Redemption In Flesh and Bone

REDEMPTION – “Redemption in Flesh & Bone”

Ps. Michael Chrisdion

 

Hari ini kita akan membahas khotbah terakhir dari seri khotbah kita yang berjudul Redemption. Saya akan berbicara mengenai Redemption in Flesh and Bone—penebusan dalam daging dan tulang. Kita akan merenungkan bagaimana penebusan oleh Yesus yang bangkit secara nyata, hidup, dan berwujud, sungguh berarti bagi kita.

Bacaan: Lukas 24:37-43

24:37 Mereka terkejut dan takut dan menyangka bahwa mereka melihat hantu. 

24:38 Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu terkejut dan apa sebabnya timbul keragu-raguan di dalam hati kamu? 

24:39 Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku."

24:40 Sambil berkata demikian, Ia memperlihatkan tangan dan kaki-Nya kepada mereka. 

24:41 Dan ketika mereka belum percaya karena girangnya dan masih heran, berkatalah Ia kepada mereka: "Adakah padamu makanan di sini?" 

24:42 Lalu mereka memberikan kepada-Nya sepotong ikan goreng. 

24:43 Ia mengambilnya dan memakannya di depan mata mereka.

Banyak dari kita sudah sangat familiar dengan Paskah. Kita tahu cerita kubur kosong. Kita menyanyikan lagu-lagu kebangkitan. Kita memposting ayat dan ucapan di Instagram dan WhatsApp: "Selamat Paskah." Tapi, pertanyaannya adalah: apakah Paskah dan kebangkitan Yesus Kristus masih menggetarkan hati kita?

Saya ingin memberikan sedikit latar belakang dari Lukas 24, yang mencatat momen saat Yesus bangkit dan menampakkan diri. Di Minggu pagi, para wanita datang untuk melayat ke kubur Yesus. Apa yang mereka temukan? Kuburnya kosong, batunya terbuka, kain kafan terlipat dengan rapi. Orang-orang pertama yang menyaksikan bahwa Yesus bangkit adalah para perempuan.

Ini adalah fakta apologetika yang sangat luar biasa. Pada zaman itu, dalam konteks sosial abad pertama, kesaksian perempuan tidak dianggap sah. Mengapa Yesus menampakkan diri kepada para perempuan? Bahkan dalam Yohanes 20 dikatakan bahwa Maria Magdalena adalah salah seorang wanita yang melihat Yesus—dalam tubuh kemuliaan-Nya.

Mengapa para penulis Injil mencatat fakta itu? Karena justru fakta ini merugikan jika dilihat dari perspektif zamannya. Hal ini menunjukkan keotentikan sejarahnya. Sebab dalam budaya Yahudi maupun Romawi abad pertama, kesaksian perempuan tidak sah di pengadilan. Kalau para murid ingin merekayasa cerita kebangkitan, mereka pasti akan memilih Petrus, Yohanes, Imam Besar, atau seseorang yang lebih dapat dipercaya. Tapi yang tercatat justru perempuan. Fakta yang merugikan ini menunjukkan bahwa cerita ini asli, bukan hasil rekayasa.

Itulah sebabnya para murid takut. Mereka kaget waktu mendengar kesaksian para perempuan. Mereka tidak percaya. Maka mereka pergi ke sebuah ruangan, mengunci pintu rapat-rapat, dan bersembunyi di dalamnya. Lalu tiba-tiba, apa yang terjadi? Yesus menampakkan diri. Bayangkan: mereka sedang ketakutan. Dua hari sebelumnya mereka melihat Guru mereka—yang menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati—mati di kayu salib dengan cara yang mengerikan. Mereka takut. Mereka sudah meninggalkan segalanya—tidak jadi nelayan, tidak jadi dokter. Lukas, misalnya, adalah seorang dokter. Ada juga pemungut cukai. Mereka semua sudah tinggalkan pekerjaan demi mengikuti Yesus. Lalu, Guru mereka mati. Mereka ketakutan. Bagaimana jika mereka yang ditangkap berikutnya?

Di tengah ketakutan itu, Yesus muncul. Ia tidak lewat pintu, tapi tiba-tiba ada di tengah ruangan. Perhatikan, apa reaksi pertama para murid saat Yesus bangkit dan menampakkan diri? Bukan sukacita. Bukan sorak sorai. Tapi: terkejut, takut, bingung, dan tidak percaya.

