan dosa. Ayat 5 dan 6 menarik. Dikatakan, "Aku menanti-nantikan Tuhan. Jiwaku menanti-nanti dan aku mengharapkan firman-Nya. Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih daripada pengawal mengharapkan pagi, lebih daripada pengawal mengharapkan pagi." Dua kali diulang. Bahasa yang dipakai di sini, "menanti-nantikan" dan "mengharapkan", bersifat terus-menerus. Bukan hanya sekali, tetapi berulang kali tanpa henti.

Ini menunjukkan bahwa pertobatan sejati bukan sekadar rasa lega karena perasaan bersalah yang sekali lalu selesai begitu saja. Pertobatan sejati adalah menantikan Tuhan terus-menerus. Itulah sebabnya dalam liturgi, pengakuan dosa (confession) dan berita anugerah (assurance) dilakukan setiap minggu. Semua itu dimaksudkan agar kita dilatih untuk tidak bermegah, tidak merasa diri sebagai korban, melainkan belajar berkata, “Iya Tuhan, aku ini butuh Engkau.” Kita diajar untuk tidak menutupi rasa malu dengan pencitraan dan pembuktian diri, tetapi datang kembali, memandang, dan berharap kepada Tuhan lagi dan lagi.

Coba bayangkan, mungkin hari Minggu seseorang bersemangat luar biasa. Senin masih terasa dampaknya karena biasanya catatan khotbah dikirim. Selasa pun masih cukup segar. Tapi Rabu, mulai berselisih dengan pasangan. Dari pagi sudah ada pertengkaran. Di tempat kerja atau toko, situasi tidak sesuai harapan, penjualan sepi. Jalan keselamatan yang semula ditaruh di Kristus, kini mulai digeser ke saldo rekening bank. Apalagi kalau sudah mendekati tanggal tua, hati pun jadi uring-uringan. Pulang ke rumah, anak membuat ulah, emosi meledak. Semua yang dipelajari hari Minggu seolah lenyap. Bahkan ketika dihina orang lain, spontan muncul keinginan untuk membalas. Semua lupa begitu saja.

Itulah alasan hati begitu mudah lalai. Lupa pada kasih karunia Tuhan. Inilah sebabnya kita butuh liturgi. Augustine of Hippo dalam bukunya The Confession berkata, “Esensi dosa adalah kasih yang rusak, kasih yang salah arah.” Dosa bukan hanya sekadar melakukan perbuatan jahat, tetapi bermula dari hati yang kasihnya salah. Dari situlah lahir kejahatan, usaha membuktikan diri, menutupi diri, atau merasa diri sebagai korban sambil menyalahkan orang lain. Karena itu, liturgi—khususnya confession dan assurance—bukan sekadar ritual formal. Itu adalah latihan mingguan untuk menata ulang kasih kita.

Liturgi ini mengingatkan kita agar berhenti mencintai penyelamat-penyelamat palsu. Kita memang punya banyak penyelamat palsu: uang, pengakuan, pencitraan, hal-hal dunia yang membuat hati condong pada kasih yang salah arah. Melalui pengakuan dosa, kasih palsu itu ditelanjangi, kasih yang salah itu disingkapkan. Lalu kita diarahkan kembali untuk menaruh kasih hanya kepada Kristus.

Sebagai penutup, ada sebuah ilustrasi. Seorang ayah melihat anaknya menikmati lollipop besar. Sang ayah bertanya, “Mana yang lebih kamu cintai, lollipop ini atau uang 20 dolar?” Dengan lantang anak itu menjawab, “Lollipop.” Lalu ditanya lagi, “Kamu lebih cinta lollipop atau anjing kita?” Jawabnya tetap, “Lollipop.” Sampai akhirnya ditanya, “Kamu lebih cinta mama atau lollipop?” Anak itu berpikir sebentar lalu berkata, “Lollipop.” Tentu saja dia tidak sungguh-sungguh lebih mencintai lollipop daripada ibunya. Hanya saja, pada saat itu lollipop terasa lebih nyata, lebih manis, dan lebih menyenangkan.

