Dari Liturgi Kepada Misi

LITURGI – WEEK 5 "Dari Liturgi kepada Misi" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Bacaan : Mazmur 67

67:1 Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi. Mazmur. Nyanyian. 

67:2 Kiranya Allah mengasihani kita dan memberkati kita, kiranya Ia menyinari kita dengan wajah-Nya, Sela 

67:3 supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa. 

67:4 Kiranya bangsa-bangsa bersyukur kepada-Mu, ya Allah; kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu. 

67:5 Kiranya suku-suku bangsa bersukacita dan bersorak-sorai, sebab Engkau memerintah bangsa-bangsa dengan adil, dan menuntun suku-suku bangsa di atas bumi. Sela 

67:6 Kiranya bangsa-bangsa bersyukur kepada-Mu, ya Allah, kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu. 

67:7 Tanah telah memberi hasilnya; Allah, Allah kita, memberkati kita. 

67:8 Allah memberkati kita; kiranya segala ujung bumi takut akan Dia!

Di akhir khotbah tentang liturgi, kita sudah membahas banyak hal, dan hari ini fokus pada pengutusan. Liturgi sesungguhnya adalah urutan Injil yang mengisahkan drama Injil. Ia bukan sekadar rundown atau rutinitas, melainkan pengulangan kisah Injil. Pola yang berulang inilah yang membentuk hati kita. James K. A. Smith berkata, “We are what we worship and we worship what we love.” Kita adalah penyembah; yang kita sembah adalah apa yang kita kasihi. Kebiasaan kecil sehari-hari, rutinitas sederhana, pada dasarnya adalah liturgi yang perlahan membentuk kasih, nilai, dan identitas kita.

Bangun pagi, apa yang pertama dilakukan? Idealnya berdoa, tetapi sering kali yang pertama dibuka justru notifikasi. Jarang langsung saat teduh. Kebanyakan membuka WhatsApp atau Instagram. Scrolling media sosial tanpa sadar menjadi doa pagi yang membentuk cara pandang. Begitu juga mall: bukan hanya tempat belanja, melainkan liturgi konsumerisme yang menanamkan keyakinan bahwa hidup lebih baik kalau memiliki lebih banyak.

Ada pula liturgi tubuh, misalnya olahraga rutin. Itu bisa menanamkan nilai bahwa penampilan dan kesehatan menentukan harga diri. Jika tidak dikalibrasi, semua menjadi ibadah modern tanpa altar. Inilah liturgi kehidupan yang membentuk kasih, bukan hanya pikiran. Seseorang bisa memahami doktrin kasih karunia, tetapi jika tiap hari terseret ritme kerja, performa, target, dan validasi, maka liturgi yang membentuk hatinya bukan Injil, melainkan legalisme modern.

Tanpa disadari, liturgi membentuk hati ke arah tertentu. Bahasa Alkitab pun sarat dengan liturgi. Ulangan 6:7–9 memerintahkan umat Israel mengulang, menuliskan, dan membicarakan firman dalam setiap aktivitas. Itu liturgi hidup yang membentuk umat Allah. Roma 12:1–2 menekankan persembahan tubuh sebagai ibadah sejati dan pembaruan budi. Hidup adalah ibadah.

Setiap hari ada peperangan antara liturgi dunia dan liturgi Injil. Dunia berkata, “Bangun pagi, kejar prestasi, raih identitas dari pencapaian.” Itulah liturgi pembuktian diri. Injil berkata, “Bangun pagi, renungkan Injil, pikirkan karya Kristus, lalu hiduplah dalam panggilan-Nya.” Identitas bukan dari pekerjaan, melainkan dari Kristus.

Hasilnya pun berbeda: liturgi dunia melahirkan cemas dan resah; liturgi Injil menuntun pada sukacita dan damai.