Mengapa? Karena Yesus bangkit dengan tubuh—daging dan tulang—hidup dan berwujud. Bayangkan kalau Saudara ada di sana. Saudara sudah mengunci pintu, Guru Saudara baru saja dieksekusi secara brutal, dan tiba-tiba Ia muncul di tengah ruangan. Kira-kira Saudara bagaimana? Pasti lari tunggang langgang. Tapi Yesus bukan hantu. Ia benar-benar ada. Dengan tubuh, daging, dan tulang.

Dan semua luka-Nya... sudah tidak ada. Semua itu menunjukkan bahwa kebangkitan-Nya adalah nyata. Ini bukan dongeng. Ini bukan alegori spiritual. Jika Yesus sungguh bangkit, maka Paskah bukan sekadar praktik agamawi atau hiasan teologis. Kebangkitan Yesus Kristus adalah fakta sejarah dan pengumuman dari surga yang menuntut respons kita.

Hari ini saya akan menyampaikan tiga poin. Yang pertama: bagaimana kebangkitan Yesus—yang hidup dan berwujud

  1. Mengubah cara kita berpikir 
  2. Mengubah arah hidup dan kehendak kita
  3. Mengubah hati kita—bagaimana kita mengasihi

Kebangkitan Yesus Mengubah Cara Kita Berpikir

Mari kita baca Lukas 24:39 bersama-sama:

“Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku, Akulah ini sendiri; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku.”

Ini sangat menarik. Yesus tidak muncul sebagai roh yang gentayangan. Ia hadir dengan tubuh yang nyata—daging dan tulang. Dan ini sangat penting. Karena jika Yesus benar-benar bangkit secara fisik, maka itu berarti Dia adalah Tuhan atas kehidupan dan kematian. Ia menaklukkan ruang, waktu, dan materi.

Tubuh yang sama yang hancur di kayu salib—yang dilukai cambuk Romawi, yang dipaku, yang digantung dalam keadaan mengenaskan—kini hadir kembali dalam wujud yang mulia. Tubuh yang pernah koyak, kini sempurna.

Dan ini bukan kebangkitan secara spiritual semata. Ini tubuh yang bisa disentuh, dilihat, dan bahkan makan bersama mereka. Artinya jelas: semua pencarian akan kebenaran dan makna hidup berhenti di sini. Dialah Jalan, Kebenaran, dan Hidup. Dia bukan sekadar berkata, “Aku tahu jalannya,” melainkan, “Akulah Jalan itu.”

Beberapa tahun kemudian, Rasul Paulus berdiri di hadapan para filsuf di Aeropagus, Athena—tempat di mana para pemikir terbaik zamannya berdiskusi tentang makna hidup dan ketuhanan. Di sana bahkan ada altar bertuliskan: “Kepada Allah yang tidak dikenal.”

Lalu Paulus menyampaikan ini, dalam Kisah Para Rasul 17:31:

Sebab Ia sudah menentukan suatu waktu untuk mengadili seluruh dunia ini dengan adil. Tugas itu akan dilakukan oleh seorang yang sudah dipilih Allah untuk itu. Dan supaya semua orang yakin akan hal itu, Allah sudah menghidupkan kembali orang itu dari kematian!

Orang itu adalah Yesus Kristus.

Yesus tidak seperti Lazarus. Lazarus memang bangkit, tetapi ia mati lagi. Bahkan saat bangkit, ia masih dibantu orang lain untuk membuka batu penutup kuburnya. Ia keluar terbungkus kain kafan seperti pocong. Tapi Yesus? Batu kubur terguling sendiri. Kain kafan-Nya tidak membungkus tubuh, tapi terlipat rapi. Ia menembus dinding, hadir di tengah murid-murid. Kebangkitan-Nya jauh lebih besar. Ia bangkit tidak untuk mati kembali, tapi untuk hidup selamanya. Kubur itu tidak dibuka agar Yesus bisa keluar, tapi agar kita bisa masuk dan melihat: Ia tidak ada di sana.

Dalam Yohanes 11:25, Yesus berkata:

“Akulah kebangkitan dan hidup.”

Berbeda dari tokoh-tokoh agama lain yang berkata, “Aku tahu jalan menuju kehidupan,” Yesus berkata, “Akulah Jalan itu.” Ia tidak memberi petunjuk, tapi menjadi Petunjuk. Ia tidak menawarkan metode hidup, tapi menjadi Hidup itu sendiri.

