Bacaan: Roma 8:16-25
8:16 Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.
8:17 Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.
Pengharapan anak-anak Allah
8:18 Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.
8:19 Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan.
8:20 Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya,
8:21 tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.
8:22 Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.
8:23 Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.
8:24 Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?
8:25 Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.
Dalam bagian ini, Paulus berbicara tentang kehidupan kita sebagai anak-anak Allah di dunia. Di satu sisi, ada penderitaan yang harus dihadapi di zaman sekarang. Tetapi di sisi lain, Injil menyatakan bahwa ada kemuliaan yang akan datang bagi kita sebagai anak-anak Allah. Maka pertanyaannya: bagaimana kita harus hidup hari ini dalam pengharapan yang diberikan oleh Injil?
Dalam pembahasan tentang penderitaan dan pengharapan ini, Paulus memulai dengan menegaskan pada ayat 16 bahwa Roh Kudus bersaksi bersama dengan roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah. Jika membaca bagian sebelumnya, yaitu ayat 1 sampai 15, kita akan menemukan bahwa Paulus sudah menegaskan hal yang sama: bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dalam bagian itu Paulus berkata bahwa tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada dalam Kristus Yesus. Karena mereka yang percaya kepada Kristus, hukuman dosa mereka telah ditanggung oleh Kristus. Itu sebabnya, sekalipun kita masih jatuh bangun dalam hidup, dengan yakin kita bisa berseru kepada Allah, “Ya Abba, ya Bapa.” Sebuah seruan yang sangat intim, seperti seorang anak kecil memanggil “daddy” kepada ayahnya. Dan kita bisa dengan yakin menyebut Allah seperti itu walaupun kita belum sempurna, karena apapun yang terjadi tidak akan mengubah kenyataan bahwa kita tetap adalah anak-anak Allah.
Di ayat 1 sampai 15 itulah yang Paulus sampaikan. Tetapi di ayat 16, Paulus menambahkan bahwa Allah juga memberikan keyakinan melalui kesaksian Roh Kudus bahwa kita adalah anak-anak-Nya. Mengapa Paulus perlu menegaskan hal ini berulang-ulang dengan berbagai cara? Jawabannya adalah: karena penderitaan. Penderitaan membuat banyak orang Kristen mengalami keraguan tentang imannya. Mungkin kita juga pernah mengalaminya. Kita tahu bahwa orang percaya diselamatkan oleh Yesus. Kita tahu Yesus mati untuk menghapus hutang dosa kita. Tapi ada kalanya, di tengah penderitaan yang berat, muncul pertanyaan, “Apakah aku sungguh anak Allah? Apakah Allah masih mengasihiku?”
Maka Paulus seakan-akan berkata: “Kalau yang aku katakan belum cukup, ada Roh Kudus yang ikut bersaksi, mengonfirmasi bahwa kamu adalah anak-anak Allah.” Keyakinan ini bukan hanya bersifat logis atau rasional, tetapi Roh Kudus hadir secara pribadi dan menyentuh hati. Ada momen-momen dalam hidup kita ketika kita mengalami hadirat Tuhan secara kuat dan jelas, ketika hati disentuh secara khusus, ketika air mata mengalir dalam keintiman dengan-Nya. Ada saat ketika teguran Tuhan membuat kita bertobat, atau dorongan-Nya sangat kuat untuk melakukan sesuatu, atau hati kita dihangatkan oleh kasih-Nya dan kita kembali terpesona kepada Allah. Semua itu bisa menjadi cara Roh Kudus bersaksi bersama dengan roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah.
Itulah sebabnya Paulus ingin kita memahami: tidak ada alasan untuk meragukan status sebagai anak-anak Allah—apapun yang terjadi di dunia ini.
