Treasuring Christ

SPECIAL SUNDAY SERVICE – Treasuring Christ

Ps. Anthony Pribudi

 

Hari ini saya ingin mengajak kita semua merenungkan sebuah tema yang saya beri judul Treasuring Christ. Sebenarnya saya sempat berusaha mencari padanan Bahasa Indonesia-nya, tapi sulit. Inilah salah satu alasan saya suka bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, sering kali satu kata bisa mewakili makna kompleks—bahkan perasaan yang terkandung di dalamnya.

Ini mirip dengan bahasa Surabaya. Saya kasih contoh kenapa menurut saya bahasa Inggris dan bahasa Surabaya adalah dua bahasa terbaik di dunia. Misalnya, dalam bahasa Surabaya, ketika ingin menggambarkan rasa yang sangat enak—yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata—orang cukup bilang: "Wenak!" Hanya dengan menambahkan huruf "W", langsung ketahuan ini bukan cuma enak biasa, tapi enak pol. Bayangkan makan ayam goreng Presiden yang luar biasa nikmat. Sulit dijelaskan, tapi cukup bilang "wenak pol!"—langsung nyambung secara rasa dan perasaan.

Contoh lain, saat kita mengalami sesuatu yang menyentuh hati, yang benar-benar menampar batin, kita bilang: “Mak jlep!” Nah itu—nggak ada padanan rasanya dalam kalimat panjang. Sekali ucap, langsung kena. Bahasa Inggris kadang seperti itu. Misalnya, frasa treasuring Christ. Artinya lebih dari sekadar mencintai, tapi juga menghargai, mengasihi, menikmati, bahkan menempatkan Kristus sebagai sesuatu yang begitu bernilai—lebih dari segalanya dalam hidup ini.

Kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, judulnya bisa jadi: “Mengasihi Kristus, menikmati Kristus, menilai Kristus, menghargai Kristus lebih dari segalanya”—panjang sekali. Karena itu saya lebih memilih memakai frasa “Treasuring Christ”.

Sebelum kita masuk dalam perenungan firman Tuhan, penting untuk kita pahami bahwa ini bukan sekadar gimik, bukan karena saya ingin tampil keren dengan judul bahasa Inggris, dan bukan pula sentimentalitas belaka. Ini adalah inti dari kekristenan itu sendiri—hukum utamanya.

Mari kita lihat Matius 22:37–38, ini kata Yesus:
37 “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.”
38 “Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.”

Uniknya, hukum utama dari iman Kristen bukan “taatilah Tuhan”, bukan “layanilah Tuhan”, bukan juga “berbaktilah kepada-Nya”. Tapi: kasihilah Tuhan. Artinya, tujuan utama dari semua hal yang kita lakukan dalam kehidupan iman ini—baik berdoa, membaca Alkitab, pelayanan, ke gereja—semua itu bukan ujungnya, tapi sarana untuk membawa kita kepada satu hal: kasih kepada Allah dengan segenap hati, akal budi, dan kekuatan.

Mengapa ini penting? Hari ini saya ingin kita renungkan tiga hal saja.

Pertama, kalau relasi kita dengan Tuhan berdasar pada kasih, maka landasan utamanya adalah hubungan, bukan transaksi atau kewajiban. Karena itu, Alkitab sering menggambarkan hubungan kita dengan Tuhan sebagai relasi Bapa dan Anak. Bahkan lebih dari sekadar “umat”, “jemaat”, atau “hamba”, status terdalam kita adalah “anak”. Atau, gambaran lain: mempelai pria dan wanita. Artinya relasi ini begitu intim dan penuh kasih. Seperti dalam relasi pernikahan yang sehat, kasih sejati akan melahirkan ketaatan dan pelayanan yang tulus, bukan karena dipaksa, tapi karena kasih.