Bukankah itu gambaran diri kita? Hal-hal dunia sering terasa lebih nyata dan lebih manis daripada kasih Kristus. Itulah sebabnya hati kita mudah tergiur pada dunia. Karena itu setiap minggu kita perlu ditata ulang oleh liturgi. Thomas Chalmers dalam bukunya The Explosive Power of New Affection menulis, “Satu-satunya cara untuk mengusir kasih yang lama adalah dengan kuasa kasih yang baru.” Artinya, kita tidak bisa hanya berkata, “Berhenti mencintai uang. Berhenti mencari pengakuan.” Itu mustahil. Satu-satunya cara adalah hati kita dipikat ulang oleh kasih Kristus, hingga kasih itu terasa lebih indah, lebih manis, dan lebih nyata daripada apa pun yang dunia tawarkan.

Melalui liturgi dan pengakuan dosa setiap minggu, hati kita diarahkan menelusuri akar emosi: mengapa khawatir, mengapa pahit, mengapa takut. Sering kali karena rasa aman, harga diri, atau pengakuan ditaruh bukan pada Tuhan, melainkan pada sesuatu yang lain. Bertobat berarti menyadari hal itu dan kembali melihat salib Kristus, kasih yang lebih nyata daripada semua lollipop dunia ini.

Dulu bagi saya, liturgi dan pengakuan dosa bukan sesuatu yang dianggap penting. Yang dicari dalam ibadah hanyalah perasaan lega, lagu-lagu yang menyentuh emosi, suasana yang membuat nyaman. Bahkan firman Tuhan pun lebih disukai kalau berisi motivasi dan inspirasi. Namun setiap kali pulang dari ibadah, realita tetap sama: kecemasan, kemarahan, rasa malu, pergumulan identitas yang tak selesai. Lalu mulai mencari doa pelepasan, ibadah lain, persekutuan doa, doa malam—semua hanya untuk mendapat sentuhan emosional. Sampai akhirnya tiba pada titik jenuh, kecewa, dan muak.

Namun dalam sebuah konferensi gereja sederhana, pengalaman berbeda terjadi. Lagu-lagu himne dengan iringan piano dan gitar sederhana, tanpa suasana dramatis, justru membuat saya menangis. Lirik-liriknya menyingkapkan realita dosa dan kebutuhan akan Kristus. Bacaan firman yang biasanya terasa membosankan, kini diberitakan ayat demi ayat dengan pusat pada salib Kristus. Di sana, hati saya benar-benar dijamah Tuhan. Bukan dengan musik emosional atau khotbah motivasi, melainkan dengan keindahan Injil.

Sejak saat itu, pandangan saya berubah. Liturgi bukan rutinitas, melainkan alur yang menolong hati ditata oleh Injil. Setiap minggu perlu ada pengakuan dosa, berita anugerah, dan firman yang mengarahkan kembali pada Kristus. Melalui itulah hati, emosi, dan kasih yang rusak perlahan disembuhkan.

Pengakuan dosa dan berita anugerah setiap minggu ibarat pusat rehabilitasi rohani bagi hati kita. Setiap minggu hati dibongkar, ditata ulang, diarahkan kembali kepada kasih Allah yang sejati. 

REFLEKTIF

  • Saat merasa bersalah atau malu, kamu lari ke mana: menutupi diri atau datang pada Tuhan?
  • Maukah kamu memberi diri untuk Mengaku Dosa dan menerima Berita Anugerah di dalam Kristus sehingga kasih dalam hatimu yang sering salah arah dapat ditata ulang?
  • Apa “Kasih palsu/lama” yang masih sering kamu andalkan? Maukah engkau memandang kasih Kristus untuk menggantikannya?

ORANG BERINJIL

  • Mengaku bahwa dirinya berdosa dan bobrok, namun sadar di dalam Kristus dia berharga, dikasihi dan diterima.
  • Tidak lagi menutupi dirinya dengan pengakuan & pembuktian, karena kasih Kristus memenuhi hatinya dan memberi identitas yang baru.
  • Tidak lagi diperbudak oleh “penyelamat palsu”, sebab kasih Kristus yang baru lebih manis dan lebih kuat untuk mengusir segala kasih yang palsu.