Setelah menegaskan hal ini, Paulus lalu masuk ke poin berikutnya. Perhatikan ayat 17: “Jika kita adalah anak, maka kita adalah ahli waris.” Maksudnya, berhak menerima janji-janji Allah bersama dengan Kristus. Janji-janji apa yang akan kita terima bersama Kristus? Banyak. Itu akan dibahas kemudian. Tapi sampai titik ini, yang ingin Paulus tegaskan adalah: kita adalah anak-anak Allah, Roh Kudus bersaksi tentang itu, dan kita adalah ahli waris dari semua janji Allah. Alangkah indahnya jika Paulus berhenti di situ.
Banyak orang Kristen senang memberi stabilo di Alkitab fisik, atau highlight di aplikasi Alkitab digital. Ayat ini pasti jadi salah satu yang paling sering di-highlight: “Kita adalah anak, kita adalah ahli waris, berhak menerima janji-janji Allah bersama Kristus.” Luar biasa! Tapi ternyata ayat 17 belum selesai. Paulus menambahkan, “Yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.” Nah, biasanya hanya bagian awal ayat ini yang di-highlight. Bagian kedua seringkali diabaikan. Bagian pertama memang sangat indah dan menguatkan. Tapi perhatikan baik-baik: itu semua satu kalimat. Anak-anak Allah, ahli waris bersama Kristus, akan dipermuliakan bersama Kristus, tapi juga pasti akan menderita bersama Kristus. Maka penderitaan dalam dunia ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari identitas kita sebagai anak-anak Allah.
Ligon Ducan pernah mengatakan kalimat yang indah ini: God had one Son without sin, but no sons without suffering. Allah hanya memiliki satu Anak yang tanpa dosa, Yesus Kristus. Tapi tidak ada satu pun anak Allah yang tidak menderita. Yesus, Anak Allah, menderita. Kita pun demikian.
Ini adalah cara pandang yang sangat penting tentang penderitaan. Saya tidak tahu apa yang sedang dihadapi oleh masing-masing kita hari-hari ini, tapi saya yakin bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, pernah mengalami penderitaan. Pertanyaannya: bagaimana sikap kita dalam menghadapi penderitaan itu? Apakah kita mencoba mengabaikannya? Mencoba kelihatan kuat di depan orang lain? Membuat hati jadi kebal agar tidak merasa sakit lagi? Atau malah menjadi pahit, marah kepada Tuhan? Atau... sudah menyerah?
Bagi Paulus, penderitaan yang kita alami adalah bagian dari rencana Allah sebelum kita menerima kemuliaan di masa depan. Artinya, sekalipun kita adalah anak-anak Allah, tidak ada jaminan bahwa hidup kita akan bebas dari penderitaan. Justru sebaliknya, kita dijamin akan mengalami hidup dengan penderitaan.
Ini adalah sesuatu yang jarang dipikirkan oleh banyak orang Kristen. Banyak yang berpikir bahwa bukti Allah mengasihi kita adalah hidup yang tanpa penderitaan. Itu sebabnya ketika penderitaan datang, sering kali muncul pertanyaan, “Tuhan, mengapa? Mengapa Kau biarkan ini terjadi? Kalau Engkau mengasihi aku, mengapa aku mengalami semua ini?” Kita cenderung berpikir bahwa bukti kasih Allah adalah hidup yang mulus. Tapi Paulus justru menyatakan bahwa bukti bahwa kita adalah anak-anak Allah, bukti kasih-Nya kepada kita, adalah justru kita akan menderita.
Paulus lalu menjelaskan maksudnya ini lebih dalam di ayat 18 sampai 25. Penjelasan ini bisa dibagi dalam empat bagian.
Pertama: Suffering now (penderitaan sekarang)
Ayat 18 berbicara tentang penderitaan zaman sekarang, yaitu penderitaan yang kita alami sebelum kedatangan Yesus kembali. Ada beberapa alasan mengapa kita menderita di dunia ini. Yang pertama, karena kita hidup dalam dunia yang berdosa. Sesederhana itu. Dunia ini telah jatuh, dan semua orang terkena dampaknya—tanpa kecuali.