Kedua, kasih sejati itu selalu menginginkan kebaikan bagi pihak yang dikasihi. Kalau punya anak, pasti ingin yang terbaik untuk anak itu. Kalau punya pasangan, pasti ingin hal yang terbaik juga. Maka ketika Tuhan meminta kita mengasihi-Nya secara total, itu bukan karena Dia egois atau abusif. Justru karena Dia adalah kebaikan itu sendiri. Hanya dengan mengasihi Dia secara total, kita bisa mengalami kebaikan yang sejati dalam hidup ini.

Ketiga, kasih seperti itu adalah satu-satunya kasih yang layak diberikan kepada Pribadi Allah yang sempurna dan mulia. Tapi realitanya, karena dosa, konsep mengasihi Allah dengan segenap hati terasa asing. Jauh lebih mudah bagi kita untuk merasa terpesona oleh uang, kenyamanan, atau liburan ke Jepang. Kita bisa dengan semangat berkata “Wenak pol!” untuk makanan enak, tapi sulit membayangkan kita berkata hal yang sama saat menyembah Tuhan. Betul?

Jadi, pertanyaannya: apa yang salah dengan kita?

Itu yang akan kita renungkan bersama hari ini melalui Filipi pasal 3. Di sana, Paulus menunjukkan bahwa ada bahaya yang nyata dalam kehidupan iman kita—sebuah racun yang menggerogoti hati sehingga kita tidak bisa sepenuhnya mengasihi Kristus. Hati kita, menurut Paulus, cenderung lebih tertarik kepada hal-hal yang sebenarnya “sampah dan kotoran” dibandingkan kepada harta yang sejati: Kristus sendiri.

Bacaan: Filipi 3:2-11

3:2 Hati-hatilah terhadap anjing-anjing, hati-hatilah terhadap pekerja-pekerja yang jahat, hati-hatilah terhadap penyunat-penyunat yang palsu, 

3:3 karena kitalah orang-orang bersunat, yang beribadah oleh Roh Allah, dan bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. 

3:4 Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: 

3:5 disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, 

3:6 tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat. 

3:7 Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. 

3:8 Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, 

3:9 dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan. 

3:10 Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, 

3:11 supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.

BAHAYA MELIHAT INJIL DENGAN LENSA LAMA

Paulus memulai bagian ini dengan peringatan yang sangat keras. Dari mana kita tahu ini serius? Karena Paulus memakai istilah yang tajam—bahkan kasar. Ia menyebut para penyesat itu sebagai anjing-anjing. Dan Saudara tahu, baik dalam konteks Yahudi zaman dulu maupun zaman sekarang, tidak pernah sopan memanggil orang dengan sebutan “anjing.”

Lalu Paulus menyebut mereka pekerja-pekerja jahat, atau secara literal: evil doers—penjahat rohani. Mungkin kita berpikir, “Lebai amat sih Paulus?” Tapi sebenarnya, ini seperti label peringatan di bungkus rokok yang menampilkan gambar mengerikan. Kenapa harus ekstrem begitu? Karena bahayanya nyata. Karena merokok bisa membunuh. Ajaran palsu ini juga bisa membunuh—secara rohani.

Lalu Paulus menyingkapkan siapa mereka: penyunat-penyunat palsu. Artinya, mereka adalah orang Yahudi yang mengaku percaya Injil, tapi tetap menafsirkan keselamatan melalui kacamata agama Yahudi. Mereka berkata, “Yes, Injil itu penting. Tapi untuk sungguh-sungguh diselamatkan, kamu juga harus disunat. Harus menaati hukum-hukum tertentu.” Mereka mencampur Injil dengan syarat-syarat lahiriah.

Bayangkan kalau gereja kita punya spanduk bertuliskan, “Selamat datang—tapi hanya kalau kamu sudah disunat!” Konyol, kan? Tapi inilah bahaya yang Paulus tegaskan: melihat Injil dengan lensa lama, lensa agama.

Secara umum, bagian ini menegaskan bahwa kita tidak bisa membaca Injil dengan kacamata lama kita—baik itu budaya, tradisi, atau pemikiran duniawi. Misalnya: Kristen, tapi masih percaya klenik supranatural. Atau seperti tante yang berkata, “Kalau kasih persembahan, harus uang baru dan amplop bagus, supaya Tuhan berkenan—kalau tidak, nanti kita dikutuk.” Masih ada mentalitas transaksi. Lensa Injil bercampur dengan cara pikir lama.

