Kita masuk ke dalam sebuah seri singkat dalam rangkaian Minggu Palma, Jumat Agung, dan Minggu Kebangkitan, yang berjudul Redemption. Secara khusus, tema hari ini adalah The King Who Redeems — Raja yang Menebus.
Dalam tradisi Kekristenan, Minggu Palma diperingati sebagai hari ketika Yesus dielu-elukan saat masuk ke Yerusalem. Namun, ini juga menandai dimulainya hari-hari terakhir sebelum penyaliban-Nya. Kita akan membaca dari Injil Lukas 19:28–40 dan 45–48.
Bacaan: Lukas 19:28–40; 45–48
19:28 Dan setelah mengatakan semuanya itu Yesus mendahului mereka dan meneruskan perjalanan-Nya ke Yerusalem.
19:29 Ketika Ia telah dekat Betfage dan Betania, yang terletak di gunung yang bernama Bukit Zaitun, Yesus menyuruh dua orang murid-Nya
19:30 dengan pesan: "Pergilah ke kampung yang di depanmu itu: Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan mendapati seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah ke mari.
19:31 Dan jika ada orang bertanya kepadamu: Mengapa kamu melepaskannya? jawablah begini: Tuhan memerlukannya."
19:32 Lalu pergilah mereka yang disuruh itu, dan mereka mendapati segala sesuatu seperti yang telah dikatakan Yesus.
19:33 Ketika mereka melepaskan keledai itu, berkatalah orang yang empunya keledai itu: "Mengapa kamu melepaskan keledai itu?"
19:34 Kata mereka: "Tuhan memerlukannya."
19:35 Mereka membawa keledai itu kepada Yesus, lalu mengalasinya dengan pakaian mereka dan menolong Yesus naik ke atasnya.
19:36 Dan sementara Yesus mengendarai keledai itu mereka menghamparkan pakaiannya di jalan.
19:37 Ketika Ia dekat Yerusalem, di tempat jalan menurun dari Bukit Zaitun, mulailah semua murid yang mengiringi Dia bergembira dan memuji Allah dengan suara nyaring oleh karena segala mujizat yang telah mereka lihat.
19:38 Kata mereka: "Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!"
19:39 Beberapa orang Farisi yang turut dengan orang banyak itu berkata kepada Yesus: "Guru, tegorlah murid-murid-Mu itu."
19:40 Jawab-Nya: "Aku berkata kepadamu: Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak."
19:45 Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ,
19:46 kata-Nya kepada mereka: "Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun."
19:47 Tiap-tiap hari Ia mengajar di dalam Bait Allah. Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat serta orang-orang terkemuka dari bangsa Israel berusaha untuk membinasakan Dia,
19:48 tetapi mereka tidak tahu, bagaimana harus melakukannya, sebab seluruh rakyat terpikat kepada-Nya dan ingin mendengarkan Dia.
Ketika kita membaca Injil Lukas, terlihat adanya struktur yang jelas yang membagi kitab ini ke dalam tiga bagian besar.
Pasal 1–9 banyak berbicara tentang identitas Yesus—siapa Dia, bagaimana kehidupan-Nya, dan bagaimana Lukas memperkenalkan-Nya sebagai Mesias yang datang untuk menyatakan Kerajaan Allah.
Kemudian, pasal 10–18 mengulas lebih dalam tentang apa artinya mengikut Yesus. Setelah mengenal-Nya, kita diajak untuk menaati panggilan-Nya—hidup sesuai dengan ajaran dan teladan-Nya.
Selanjutnya, mulai pasal 19 hingga 24, Lukas menulis tentang tindakan-tindakan Yesus—termasuk penderitaan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya ke surga—yang menjadi dasar keselamatan dan pengharapan kita. Di bagian ini, kita tidak hanya diajak untuk mengenal atau menaati-Nya, tetapi juga untuk memiliki kesadaran yang lebih dalam tentang siapa Dia sebenarnya.
Secara khusus, dalam pasal 19, Lukas ingin menegaskan satu hal penting: Yesus adalah Raja. Inilah yang membuat momen ini begitu istimewa. Dalam ayat 38, kerumunan berseru:
“Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan! Damai sejahtera di surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!”
Menarik bahwa seruan ini muncul dari mereka yang telah melihat mukjizat-mukjizat yang dilakukan-Nya. Ini bukan karena Yesus ingin menjadikan diri-Nya sebagai raja, melainkan karena memang Dialah Raja yang sejati.
