Benediction

LITURGI – WEEK 4 "Benediction" 

Ps. Michael Chrisdion

Liturgi dalam ibadah bukan sekadar rundown acara, melainkan pola Alkitab yang esensial bagi pembentukan rohani. Dunia terus “berkhotbah” lewat media, teman, dan budaya, sementara gereja hanya punya 52 minggu setahun untuk melatih umat. Karena itu liturgi bukan hanya soal rasa lega, worship yang mengangkat, atau ekspresi emosi, melainkan sarana mendewasakan spiritualitas yang mudah melenceng.

Pemuridan tidak hanya terjadi lewat khotbah, tetapi sejak call to worship hingga benediction. Setiap elemen liturgi adalah kisah Injil: call to worship meneguhkan fokus pada Tuhan, confession of sin menyadarkan dosa, katekismus meneguhkan doktrin, lalu pertobatan, berita anugerah, firman, dan respons kita. Semua itu bukan sekadar acara, tetapi pembentukan rohani.

Setiap gereja pasti memiliki liturgi; yang penting adalah apakah liturgi itu berakar pada Alkitab atau hanya mengikuti budaya. Di Gibeon Church, kita berkomitmen memakai pola Alkitab, dan kini kita tiba pada bagian kelima: benediction.

BACAAN : Bilangan 6:22-27

6:22 TUHAN berfirman kepada Musa: 

6:23 "Berbicaralah kepada Harun dan anak-anaknya: Beginilah harus kamu memberkati orang Israel 1 , katakanlah kepada mereka: 

6:24 TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; 

6:25 TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; 

6:26 TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera. 

6:27 Demikianlah harus mereka meletakkan nama-Ku atas orang Israel, maka Aku akan memberkati mereka."

Hari ini kita akan membahas tentang bagaimana merespons benediction. Pertanyaannya: apakah benediction hanyalah tanda bahwa ibadah selesai, seperti sidang parlemen yang ditutup dengan kalimat formal, “Sidang ditutup”? Apakah doa berkat hanya sekadar formalitas untuk memberi tahu jemaat bahwa ibadah sudah selesai dan saatnya pulang? Ternyata tidak demikian. Ada makna yang sangat dalam di baliknya.

Jika memperhatikan Bilangan 6:22–27 tadi, inilah yang disebut Aaronic Blessing—berkat Harun. Kata-kata ini memang dipakai setiap kali ibadah di Tabernakel Israel selesai. Selalu doa berkat ini yang disampaikan, sama seperti dalam ibadah kita yang diakhiri dengan berkat. Tetapi ini bukan sekadar penutup liturgi. Ada makna yang sangat dalam, yaitu janji Tuhan sendiri yang terkandung di dalam kata-kata itu.

Karena itu, ada tiga hal yang akan kita bahas. Pertama, apa arti berkat Tuhan ini, apa arti benediction bagi kita. Kedua, bagaimana berkat itu datang. Dan ketiga, bagaimana benediction itu mengubah hidup kita.

APA ARTI BERKAT TUHAN INI?

Yang pertama, apa arti benediction Tuhan ini? Mari kita lihat bersama-sama ayat 24: “Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau.” Dalam bahasa Inggris: “The Lord bless you and keep you.”

Pertanyaannya, apa sebenarnya arti berkat ini? Banyak gereja sering menyalahgunakan istilah “berkat.” Kata itu kerap diidentikkan dengan uang, emas, berlian, atau terobosan-terobosan hidup. Padahal maknanya jauh lebih dalam.

Kita bisa mulai dari penciptaan. Ketika Allah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya, setiap hari ada progres. Dan setiap kali Ia menyelesaikan karya-Nya, Ia berkata, “Segala sesuatu itu baik.” Dalam Kejadian 1, enam kali Allah menyatakan hal itu. Bahkan dua kali dikatakan, Allah melihat semuanya itu baik, lalu Ia memberkatinya. Jadi, ketika Allah memandang ciptaan-Nya, Ia melihat bahwa itu baik dan Ia memberkatinya.