Yesus sendiri berkata di Matius 9:17, “Anggur yang baru tidak disimpan dalam kantong kulit yang tua.” Kalau kita masukkan Injil ke dalam sistem berpikir lama, hasilnya rusak. Itulah kenapa banyak orang Kristen yang merasa percaya Injil, tapi hidupnya tidak mengalami kuasa Injil—karena masih pakai pola pikir lama.

Secara khusus, Paulus menyoroti satu bahaya: melihat Injil melalui lensa agama. Apa maksudnya? Agama mengajarkan bahwa kita harus berbuat sesuatu untuk layak diselamatkan. Kita mungkin secara teologis setuju bahwa keselamatan adalah karena anugerah, tapi hati kita cenderung berkata, “Masa sih aku enggak punya kontribusi sama sekali?” Kita merasa lebih nyaman kalau kita punya andil 10%, 20%—agar bisa berkata: “Tuhan mengasihiku karena aku rajin, karena aku taat, karena aku memberikan sesuatu.”

Jujur, kita memang tidak suka menerima sesuatu yang benar-benar gratis. Misalnya, kalau kita lagi lapar dan lupa bawa dompet, lalu ada orang baik—sebut saja Ko Bono—memberikan kita uang Rp100.000 untuk makan siang, apa reaksi kita? “Makasih ya, tapi minggu depan aku gantian traktir ya!” Kenapa? Karena kita enggak nyaman kalau berhutang. Kita mau merasa layak, mau ada kontrol.

Saudara, ini yang Paulus lawan. Injil itu kasih karunia. 100% dari Allah. Bukan 80% Allah dan 20% kita. Tapi hati kita sulit menerima itu, karena kita sombong. Kita ingin bisa berkata, “Aku ikut andil dalam keselamatanku.” Padahal, keselamatan adalah sepenuhnya karya Kristus. Dan justru saat kita melepaskan klaim kontribusi itulah, kita benar-benar bisa mengalami kuasa Injil.

“The gospel gives us a fully sovereign God and fully hopeless men. That’s why we like religion better.”

Inilah paradoks Injil yang sering membuat manusia tersandung. Injil bukan sekadar kabar baik tentang keselamatan, tetapi juga berita pahit bagi harga diri manusia: bahwa manusia benar-benar tidak berdaya dan tidak memiliki kontribusi apa pun terhadap keselamatannya. Dalam Injil, Allah ditampilkan sebagai pribadi yang sepenuhnya berdaulat, yang memilih, menyelamatkan, dan menyempurnakan tanpa bantuan manusia. Sementara itu, manusia digambarkan sebagai sepenuhnya putus asa, mati dalam dosa-dosa (Efesus 2:1), tanpa kekuatan (Roma 5:6), dan hanya bisa hidup oleh kasih karunia semata.

Konsekuensinya, manusia secara alami lebih menyukai “agama” ketimbang Injil. Mengapa? Karena agama memberi ruang bagi kendali, kontribusi, dan kebanggaan. Agama mengatakan: “Lakukan ini, dan kamu akan hidup.” Tapi Injil berkata: “Kamu mati, dan satu-satunya harapanmu adalah Kristus yang hidup.” Itulah sebabnya banyak orang — termasuk orang Kristen — cenderung kembali kepada pola pikir agama: berusaha menyenangkan Allah dengan performa, berharap diterima karena ketaatan, dan merasa lebih baik dari orang lain.

Injil menghancurkan semua itu. Ia merobohkan setiap bentuk keangkuhan rohani dan memaksa kita bergantung sepenuhnya kepada kasih karunia. Dan justru di situlah kuasa dan keindahannya: karena hanya ketika kita melihat betapa putus asanya kita, barulah kita benar-benar melihat betapa indah dan cukupnya Kristus.

STOP & REFLECT

Apakah kekristenan kita hari ini sudah sepenuhnya bersandar pada Injil atau masihkah kita menggunakan lensa agama?