Namun, pertanyaan yang lebih penting adalah: Yesus itu Raja seperti apa?
Hari ini kita akan belajar empat hal tentang siapa Yesus itu.
Kita sudah melihat dalam ayat 38 tadi:
“Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan. Damai sejahtera di surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi.”
Kalimat ini bukan muncul secara spontan dari orang banyak, tetapi diambil dari Mazmur 118:26:
“Diberkatilah dia yang datang dalam nama Tuhan! Kami memberkati kamu dari dalam rumah Tuhan.”
Mazmur ini merupakan bagian dari Mazmur pendakian—yaitu nyanyian yang dinyanyikan para peziarah saat mereka naik ke Yerusalem untuk beribadah. Di dalamnya terkandung pengharapan akan datangnya seorang Raja dari keturunan Daud, Sang Mesias, yang akan memulihkan dunia yang telah rusak oleh dosa.
Mungkin kita berpikir, “Ini tidak relevan dengan hidup saya.” Tapi bagi orang Yahudi, janji tentang kedatangan Sang Raja adalah inti dari iman mereka.
Namun hari ini, banyak orang skeptis berkata bahwa kisah Yesus hanyalah hasil tiruan dari cerita-cerita kepahlawanan dalam mitologi kuno. Misalnya, Dewa Osiris dari Mesir—sosok yang mati lalu dibangkitkan. Mereka menuduh bahwa Kekristenan hanya menyalin mitos-mitos lama.
Pertanyaannya: Apakah benar kisah Yesus hanyalah salinan mitos, ataukah ada sesuatu yang jauh lebih mendalam yang sedang dinyatakan?
Untuk menjawabnya, mari kita melihat pola besar dalam Alkitab, yang sering disebut sebagai Five-Act Gospel (Injil dalam Lima Babak):
Di tengah kejatuhan, Allah sudah memberikan janji pertama tentang keselamatan—yang disebut protoevangelium—dalam Kejadian 3:15:
“Keturunan perempuan itu akan meremukkan kepala ular.”
Ini adalah nubuat tentang Sang Penebus—Yesus—yang akan mengalahkan kejahatan dan memulihkan dunia.
Jadi, kisah Yesus bukanlah salinan dari mitos. Justru sebaliknya, mungkin mitos-mitos itu hanyalah bayangan samar dari kebenaran besar yang sedang dinyatakan Allah dalam sejarah nyata.
C.S. Lewis pernah mengatakan bahwa meskipun manusia modern menolak sistem kerajaan, mereka tetap mencari sosok untuk dihormati—entah itu selebriti, atlet, politisi, atau bahkan gangster. Karena memang dalam diri manusia ada kerinduan rohani untuk menyembah dan tunduk pada sesuatu yang lebih besar.
Jika manusia tidak menemukan Raja yang sejati, maka mereka akan menciptakan raja-raja palsu yang pada akhirnya memperbudak mereka.
Kita semua pasti menyembah sesuatu. Kalau bukan Kristus, mungkin itu adalah karier, uang, prestasi, atau bahkan hal-hal baik seperti keluarga atau pelayanan. Tapi raja-raja palsu ini menuntut kita berkorban—waktu, integritas, bahkan hubungan kita dengan orang lain—namun tidak pernah memberi jaminan atau kepuasan sejati. Mereka menghukum ketika kita gagal, dan selalu menuntut lebih.
Tapi Yesus, Raja yang sejati, tidak menuntut kita untuk mengorbankan diri demi-Nya terlebih dahulu—karena Dia sudah lebih dulu mengorbankan diri-Nya bagi kita. Dia mengampuni kita, memberi sukacita sejati, dan menyertai kita dalam setiap musim hidup.
Di dalam Dia, identitas kita tidak tergantung pada keberhasilan atau kegagalan. Kita diterima, dikasihi, dan dibebaskan.
Siapa yang selama ini menjadi raja dalam hidup kita?
Apakah Yesus masih duduk di tahta hati kita, atau sudah digeser oleh hal-hal lain?
Kalau yang selama ini kita kejar bukan Yesus—meskipun itu adalah hal-hal yang baik—mari kita bertobat bersama-sama.
Karena hanya Yesuslah Raja yang sejati, yang benar-benar bisa memerdekakan dan memuaskan hati kita.