Masalah terbesar manusia adalah kematian, penderitaan, dan kejahatan. Dan Yesus telah menghadapi ketiganya. Ia tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga secara rohani—mengalami keterpisahan dari Bapa. Ia mengalami kejahatan yang keji, kematian yang tragis. Tapi Ia menang. Itulah Injil. Kebangkitan-Nya adalah tanda bahwa penderitaan tidak akan menang, kematian tidak akan berkuasa selamanya, dan kejahatan tidak akan punya kata terakhir.

Paulus menyampaikan bahwa pencarian mereka sudah mencapai ujungnya. Pribadi yang mereka cari telah bangkit dari kematian. Ia akan datang kembali sebagai Hakim atas seluruh bumi. Dan bagaimana respon mereka? Beberapa menertawakan Paulus. Beberapa penasaran dan ingin tahu lebih lanjut. Tapi ada juga yang percaya.

Mengapa harus memilih? Jika kebangkitan Yesus itu nyata, maka kita tidak bisa menganggap-Nya sekadar inspirasi atau simbol. Ia adalah Pribadi yang hidup. Kita tidak bisa netral. Yesus berkata, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.” Bukan “Aku tahu jalannya,” tapi “Akulah Jalan itu.” Hari ini bukan lagi waktunya mencari-cari. Hari ini adalah waktu untuk bertobat.

Kebangkitan Yesus Mengubah Arah Hidup & Kehendak Kita

Ada yang menarik di sini. Lihat ayat 41: “Dan ketika mereka belum percaya karena girangnya dan masih heran, berkatalah Ia kepada mereka: ‘Adakah padamu makanan di sini?’” Lucu ya. Yesus bangkit, bukan minta mukjizat atau kemenangan besar... tapi minta makan ikan goreng. 

Yang penting diperhatikan: kebangkitan itu bersifat fisik, bukan simbolis. Yesus bukan roh gentayangan, Dia pribadi yang punya daging, tulang, dan lapar. Tubuh-Nya bisa disentuh, bisa makan. Artinya: dunia fisik penting bagi-Nya dan itu mengubah cara kita memandang hidup.

Seringkali ada orang bilang, “Saya ini menderita. Saya berdoa supaya Tuhan ambil saya saja ke surga.” Seolah-olah mulia, tapi sebenarnya bukan begitu. Injil bukan soal kabur dari dunia ke surga. Yesus bangkit dalam dunia ini, dalam tubuh yang nyata, makan makanan yang nyata. Pesannya radikal: bumi ini penting, tubuh kita penting, hidup jasmani juga penting.

Masa depan bukan tentang kabur ke langit, tapi pemulihan bumi yang akan diperbarui. Kebangkitan bukan pelarian, tapi penebusan. Yesus tidak mengeluarkan kita dari dunia, tapi menebus dunia bersama kita. Dunia bukan ilusi yang harus dihindari, tapi ciptaan yang akan dipulihkan.

Jadi, kita punya cara hidup baru—penuh kasih, harapan, keberanian untuk berkorban dan melayani. C.S. Lewis dalam The Weight of Glory pernah bilang, “Kenikmatan fisik hanyalah sisa jauh dari ekstasi ciptaan Allah.” Maksudnya, semua kenikmatan dunia ini—makanan enak, pelukan hangat, musik indah—semuanya cuma bayangan samar dari sukacita surgawi yang sejati. Yang kita alami sekarang hanyalah sampel kecil dari pesta besar yang akan datang.

Artinya, kita tidak perlu takut kehilangan kenikmatan dunia ini kalau hidup bagi Yesus. Karena nanti, kita akan mengalami yang jauh lebih besar. Hidup bagi Kristus bukan kerugian, tapi bagian dari misi pemulihan dunia.

Paskah menghancurkan FOMO—fear of missing out—dan membangkitkan iman. Di dalam Kristus, kita tidak kehilangan apa pun. Dunia ini takut kehilangan momen, takut tidak mengalami semua hal, takut kehilangan masa muda, takut menua. Tapi Paskah membebaskan kita dari kepanikan dan keserakahan itu. Karena dalam Yesus, kita aman.

Satu hari nanti, di langit baru dan bumi baru, kita akan menari tanpa lelah, mencinta tanpa luka, berlari tanpa menjadi tua. Saya baru merasa tua sekarang waktu main padel. Dulu bisa pegang ring basket, sekarang lutut sakit. Tapi kelak, tubuh kita akan dimuliakan.