Mari merekap: kita sudah membahas call to worship, pengakuan dosa, firman, respons dengan persembahan, pujian, pertobatan, sakramen, hingga berkat penutup (benediction). Kita diingatkan bahwa ibadah bukan hiburan. Dalam hiburan, penonton pasif; datang terlambat tak masalah. Tetapi ibadah adalah formasi rohani, dengan partisipasi aktif dari awal hingga akhir. Ibadah Minggu menampilkan drama Injil.

Hari ini kita tiba pada puncaknya: pengutusan. N. T. Wright dalam Simply Christian mengatakan, “The purpose of worship is to form us into a people who embody the story of God’s grace and are sent into the world as witnesses.” Tujuan ibadah adalah membentuk kita menghidupi kisah kasih karunia Allah lalu diutus sebagai saksinya.

Karena itu setiap minggu doa berkat ditutup dengan kalimat, “Pulanglah dengan berkat dari Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus.” Jemaat merespons “Amin.” Dalam beberapa gereja lain: “Thanks be to God. Amen.” Lalu ditutup, “Go and be a witness. Go in peace.” Itulah pengutusan. Dalam bahasa Latin disebut misio—dikirim.

Hari ini pembahasan akan berfokus pada empat hal tentang misi. Pertama, fakta misi atau pengutusan. Kedua, karakter misi. Ketiga, dinamika misi. Dan keempat, penghiburan misi.

            1. FAKTA MISI

Perhatikan Mazmur 67:2–3. Ayat itu berkata, “Kiranya Allah menyinari kita dengan wajah-Nya. Sela.” Ini adalah pengulangan dari Bilangan 6, yaitu berkat Harun atau Aaronic blessing. Berkat Harun itu dimasukkan dalam Mazmur 67, tetapi tidak berhenti di sana. Ayat 3 melanjutkan, “Supaya jalan-Mu dikenal di bumi dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa.”

Inilah janji Allah kepada Abraham, yaitu perjanjian dalam Kejadian 12: “Aku memberkati engkau supaya engkau menjadi berkat bagi segala bangsa.” Artinya, ketika umat diutus setelah menerima benediction, setelah menerima berkat, itu menegaskan bahwa Tuhan tidak pernah memberkati hanya untuk dinikmati sendiri. Berkat Tuhan selalu bergerak ke luar. Bukan untuk ditimbun, bukan hanya untuk kepuasan pribadi, tetapi ada aliran: dari Allah, kepada kita, lalu untuk dunia. Itulah arahnya. Itulah desain berkat Tuhan.

Ingat kisah bangsa Israel di padang gurun. Mereka menerima manna dari langit (Keluaran 16). Menariknya, manna itu hanya cukup untuk sehari. Jika disimpan untuk besok, makanan itu membusuk. Ada prinsip di baliknya: God’s blessing has to be shared or it rots. Berkat Tuhan harus dibagikan, kalau tidak, ia akan rusak. Prinsip ini juga berlaku untuk karunia, bahkan untuk keselamatan di dalam Injil. Semua itu bukan untuk ditimbun atau dinikmati sendiri, bahkan bukan hanya untuk keluarga, tetapi harus dibagikan.

Yang menarik, ada sebuah riset di Amerika, Child Study Center pada tahun 2010-an. Mereka merilis laporan tentang tren anak-anak dari keluarga dengan penghasilan di atas 150.000 dolar per tahun. Anak-anak ini memiliki keamanan finansial, kebebasan berlebihan untuk belajar dan mengeksplorasi hobi, serta begitu banyak kesempatan untuk rekreasi, hiburan, pendidikan, dan les. Mereka adalah anak-anak yang penuh privilese.

Namun, hasil riset menunjukkan hal yang mengejutkan. Sebagian besar anak-anak ini justru mengalami depresi, masalah kesehatan mental, bahkan kecenderungan bunuh diri. Angka bunuh diri remaja dari keluarga kaya dua kali lipat lebih tinggi. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kita sering berpikir bahwa dengan mencukupi segala sesuatu untuk anak, memberikan semua kesempatan, maka itu akan baik. Namun kenyataannya bertolak belakang. Anak-anak ini justru mengalami apati, kemalasan, ketidakmampuan untuk berkomitmen, sikap penuh hak (entitlement), kebingungan dalam mengambil keputusan, mudah tersinggung tanpa alasan, harga diri yang rendah, serta rasa tidak aman.