Saudara, kita melihat bahwa Yesus bukan hanya Raja yang berbeda, tetapi juga Raja yang transformatif. Dua hal dalam bacaan kita hari ini menegaskan hal ini:
Perhatikan ayat 39–40:
“Beberapa orang Farisi berkata kepada Yesus: ‘Guru, tegurlah murid-murid-Mu itu.’ Jawab-Nya: ‘Aku berkata kepadamu, jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak!’”
Ini bukan sekadar metafora, melainkan gema nubuatan dari Mazmur 96:10–12:
“TUHAN itu Raja!... Biarlah langit bersukacita dan bumi bersorak-sorai, biarlah gemuruh laut serta isinya, padang dan segala yang ada di atasnya bersukacita, segala pohon di hutan bersorak-sorai.”
Kita mungkin tergoda menganggap ini hanya bahasa puitis, tetapi sesungguhnya ini adalah gambaran Injil yang menyeluruh.
Profesor Sensenjaya dalam bukunya Menghidupi Injil dan Menginjili Hidup menyebutkan ada dua kegagalan umum dalam memahami Injil:
Injil adalah kuasa yang memulihkan. Dalam Yehezkiel 36, Tuhan tidak hanya memperbaiki hati kita, tetapi memberikan hati yang baru—sebuah transformasi total. Dampaknya? Kita mulai peduli pada sesama, pada lingkungan, dan pada dunia—sebagai bagian dari mandat budaya.
Perhatikan ayat 30:
“Kamu akan mendapati seekor keledai muda yang belum pernah ditunggangi orang...”
Keledai muda yang belum pernah ditunggangi biasanya akan memberontak. Tapi dalam cerita ini, keledai itu tenang ketika Yesus menaikinya—bahkan di tengah keramaian yang bersorak-sorai.
Pendeta George Whitefield pernah berkata, “Binatang menggonggong dan menggeram kepadamu karena mereka tahu kamu sedang bertengkar dengan tuan mereka.” Tapi di bawah tangan Yesus, bahkan binatang liar bisa menjadi tenang.
D.A. Carson menulis, “Kerumunan bersorak, namun keledai muda tetap tenang di bawah tangan Raja yang juga pernah menenangkan badai.”
Ini bukan sekadar kisah simbolis. Ini adalah gambaran nubuat dari Yesaya 11 tentang Raja dari keturunan Isai:
“Serigala akan tinggal bersama domba... singa akan makan jerami... anak kecil akan bermain di sarang ular...”
Ini adalah gambaran damai yang melampaui logika dunia. Ini adalah shalom—damai sejahtera yang lahir dari kehadiran Raja yang sejati.
Dan kabar baiknya: Kuasa Raja ini tidak menghancurkan, tetapi menyembuhkan.
Banyak orang bergumul dengan luka masa lalu, trauma, atau kecanduan. Mereka telah mencoba terapi dan konseling—dan itu adalah hal yang baik. Namun sering kali mereka berkata, “Keadaannya membaik sebentar, lalu kembali lagi.”
Tapi ketika mereka mendengar Injil dan mengalami kuasa Kristus, terjadi perubahan yang perlahan namun pasti. Karena Yesus bukan hanya memberi penghiburan—Dia memberi transformasi.
Rebecca Pippert menulis:
“Kristus adalah satu-satunya Pribadi di alam semesta yang bisa mengendalikan Anda tanpa menghancurkan Anda.”
Segala hal yang kita kejar—penerimaan, kesuksesan, harta—pada akhirnya akan mengendalikan dan menghancurkan kita. Tapi hanya Kristus yang mampu memegang hidup kita dan menyembuhkannya secara utuh.
Lalu, bagaimana Yesus melakukan semua ini? Kita masuk ke poin ketiga: Dia adalah Raja yang paradoks.
Saya sangat menyukai simbol keledai muda dalam ayat 30. Yesus berkata, “Kamu akan mendapati seekor keledai muda di sana.” Saudara, ini sangat menarik. Bagaimana mungkin seorang Raja memasuki sebuah kota besar dengan menunggangi seekor keledai muda—bukan seekor kuda perang yang gagah dan perkasa seperti biasanya simbol kekuasaan?
Seorang raja seharusnya menunjukkan keperkasaan dan kewibawaannya. Namun Yesus justru datang dalam kelemahlembutan.
Yesus tahu persis apa yang sedang Ia lakukan. Tim Keller pernah berkata:
“Jika Aku hanya datang untuk membebaskan orang Yahudi dari penjajahan Romawi, Aku akan datang menunggang kuda perang yang kuat. Tapi Aku datang untuk menyelamatkan seluruh dunia dari dosa dan kematian itu sendiri. Aku datang dengan kekuatan yang tidak kamu kenal—dalam kerendahan hati, dalam kelemahan, dalam pelayanan, dalam pengorbanan. Aku datang untuk mati.”