Dalam bahasa Ibrani, kata itu barak. Dalam bahasa Latin: benedictio—yang kemudian menjadi benediction. Kata ini berasal dari dua akar: bene yang berarti “baik,” dan dicere yang berarti “kata.” Jadi, benediction berarti “kata yang baik.”

Allah berbeda dengan kita. Jika kita menggambar sesuatu lalu melihat hasilnya jelek, kita bisa buang dan mencoba lagi. Tetapi Allah tidak demikian. Karena Ia Mahatahu dan Mahakuasa, ketika Ia menciptakan sesuatu, Ia tahu dengan pasti bahwa itu baik. Maka ketika Ia berkata “baik” dan memberkatinya, artinya Ia sungguh menikmati ciptaan itu.

Bayangkan seorang koki. Ia bekerja berjam-jam di dapur, mencampur berbagai bahan, memasak dengan teliti, lalu menatanya di piring dengan indah. Saat melihat hasilnya, ia berkata, “Bagus.” Namun bukan hanya bagus secara tampilan, ia juga mencicipinya, menikmati rasanya, dan berkata, “Wow, ini enak sekali.” Atau seorang pelukis yang menyelesaikan sebuah karya, menggantungnya di tembok, lalu duduk berjam-jam hanya untuk menikmati keindahannya. Demikianlah Allah ketika Ia berkata, “Ini baik,” dan Ia memberkatinya.

Di sini kita melihat bahwa berkat memiliki dua dimensi. Pertama, objektif: fakta, status, realitas. Misalnya: kita adalah anak Allah, kita ditebus, kita umat-Nya. Itu fakta doktrinal. Kedua, subjektif: dimensi emosi dan relasi. Allah bukan hanya menyatakan, “Engkau umat-Ku,” tetapi Ia juga menikmati umat-Nya, bersukacita ketika kita berubah, dikuduskan, dan semakin serupa dengan-Nya.

Seperti relasi suami istri. Seorang suami bisa berkata kepada istrinya, “Engkau adalah istriku”—itu fakta objektif. Tetapi jika berhenti di situ, relasi itu kering. Akan berbeda ketika ia memeluk, menggandeng, mengajak makan malam, menatap mata, dan berkata, “Aku mencintaimu.” Ada pengalaman subjektif yang nyata: cinta yang dirasakan, sukacita yang dinikmati. Begitu juga dengan berkat Allah.

Jadi berkat bukan hanya status bahwa kita milik Allah, tetapi juga pengalaman bahwa Allah menikmati kita. Kata kunci blessing adalah delight dan commitment. Allah bersukacita atas umat-Nya, dan Ia berkomitmen dengan kasih yang tidak pernah gagal, dengan kesetiaan yang tidak pernah dibatalkan. Ia menghendaki kebaikan kita, dan kuasa-Nya dicurahkan untuk mewujudkan itu.

Masalahnya, sering kali kita tidak menyadari betapa pentingnya berkat itu. Buktinya, ada yang pulang duluan sebelum doa berkat, seolah-olah itu hanya formalitas. Padahal doa berkat bukan basa-basi dari Tuhan. Itu janji yang nyata.

Alkitab memberi contoh jelas lewat kisah Yakub. Ia adalah anak Ishak dan Ribka, kembar dengan Esau. Secara hukum, Esau sebagai anak sulung berhak menerima berkat utama. Namun Allah telah menubuatkan bahwa Yakublah yang akan dipakai untuk melanjutkan garis keselamatan. Isak lebih mengasihi Esau dan mengabaikan Yakub. Yakub tumbuh haus akan kasih dan pengakuan ayahnya.

Ketika Isak sudah tua dan buta, tiba saatnya ia memberkati anak sulung. Ribka membantu Yakub menipu ayahnya dengan menyamar sebagai Esau. Dengan pakaian Esau, dengan bau Esau, bahkan dengan bulu yang ditempelkan agar terasa berbulu, Yakub datang kepada ayahnya. Isak percaya, lalu memberkati Yakub.