Contoh sederhana: ketika COVID merajalela, apakah karena kita anak-anak Allah lalu otomatis kebal? Kalau ada teman batuk di depan kita, apakah virusnya akan langsung belok arah dan tidak menjangkiti kita? Tentu tidak. Atau, jika ada orang berniat jahat, ingin menipu atau merampok, apakah dia tiba-tiba kena serangan jantung dan kita aman karena kita milik Allah? Atau ada orang yang mengemudi ugal-ugalan dan menabrak mobil di sekitarnya, apakah mobil kita tetap utuh tanpa gores? Tidak. Tanpa sadar, banyak orang Kristen berharap hidup seperti dilindungi oleh kubah besi. Memang Tuhan bisa dan kadang-kadang meluputkan kita dari bahaya, tapi tidak selalu. Kalau orang lain bisa sakit, kita juga bisa sakit. Kalau orang lain bisa berduka, terluka, bahkan mati—kita juga bisa.
Alasan kedua justru karena kita adalah anak-anak Allah. Roh Kudus terus bekerja menguduskan kita, menjadikan kita serupa dengan Kristus. Artinya, kita makin melihat dunia dengan mata, perasaan, dan hati Kristus. Maka kita juga akan berduka seperti Kristus berduka. Ketika melihat keluarga yang hancur, kita bukan hanya merasa kasihan, tapi benar-benar berduka. Saat melihat seseorang jatuh ke dalam dosa, bukan rasa menghakimi yang muncul, tapi kesedihan. Bahkan saat melihat diri sendiri jatuh, kita pun menderita. Karena apa yang terjadi di dunia ini tidak sesuai dengan hati Allah.
Saat melayani Tuhan di dunia, kita juga pasti akan berhadapan dengan kuasa jahat. Kita memberitakan Injil, memuridkan, memulihkan yang terluka—dan semua itu tentu tidak disukai oleh Iblis. Maka penderitaan tidak terhindarkan. Bahkan, jika hidup kita bebas dari penderitaan, itu bisa menjadi pertanyaan serius: apakah kita sedang hidup sebagai anak-anak Allah?
Penderitaan bukan saja tidak terhindarkan, tapi juga perlu. Karena melalui penderitaan kita makin sadar akan kegelapan dunia ini. Kita makin merasakan hati Allah yang ingin memulihkan dunia ini. Dan kita makin rindu akan sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang telah dijanjikan bagi kita. Tapi meskipun penderitaan itu penting, itu bukanlah akhir dari cerita hidup kita sebagai anak-anak Allah.
Kedua: Glory later (kemuliaan nanti)
Paulus berkata di ayat 18 bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan datang. Ini bukan berarti Paulus meremehkan penderitaan kita. Dia tahu bahwa penderitaan hari ini sangat nyata dan kadang-kadang terasa menggulung dan menghancurkan kita. Tapi sekalipun semua penderitaan itu dikumpulkan dan dijumlahkan, tetap tidak sebanding dengan kemuliaan yang kelak akan kita terima.
Lalu, seperti apa kemuliaan itu? Apa saja janji-janji Allah yang akan diberikan kepada kita?
Ada seorang pengkhotbah yang berkata, “Allah akan menjadikan kita begitu serupa dengan Yesus sehingga kalau kita bertemu dengan diri kita yang telah disempurnakan, kita akan tergoda untuk menyembah.” Ini memang provokatif, tapi ada benarnya. Di kitab Wahyu, Yohanes sempat tersungkur hendak menyembah malaikat karena begitu mulia penampakannya. Malaikat itu langsung melarang, karena hanya Allah yang layak disembah. Tapi Yohanes tergoda karena apa yang dilihatnya sungguh luar biasa.