Inilah paradoks yang Yesus tunjukkan: Dia adalah Raja yang Mahaperkasa, tetapi datang dalam kerendahan hati.Dia adalah Raja yang layak dilayani, tetapi justru datang untuk melayani. Dia adalah Raja yang bisa menuntut pengorbanan dari rakyat-Nya, tetapi justru datang untuk mengorbankan diri-Nya bagi mereka.
Ada paradoks kedua dalam bagian ini. Ketika Yesus masuk ke Yerusalem dan tiba di Bait Allah, apa yang Ia lakukan? Ia mengusir para pedagang dari pelataran Bait Allah. Lihat ayat 45–46:
“Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ. Katanya kepada mereka: ‘Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun!’”
Pada waktu itu, banyak orang datang ke Yerusalem untuk mempersembahkan korban tahunan. Para pedagang di pelataran Bait Allah menyediakan hewan-hewan untuk dikorbankan. Tapi Yesus justru mengusir mereka semua. Artinya, Dia juga mengusir hewan-hewan yang seharusnya dipersembahkan.
Lalu, jika tidak ada hewan korban, bagaimana orang-orang bisa mempersembahkan persembahan?
Jawabannya ditemukan dalam tindakan Yesus setelahnya. Ayat 47 mencatat bahwa Yesus “mengajar tiap-tiap hari di Bait Allah,” dan ayat 48 menambahkan: “Seluruh rakyat terpikat kepada-Nya.”
Alih-alih mempersembahkan korban, orang-orang kini terpikat kepada Firman yang Yesus sampaikan. Di sinilah kita melihat sesuatu yang sangat penting: Yesus sedang menyampaikan pesan yang sangat jelas. Kedatangan-Nya menggantikan sistem lama. Kita tidak lagi datang kepada Allah melalui hewan korban atau imam manusia. Karena Yesus sendiri adalah Bait Suci yang sejati. Dia adalah Imam Agung yang sempurna. Dia adalah Korban yang kudus.
Dan di sinilah kita menemukan paradoks kekristenan:
Dosa adalah keinginan manusia untuk duduk di atas takhta. Dosa berkata, “Aku berhak. Aku ingin memerintah hidupku sendiri.” Dosa adalah dorongan untuk meninggikan diri.
Tapi keselamatan yang Yesus bawa justru menunjukkan jalan yang sebaliknya. Keselamatan datang melalui seorang Raja yang berkata, “Aku rela. Aku merendahkan diri. Aku mati agar engkau hidup.”
Inilah paradoks Injil—dan memang ini bukan cara berpikir yang mudah diterima. Karena dunia kita terbiasa berpikir:
“Untuk mendapatkan sesuatu, kamu harus melakukan sesuatu. Untuk dihargai, kamu harus berprestasi. Untuk memperoleh kenyamanan, kamu harus bekerja keras dan berkorban sebanyak mungkin.”
Tapi Yesus datang dan membawa jalan yang berbeda. Ia menawarkan kasih karunia. Alih-alih menuntut kita hidup bagi-Nya lebih dulu, Dia justru memberikan diri-Nya lebih dulu bagi kita. Supaya ketika kita akhirnya hidup untuk-Nya, kita melakukannya bukan karena keterpaksaan, tetapi karena sukacita dan kerelaan.
Ini adalah pesan yang sangat konfrontatif bagi dunia yang tidak mengenal kasih karunia.
Perhatikan apa yang terjadi ketika Yesus dielu-elukan oleh orang banyak. Dalam ayat 39, beberapa orang Farisi mendekati Yesus dan berkata, "Guru, tegurlah murid-murid-Mu itu." Tapi apa jawaban Yesus? “Aku berkata kepadamu: Jika mereka ini diam, maka batu-batu ini akan berteriak.”
Yesus tidak sekadar menerima sambutan hangat dari orang banyak. Dia tahu bahwa kedatangan-Nya membawa ketegangan. Ketika para Farisi meminta-Nya untuk menegur murid-murid-Nya, Yesus memberikan jawaban yang mengejutkan. Dia bukan hanya datang untuk disambut dengan sukacita, tetapi untuk menegaskan kebenaran yang tidak bisa dibungkam.