Tentu penipuan itu cepat atau lambat terbongkar. Dan benar, akhirnya terbongkar. Esau marah, Yakub harus lari, kehilangan rumah dan keluarganya. Hidupnya berantakan. Ironis, usaha Yakub untuk mendapatkan berkat justru menghancurkan hidupnya. Tetapi mengapa ia tetap melakukannya? Karena begitu haus akan berkat. Ia rela menipu demi mendengar kata berkat keluar dari mulut ayahnya, meski dengan cara palsu.

Kisah ini adalah cermin diri kita. Sama seperti Yakub, manusia haus akan berkat, pengakuan, dan afirmasi. Kita rindu mendengar ada yang berkata, “Engkau berharga. Engkau dikasihi. Engkau diterima.” Karena kita tidak bisa memberkati diri kita sendiri. Dunia boleh berkata, “Percayalah pada dirimu sendiri, bangun identitasmu sendiri.” Tetapi kenyataannya, kita tetap haus validasi dari luar.

Anak muda di media sosial bisa berkata, “Aku tidak peduli apa kata orang.” Namun buktinya, mereka rajin mengatur unggahan, memilih filter, membuat caption menarik, lalu terus-menerus mengecek notifikasi. Ketika likes banyak, mereka merasa berharga; ketika engagement turun, mereka merasa gagal. Itu bukti hati kita haus validasi.

Mungkin bagi sebagian orang, bukan media sosial yang menjadi sumber validasi, melainkan koneksi sosial, undangan dalam kelompok tertentu, atau bahkan harta benda: saldo, omzet, aset. Selama itu naik, merasa berharga; ketika turun, harga diri ikut runtuh. Padahal uang dan aset tidak bisa berkata, “Aku mengasihimu. Aku tidak akan meninggalkanmu.”

Itulah sebabnya kita butuh berkat Allah. Hanya berkat-Nya yang sejati yang memberikan shalom. Shalom bukan sekadar salam formal. Shalom berarti keutuhan, pemenuhan terdalam dari jiwa, ketenangan dan kepuasan yang sejati.

Karena itu, setiap kali menerima benediction di akhir ibadah, jangan pernah melihatnya sebagai formalitas. Itu bukan basa-basi dari Tuhan. Itu adalah bukti bahwa Ia benar-benar mengasihi kita. Ia memberkati bukan hanya secara objektif, tetapi supaya kita menikmati Dia, dan Dia menikmati kita.

BAGAIMANA BERKAT ITU DATANG?

Sekarang mari kita melihat bagaimana berkat itu datang. Di sinilah terlihat keindahannya. Kita baca bersama ayat 25: Tuhan menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia. The Lord make His face shine upon you.

Apa artinya wajah Tuhan? Ini berbicara tentang relasi pribadi dan keintiman. Bayangkan ketika makan di sebuah restoran bersama sepuluh orang dalam satu meja. Hadir di sana berarti berbagi cerita umum, tertawa bersama, nimbrung sana-sini, lalu makanan datang, dimakan sambil ngobrol dengan banyak orang. Tapi ketika kita menoleh ke sebelah, bertemu mata dengan orang di samping, terjadilah percakapan pribadi. Hanya berdua. Wajah yang berbalik itu membangun relasi yang lebih dalam. Itu menunjukkan perhatian.

Begitu pula wajah Tuhan. Dia hadir di mana-mana—di mal, di mobil, di motor. Tetapi setiap kali kita menerima berkat benediction, Tuhan menyatakan, “Wajah-Ku, Aku arahkan kepadamu. Aku hadir bukan sekadar secara umum, tapi Aku hadir untukmu. Aku memperhatikan hidupmu. Engkau biji mata-Ku.” Itu luar biasa. Tuhan yang mulia, besar, dan dahsyat itu ternyata begitu personal. Dia mengenal jumlah rambut di kepala kita, Dia menulis nama kita di telapak tangan-Nya.

Namun di balik keindahan ini ada masalah besar. Musa pernah meminta untuk melihat wajah Tuhan. Dalam Keluaran 33:18, Musa berkata, “Perlihatkanlah kiranya kemuliaan-Mu kepadaku.” Tetapi Tuhan menjawab di ayat 20, “Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang dapat melihat Aku dan tetap hidup.”

