Doa Abraham bagi Kota

From Abraham to Jesus : The Gospel in Prayer – WEEK 1 "Doa Abraham untuk Kota" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Banyak orang tidak benar-benar mengerti esensi doa. Kita sering berdoa tanpa tahu dasar, postur hati, atau sikap doa yang sesuai dengan Injil. Apa sebenarnya yang menjadi dasar dan jaminan doa kita?

Karena itu, dalam beberapa minggu ke depan kita akan mempelajari kisah-kisah Alkitab tentang orang-orang yang berdoa dan berjumpa dengan Tuhan. Ini sangat relevan, sebab dunia dan bangsa kita sedang dilanda berbagai krisis. Sering kali kita lebih suka mengeluh dan berkomentar di media sosial daripada sungguh berdoa. Namun, pernahkah kita benar-benar berdoa untuk bangsa ini? Dan ketika berdoa, apakah kita tahu dasar dan postur doa kita?

Hari ini kita akan melihat doa Abraham untuk Sodom dan Gomora—kota yang dikenal rusak moralnya, penuh ketidakadilan, penindasan, pelecehan, dan penyimpangan. Dalam Kejadian 18:17–33, Abraham berdialog dengan Tuhan—yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus sebelum inkarnasi—dalam sebuah doa yang menggugah tentang belas kasihan dan keadilan Allah.

 

Bacaan: Kejadian 18:17-33

18:17 Berpikirlah TUHAN: "Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak Kulakukan ini? 

18:18 Bukankah sesungguhnya Abraham akan menjadi bangsa yang besar serta berkuasa, dan oleh dia segala bangsa di atas bumi akan mendapat berkat? 

18:19 Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya." 

18:20 Sesudah itu berfirmanlah TUHAN: "Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomora dan sesungguhnya sangat berat dosanya. 

18:21 Baiklah Aku turun untuk melihat, apakah benar-benar mereka telah berkelakuan seperti keluh kesah orang yang telah sampai kepada-Ku atau tidak; Aku hendak mengetahuinya." 

18:22 Lalu berpalinglah orang-orang itu dari situ dan berjalan ke Sodom, tetapi Abraham masih tetap berdiri di hadapan TUHAN. 

18:23 Abraham datang mendekat dan berkata: "Apakah Engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik? 

18:24 Bagaimana sekiranya ada lima puluh orang benar dalam kota itu? Apakah Engkau akan melenyapkan tempat itu dan tidakkah Engkau mengampuninya karena kelima puluh orang benar yang ada di dalamnya itu? 

18:25 Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?" 

18:26 TUHAN berfirman: "Jika Kudapati lima puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka." 

18:27 Abraham menyahut: "Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu. 

18:28 Sekiranya kurang lima orang dari kelima puluh orang benar itu, apakah Engkau akan memusnahkan seluruh kota itu karena yang lima itu?" Firman-Nya: "Aku tidak memusnahkannya, jika Kudapati empat puluh lima di sana." 

18:29 Lagi Abraham melanjutkan perkataannya kepada-Nya: "Sekiranya empat puluh didapati di sana?" Firman-Nya: "Aku tidak akan berbuat demikian karena yang empat puluh itu." 

18:30 Katanya: "Janganlah kiranya Tuhan murka, kalau aku berkata sekali lagi. Sekiranya tiga puluh didapati di sana?" Firman-Nya: "Aku tidak akan berbuat demikian, jika Kudapati tiga puluh di sana." 

18:31 Katanya: "Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan. Sekiranya dua puluh didapati di sana?" Firman-Nya: "Aku tidak akan memusnahkannya karena yang dua puluh itu." 

18:32 Katanya: "Janganlah kiranya Tuhan murka, kalau aku berkata lagi sekali ini saja. Sekiranya sepuluh didapati di sana?" Firman-Nya: "Aku tidak akan memusnahkannya karena yang sepuluh itu." 

18:33 Lalu pergilah TUHAN, setelah Ia selesai berfirman kepada Abraham; dan kembalilah Abraham ke tempat tinggalnya.

Doa ini menyingkapkan sesuatu yang penting tentang hubungan manusia dengan Allah. Di zaman ini banyak orang mengaku “spiritual” dan suka berdoa, tetapi tidak mau tunduk pada Tuhan yang hidup—mereka hanya merasa “terhubung dengan semesta.” Namun spiritualitas sejati bukan sekadar percaya bahwa Tuhan ada, melainkan merespons Allah yang berbicara melalui firman-Nya. Doa sejati bukan proyeksi manusia tentang Tuhan, melainkan perjumpaan dengan Allah yang menyatakan diri-Nya.