Konfrontasi lainnya muncul ketika Yesus masuk ke Bait Allah dan mengusir para pedagang. Ia mengajar setiap hari di sana, dan seluruh rakyat terpikat oleh ajaran-Nya. Ayat 47 mencatat: "Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat serta orang-orang terkemuka dari bangsa itu berusaha untuk membinasakan Dia."
Apa yang sebenarnya terjadi? Semua yang Yesus lakukan membuat mereka semakin memusuhi-Nya. Kedatangan-Nya membawa pesan yang jelas: “Aku bukan sekadar tamu di kota ini. Terima Aku sepenuhnya, atau tolak Aku sepenuhnya.” Yesus seakan berkata, “Jadikan Aku pusat hidupmu, atau jangan terima Aku sama sekali.”
Yesus tidak bisa menjadi bagian dari hidup kita yang kita pilih-pilih. Seperti yang Ia katakan dalam Matius 6:24, "Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan." Ketika Injil yang sejati diberitakan, selalu ada dua respons: hati yang terbuka dan bertobat, atau hati yang menjadi semakin keras.
Chan Kilgore menggambarkan hal ini dengan sangat baik:
"Pemberitaan Injil yang benar selalu mengubah hati. Entah itu menghidupkan, atau mengeraskan hati."
Ibarat matahari yang sama—bisa mengeraskan tanah liat, tetapi juga bisa mencairkan es. Injil menembus hati: bagi yang terbuka, hati menjadi lembut; bagi yang menolak, hati menjadi keras.
Yesus tidak datang untuk menjadi pelengkap hidup kita—bukan sekadar tambahan atau dekorasi rohani. Dia datang untuk menjadi Raja atas seluruh hidup kita. Seperti yang dikatakan Tim Keller:
"Aku bisa menjadi segalanya bagimu—Penolong, Penyembuh, Penasihat, Sahabat, Saudara, Gembala—tapi Aku tidak bisa menjadi semua itu tanpa menjadi Rajamu. Tempatkan Aku di pelana hidupmu, dan kamu akan mampu menghadapi apa pun. Tapi tidak ada posisi tengah. Mahkotailah Aku, atau tolak Aku sepenuhnya."
Kita tidak bisa memilih bagian dari Yesus yang kita suka, lalu menolak otoritas-Nya atas hidup kita. Tidak bisa setengah hati mengikuti-Nya. Saat nyaman, kita berkata, “Aku mau ikut Yesus.” Tapi saat menghadapi masalah, penderitaan, atau kehilangan, kita meninggalkan-Nya. Inilah konfrontasi besar dari Injil.
Namun, ada kabar baik: Yesus datang sebagai Raja, tetapi bukan dengan pedang, melainkan dengan salib.
Apa yang terjadi di salib?
Sang Raja yang memberi hidup justru mengalami kematian.
Raja yang mulia, yang seharusnya dimahkotai dengan emas dan permata, justru mengenakan mahkota duri.
Raja yang berkuasa atas seluruh alam semesta, malah terpaku di kayu salib dalam ketidakberdayaan.
Raja yang seharusnya dimuliakan, justru diperlakukan seperti penjahat.
Raja yang layak menjatuhkan hukuman, justru dihukum dan divonis bersalah.
Raja yang memiliki segalanya, malah telanjang di hadapan publik.
Dan di salib itu, Ia berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Itulah gambaran tentang apa artinya menjadi seorang Kristen: kita mengakui bahwa kita tidak bisa melakukan apa pun tanpa Tuhan. Kita tidak berkata, “Saya bisa melakukannya untuk Tuhan.” Sebaliknya, kita berkata, “Saya hanya bisa hidup bagi-Nya karena apa yang telah Dia lakukan bagi saya.”
Kita bisa hidup hanya karena Dia terlebih dahulu memberikan hidup-Nya untuk kita.
Inilah anugerah yang mengubah hidup.
Jika kita bisa melakukan sesuatu bagi Tuhan, itu bukan karena kekuatan kita, melainkan karena anugerah-Nya.
Jika kita bisa hidup benar di tengah godaan dunia, itu karena Dia telah membenarkan kita terlebih dahulu, supaya kita dapat hidup sesuai dengan kebenaran-Nya.
Anugerah Tuhan mengarahkan hati kita kepada satu pribadi yang layak menjadi pusat hidup kita—Kristus, Sang Raja sejati.
Kristus, yang layak menerima segalanya dari kita karena Dia telah memberikan segalanya dan mengasihi kita sepenuhnya.
STOP & REFLECT
ORANG BERINJIL