Mengapa begitu? Karena manusia sudah kehilangan wajah Tuhan sejak Taman Eden. Adam dan Hawa dulu menikmati persekutuan dengan Allah, tetapi dosa membuat relasi itu hilang. Kehadiran Allah tetap ada secara umum, tetapi wajah-Nya—relasi pribadi-Nya—tidak lagi terbuka. Kekudusan Allah dan dosa manusia tidak bisa menyatu, seperti api dan air. Itu sebabnya Tuhan berkata, “Tidak ada seorang pun dapat melihat wajah-Ku dan hidup.” Dosa manusia terlalu kecil di hadapan kekudusan itu; bila mendekat, hangus.

Sekarang bayangkan, Musa yang sama tiba-tiba mendengar firman Tuhan dalam Bilangan 6: “Tuhan menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia.” Bagaimana mungkin? Bagaimana wajah Allah bisa bersinar atas umat yang berdosa? Hanya jika ada kasih karunia. Hanya jika dosa itu dibereskan.

Petunjuknya ada di liturgi. Benediction selalu diucapkan di akhir ibadah, bukan di awal. Mengapa? Karena di awal, orang datang dengan dosa. Sepanjang ibadah di tabernakel, ada korban sembelihan, ada darah, ada pendamaian. Barulah setelah itu imam mengangkat tangan dan berkata, “Tuhan memberkati engkau, Tuhan menyinari engkau dengan wajah-Nya, dan memberi engkau kasih karunia.” Artinya, dosa harus dibereskan terlebih dahulu, baru berkat itu tercurah.

Semua itu menunjuk pada sesuatu yang lebih besar, yang saat itu Musa tidak mengerti. Surat Ibrani 10 menjelaskan: para imam setiap hari mempersembahkan korban berulang-ulang, tetapi tidak pernah menghapuskan dosa. Semua itu hanyalah bayangan. Namun Yesus mempersembahkan satu korban, satu kali untuk selamanya. Dialah Imam Besar sejati, Anak Domba Allah, yang menanggung dosa supaya kita memperoleh wajah Tuhan kembali.

Bilangan berbicara tentang tabernakel, dan Yohanes 1:14 mengatakan, “Firman itu menjadi manusia dan tinggal di antara kita.” Kata “tinggal” di sini berarti bertabernakel. Yesus adalah Tabernakel sejati, bukan lagi bangunan di Yerusalem, melainkan Pribadi yang hidup di dalam hati orang percaya.

Wajah Tuhan yang dulu tidak bisa dilihat, kini bercahaya dalam wajah Kristus. Paulus menulis dalam 2 Korintus 4:6, “Allah yang telah berfirman: Dari dalam gelap akan terbit terang, Ia juga yang membuat terangnya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah di wajah Kristus.”

Apa artinya? Dulu kita hanya bisa melihat belakang Tuhan. Sekarang, di dalam Kristus, kita boleh melihat wajah Allah dan hidup. Melalui salib Kristus, kita bisa memandang Allah dalam kasih, bukan dalam ketakutan.

Saat gagal, kita tidak perlu lari dari Tuhan. Saat merasa tidak berharga, kita tahu kita berharga karena Kristus. Di dalam Dia, wajah Allah menatap kita dengan kasih, berkata, “Engkau anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” Itulah validasi sejati.

Kisah Yakub memperlihatkan gambaran ini. Ketika ia menipu Isak, ia berkata kepada Ribka, “Bagaimana kalau aku ketahuan? Bukannya berkat, aku malah kena kutuk.” Ribka menjawab, “Biarlah kutukmu menimpa aku, anakku.” Ucapan sembrono itu ternyata bernubuat tentang Kristus. Dialah yang sungguh-sungguh berkata, “Biarlah kutukmu menimpa Aku.”

Kutuk yang seharusnya jatuh atas kita ditanggung oleh Yesus, supaya berkat yang menjadi hak-Nya dialihkan kepada kita. Inilah Injil benediction: yang seharusnya kita terima—kutuk, penghakiman, kematian—ditanggung oleh Kristus. Dan yang menjadi milik Kristus—kasih Bapa, perkenanan Bapa, kemuliaan Bapa—diberikan kepada kita.

