Doa Yakub Saat Bergulat Dengan Allah

From Abraham to Jesus : The Gospel in Prayer – WEEK 2 "Doa Yakub saat Bergulat dengan Allah" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Pernahkah kita berdoa, tapi hidup justru makin rumit? Kita minta pertolongan, tapi yang datang malah masalah; minta berkat, malah kehilangan; minta damai, malah bergejolak. Namun bisa jadi itulah cara Tuhan menjawab doa bukan lewat kenyamanan, melainkan pergumulan. Sebab jalan menuju berkat sejati seringkali bukan jalan mulus, melainkan jalan yang melukai seperti Yakub yang keluar dari pergumulannya pincang, tapi diberkati.

Malam itu, Yakub berdoa dan bergulat dengan Allah. Ia keluar dari pergumulan itu lemah, tapi berubah. Namanya diubah dari Yakub, sang penipu, menjadi Israel, pahlawan Allah. Ia belajar bahwa kemenangan di hadapan Tuhan tidak datang dari kekuatan, tetapi dari kelemahan yang diserahkan.

Yakub awalnya hanya ingin Tuhan mengubah situasi, tapi Tuhan justru mengubah dirinya. Ia pikir yang dibutuhkan adalah jalan keluar dari Esau, padahal yang ia perlukan adalah jalan keluar dari dirinya sendiri.

Yakub pernah menipu Esau dua kali menukar hak kesulungan dengan sup kacang merah, lalu mencuri berkat ayahnya. Karena itu ia melarikan diri ke Haran dan hidup dua puluh tahun penuh tipu daya bersama pamannya, Laban. Ia kaya, beristri dua, punya banyak anak, tapi tetap kosong.

Ketika Tuhan memanggilnya pulang, Esau datang menemuinya dengan empat ratus orang. Yakub panik, mengatur strategi, dan akhirnya tinggal sendirian di malam gelap itu. Di sanalah, dalam kesendirian dan ketakutannya, Yakub bergulat dengan Allah dan di situlah hidupnya benar-benar diubah.

BACAAN : Kejadian 32:24-32

32:24 Lalu tinggallah Yakub seorang diri. Dan seorang laki-laki bergulat dengan dia sampai fajar menyingsing. 

32:25 Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, ia memukul sendi pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok, ketika ia bergulat dengan orang itu. 

32:26 Lalu kata orang itu: "Biarkanlah aku pergi, karena fajar telah menyingsing." Sahut Yakub: "Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku." 

32:27 Bertanyalah orang itu kepadanya: "Siapakah namamu?" Sahutnya: "Yakub." 

32:28 Lalu kata orang itu: "Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang." 

32:29 Bertanyalah Yakub: "Katakanlah juga namamu." Tetapi sahutnya: "Mengapa engkau menanyakan namaku?" Lalu diberkatinyalah Yakub di situ. 

32:30 Yakub menamai tempat itu Pniel, sebab katanya: "Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!" 

32:31 Lalu tampaklah kepadanya matahari terbit, ketika ia telah melewati Pniel; dan Yakub pincang karena pangkal pahanya. 

32:32 Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha, karena Dia telah memukul sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya.

          1. KETIKA TUHAN MEMBUATMU SENDIRIAN

Mari kita lihat kembali Kejadian 32:24a: “Lalu tinggallah Yakub seorang diri.”

Perhatikan bagian ini. Sepanjang hidupnya, Yakub selalu punya rencana dan strategi. Ia terus berusaha dengan akalnya sendiri demi keuntungan—menipu Esau, menipu Isak, menipu Laban. Hidupnya adalah rangkaian siasat untuk bertahan dan menang. Namun di titik ini, semua keunggulan manusiawinya dilucuti. Ia tidak lagi bersama keluarganya, hartanya tidak bersamanya, budak-budaknya pun sudah ia kirim. Ia benar-benar sendirian, berada dalam kegelapan, dan di sanalah ia akhirnya berjumpa dengan Tuhan.