Seperti itulah kelak Allah akan menjadikan kita. Satu saat nanti kita akan saling memandang dan berkata, “You are so perfect.” Hari ini mungkin kita masih saling menilai satu sama lain dengan kekurangan dan kelemahan. Tapi suatu saat, kita akan melihat betapa sempurnanya karya Allah dalam diri kita masing-masing.
Paulus ingin menegaskan: jika kita adalah anak, maka kita juga ahli waris. Dan semua janji itu—tempat tinggal bersama Allah, tubuh kebangkitan, keserupaan dengan Kristus—adalah milik kita. Maka penderitaan sekarang tidak sebanding dengan kemuliaan yang akan datang. Suffering now, glory later. Itulah pengharapan besar dalam Injil.
Ketiga: Creation restored (ciptaan dipulihkan)
Ayat 19 sampai 22 menunjukkan bahwa penderitaan bukan hanya dialami manusia, tetapi seluruh ciptaan. Kejadian pasal 3 menunjukkan bahwa ketika Adam jatuh ke dalam dosa, seluruh bumi ikut terkena dampaknya. Tuhan berkata, “Terkutuklah tanah karena engkau.” Sejak saat itu, bumi mengalami kerusakan. Hewan-hewan pun mengalami dampak. Semuanya berubah dari rencana semula.
Paulus berkata bahwa seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Artinya, saat kemuliaan itu tiba dan segala sesuatu dipulihkan. Logikanya seperti ini: manusia berdosa, maka ciptaan rusak. Ketika manusia dipulihkan, maka ciptaan pun akan dipulihkan.
Dunia ini adalah ciptaan Allah, dan Dia tidak menciptakannya seperti kondisi sekarang. Kejahatan, penderitaan, ketidakadilan, bencana, dan kematian bukanlah bagian dari desain awal Allah. Ketika Allah menciptakan dunia, Dia berkata, “Sungguh amat baik.” Tapi dosa merusaknya. Injil membawa harapan bahwa suatu hari nanti dunia ini akan dipulihkan.
Maka ketika kita menderita, ingatlah: seluruh ciptaan juga sedang menderita. Bahkan Paulus menggambarkannya seperti sakit bersalin. Ada rasa sakit, ada ketegangan, tapi juga ada harapan akan kelahiran sesuatu yang baru. Satu saat nanti, Allah akan memamerkan kemuliaan-Nya melalui kita. Ciptaan akan melihat dan terkagum-kagum: inilah anak-anak Allah. Inilah karya penebusan Kristus.
Keempat: Life of endurance (hidup dalam ketekunan)
Ayat 23 sampai 25 menyatakan bahwa kita telah menerima karunia sulung Roh—kita sudah diselamatkan, sudah menerima Roh Kudus. Tapi semua itu baru awal. Masih ada yang kita nantikan: hidup sepenuhnya sebagai anak-anak Allah, bersama dengan Bapa di surga, dalam tubuh kebangkitan, dalam keserupaan dengan Kristus.
Karena itu, penderitaan hari ini dijalani dengan pengharapan. Paulus ingin agar kita menantikan dengan tekun kemuliaan yang pasti akan datang itu. Hidup Kristen adalah hidup yang bertahan sampai akhir. A life of endurance. Karena nanti kita akan menikmati sepenuhnya keselamatan yang dijanjikan, saat kita berjumpa dengan Tuhan.
Ada tiga kisah yang ingin saya ceritakan untuk mendaratkan seluruh pembahasan kita hari ini.
Kisah pertama tentang Joni Eareckson Tada.
Mungkin banyak dari kita pernah mendengar kisahnya atau membaca tulisannya. Tapi izinkan saya mengulanginya karena begitu relevan. Joni adalah seorang atlet perempuan asal Amerika. Pada usia 17 tahun, ia mengalami kecelakaan saat menyelam yang membuatnya lumpuh dari leher ke bawah. Ia melewati masa-masa penuh kepahitan, frustrasi, bahkan sempat ingin mengakhiri hidupnya. Tapi perlahan-lahan, ia keluar dari kegelapan itu dan mulai percaya kepada Yesus.