Dengan kata lain, mereka ditimbun dengan berkat. Mereka mengalami kenyamanan dan kemakmuran, tetapi tidak pernah diajarkan untuk melayani, berkorban, atau berbagi. Akhirnya, hidup mereka tidak melihat sesuatu yang lebih besar dari kebahagiaan pribadi. Hasilnya? Hidup mereka membusuk.

Itulah sebabnya berkat sejati, berkat dari Allah, selalu memiliki arah yang jelas: dari Allah, kepada kita, lalu disalurkan kepada dunia. Karena berkat Allah memang harus dibagikan.

           2. KARAKTER MISI

Jika kita diberkati untuk memberkati orang lain, apa yang sebenarnya perlu dilakukan di dunia ini? Jadi, ketika kita diutus keluar setelah menerima berkat benediction, setelah berkata amin, bahkan mungkin dengan tepuk tangan, lalu melangkah keluar, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita dapat hidup dalam misi itu?

Mazmur 67 menyebutkan yang pertama: membagikan kebenaran. Ayat 3 berkata, “Supaya jalanmu dikenal di bumi, keselamatanmu di antara segala bangsa.” Jalan Tuhan bukan sekadar perbuatan baik, aturan agama, atau sekadar moralitas. Jalan Tuhan adalah Injil—kabar baik itu sendiri. Artinya, kita dipanggil untuk bersaksi tentang Kristus. Tepat sekali, di hari ini kita didorong untuk pray, share, invite—memberitakan kabar baik bagaimana manusia dapat diperdamaikan dengan Allah.

Ada yang pernah bertanya, “Kenapa orang Kristen harus menginjili? Kenapa tidak cukup kalau iman itu pribadi saja, disimpan untuk diri sendiri?” Bukankah lebih enak begitu—iman yang privat, tanpa harus mengajak orang lain? Jawaban singkatnya adalah: karena ketika kita sungguh bersukacita akan sesuatu, ketika kita sungguh menikmati sesuatu, kita pasti ingin membagikannya.

Contoh kecil, ada teman-teman dari luar kota yang datang ke Surabaya. Katanya mau menyelidiki tata kota, tetapi yang terjadi justru kulineran dari pagi sampai malam, berpindah dari satu restoran ke restoran lain. Semua dicoba—dari pasar Atom, makan babi, ayam goreng presiden, ayam goreng pemuda, macam-macam. Lalu apa yang mereka lakukan? Memfoto dan memposting, “Ini enak banget!” Bahkan ada yang sampai membeli versi frozen untuk dibawa pulang bagi keluarga. Mengapa? Karena ketika seseorang mengalami sesuatu yang baik, ia ingin membagikannya.

Begitu juga dengan hal-hal kecil dalam keseharian. Suami istri bisa saling berbagi reels di Instagram—yang indah dibagikan untuk menginspirasi, yang lucu dibagikan untuk tertawa bersama. Intinya sama: ingin membagikan sukacita. Ketika kita menemukan sesuatu yang indah, kita ingin orang lain pun merasakan keindahan itu. Nah, masalahnya adalah jika Injil tidak pernah benar-benar dirasakan sebagai sesuatu yang indah. Jika kasih karunia Kristus tidak pernah dinikmati dengan mendalam, dan berhenti hanya pada level doktrin, wajar saja jika misi terasa sebagai beban.