Ketika Yakub sendirian, Tuhan menemuinya. Dan bukankah itu juga sering menjadi kenyataan dalam hidup kita? Sulit sekali berjumpa dengan Tuhan selama kita masih dikelilingi hal-hal yang membuat kita merasa aman, cukup, dan nyaman. Selama kita memiliki pekerjaan yang stabil, keluarga yang baik, dan hidup yang nyaman, kita jarang merasa benar-benar membutuhkan Tuhan. Tetapi ketika masalah datang, ketika keuangan terguncang, tubuh mulai sakit, atau segala pegangan hidup kita dilucuti barulah kita mulai sungguh-sungguh mencari Dia.

Biasanya, di titik krisis eksistensial itu, ketika seseorang berhadapan dengan dirinya sendiri, dengan dosanya sendiri, di sanalah iman yang sejati mulai tumbuh. Bukan lagi sekadar agama atau tradisi, tetapi iman yang personal. Di situ seseorang menyadari siapa dirinya: terbatas, rapuh, dan sama sekali tidak punya alasan untuk menyombongkan apa pun.

Masalahnya, banyak orang hidup dengan iman yang belum pernah menjadi pribadi. Mereka lahir di keluarga Kristen, aktif di gereja, punya komunitas yang baik, tetapi begitu semua itu hilang, imannya ikut hilang juga. Karena selama ini iman mereka belum pernah menjadi milik pribadi.

Di sinilah pentingnya membedakan antara communal faith dan personal faith. Iman yang lahir dari komunitas sering kali hanya bertahan selama seseorang berada di dalam atmosfer Kristen yang nyaman.

Saya pernah melayani di Amerika (di Indiana, Seattle, dan Los Angeles) dan menggembalakan banyak anak muda. Di perantauan, mereka mudah tertarik pada komunitas gereja karena rindu akan kehangatan keluarga. Komunitas itu hidup, kuat, dan banyak yang bertobat serta dibaptis. Namun, ketika mereka pindah kota, bekerja, atau kembali ke Indonesia, sebagian dari mereka tidak lagi beriman. Ada yang menjadi agnostik, bahkan ateis. Ada yang hidup dalam gaya hidup yang bertentangan dengan iman Kristen.

Mengapa bisa begitu? Karena selama ini iman mereka hanya iman komunal yaitu iman yang lahir dari suasana, bukan dari perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Mereka tersentuh oleh musik yang indah, suasana ibadah yang hangat, budaya gereja yang ramah, atau khotbah yang menarik. Tetapi ketika suasana itu hilang, iman pun ikut pudar.

Pertanyaannya, bagaimana dengan kita? Apakah iman kita hanya iman komunal, atau sudah menjadi iman pribadi? Apakah kita mengenal Tuhan karena atmosfer gereja, atau karena perjumpaan nyata dengan-Nya yang membuat kita sadar bahwa kita orang berdosa dan butuh Juru Selamat?

Saya pernah berbincang dengan seorang anak muda setelah kebaktian. Ia berkata, “Saya lahir di gereja, anak sekolah minggu yang baik, aktif pelayanan, ikut seminar apologetika, papa saya majelis. Tapi waktu saya datang ke Gereja Gibeon dan mendengar Injil, saya sadar saya belum lahir baru. Selama ini yang saya dengar hanyalah moralitas, bukan Injil. Saya pikir saya orang baik, tapi sebenarnya saya orang berdosa yang butuh penyelamat.” Bulan itu menjadi titik balik hidupnya. Ia mengalami pertobatan sejati.

Banyak orang berpindah gereja hanya karena mencari komunitas, tetapi berbeda dengan anak muda itu. Ia mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Iman yang sejati selalu lahir dari kesadaran bahwa kita membutuhkan anugerah, bukan sekadar kenyamanan komunitas.

Kembali ke teks: “Lalu tinggallah Yakub seorang diri, dan seorang laki-laki bergulat dengan dia sampai fajar menyingsing.”

Ini menarik, karena sering kali kita berpikir bahwa ketika Tuhan menjamah seseorang, itu berarti Tuhan menghibur atau memeluknya dengan lembut. Tapi dalam kisah ini, Tuhan tidak datang untuk menghibur Yakub, Tuhan datang untuk mengganggu Yakub. Ia bergulat dengan hidup Yakub.