MASALAH HATI YANG LEBIH DALAM

Apa sebenarnya problem yang menurut Paulus dibungkus dengan keagamaan tadi? Ada problem hati yang lebih dalam, Saudara. Bukan sekadar perilaku, tapi ada disorder dalam hal apa yang kita megahkan dan apa yang menjadi tempat kita menaruh percaya. Paulus menyentuh hal ini dalam ayat 3 sampai 6.

Ia berkata, "Kitalah orang-orang yang bersunat, yang beribadah oleh Roh Allah, dan bermegah dalam Kristus Yesus, dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah." Kata “bermegah” di sini menggunakan istilah Yunani kauchaomai, yang artinya adalah to glory in atau to boast in something—menjadikan sesuatu sebagai kebanggaan tertinggi kita. Sedangkan kata “menaruh percaya” berasal dari pepoithēsis, yang artinya adalah confidence—tempat kita menggantungkan rasa aman dan kepastian hidup kita.

Sederhananya, Paulus berkata: "Apa yang menjadi sumber kebanggaanmu, dan apa yang menjadi dasar kepercayaan dirimu?"

Saya kasih analogi. Pikirkan tentang sebuah CV atau resume. Apa yang kita lakukan saat ingin diterima di sebuah perusahaan impian? Kita mulai menyusun daftar panjang tentang semua prestasi, kekuatan, dan pengalaman kita. Kita cari tahu bagaimana membuat resume terbaik—generasi sekarang langsung tanya ChatGPT: "How to build the perfect resume?"

Resume itu, kata ChatGPT, harus menunjukkan semua kelebihan kita supaya stand out. Supaya perekrut langsung melirik kita. Supaya kita punya confidence—rasa yakin bahwa kita layak diterima.

Dan begitulah juga cara kita hidup. Kita semua, setiap hari, membawa “CV” masing-masing. Bukan hanya untuk pekerjaan. Tapi untuk hidup. Untuk membuktikan bahwa kita layak. Bahwa kita orang baik. Bahwa kita berhasil.

Paulus punya resume yang sangat mengesankan: sunat hari kedelapan, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, orang Farisi, dalam hal ketaatan kepada Taurat—tak bercacat. Tapi Paulus sadar, semua itu adalah kepercayaan diri yang salah tempat—false confidence.

Dan saya percaya, kita juga punya versi kita sendiri. Mungkin seperti ini:

  • “Saya orang Kristen baik-baik sejak kecil, nggak pernah aneh-aneh.”
  • “Saya pendeta yang jemaatnya sudah 500 orang.”
  • “Saya mama yang dikagumi anak-anak saya. Yang penting mereka sayang saya.”
  • “Saya punya saldo tabungan ratusan juta. Baru hidup saya tenang.”
  • “Saya sudah sukses. Sudah diakui. Sudah punya jabatan tinggi.”

Pertanyaannya: apakah hal-hal itulah yang membuat kamu merasa aman? Layak? Diterima? Berarti? Inilah yang Paulus tentang. Dia tidak berkata bahwa hal-hal itu jahat. Sunat bukan dosa. Disiplin bukan dosa. Tapi masalahnya adalah ketika semua itu menjadi dasar identitas kita.

Di sinilah Injil masuk dan merobohkan segalanya.

Injil berkata bahwa kita hanya bisa “bermegah” dalam Kristus. Hanya Kristus yang cukup. Hanya Kristus yang membuat kita diterima, dibenarkan, dan dipuji oleh Allah. Injil memberikan kepada kita Allah yang sepenuhnya berdaulat dan manusia yang sepenuhnya tanpa harapan.

Dan justru karena itu... kita sering lebih suka agama daripada Injil. Kenapa?

Karena agama masih memungkinkan kita membangun CV. Masih memberikan ruang untuk membuktikan diri. Tapi Injil membunuh semua itu. Injil berkata: tidak ada satu pun dalam CV-mu yang cukup di hadapan Allah. Hanya Kristus. Maka kita tidak punya alasan untuk bermegah kecuali dalam salib-Nya.