Pertanyaan pentingnya: apakah kita sungguh menikmati Injil? Apakah kita sungguh menikmati Yesus? Masih ingat rasa berbunga-bunga ketika pertama kali jatuh cinta, jadian, atau dilamar? Spontan ingin memposting, ingin membagikan momen itu. Begitu juga seharusnya dengan Injil—saat benar-benar dialami, akan lahir kerinduan untuk membagikannya.

Yang kedua, Mazmur 67 ayat 4 menekankan tentang mengusahakan keadilan: “Kiranya suku-suku bangsa bersukacita dan bersorak-sorai sebab Engkau memerintah bangsa-bangsa dengan adil.” Orang Kristen tahu bahwa dunia telah jatuh dalam dosa. Itulah sebabnya ada kejahatan, penderitaan, dan ketidakadilan. Tetapi Alkitab tidak pernah menyuruh kita untuk bersembunyi atau melarikan diri. Injil tidak mengajarkan eskapisme. Yesus tidak pernah berkata, “Percaya saja, lalu tunggu sampai mati, nanti masuk surga.” Tidak pernah. Injil selalu bicara tentang mengusahakan keadilan, berlaku jujur, membawa berkat, memberi dampak.

Mengapa? Karena suatu hari Kristus akan memulihkan dunia di langit dan bumi yang baru. Selama kita masih hidup, kita dipanggil untuk ikut serta dalam proses itu—memulihkan dunia, menyembuhkan dunia, membawa pengharapan bagi dunia. Itulah tanda bahwa kerajaan Allah ada dalam diri kita.

Pelayanan kepada anak-anak yang terabaikan, kepada kaum marginal, atau kepada sekolah-sekolah di pelosok—semua itu adalah bagian dari misi ini. Mungkin ada yang bertanya, “Apa gunanya? Itu seperti melempar garam ke laut. Hanya menolong sedikit, sementara masalahnya begitu besar.” Namun Alkitab menunjukkan bahwa setiap usaha mengusahakan keadilan tidak pernah sia-sia. Itu berarti berpartisipasi dalam karya Kristus sendiri.

Contoh kecil lainnya: membangun taman di depan gereja. Ada yang berkomentar, “Untuk apa? Hanya taman kecil, sementara sekelilingnya masih gersang.” Tetapi di balik itu ada makna—menjaga lingkungan, menegakkan keadilan ekologis, berpartisipasi dalam merawat ciptaan. Bahkan hal sederhana seperti memisahkan sampah organik dan plastik memiliki makna, bukan sekadar memudahkan pemulung, melainkan sebagai tanda kepedulian akan bumi yang Tuhan percayakan.

Orang Kristen memang hidup di antara dua ketegangan: already but not yet—sudah, tetapi belum. Dunia ini bukan segalanya. Satu hari penderitaan akan berakhir. Tetapi dunia ini juga berharga, karena Allah akan memperbaruinya. Itulah sebabnya kita dipanggil untuk peduli, mengusahakan keadilan, memperjuangkan pemulihan, karena kita sedang ikut serta dalam perjalanan karya Allah.

Yang ketiga adalah membangun komunitas. Mazmur 67 ayat 7b–8 berkata: “Allah kita memberkati kita. Allah memberkati kita. Kiranya segala ujung bumi takut akan Dia.” Perhatikan kata kita. Ini bukan sekadar kumpulan individu, melainkan sebuah komunitas umat Allah.

Yesus sendiri memberi perintah baru: supaya kita saling mengasihi. Dengan saling mengasihi, dunia tahu bahwa kita murid-murid-Nya. Komunitas itu sendiri menjadi kesaksian. Pada abad pertama, orang Yahudi, Yunani, dan Romawi tidak pernah mau duduk bersama. Laki-laki dan perempuan pun hidup dalam segregasi. Tetapi gereja mula-mula meruntuhkan semua batas itu. Tidak ada lagi Yunani atau Romawi atau Yahudi. Mereka duduk bersama, saling menyebut sebagai saudara, bahkan budak dan tuan dapat berdoa bersama. Itu menggoncang norma budaya.