Demikian juga dengan kita. Perjumpaan pribadi dengan Tuhan sering kali dimulai ketika Tuhan menginterupsi hidup kita—ketika firman-Nya menegur dosa yang tersembunyi, ketika kehendak-Nya bertentangan dengan keinginan kita, ketika kebenaran-Nya menembus kenyamanan kita. Saat itulah kita mulai bergumul dengan Tuhan.

Bagi sebagian orang, ibadah hanya rutinitas. Mereka pulang gereja tanpa perubahan. Tapi orang yang sungguh berjumpa dengan Tuhan tidak akan tenang. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan dosa yang selama ini disembunyikan. Injil mulai mengubah cara pandangnya terhadap hidup. Itulah tanda bahwa seseorang sedang bergulat dengan Tuhan.

Bagaimana kita tahu bahwa iman kita sudah menjadi keyakinan pribadi? Ketika Tuhan tidak lagi sekedar doktrin atau teori, tetapi pribadi yang hidup—yang menantang kehendak, ego, dan dosa kita. Saat seseorang berkata dalam hatinya, “Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku harus berubah,” di situlah Tuhan sedang bergulat dengannya.

Ada banyak orang yang suka khotbah, suka pelayanan, suka suasana gereja. Tapi di balik itu, hidupnya masih dikuasai dosa yang tersembunyi seperti kecanduan, kebohongan, atau ketidakmurnian moral. Mereka mungkin menikmati firman, tapi belum bergumul dengan Tuhan. Iman mereka belum menjadi iman pribadi.

Ketika iman menjadi personal, seseorang tidak bisa lagi hidup sembarangan. Injil akan mengganggu area terdalam hidupnya—pekerjaan, relasi, keuangan, dan moralitas. Tuhan akan menata ulang semuanya.

Inilah momen ketika seseorang sadar: “Aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku mau bertobat.” Dan di situlah Tuhan mengundang kita untuk mengenal-Nya secara pribadi.

Untuk para orang tua, ini juga penting. Iman bisa diwariskan, tetapi iman sejati tidak otomatis turun begitu saja. Anak-anak perlu mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan.

Saya mengalami hal ini sendiri. Anak saya bersekolah di Amerika, dan dua tahun terakhir ia mengalami pergumulan besar. Sebagai anak pendeta, ia sempat hidup dengan “iman keluarga.” Tapi ketika menghadapi dosa, ketakutan, dan krisis identitasnya sendiri, iman itu berubah menjadi iman pribadi. Ia harus mengenal Tuhan sendiri.

Karena itu, doakanlah anak-anakmu agar tidak hanya menjadi anak orang Kristen, tetapi menjadi pribadi yang sungguh mengenal Tuhan secara pribadi.

          2. KETIKA TUHAN TIDAK MEMBERIKAN APA YANG KAU INGINKAN

Ketika Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, coba perhatikan bagian ini. Ayat 26 berkata, “Lalu kata orang itu: Biarkanlah aku pergi, karena fajar telah menyingsing. Sahut Yakub: Aku tidak akan membiarkan engkau pergi jika engkau tidak memberkati aku.”

Perhatikan apa yang terjadi di sini. Saat Yakub terpojok, sendirian, dan bergumul tanpa memiliki apa pun untuk diandalkan, di situlah ia menjadi jujur. Di titik terendah itu, Yakub akhirnya berteriak dari kedalaman hatinya, sebuah seruan yang menjadi moto hidupnya. Ia berkata, “Aku tidak akan membiarkan engkau pergi sampai engkau memberkati aku.” Seluruh hidup Yakub adalah perjuangan untuk memperoleh berkat dari ayahnya, dari kakaknya, dari Laban, bahkan dari istrinya, Rahel. Namun hatinya tetap kosong. Ia pikir jika mendapatkan kasih ayahnya, cinta istrinya, dan kesuksesan hidup, ia akan puas dan bahagia. Tapi kenyataannya, semua itu tidak memberi ketenangan yang sejati.