Itulah benediction. Setiap minggu kita diingatkan akan hal ini. Maukah kita menerimanya? Maukah kita merenungkannya?

BAGAIMANA BERKAT ITU MENGUBAH HIDUP KITA?

Yang terakhir, bagaimana berkat itu mengubah kita? Bilangan 6:27 berkata, “Demikianlah harus mereka meletakkan nama-Ku atas orang Israel, maka Aku akan memberkati mereka.”

Di sini terlihat sesuatu yang penting. Berkat Tuhan bukan sekadar memberikan perasaan hangat, seolah hanya tanda bahwa Tuhan memberkati dan mengasihi. Lebih dari itu, berkat Tuhan memberikan nama baru, karena ada nama Allah yang diletakkan atas kita.

Saat mendengar doa berkat atau benediction, Allah sedang berkata, “Aku meletakkan nama-Ku atasmu.” Sama seperti pada waktu baptisan, ketika seorang hamba Tuhan membaptis seseorang ke dalam air, ia berkata, “Aku membaptis engkau di dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.” Sejak saat itu, hidup orang tersebut tidak lagi miliknya sendiri, melainkan dimeteraikan dengan nama Allah Tritunggal. Itulah sebabnya setiap kali hamba Tuhan memberkati jemaat dengan doa berkat, selalu diucapkan: “Pulanglah dengan berkat dari Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus.” Itu adalah konfirmasi ulang atas baptisan.

Artinya, berkat Tuhan sama dengan identitas baru. Identitas itu membawa solidaritas, akuntabilitas, keamanan, dan keintiman. Bayangkan seorang anak yatim bernama Michael, hidup sendiri tanpa perlindungan, tanpa keluarga. Lalu ia diadopsi oleh sebuah keluarga penuh kasih, misalnya keluarga dengan nama Chrisdion. Maka namanya berubah menjadi Michael Chrisdion. Sekarang ia tidak sendirian lagi, karena keluarga barunya memberikan solidaritas—ada orang-orang yang membela, memperhatikan, dan memikirkan dirinya. Ada juga akuntabilitas, karena ia kini membawa nama keluarga, sehingga hidupnya tidak bisa sembarangan. Pada saat yang sama, ada keamanan, karena keluarga itu akan melindungi, merangkul, dan mengasihinya.

Itu yang Tuhan lakukan bagi kita. Karena itu identitas baru membuat kita berdamai dengan diri sendiri. Kita bukan anak yatim lagi. Tidak perlu mencari validasi untuk mendapatkan identitas, sebab identitas itu sudah diberikan di dalam Tuhan. Kita memiliki kepercayaan diri baru, solidaritas di dalam komunitas iman, tanggung jawab sebagai orang Kristen, serta keamanan hidup dalam Tuhan. Dan lebih dari itu, ada keintiman karena Tuhan mengasihi kita.

Hal ini juga terkait dengan persembahan. Persembahan bukan syarat untuk diberkati. Kita memberi bukan supaya diberkati, melainkan karena sudah diberkati. Itu adalah respon syukur. Dalam ibadah, Tuhan lebih dahulu memberikan kasih karunia, firman, pengampunan, dan anugerah-Nya. Respon kita adalah doa, pertobatan, pengudusan, dan salah satunya melalui memberi persembahan sebagai latihan syukur atas hidup yang telah diselamatkan. Ini berbeda dari ajaran-ajaran yang menekankan imbalan 30, 60, atau 100 kali lipat. Firman tidak berkata demikian. Sebaliknya, kita sudah menerima kepenuhan berkat Tuhan yang sempurna.

Lalu bagaimana menjadi berkat bagi orang lain? Roma 12:14 berkata, “Berkatilah dan janganlah mengutuk.” Artinya, kita melakukan bagi orang lain apa yang Tuhan sudah lakukan bagi kita. Tuhan mencurahkan kebaikan-Nya, menyelamatkan, hadir, dan berkomitmen bagi kita. Maka kita dipanggil menemukan kebaikan Tuhan dalam hidup orang lain, mengafirmasi, dan memanusiakan mereka.