Salah satu momen besar yang mengubah hidupnya adalah saat ia merenungkan Yesus yang tergantung di salib—tak berdaya, tak bisa bergerak, lumpuh seperti dirinya. Ia merasa Yesus pernah seperti dirinya, bahkan mengalami penderitaan yang lebih besar. Namun yang paling menguatkannya adalah kebangkitan Kristus. Yesus bangkit, dan Tuhan berjanji bahwa suatu hari Joni juga akan dibangkitkan dengan tubuh yang baru.
Ada satu kisah Joni yang begitu membekas. Dalam sebuah konferensi, seorang pengkhotbah mengajak jemaat berlutut untuk berdoa. Ia hanya bisa duduk dan menyaksikan semua orang berlutut. Ia menangis. Tapi di tengah air matanya, ia teringat janji kebangkitan. Di kemudian hari ia menulis:
“Saat itu, aku teringat bahwa di surga aku akan bebas untuk melompat, menari, menendang, dan melakukan aerobik. Tapi sebelum pesta perjamuan Anak Domba dimulai, hal pertama yang ingin kulakukan dengan tubuh kebangkitanku adalah berlutut. Dengan tenang, aku akan berlutut di kaki Yesus, penuh rasa syukur.”
Ia menulis berulang kali, “Aku tidak sabar menunggu itu.”
Bagi siapa pun yang memiliki kelemahan fisik, pergumulan mental, atau merasa tak berdaya menghadapi hidup—ingatlah bahwa Yesus tahu betul artinya menderita. Tapi Ia menang. Dan satu kali nanti, tubuh kita akan dibangkitkan, disempurnakan. Apa yang ingin kamu lakukan dengan tubuh kebangkitanmu kelak? Bayangkan itu, rindukan itu. Janji-Nya pasti.
Kisah kedua dari serial The Chosen.
Beberapa waktu lalu, saya menonton salah satu adegan yang begitu menyentuh. Dalam film itu, Yakobus anak Alfeus digambarkan sebagai seseorang yang pincang. Memang tidak ada catatan seperti ini dalam Alkitab, tapi sang penulis skenario mencoba mengisi ruang kosong dengan kisah yang kuat secara emosional.
Yesus mengutus kedua belas murid, memberi mereka kuasa untuk memberitakan Kerajaan Surga dan menyembuhkan orang sakit, termasuk yang lumpuh. Yakobus, dengan kakinya yang pincang, mendengar ini dan merasa goyah. Ia mengejar Yesus dan bertanya, “Tuhan, Engkau mengutus kami untuk menyembuhkan orang lumpuh. Tapi aku sendiri lumpuh dan belum disembuhkan.”
Yesus menatapnya dan bertanya, “Yakobus, apakah engkau ingin disembuhkan?”
“Tentu saja,” jawabnya, “tapi mengapa belum Engkau sembuhkan aku?”
Yesus menjawab dengan lembut:
“Dalam kehendak Bapa, Aku bisa menyembuhkanmu saat ini juga, dan kau akan punya kisah mukjizat yang indah. Tapi sudah banyak orang yang punya cerita seperti itu. Bayangkan kisahmu jika Aku tidak menyembuhkanmu. Kau tetap memuji Allah dalam keadaan seperti ini. Kau menunjukkan bahwa ada hal yang lebih penting dari tubuh yang sehat. Kau sabar dalam penderitaanmu karena kau tahu bahwa suatu saat kau akan hidup tanpa penderitaan. Kisahmu akan bertahan lintas generasi.”
Yakobus menjawab lirih, “Tapi ini sangat berat.”
Yesus menutup, “Waktu kau berpulang dan bertemu Bapa di surga, seperti dijanjikan oleh nabi Yesaya, engkau akan melompat seperti rusa. Upahmu akan besar. Maka bertahanlah sedikit lebih lama.”