Dalam khotbah berseri sebelumnya, khususnya pada minggu keempat ketika membahas benediction, pernah disinggung tentang Yakub yang rela menipu ayahnya demi mendapatkan berkat. Ia tahu bahwa kebohongan itu bisa terbongkar, bahkan sempat ragu dan berkata pada ibunya, “Nanti kalau aku ketahuan, aku bukan mendapat berkat, tetapi kutuk.” Namun ibunya menjawab, “Kutuknya biar aku yang tanggung.” Dan dengan keberanian itu, Yakub melangkah. Mengapa ia sampai rela mengambil risiko sebesar itu, padahal sadar kebohongannya pasti ketahuan? Karena bahkan dalam kepalsuan, ia sangat ingin mendengar kalimat itu keluar dari mulut ayahnya: “Aku memberkati kamu. Aku berkenan kepadamu.”

Itulah kerinduan terdalam setiap manusia mendengar dari seseorang di luar dirinya perkataan, “Aku mengasihimu, aku peduli padamu, kamu berharga bagiku.” Yakub ingin mendengar itu dari Ishak, juga dari istrinya, namun selalu gagal. Ia memperoleh cinta Rahel, berkat, dan kesuksesan, tetapi tetap merasa hampa. Apa yang sebenarnya ia cari, berkat yang sejati itu, tak pernah ia temukan.

Itulah kebutuhan terdalam manusia: kehausan akan berkat yang menegaskan identitas dan nilai dirinya. Kita pun sering berusaha mendapatkannya melalui prestasi, kekayaan, cinta, penerimaan sosial, bahkan pelayanan. Mengapa kita bekerja keras demi rumah di area tertentu, mobil merek tertentu, atau pengakuan orang lain? Karena kita ingin membuktikan nilai diri: “Aku berarti, aku berharga.” Namun semua itu tidak pernah benar-benar memuaskan.

C. S. Lewis dalam bukunya Mere Christianity menulis, “Kita rindu sesuatu yang tidak bisa ditemukan di dunia ini. Semua hal—cinta, karier, pengetahuan—tidak pernah memenuhi janji yang mereka tawarkan. Karena kerinduan kita diarahkan pada sesuatu yang lebih tinggi, yaitu surga itu sendiri.” Ia melanjutkan, “If you know things of the world cannot satisfy you, maybe you are created for another world.” Jika segala hal di dunia ini tidak mampu memuaskan, mungkin kita memang diciptakan untuk sesuatu di luar dunia ini—diciptakan untuk Tuhan.

Yakub pun bergumul dengan kesadaran ini. Namun kadang orang menanggapinya keliru. Ada yang berkata, “Kalau begitu jangan cari kekayaan, cukup melayani Tuhan saja.” Sekilas benar, tetapi sebenarnya itu hanya setengah benar. Sebab jika pelayanan dilakukan demi pujian, pengakuan, atau aktualisasi diri—demi disukai gembala atau dianggap hebat oleh orang lain—maka kita tidak sedang melayani Tuhan, melainkan diri sendiri. Kita menggunakan pelayanan sebagai sarana untuk menyembah berhala.

Namun jika nilai dan keberhargaan kita sungguh berasal dari Tuhan, maka ketika tidak diapresiasi sekalipun, kita tetap bisa melayani dengan sukacita, karena kebaikan Tuhan cukup bagi kita. Tuhan yang telah lebih dahulu mengasihi dan melayani kita adalah sumber yang cukup bagi hati yang haus akan berkat sejati.

Hanya Tuhan yang bisa berkata seperti dalam Yesaya 43:4, “Engkau berharga di mataku, Aku mengasihi engkau.” Huruf besar pada kata “Aku” menunjukkan inisiatif ilahi. Kita sebenarnya tidak berharga, tetapi Dia yang paling berharga memilih untuk mengasihi kita yang tidak berharga, sehingga keputusan dan kasih-Nya itulah yang membuat kita berharga.

Saat Yakub bergumul di Pniel, ia sadar bahwa selama ini ia mencari berkat di tempat yang salah. Ia berkata, “Aku tidak akan membiarkan engkau pergi.” Dengan kata lain, “Aku tidak akan melepaskan-Mu.” Ia tidak lagi mencari kekayaan, kesuksesan, atau solusi hidup. Ia menemukan bahwa hanya di dalam pribadi Tuhan ada berkat sejati.