Ada sebuah pengalaman pribadi saat masih kuliah di Amerika. Suatu kali mengikuti persekutuan doa, berkenalan dengan seorang hamba Tuhan. Minggu berikutnya, ia menghampiri, mengingat nama, dan bahkan mengajak untuk ngobrol sambil ngopi. Ia hanya ingin mendengar cerita hidup. Hal sederhana itu begitu berkesan. Ia mendoakan, memberi kontak pribadi, dan bahkan mengirimkan kata-kata penguatan beberapa hari kemudian. Dari situ terasa betapa berharganya diri yang seringkali merasa “nobody.” Tindakan itu membuat merasa diperhatikan.

Pertanyaannya: seberapa sering kita melihat orang-orang di sekitar kita? Kadang kita hanya memperhatikan lingkaran kecil kita, tanpa menyadari ada orang lain yang juga perlu diperhatikan. Kita bisa belajar mengafirmasi kemajuan kecil dalam hidup mereka, mengapresiasi talenta yang sering diabaikan, atau mendoakan mereka. Mungkin itulah yang dipakai Tuhan untuk menyampaikan suara-Nya bagi mereka.

Akhirnya, benediction menjadi ringkasan Injil. “The Lord bless you, the Lord keeps you, the Lord shine His face upon you, and the Lord give you peace.” Semua ini bukan sekadar berkat objektif, melainkan undangan untuk mengecap manisnya Tuhan. Injil bukan hanya dipahami secara doktrin, tetapi juga dialami dan dirasakan.

Ada masa ketika pelayanan terasa hampa. Mengajar, berkhotbah, melayani, namun hati tetap kering, haus validasi, mudah goyah oleh kritik atau pujian. Namun firman tentang baptisan Yesus membuka mata. Sebelum Yesus melakukan pelayanan atau mukjizat apapun, Bapa sudah berkata, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Identitas-Nya sudah diteguhkan sebelum Ia berbuat apa pun. Firman itu juga berlaku bagi kita.

Menyadari hal itu mengubah segalanya: tidak lagi melayani untuk mencari validasi, melainkan karena sudah penuh dengan validasi dari Allah sendiri. Tidak lagi bekerja supaya dianggap berharga, karena sudah berharga di mata Tuhan.

Itulah sebabnya firman berkata, “Kecaplah dan lihatlah bahwa Tuhan itu baik.” Semakin menikmati Tuhan, masalah akan terasa kecil, sementara keindahan Tuhan semakin besar. Seperti kata Tim Keller, Yesus harus menjadi lebih indah daripada berhala-berhala kita.

Benediction adalah ringkasan Injil: Tuhan memberkati, melindungi, menyinari dengan wajah-Nya, dan memberikan damai sejahtera. Itu adalah undangan untuk menikmati Tuhan sepanjang minggu. Pertanyaannya, apakah doa berkat hanya kita lihat sebagai penutup ibadah, atau sungguh-sungguh suara Tuhan yang mengutus kita? Benediction bukan akhir kebaktian, melainkan awal pengutusan.

REFLEKTIF

  • Apakah saya melihat Benediction hanya sebagai penutup, atau sungguh sebagai suara Tuhan sendiri yang mengutus dengan kasih dan janji-Nya?
     
  • Apakah saya hanya tahu Allah mengasihi saya (objektif), atau juga sungguh merasakannya (subjektif)? Apa yang menghalangi saya “mengecap manisnya Tuhan”?
     
  • Dari siapa saya biasa mencari validasi atau “berkat palsu”? Dan saya bisa menjadi berkat kepada siapa di mana saya berkata dengan tulus: “Aku melihat kebaikan Allah dalam hidupmu”?

ORANG BERINJIL

  • Melihat Benediction sebagai awal pengutusan, bukan sekadar akhir kebaktian.
     
  • Tidak lagi mencari validasi dari berkat palsu, karena mereka sadar akan berkat Tuhan & identitas mereka di dalam Kristus.
     
  • Bukan hanya menerima berkat & Kasih Karunia, namun juga menjadi saluran berkat & Kasih Karunia Tuhan kepada orang lain.