Paskah bukan tentang escapism, bukan lari dari kenyataan. Yesus tidak berkata, “Biarkan dunia hancur, mari ke surga saja.” Dia akan menyembuhkan dan memulihkan dunia ini. Buktinya? Ia bangkit dengan tubuh, daging, dan tulang. Dan kita dipanggil ikut serta dalam misi pemulihan itu.

Kalau melihat anak menderita, orang miskin, ketidakadilan—kita tidak bisa diam. Karena kebangkitan Yesus bersifat fisik, maka kekristenan bukan pelarian, tapi misi pemulihan. Kita hidup dalam ketegangan: already but not yet—sudah, tapi belum. Sudah menerima pemulihan, tapi belum sempurna. Sakit, kemiskinan, penderitaan masih ada. Tapi satu hari nanti, semuanya akan disempurnakan.

Pagi tadi, saya terima kabar menyedihkan. Pak Sandy—yang biasanya ada di belakang sound —telah dipanggil Tuhan. Selalu datang paling pagi, pulang paling sore. Senyum, melayani, penuh pengorbanan. Ribuan orang dengar khotbah ini karena dia. Hidupnya bukan kerugian, tapi kemenangan. Dia mengakhiri pertandingan dengan baik.

Ketika kita memberi, melayani, berkorban, itu bukan kehilangan. Itu partisipasi dalam pemulihan yang Tuhan sedang kerjakan. Makanya melalui gereja ini ada pelayanan justice and mercy. Melayani daerah-daerah marginal, membangun sekolah, menolong anak-anak yatim. Kita memperjuangkan kejujuran, integritas—meski sulit. Tapi semua itu tidak sia-sia.

N.T. Wright dalam Surprised by Hope berkata: jika Yesus hanya bangkit secara rohani, maka Paskah hanya tentang spiritualitas pribadi. Tapi jika Yesus benar-benar bangkit secara fisik, maka Kekristenan adalah kabar baik bagi seluruh dunia. Semua yang mati akan dipulihkan.

Dia juga menulis: tanpa kebangkitan, Karl Marx benar—Kekristenan cuek terhadap ketidakadilan. Freud benar—agama hanya pelarian emosi. Nietzsche benar—agama adalah candu untuk orang lemah. Tapi jika kebangkitan itu nyata, iman kita adalah kekuatan yang menghadapi realitas.

Kebangkitan berkata: Allah turun, menanggung luka, mengalahkan maut, dan memegang kunci hidup dan mati. Maka iman kita bukan pelarian—tapi deklarasi kemenangan. Bukan menjauh dari dunia, tapi memperbarui dunia bersama Kristus.

Karena Yesus telah bangkit secara fisik, kita bisa memberi tanpa takut rugi. Melayani tanpa takut kehilangan. Berjuang dengan tenang, karena masa depan kita aman dalam Kristus. Jadi kalau hari ini kamu resah, lihat pada Paskah. Di situ ada pengharapan. Ada pemulihan. Dan ada kepastian: dunia ini tidak sia-sia. Kita akan dipulihkan—dan dunia juga.

Kebangkitan Yesus Mengubah Bagaimana Kita Mengasihi

Perhatikan Lukas 24:39–40 dalam versi Terjemahan Sederhana Indonesia:

39 "Ini Aku! Lihatlah tangan dan kaki-Ku. Peganglah Aku..." 

40 Dan sambil berkata demikian, Ia memperlihatkan tangan dan kaki-Nya kepada mereka.

Saudara, ini menarik. Mengapa Yesus menunjukkan tangan dan kaki-Nya? Mengapa bukan mata-Nya? Atau wajah-Nya? Karena wajah-Nya hancur. Saudara masih ingat deskripsi pada Jumat Agung: mahkota duri menancap dalam, darah mengalir dari pelipis-Nya, wajah-Nya rusak. Ia bukan lagi seperti manusia. Namun kini, setelah bangkit, tubuh-Nya dipulihkan. Semua yang rusak menjadi sempurna kembali. Ia dikenali. Tapi... bekas luka di tangan dan kaki-Nya tetap ada.

Mengapa?

Karena bekas luka itulah yang membuat Paskah menjadi sangat personal. Luka itu adalah tanda kasih. Luka itu adalah meterai Injil.