Itulah momen pertobatan Yakub. Selama ini ia memperlakukan Tuhan sebagai sarana untuk mencapai berkat—kekayaan, cinta, posisi. Tapi malam itu, ia sadar bahwa Tuhan sendirilah berkat sejati itu. Pertobatan sejati terjadi ketika seseorang tidak lagi datang kepada Tuhan demi mendapatkan sesuatu, melainkan karena menyadari bahwa Tuhan sendiri adalah segala sesuatu.

Inilah tanda seseorang yang sungguh bertemu dengan Tuhan: bukan ketika ia berdoa meminta banyak hal, melainkan ketika ia berkata, “Tuhan, Engkaulah yang paling berharga bagiku. Engkaulah segalanya.”

Saat Yakub berkata, “Aku tidak akan membiarkan Engkau pergi sampai Engkau memberkati aku,” sesungguhnya ia berkata, “Tuhan, Engkaulah yang kucari selama ini. Aku tidak akan melepaskan-Mu sampai Engkau berkenan kepadaku.”

Kita pun tidak akan berhenti bergumul sampai menyadari bahwa satu-satunya berkat sejati dalam hidup ini adalah pribadi Tuhan sendiri. Seperti pemazmur dalam Mazmur 73:25 berkata, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tak ada yang kuingini di bumi.”

Dengan kata lain, kita bisa berkata, “Tuhan, Engkau cukup bagiku. Engkau segalanya bagiku. Tidak ada yang lain yang kudambakan selain Engkau.”

          3. KETIKA KELEMAHAN MENJADI JALAN KASIH KARUNIA

Kalau kita lihat pergulatan antara Tuhan dan Yakub, siapa sebenarnya yang menang? Jawabannya paradoksal: dua-duanya menang, dan dua-duanya menang lewat kelemahan.

Yakub menang bukan karena kekuatannya, tapi karena ia menyerah dan bersandar penuh kepada Allah. Ia kalah secara fisik, tapi menang secara rohani. Ia diberkati justru ketika ia kehilangan daya dan berhenti membuktikan diri. Itulah jalan Injil — kemenangan melalui kekalahan.

Tuhan pun menang melalui kelemahan, karena Ia memilih menahan kuasa-Nya agar Yakub tidak binasa. Dalam teks Ibrani, kata “memukul” sendi Yakub sebenarnya berarti “menyentuh”. Sentuhan kecil itu cukup untuk membuat Yakub pincang seumur hidup — tanda betapa kuatnya Allah, sekaligus betapa murah hatinya Ia yang menahan kuasa-Nya. Itulah kasih karunia: Allah yang seharusnya menghancurkan kita, justru menahan diri supaya kita diselamatkan.

Paradoks inilah inti Injil: kemenangan sejati datang lewat penyerahan. Dunia berkata, “Tunjukkan kekuatanmu.” Tapi Injil berkata, “Akuilah kelemahanmu.”

Yakub menang justru saat ia sadar bahwa tanpa Allah, ia tidak punya apa-apa. Ia berhenti memanipulasi, berhenti mengendalikan, hanya bisa berpegang dan berkata, “Aku tidak akan membiarkan Engkau pergi sebelum Engkau memberkati aku.” Dan di titik itu hidupnya diubah: dari Yakub si penipu menjadi Israel, pahlawan Allah. Perubahan nama menandai perubahan identitas — dari pemegang tumit yang bergantung pada manusia menjadi orang yang berpegang pada Allah.

Ini juga perbedaan mendasar antara agama dan Injil.
Agama berkata, “Berjuanglah supaya diterima Tuhan.”
Injil berkata, “Tuhanlah yang berjuang supaya kamu diselamatkan.”

Itulah kabar baik. Yakub bertemu Allah muka dengan muka dan hidup. Ia keluar pincang, tapi diberkati. Matahari terbit atasnya — simbol pengharapan baru — namun ia tetap pincang, tanda bahwa kasih karunia mengingatkan kita: kita tidak bisa hidup tanpa Allah.