Itulah mengapa komunitas Kristen penting. Di dalam komunitas, orang belajar bahwa gereja bukan hanya untuk satu suku, bukan hanya untuk satu generasi, melainkan lintas budaya, lintas ras, lintas umur. Dunia di luar penuh dengan pertengkaran dan kebencian, tetapi di dalam gereja yang diangkat adalah rekonsiliasi, pengampunan, dan pertobatan.

Injil bekerja dengan dua arah: sentripetal—menarik masuk, dan sentrifugal—mendorong keluar. Salah satu kesaksian terbesar Injil kepada dunia adalah ketika komunitas Kristen tampil berbeda. Dunia melihat sesuatu yang lain, sesuatu yang indah, sesuatu yang nyata.

Itulah karakter dari misi: membagikan kebenaran, mengusahakan keadilan, dan membangun komunitas.

           3. DINAMIKA MISI

Perhatikan dinamika misi yang baru saja dijelaskan. Itu baru produk dari Injil, baru efeknya Injil. Setidaknya kita tahu bahwa firman Tuhan berkata demikian. Sekarang masuk pada dinamika Injil itu sendiri. Kalau kita tahu fakta misi itu apa dan karakter misi itu bagaimana, pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana kita bisa menjalaninya? Dari mana energi dan motivasi itu datang?

Mazmur 67 ayat 5–8 memberikan jawabannya: “Kiranya bangsa-bangsa bersyukur kepada-Mu, ya Allah. Kiranya suku-suku bangsa bersukacita dan bersorak-sorai. Kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu.” Ada tiga nada yang muncul di sini: bersyukur, bersukacita, dan bersorak-sorai. Nada dasar dari puisi ini adalah sukacita dan pujian syukur.

Artinya, misi bukan sekadar kewajiban. Bukan seperti pikiran, “Kita harus bermisi supaya Tuhan segera datang.” Tidak. Misi lahir dari pujian dan syukur. Jadi, saat ibadah berakhir, ketika umat berkata amin dan bertepuk tangan, itu bukanlah ekspresi formal belaka, melainkan tanda bahwa misi didorong bukan oleh rasa bersalah atau kewajiban, melainkan oleh sukacita dan ucapan syukur yang meluap.

Alkitab sendiri memberikan ilustrasi. Dalam Lukas 10, Yesus mengutus 70 murid untuk melakukan misi. Mereka pergi, mendoakan orang sakit, dan orang-orang disembuhkan. Mereka melepaskan orang dari kerasukan. Ketika kembali kepada Yesus, mereka penuh semangat berseru, “Guru, bahkan setan-setan pun takluk kepada kami.” Itu terlihat baik, tetapi Yesus justru menegur mereka dengan cukup keras: “Janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di surga.”

Mengapa Yesus berkata demikian? Karena murid-murid mulai mendasarkan sukacita mereka pada prestasi pelayanan, bukan pada Injil. Inilah bahayanya. Jika pelayanan berhasil, hati bisa menjadi sombong, seolah semua karena kemampuan sendiri. Padahal segala hasil pelayanan adalah karena kedaulatan Tuhan. Sukacita yang mendasarkan diri pada keberhasilan semacam ini rapuh. Hanya sukacita karena anugerah Allah yang memberi keamanan sejati.

Yesus mengingatkan, sukacita sejati bukan karena pelayanan kita, melainkan karena kita dikenal dan dikasihi Allah. Itulah identitas yang lebih besar daripada apa pun. Nama yang tercatat di surga lebih indah daripada segala keberhasilan di bumi. Pada zaman itu, nama yang tercatat dalam sebuah kitab kota menandakan identitas resmi seseorang. Yesus menegaskan, “Nama kita sudah tertulis di surga.” Itu adalah kasih karunia, bukan hasil usaha.