Itulah sebabnya doa Abraham penting untuk dipelajari. Sebagai konteks, tiga tamu datang kepada Abraham; dua di antaranya malaikat, dan satu adalah Tuhan sendiri, Yesus sebelum inkarnasi. Setelah menjanjikan kelahiran Ishak, Tuhan menyatakan rencana-Nya untuk menghakimi Sodom. Di sinilah Abraham berdiri di hadapan Tuhan dan berdoa—bukan untuk dirinya, tetapi bagi kota yang berdosa itu.

Kisah ini menuntun kita untuk melihat tiga hal: 

  1. Bagaimana Abraham berdoa
  2. Mengapa Abraham bisa berdoa demikian
  3. Apa yang kini kita miliki yang Abraham belum miliki

BAGAIMANA ABRAHAM BERDOA?

Biasanya manusia baru sungguh-sungguh berdoa saat menghadapi masalah atau krisis. Ketika hidup lancar, doa menjadi rutinitas ringan—sekadar “Tuhan, lindungi supaya aman.” Doa seperti ini reaktif dan privat, terbatas pada diri dan keluarga. Karena itu, gereja melatih jemaat berdoa bagi orang lain—pray, share, invite.

Berbeda dengan doa Abraham, terlihat tiga ciri utama: responsif, ekstrem, dan misioner.

Pertama, doanya responsif. Sebelum Abraham berdoa, Tuhanlah yang lebih dahulu berbicara. “Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak Kulakukan?” (Kej. 18:17). Doa sejati selalu dimulai dari Allah yang berfirman dan manusia yang menanggapi. Sepanjang Alkitab, doa muncul sebagai respons terhadap firman dan dorongan Roh Kudus.

Secara praktis, doa yang benar lahir dari pembacaan firman. Jika firman berisi janji, kita bersyukur; jika menegur, kita bertobat; jika memanggil, kita mendoakan orang lain. Tanpa firman, doa hanyalah monolog ego kepada Tuhan versi diri sendiri.

Misalnya, berdoa “Tuhan, sukseskan bisnisku” tidak salah, tetapi bisa menjadi manipulatif. Doa yang benar berkata, “Tuntun aku bekerja dengan tulus, jauhkan dari keserakahan, dan jadikan pekerjaanku alat berkat.” Atau bukan “Singkirkan orang yang membuatku susah,” melainkan, “Ajar aku mengasihi musuhku.” Doa sejati lahir ketika hati diguncang firman Allah yang hidup.

John Calvin menulis, “Doa bukan membangkitkan sesuatu yang belum ada di hati Allah, tetapi sarana menyelaraskan hati kita dengan kehendak-Nya.” Doa bukan bujukan kepada Tuhan, melainkan sarana agar hati manusia diubah menjadi serupa dengan hati-Nya.

Kedua, doanya ekstrem. Abraham berani berdialog dengan Tuhan tetapi tetap rendah hati: “Aku debu dan abu.” Ia menawar dari lima puluh sampai sepuluh orang benar, memohon dengan gentar namun yakin akan belas kasih Allah.

Kita sering terjebak di dua kutub: doa yang sentimental tanpa hormat, atau doa yang formal tanpa keintiman. Abraham menunjukkan keseimbangan Injil—berani tapi rendah hati, akrab tapi hormat. Ia berani karena tahu Allah mengasihinya, namun gentar karena sadar Tuhan kudus. Spurgeon berkata, “Kerendahan hati membuat doa kita sungguh-sungguh, keberanian membuatnya besar. Abraham punya keduanya.”

Ketiga, doanya misioner. Abraham tidak berdoa untuk dirinya atau Lot semata, tetapi untuk seluruh kota yang berdosa. Ia memohon agar Tuhan mengasihani Sodom dan Gomora. Inilah doa syafaat sejati—tidak egois, tetapi penuh belas kasihan.

Kisah ini menantang kita memeriksa isi doa: apakah hanya berputar pada kesehatan, rezeki, dan pekerjaan, atau meluas bagi orang lain, kota, dan bangsa kita? Tuhan lebih ingin mengubah hati daripada sekadar keadaan. Karena itu, setiap kali berdoa, pertanyaannya: apakah hatimu sedang diselaraskan dengan kehendak-Nya?

MENGAPA ABRAHAM BISA BERDOA DEMIKIAN?