Martyn Lloyd-Jones pernah berkata, “Orang Kristen itu menari tapi pincang.” Ia bersukacita, tapi sadar akan kelemahannya. Ia tidak malu dengan keterbatasannya karena di tengah kepincangan itulah kasih karunia bersinar. Orang yang pernah disentuh Allah sadar betapa lemahnya ia, dan karena itu tidak lagi sombong atau membandingkan diri. Ia tenang karena tahu: kasih Tuhan lebih besar dari kegagalannya.

Namun ada paradoks yang lebih besar lagi: Allah sendiri memilih jalan Yakub.

Ayat 25 berkata, “Ketika orang itu melihat bahwa ia tidak dapat mengalahkannya…” Bukankah itu aneh? Masa Allah tidak bisa mengalahkan manusia? Di sinilah sambungannya dengan Injil. Di Pniel, Allah menahan kuasanya supaya Yakub hidup. Di Kalvari, Allah menahan kuasanya supaya kita diselamatkan.

Yesus bisa saja turun dari salib, tapi Ia memilih diam. Ia yang mampu menenangkan badai dengan satu kata, kini membiarkan diri-Nya dipaku dan dihina. Ia menahan kuasa demi kasih.

Yakub bergulat untuk berkat bagi dirinya; Yesus bergulat di Getsemani untuk berkat bagi kita.
Yakub berkata, “Aku tidak akan melepaskan-Mu sebelum Engkau memberkati aku.”
Yesus berkata, “Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu.”
Yakub pincang tapi hidup; Yesus remuk dan mati supaya kita hidup.
Yakub takut kehilangan kasih; Yesus rela kehilangan kasih Bapa demi kita.
Yakub keluar pincang; Yesus keluar dari kubur dengan luka — tanda kemenangan.
Karena Yesus kalah, kita menang. Karena Ia diremukkan, kita dipulihkan. Karena Ia ditinggalkan, kita diterima.

Saudara, mungkin hari ini kamu berjalan pincang. Tapi melalui Kristus, kepincanganmu justru menjadi saluran berkat. Kita disebut “lebih dari pemenang” karena Kristus telah memberi kita identitas baru.

Yesaya 53:5 berkata,

“Dia diremukkan karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepada-Nya; dan oleh bilur-bilur-Nya kita disembuhkan.”

Maka jangan lepaskan Tuhan dalam pergumulanmu. Tetap bergumul dalam iman seperti Yakub: “Aku tidak akan melepaskan-Mu sebelum Engkau memberkati aku.”

Artinya: tetaplah percaya walau tidak mengerti jalan-Nya. Tuhan tidak menjanjikan jalan yang mudah, tapi kehadiran-Nya yang setia. Itulah berkat terbesar.

Saya pun pernah bergumul, merasa doa tidak dijawab, rencana gagal, kekuatan habis. Saya pikir Tuhan menghukum saya, padahal Ia sedang bergulat dengan saya. Ia “menyentuh pangkal paha” saya — mematahkan semua sandaran selain Dia — agar saya berhenti lari dan belajar bersandar. Dan di situlah saya benar-benar berjumpa dengan kasih-Nya. Sekarang saya tahu, kepincangan saya bukan tanda kekalahan, tapi tanda kasih karunia. Karena di tengah kelemahan, kasih Tuhan justru paling nyata.

REFLEKTIF

  1. Apakah aku sudah pernah benar-benar mengalami perjumpaan dengan Tuhan? Apakah imanku Komunal atau Personal?
  2. Apakah aku hanya mencari Tuhan untuk dapat berkat atau sungguh mencari dan melihat Tuhan sebagai berkat yang terbesar?
  3. Di area mana aku sedang ‘pincang’ hari ini dan apa yang Tuhan ingin pulihkan melalui kelemahanku?

Orang Berinjil

Tidak lagi hidup untuk membuktikan diri, karena salib adalah bukti Kasih karunia yang lebih kuat dari kegagalannya.

Bisa rendah hati tanpa minder, namun tetap berani tanpa sombong.

Tetap tenang & bersukacita di tengah kelemahan, karena sadar bahwa hidupnya digenggam oleh Kasih Tuhan yang sempurna.