Musa pernah berani meminta sesuatu yang luar biasa kepada Allah ketika bangsa Israel berdosa. Ia berkata, “Ampunilah dosa mereka, dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari kitab yang telah Kau tulis” (Kel. 32:32). Namun Allah menolak, karena Musa juga manusia berdosa. Permintaan itu terlalu besar untuk seorang manusia. Tapi apa yang Musa lakukan adalah gambaran akan sesuatu yang lebih besar.

Berabad-abad kemudian muncullah Musa sejati: Yesus Kristus. Ia tidak hanya berkata, “Hapuskan namaku,” melainkan benar-benar turun dari surga, lahir di tempat hina, mati dengan cara yang paling mengenaskan—disalibkan, ditolak, dilupakan. Seakan-akan namanya dihapus, supaya kita yang tidak layak diingat, diterima, dan nama kita dicatat dalam kitab kehidupan. Bahkan bukan hanya di kitab itu, firman Tuhan berkata, “Aku mencatat namamu di telapak tangan-Ku.”

Inilah dasar sukacita kita. Inilah energi misi. Misi bukan sekadar strategi atau program, melainkan gaya hidup. Jika seseorang benar-benar menikmati Tuhan, maka sukacita Injil akan mengalir keluar dengan alami. Injil akan dibagikan tanpa terpaksa, pelayanan akan dijalani dengan rendah hati karena menyadari bahwa diri sendiri sudah terlebih dahulu dilayani. Dalam komunitas, ada ruang untuk mengasihi, dikasihi, mengampuni, dan menerima pengampunan. Itulah keindahan komunitas Injil ketika setiap orang sadar bahwa dirinya telah ditebus.

 

           4. PENGHIBURAN MISI

Di sinilah masuk pada poin terakhir: penghiburan misi. Ada sesuatu yang menarik di dalam Mazmur tadi, khususnya ayat 7 sampai 8. Terjemahan bahasa Indonesia di ayat 8 terasa kurang jelas, jadi mari kita lihat langsung dalam bahasa Inggris: Then the earth shall yield her increase. God, our own God, shall bless you. Perhatikan kata-kata God shall. Ada nuansa masa depan di situ: God shall bless us and all the ends of the earth shall fear him. Konotasinya menunjuk pada masa depan, pada satu hari nanti ketika akan ada langit baru dan bumi baru, di mana penderitaan akan selesai. Akan ada pemulihan besar, cinta sejati, tegaknya keadilan, dan kasih yang kekal. Tidak ada lagi rasisme, tidak ada segregasi, tidak ada kemiskinan, tidak ada penyakit. Semua kelemahan tubuh kita pun akan lenyap.

Pernahkah terpikir mengapa kita begitu suka menonton film dengan akhir yang bahagia? Kita senang ketika pahlawan menang dan yang jahat kalah, ketika rasisme dikalahkan, atau seorang tiran dijatuhkan. Hati kita hangat saat melihat happy ending, ketika superhero menang. Ada kerinduan di dalam diri manusia untuk itu.

J.R.R. Tolkien pernah berkata, kita tidak bisa lepas dari cerita dongeng karena kita merindukan keadilan sempurna, kemenangan terakhir, sukacita yang abadi. Bukankah kita tersentuh saat melihat pahlawan mengalahkan kejahatan? Bukankah kita menangis saat melihat cinta yang penuh pengorbanan? Ada kerinduan untuk dunia di mana orang baik selalu menang dan kejahatan dihancurkan total. Dunia sering menyebut hal itu tidak realistis. Tetapi menurut Tolkien, alasan kita tidak bisa berhenti mencintai dongeng adalah karena itu mencerminkan kerinduan terdalam manusia. Seakan-akan hati kita berkata, seharusnya dunia seperti itu, tapi mengapa tidak?