Setelah melihat bagaimana doa Abraham bersifat responsif, misioner, dan penuh kerendahan hati sekaligus keberanian, muncul pertanyaan penting: bagaimana mungkin ia bisa berdoa seperti itu? Rahasianya terletak pada dasar teologis yang membentuk cara ia berdoa. Abraham tidak bersandar pada perasaannya semata, melainkan pada pengenalannya akan karakter Allah.

Inilah sebabnya teologi begitu penting bagi kehidupan doa. Abraham mengenal Allah dengan benar, dan pemahaman itu mempengaruhi seluruh postur doanya. Banyak orang mengira bahwa negosiasi antara Abraham dan Tuhan menunjukkan bahwa pikiran Tuhan bisa diubah. Namun, Alkitab menegaskan bahwa Tuhan tidak berubah. Bilangan 23:19 berkata, Allah bukan manusia yang dapat berdusta atau menyesal. Karena itu, percakapan tersebut bukan berarti Tuhan berubah pikiran, melainkan Ia sedang menyatakan isi hati-Nya kepada Abraham.

Melalui dialog itu, Tuhan mengundang Abraham untuk memahami belas kasihan-Nya terhadap orang berdosa. Ia ingin Abraham belajar mengenal siapa Dia sebenarnya—Allah yang penuh kasih namun juga adil. Ia bukan Allah yang jauh dan dingin, tetapi Allah yang relasional, yang mau berbicara dengan umat-Nya. Ia adalah Allah yang transenden sekaligus imanen, yang mendengarkan doa-doa umat-Nya.

Dua pijakan teologis menopang doa Abraham. Pertama, Abraham tahu bahwa Allah itu adil. Dalam ayat 25 ia berkata, “Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?” Abraham yakin bahwa Allah pasti menghukum kejahatan dan menegakkan keadilan. Kejahatan tidak akan dibiarkan, dan korban penindasan memiliki pengharapan dalam Allah yang adil.

Namun pada saat yang sama, Abraham juga tahu bahwa Allah penuh kasih karunia. Dalam ayat 18–19, Allah memilih Abraham untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa, padahal Abraham sendiri tidak layak. Ia pernah berdusta, gagal dalam keluarga, dan dahulu menyembah berhala. Tetapi Allah tetap memanggilnya, bukan karena kelayakannya, melainkan karena kasih karunia semata. Di sinilah keindahan Injil mulai tampak—Allah yang adil sekaligus penuh kasih.

Ketegangan antara keadilan dan kasih inilah inti dari doa Abraham. Ia belajar langsung dari Tuhan bahwa kedua sifat itu berpadu sempurna dalam diri Allah. Karena itu, negosiasi Abraham bukanlah contoh teknik doa, melainkan wahyu tentang hati Allah. Tuhan sedang membentuk Abraham agar memahami kasih dan keadilan-Nya, sekaligus mengundangnya berpartisipasi dalam misi tersebut.

Doa, dengan demikian, bukan cara manusia membujuk Tuhan agar mengikuti kehendaknya, tetapi cara Tuhan membentuk manusia agar mau mengikuti kehendak-Nya. Dalam percakapan ini, Tuhan mengajar Abraham menyelami isi hati-Nya terhadap dunia yang berdosa.

Semakin dalam kita memperhatikan, doa Abraham memunculkan pertanyaan teologis yang sangat radikal. Mengapa ia menurunkan jumlah orang benar dari lima puluh hingga sepuluh? Abraham seolah sedang bertanya: jika dosa satu orang dapat menular ke banyak orang—seperti dosa Adam yang membawa kerusakan bagi seluruh umat manusia—mungkinkah kebenaran satu orang juga bisa menyelamatkan banyak orang?

Dengan kata lain, mungkinkah kebenaran minoritas menyelamatkan mayoritas? Dan setiap kali Abraham mengajukan angka, Tuhan menjawab, “Aku tidak akan memusnahkannya.” Namun Abraham berhenti di angka sepuluh. Ia tidak berani melanjutkan, sebab ia sadar: tidak ada seorang pun yang benar. Bahkan Lot pun tidak sepenuhnya benar. Abraham sendiri tidak berani menyebut dirinya benar.

Pertanyaan terakhir—“Bagaimana jika hanya ada satu orang benar?”—tidak pernah diucapkannya, karena ia tahu jawabannya: tidak ada satu pun yang benar. Namun di situlah ia mulai menangkap pola Injil. Ia menyadari bahwa untuk menjembatani keadilan dan kasih Allah, dibutuhkan satu pribadi yang benar—seseorang yang mampu menjadi pengantara antara keduanya.