Saat menonton adegan itu, saya menangis. Kalimat itu terus terngiang:
“So hold on a little longer. Your reward will be great.”
Bagi siapa pun yang sedang bergumul, bertahanlah sedikit lagi. Kita pasti akan disembuhkan, pasti akan dipulihkan. Kalau bukan di dunia ini, maka di akhir zaman. Dan waktu kita tetap memuliakan Allah dalam kondisi apapun, dampaknya akan jauh lebih besar dari yang bisa kita bayangkan.
Paulus mengingatkan bahwa hidup Kristen adalah hidup yang bertahan sampai akhir. Saat ini kita masih berpegang pada janji. Kita sudah mencicipi keselamatan, tapi baru sebagai karunia sulung. Pestanya nanti, di kekekalan. Maka jika hari ini kita hanya fokus pada apa yang terlihat, kita akan kecewa. Tapi jika kita mengarahkan pandangan pada pengharapan yang kekal, kita akan dimampukan untuk bertahan.
Kisah ketiga dari Tolkien, dalam kisah alegori “Leaf by Niggle”.
Niggle adalah seorang pelukis. Dalam imajinasinya, ia melihat sehelai daun, lalu sebuah pohon, dan di balik pohon itu ada pegunungan, kota, dan hutan yang indah. Ia begitu terpesona dan memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya melukis gambar itu. Tapi ia perfeksionis—ia hanya berhasil melukis satu daun, karena selalu terganggu oleh kebutuhan orang lain dan kewajiban-kewajiban hidup. Sampai akhirnya ia meninggal dunia tanpa menyelesaikan lukisan itu.
Namun ketika tiba di kekekalan, betapa terkejut dan bahagianya Niggle. Di surga, ia melihat pohon itu—pohon yang selama ini hanya ia lihat samar dalam imajinasi. Sekarang nyata di depannya. Indah, sempurna, bahkan hidup. Di dunia, hasil karyanya hanya satu daun yang segera dilupakan. Tapi di surga, apa yang ia bayangkan dan mulai kerjakan disempurnakan Tuhan, untuk dinikmati selamanya.
Tim Keller mengutip kisah ini dan menulis: We are all Niggle.
Kita semua seperti dia. Kita semua bermimpi mencapai sesuatu, membangun sesuatu yang bermakna. Tapi pada akhirnya, semua terasa tidak sempurna, tidak selesai. Namun apa pun yang kita lakukan sebagai jawaban atas panggilan Tuhan, akan disempurnakan oleh-Nya.
Entah dalam pelayanan, dalam pengasuhan anak, atau dalam perjalanan hidup rohani—semuanya mungkin terasa tidak sempurna. Tapi jika dilakukan dalam iman, Tuhan yang akan menyempurnakannya. Suatu saat nanti, kita akan melihat hidup kita, anak-anak kita, karya dan pelayanan kita, dan kita akan berkata, “Perfect. Tuhan telah menyempurnakannya.”
Tom Cannon pernah berkata, “Endurance trumps zeal every time.” Ketekunan selalu menang melampaui semangat. Semangat itu baik, tapi yang akan menang adalah mereka yang bertahan sampai akhir.
Ingatlah ini:
So hold on a little longer. Your reward will be great.
Engkau adalah anak Allah, ahli waris yang akan menerima janji-janji-Nya bersama Kristus. Bertahanlah sedikit lagi. Upahmu akan besar.
Dua pertanyaan refleksi untuk direnungkan:
Kita bertekun bukan karena kuat, tapi karena Yesus yang menguatkan. Karya-Nya di salib bukan hanya menjadikan kita anak-anak Allah, tetapi juga menjamin bahwa suatu saat nanti kita akan menerima janji-Nya: tinggal bersama Dia, menerima tubuh kebangkitan, menjadi serupa dengan Kristus. Sempurna.