Kata “bermegah” itu—kauchaomai—kalau kita tarik ke Perjanjian Lama, padanannya adalah kata “halelu”, yang kita kenal dalam bentuk “Haleluya.” Praise the Lord.

Artinya: kita diciptakan untuk memuji. Tapi di dalam dosa, kita tidak memuji Tuhan. Kita memuji diri sendiri. Kita membangun resume bukan hanya supaya orang lain memuji, tapi supaya jiwa kita sendiri bisa memberi pujian ke dalam: “You made it. Kamu berhasil.”

Itulah kenapa kita butuh Injil. Karena Injil menghancurkan CV palsu kita, dan menggantikannya dengan kebenaran Kristus.

PERTUKARAN YANG MENCENGANGKAN

Nah, perhatikan baik-baik bagaimana Paulus melanjutkan argumentasinya di ayat 7 dan 8. Ia memberikan kepada kita sebuah gambaran yang kuat, seperti sebuah timbangan. Paulus berkata, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku...” Apa yang ia maksud? Semua CV rohani dan latar belakang agamawi yang tadi disebutkan. Hari ini, renungkanlah semua CV dan resume kita—semua pencapaian, status, dan kelebihan yang selama ini kita anggap sebagai keuntungan. Karena lewat semua hal itu, orang mungkin memberikan kita tepuk tangan dan pujian. Bahkan kita pun bisa membayangkan Tuhan sedang menepuk pundak kita dan berkata, “Engkau layak dikasihi dan diterima karena semua ini.”

Tetapi Paulus berkata, “Dulu itu keuntungan bagiku. Sekarang, kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.”

Saudara, ini prinsip penting. Hati kita itu seperti timbangan. Kalau satu sisi ingin menjadi lebih berat, maka sisi lainnya harus dikurangi bebannya. Kalau kita ingin Kristus menjadi lebih mulia dan berharga di hati kita, maka hal-hal lain harus menjadi semakin kecil, usang, bahkan tak berarti dibandingkan dengan-Nya.

Perhatikan: ini bukan berarti keluarga, anak, istri, atau pekerjaan kita tidak berarti. Bukan berarti kita pulang dari gereja dan berkata pada anak atau bos kita, “Kamu sampah.” Bukan itu maksudnya. Tapi bila dibandingkan dengan kemuliaan Kristus, semua itu tak bisa menandingi nilai-Nya. Semakin kita mengagungkan Kristus, semakin kita melihat bahwa hal-hal duniawi yang dulu kita banggakan ternyata tidak mampu memberikan hidup, nilai, atau identitas yang sejati.

Dengan kata lain: pertumbuhan rohani tidak diukur dari seberapa banyak kita mendapat dari Tuhan, tetapi seberapa banyak yang kita rela lepaskan demi Kristus. Ini bukan soal akumulasi spiritual, tetapi soal pengosongan diri agar Kristus menjadi segalanya. Perlu terjadi perubahan mata uang rohani—sebuah perubahan nilai di hati kita. Kita harus melihat segala sesuatu yang lain sebagai tidak berharga agar Kristus menjadi benar-benar berharga.

Dan hal ini bukan hanya berbicara soal dosa dan kejahatan. Sering kali, yang paling menghalangi kita untuk melihat kemuliaan Kristus bukanlah hal yang buruk, tetapi hal-hal yang baik yang kita jadikan ilah. Hal-hal yang kita banggakan dan percayai. Nabi Yeremia pun pernah memperingatkan hal serupa:

"Beginilah firman TUHAN: Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya. Tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah ia bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi. Sungguh, semuanya itu Kusukai.” (Yeremia 9:23–24)

Seakan-akan Yeremia ingin berkata, “Yang membuat kita gagal mengenal kemuliaan Allah bukan hanya dosa, tetapi kebijaksanaan, kekuatan, dan kekayaan yang kita banggakan melebihi Tuhan.” Ketika kita lebih bermegah dalam hal-hal itu, kita sedang berkata, “Inilah sumber nilai dan kemuliaanku.” Saat itu terjadi, Allah menjadi tak berharga di hati kita.