Saudara, kita semua suka film dengan happy ending. Tapi cerita terbaik bukan sekadar kisah yang berakhir bahagia. Cerita terbaik selalu punya momen tergelap, saat semua harapan hilang, semua terasa hancur… tapi tiba-tiba ada plot twist. Ada pertolongan. Ada penebusan.

Itulah cerita salib dan kebangkitan. Luka yang dahulu disangka sebagai akhir segalanya, ternyata adalah permulaan dari pengharapan. Murid-murid yang melihat tangan dan kaki Yesus teringat kembali—hari Jumat itu adalah saat mereka kehilangan segalanya. Tapi Yesus datang dan berkata: "Luka yang kamu pikir adalah akhir, adalah awal dari panggilanmu."

Yesus menunjukkan luka-Nya agar mereka ingat: salib itu nyata. Murka Allah nyata. Tapi kasih Allah juga nyata.

  • Tangan-Nya dipaku untuk menggantikan tangan kita yang berdosa.
  • Kaki-Nya dipaku agar jalan keselamatan terbuka untuk kaki kita yang selalu menjauh dari Tuhan.
  • Tubuh-Nya disiksa agar kita yang sering melukai hati-Nya bisa disembuhkan.

Luka itu—yang dulu lambang kehinaan—kini menjadi lambang pengampunan dan kasih karunia. Inilah kekuatan Injil: melalui luka, Allah menunjukkan kasih dan kekuatan-Nya.

Kebangkitan bukan sekadar "semua baik-baik saja." Tapi sukacita yang lahir melalui penderitaan. Allah tidak menghapus luka kita, tetapi menanggungnya. Ia tidak menghapus duka, tapi menebus dan mengubahnya menjadi kemuliaan.

Injil bukan sihir. Injil adalah penebusan. Tuhan bukan tukang sulap yang membuat semua penderitaan hilang. Tapi Ia adalah Bapa yang menebus dan mengubah setiap luka menjadi bagian dari rencana kasih-Nya.

Luka tidak dibuang. Luka ditanggung. Luka ditebus. Luka dijadikan mulia.

Banyak dari kita masih membawa luka masa lalu. Kecewa. Marah pada Tuhan. Mungkin kehilangan. Mungkin kegagalan. Tapi dalam Kristus, luka bisa menjadi mahkota. Karena di dalam Kristus, tidak ada luka yang sia-sia.

Dan setelah kita dipulihkan, kita diutus. 2 Korintus 1:3–4 berkata:

"Terpujilah Allah... yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami sendiri terima dari Allah."

Luka yang disembuhkan menjadikan kita penghibur bagi yang terluka. Kita yang pernah jatuh, kini bisa menolong mereka yang terjatuh. Kita jadi sensitif, berempati, karena kita tahu rasanya. Yesus tidak hanya berkata, “Aku menyertaimu,” tapi Ia menunjukkan luka-Nya dan berkata, "Aku tahu rasanya." Dan itu mengubah segalanya.

Salib menyatakan YESUS HADIR dalam penderitaan Untuk Menghibur & Mendampingi

Kubur Kosong Menunjukkan Yesus menang atas maut Memberi Pengharapan & Pemulihan

Dari keduanya, Kita Diutus Melayani dengan kuasa Injil

STOP & REFLECT

Jika Yesus bangkit dan memegang kunci kehidupan & kematian, mengapa aku masih bersikeras memegang kendali atas kehidupan? aku sedang hidup sebagai pemilik... atau tunduk sebagai milik-Nya?

Apakah aku menggunakan tangan dan kakiku untuk mengejar kenyamanan dan kepentinganku sendiri, atau menghidupi panggilan-Nya? Jika dunia ini akan diperbarui oleh Yesus, di mana aku diutus untuk ikut serta memulihkannya?

Jika tangan & kaki Yesus terluka untuk menebusku, mengapa aku masih mengeraskan hati terhadap Pribadi yang rela berkorban untuk memelukku?

ORANG BERINJIL

Mengetahui bahwa kebangkitan Yesus bukan mitos yang menginspirasi melainkan panggilan kebenaran untuk berserah & bertobat seutuhnya.

Menghayati bahwa Yesus tidak bangkit untuk membawa kita keluar dari dunia, tapi mengutus kita ke dunia untuk memperjuangkan pemulihannya. (Already but Not yet - Sudah tapi Belum)

Menghidupi bahwa kemuliaan Yesus tidak menghapus luka-Nya namun menjadikannya sarana untuk menyaksikan kemuliaan Kasih-Nya.