Pribadi itu belum ditemukan di zaman Abraham. Tetapi seluruh ketegangan itu akhirnya menemukan puncaknya di dalam Kristus, satu-satunya yang benar, yang menanggung keadilan Allah agar kasih-Nya dapat dicurahkan bagi dunia.

APA YANG KITA MILIKI, YANG ABRAHAM TIDAK MILIKI?

Abraham berhenti di angka sepuluh, tetapi doanya tidak pernah tidak dijawab Tuhan. Doa itu bergema berabad-abad kemudian ketika Allah sendiri menjawabnya dengan mengutus Anak-Nya yang tunggal. Karena begitu besar kasih Allah kepada dunia ini, Ia mengaruniakan Anak-Nya supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal. Satu orang benar itu adalah Yesus Kristus—jawaban dari doa Abraham yang tak terucap karena ia berhenti di angka sepuluh.

Setiap doa syafaat sejati berakar pada karya Yesus Kristus, tempat keadilan dan kasih Allah bertemu di atas kayu salib. Di sanalah Yesus berseru, “Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Abraham pernah berdoa bagi mereka yang mungkin akan membunuhnya, tetapi Yesus berdoa bagi mereka yang benar-benar sedang membunuh-Nya. Kita pun termasuk di antara mereka yang menyalibkan Yesus melalui dosa kita. Melalui salib, Ia menanggung hukuman kita. Jika Abraham mempertaruhkan nyawanya, Yesus menyerahkan nyawa-Nya. Jika Abraham memohon agar murka Allah ditangguhkan, Yesus menanggung murka itu di tubuh-Nya.

Yesus menjadi pengantara yang sempurna—jalan yang menyatukan kasih dan keadilan Allah. Ketika dikatakan Abraham “mendekat” kepada Allah di ayat 23, itu adalah istilah legal: ia maju ke hadapan hakim dengan sebuah kasus. Abraham mencoba menjadi pengantara antara Sodom yang berdosa dan Allah yang kudus. Namun karena ia sendiri berdosa, ia hanya bisa bernegosiasi tanpa menyelesaikan persoalan itu. Perjanjian Baru menyingkapkan penggenapan sempurnanya dalam diri Yesus Kristus.

Ibrani 7:25 menyebut Yesus sebagai pengantara yang hidup untuk selamanya: “Ia sanggup menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah, sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi pengantara mereka.” Abraham mendekat kepada Tuhan tetapi kalah dalam kasusnya karena berdosa. Yesus menyelesaikannya dengan sempurna. Abraham memohon bagi kota yang jahat dan berhenti di angka sepuluh karena tak menemukan satu orang benar. Tetapi Yesus datang dan berkata, “Akulah kebenaran.” Upah dosa adalah maut, tetapi Ia yang tidak berdosa rela menanggung maut itu. Di hadapan Bapa, Ia berkata, “Bapa, orang yang percaya kepada-Ku terimalah mereka, karena mereka telah terselubung oleh kebenaran-Ku.”

Kebenaran, kekudusan, dan kemuliaan kita kini berasal dari Yesus. Kemuliaan yang hilang di taman Eden karena dosa Adam dipulihkan oleh Kristus. Ia pengantara yang tak terkalahkan—bukan hanya membela kita di hadapan Allah, tetapi juga menukar tempat dengan kita agar kita dapat mendekat kepada Allah dengan keberanian yang kudus.

John Stott dalam The Cross of Christ menulis bahwa Kristus berdiri di antara manusia dan Allah, bukan hanya memohon, tetapi mengorbankan diri-Nya. Abraham hanya berdoa, tetapi Kristus mati. Ia berdiri di tempat kita dan menanggung murka Allah karena kasih-Nya.

Dari sini muncul implikasi bagi doa kita. Injil membuat kita rendah hati karena kita begitu berdosa hingga Tuhan sendiri harus mati menebus kita. Namun Injil juga membuat kita berani karena kasih Allah begitu besar. Kita rendah hati karena sadar akan kebobrokan diri, tetapi berani karena tahu kita sangat dikasihi. Inilah yang mengubah cara kita berdoa: sebagai penerima kasih karunia, kita dipanggil menjadi penyalur kasih karunia bagi orang lain.