Semua kisah yang kita sukai—Beauty and the Beast, Cinderella, Lord of the Rings—hanyalah bayangan Injil. Ada pangeran yang datang menyelamatkan. Ada cinta sejati yang tidak pernah berpisah. Dan Injil adalah dongeng itu yang menjadi nyata. Injil adalah penghiburan dalam misi: akhir cerita kita sudah pasti indah. Ya, ada Pangeran yang datang. Tapi Dia tidak datang dengan pedang, melainkan dengan salib. Kristus adalah Sang Pangeran itu. Dia datang dalam palungan, merendahkan diri, mati di kayu salib. Dia menanggung semua keburukan kita supaya kita bisa didekap kasih yang mengubah kita dari yang buruk rupa menjadi mempelai yang cantik dan indah.

Inilah sumber kekuatan dan penghiburan kita dalam misi.

Izinkan sebuah kesaksian pribadi. Selama bertahun-tahun saya berada dalam sebuah gereja dengan liturgi yang tidak mengikuti pola Injil. Musiknya keren, pencahayaannya indah, urutannya seperti konser besar. Saya kagum, bahkan ingin menjadi bagian dari itu—saya jadi worship leader, main gitar, piano, keyboard—selalu berusaha memberikan yang terbaik agar ibadah tampak megah. Namun setelah beberapa waktu, hati saya mulai merasa kosong. Dari minggu ke minggu memang ada semangat, ada kesan seolah-olah dijamah Tuhan. Tapi saya tidak yakin jamahan itu sungguh nyata. Hati saya tidak semakin dipenuhi Injil. Yang ada hanya lelah, jenuh, dan marah ketika pelayanan tidak dihargai. Semuanya terasa dangkal, lebih mirip sebuah pertunjukan.

Suatu hari, saat tinggal di Los Angeles, saya ikut pelatihan Evangelism Explosion di Fort Lauderdale, Florida. Saya belajar bagaimana memberitakan Injil. Namun yang paling mengubah saya bukanlah materinya, melainkan pengalaman beribadah di sana. Saya mengikuti chapel dan ibadah minggu di Coral Ridge Presbyterian Church. Tidak ada lighting, tidak ada smoke machine, tidak ada gitar listrik, tidak ada drum. Hanya piano dan pipe organ. Pendeta yang berkhotbah pun sudah tua renta, almarhum James Kennedy, memakai jubah sederhana.

Salah satu khotbahnya menjelaskan tentang urutan liturgi Injil. Saat itu saya baru sadar: ternyata setiap urutan punya maksud. Hari Minggu, saya kembali ikut ibadah di sana. Tidak ada orkestra. Hanya piano. Saya tidak tahu lagu-lagunya, hanya membuka buku kidung pujian. Tapi ketika mengikuti urutan liturgi, ketika membaca liriknya, saya begitu tersentuh. Kata-kata itu mendeskripsikan salib dan Kristus—bukan perasaan saya. Di situ saya benar-benar dijamah. Tanpa musik megah, tanpa suasana dramatis, saya menangis sepanjang khotbah. Bukan berarti air mata menjadi ukuran hadirat Tuhan, tetapi saya dibuat sadar bahwa kekuatan ibadah bukan pada hebohnya acara atau kerennya musik, melainkan pada indahnya Injil, indahnya Kristus.

PERTANYAAN REFLEKTIF

Liturgi kehidupan apa yang paling sering membentuk hati saya setiap hari (liturgi dunia atau liturgi Injil)?

Bagaimana saya bisa membagikan berkat Allah yang saya terima dalam ibadah Minggu ini kepada orang lain minggu depan? dengan kata-kata, perbuatan adil, atau kasih dalam komunitas?

Apakah sukacita utama saya ada pada prestasi, atau pada kenyataan bahwa nama saya sudah tertulis di surga oleh kasih Kristus?

ORANG BERINJIL

diberkati bukan untuk menyimpan, tapi diutus untuk menjadi berkat.

sukacitanya bukan pada hasil & prestasi, tapi pada identitas (nama) yang sudah tertulis di surga.

beribadah bukan untuk terisolasi dari dunia, tapi supaya diutus keluar untuk berdampak kepada dunia.