Saya suka bagaimana Tim Keller merangkum pengajaran Paulus dan Yeremia dalam The Prodigal God. Ia berkata:

“Untuk benar-benar menjadi orang Kristen, kita tidak hanya harus bertobat dari dosa-dosa kita, tetapi juga dari alasan-alasan keliru di balik perbuatan-perbuatan baik kita. Kita harus bertobat dari dosa yang mendasari semua dosa, yaitu keinginan untuk menjadi Tuhan dan juru selamat atas hidup kita sendiri.”

Dan hanya ketika kita sadar bahwa inilah masalah paling mendasar kita, kita baru mulai memahami Injil dan menjadi orang Kristen sejati.

Dosa bukan cuma soal pelanggaran moral atau kesalahan perilaku, tetapi sebuah pertukaran yang absurd. Paulus berkata, “Yang dahulu keuntungan, sekarang kuanggap rugi… dan segalanya itu kuanggap sampah.” Kata “rugi” yang dipakai adalah zēmia—kerugian yang nyata. Seperti menyimpan barang rongsokan di rumah: usang, rusak, tidak terpakai, tetapi tetap kita simpan. Padahal justru membuat hidup kita berantakan.

Bahkan kata “sampah” di situ adalah skubala, yang secara harfiah berarti kotoran binatang—ya, tai anjing. Sangat menjijikkan. Paulus ingin menyampaikan betapa bodohnya pertukaran itu: kita menukar kemuliaan Kristus dengan kotoran. Kita memilih hal-hal yang tak bisa menyelamatkan atau memberikan identitas, dan malah membuang satu-satunya yang bisa.

Refleksikan hari ini:
Apakah hati kita benar-benar menganggap Kristus sebagai harta yang paling berharga?
Atau apakah kita masih lebih terpikat oleh hal-hal lain?

Karena kalau kita jujur dan jawabannya adalah: “Tidak. Kristus belum menjadi yang paling aku hargai,” maka kita sedang melakukan pertukaran yang tragis. Kita seperti Esau yang menukar warisan Allah demi semangkuk sup. Seperti Petrus yang menyangkal Yesus demi penerimaan orang. Seperti Yudas yang menukar Yesus dengan uang.

Kita semua pernah melakukan pertukaran yang bodoh.

Tetapi—dan ini kabar Injil-nya, Saudara—di tengah semua kebodohan kita dalam membuat pertukaran yang salah, ada satu pertukaran yang mencengangkan. Pertukaran yang dilakukan oleh Kristus.

Kembali ke Yeremia 9:24:

“Siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena ini: bahwa ia memahami dan mengenal Aku…

Kenapa kita cenderung bermegah dalam kebijaksanaan, kekuatan, atau kekayaan? Karena kita percaya hal-hal itu bisa memberi kita kasih, keadilan, dan kebenaran. Kita berpikir: “Kalau aku pintar, kuat, dan kaya, maka aku akan dikasihi, diperlakukan adil, dan dianggap benar.”

Tapi apakah itu benar? Tidak. Dunia yang berdosa ini tetap akan memperlakukanmu tidak adil. Kekayaan tidak menjamin keadilan. Kepintaran tidak menjamin kasih. Kekuatan tidak menjamin kebenaran.

Dan yang paling penting:
CV dan resume kita tidak bisa menyelamatkan kita. Hanya Kristus yang bisa.

IMPLIKASI INJIL

Pertumbuhan rohani tidak diukur dari berapa banyak yang kita dapatkan melainkan berapa banyak yang rela kita lepas demi mengenal dan memperoleh Kristus

Pertobatan bukan hanya berbicara tentang perubahan perilaku, namun perubahan obsesi hati

Kedewasaan rohani adalah saat kita memandang segala situasi kehidupan (termasuk penderitaan) sebagai perjalanan untuk mengenal, menikmati, dan menjadi serupa dengan Kristus