Injil juga memberi cara pandang baru terhadap sesama dan kota tempat kita tinggal. Injil menyingkirkan sikap apatis. Kita tidak lagi berkata, “Yang penting aku selamat,” sebab kita diselamatkan bukan untuk diri sendiri. Dulu pun kita tidak mungkin diselamatkan tanpa doa dan pengorbanan orang lain. Kesadaran bahwa semuanya anugerah membuat kita tidak sombong dan tidak menghakimi. Semua berdosa, termasuk kita, tetapi oleh kasih karunia kita diselamatkan. Karena itu, kita berani berdoa bagi orang lain, kota, dan bangsa, bahkan bagi mereka yang membenci kita. Sebab kita memiliki satu orang benar, Yesus Kristus, yang menjadi dasar keberanian doa kita.

Kisah Hudson Taylor menegaskan hal ini. Pendiri China Inland Mission (sekarang OMF International) itu dikenal sebagai penginjil besar dan pendoa syafaat yang hidupnya berakar dalam firman. Ketika muda, ia membaca tentang jutaan jiwa di Tiongkok yang belum mengenal Injil. Malam itu ia tak dapat tidur karena terbeban bagi bangsa itu. Ia berdoa berbulan-bulan agar Tuhan mengutus dirinya dan banyak misionaris lain ke Tiongkok. Doanya dijawab—ratusan misionaris diutus, dan ribuan orang Tiongkok percaya kepada Kristus.

Gerakan gereja bawah tanah di Tiongkok yang bertumbuh pesat kemudian hari berakar pada pelayanan Hudson Taylor. Ia pernah berkata, “Rahasia doa bukan pada banyaknya kata, melainkan pada iman yang percaya bahwa Allah sungguh mendengar dan melakukan janji-Nya.” Ia berdoa bukan hanya bagi keluarganya, tetapi bagi bangsa yang jauh. Setelah puluhan tahun pelayanan, ia meninggal di Changsha, Hunan, dimakamkan bersama istrinya Maria. Warisannya jelas: doa iman yang berakar pada firman Tuhan.

Kisah ini bukan berarti setiap orang harus seperti Hudson Taylor. Mungkin ia mengubah sejarah suatu bangsa, tetapi kita semua dapat mulai dengan berdoa bagi keluarga, teman, atau orang di sekitar kita. Melalui doa, Tuhan bisa mengubah sejarah hidup seseorang—bukan karena kekuatan doa itu sendiri, melainkan karena Tuhan yang bekerja melalui doa.

Saat kembali ke Los Angeles, saya bertemu beberapa remaja yang dulu saya layani—kini mereka sudah berusia sekitar tiga puluh tahun. Salah satunya tersenyum dan berkata, “Dulu saya kesal karena setiap kali kita bertemu pasti ujungnya bicara soal Injil. Tapi sekarang saya bersyukur, karena lewat itulah saya mengenal Kristus.” Ia memeluk saya dan berterima kasih.

Momen itu membuat saya tersentuh. Saya hanya mengenalnya empat tahun, tapi Tuhan memakainya untuk menumbuhkan sesuatu yang kekal. Saat itu saya sadar, semua ini bukan karena saya, melainkan karena karya Roh Kudus dan kuasa Injil yang hidup.

Kisah itu menjadi dorongan bagi kita untuk berdoa bagi seseorang, sebab Tuhan dapat mengubah sejarah hidupnya, dan kita dapat menjadi bagian dari pekerjaan-Nya.

PERTANYAAN REFLEKTIF

→ Apakah doa saya lebih fokus pada kebutuhan pribadi, ataukah juga membawa pergumulan kota, bangsa, atau orang lain bahkan yang berbeda dengan saya di hadapan Tuhan?

→ Bagaimana Injil, bahwa Yesus: Satu Orang Benar yang berdoa dan mati bagi saya, membuat saya berani sekaligus rendah hati dalam berdoa?

→ Jika Tuhan menjawab doa-doa saya minggu ini, siapa saja yang akan merasakan kasih dan berkat-Nya: hanya saya sendiri? atau juga orang lain di sekitar saya, bahkan kota ini?

ORANG BERINJIL

→ Tidak hanya berdoa untuk dirinya, tapi juga untuk kotanya yang berdosa, sebab dirinya diselamatkan ketika masih musuh Allah.

→ Paham Allah yang adil menghukum dosa, namun percaya kasih karunia-Nya sanggup mengubah bahkan musuh menjadi saudara.

→ Sadar akan ketidaksempurnaannya (debu dan abu), namun berani datang dengan doa besar karena Kristus adalah Pengantara sempurna.