Pembacaan : Mazmur 73

 

Bacaan Alkitab Setahun :

Imamat 22 - 23

Dia mungkin orang paling keras yang pernah saya konseling. Dia percaya diri dan pengendali. Dia berargumen bahwa semua yang dia lakukan adalah benar. Dia bertindak sebagai korban padahal dia adalah pelaku. Dia menghancurkan pernikahannya dan menjauhkan anak-anaknya. Dia mencintai diri sendiri dan punya rencana bagi dirinya. Ini selalu tentang dia, keinginannya, caranya, dalam waktunya. Dia membuat semua orang menjadi budak bagi rencananya atau dia menyuruh mereka keluar dari hidupnya. Dia membuat pengorbanan besar untuk mendapatkan apa yang dia mau tetapi menolak membuat pengorbanan yang Allah minta. Namun dalam momen anugerah yang tidak pernah saya lupa, dia berhenti memberontak, mengendalikan, dan membela diri. Dia meminta saya berhenti bicara dan berkata: “Paul, aku mengerti. Aku sangat sibuk menjadi allah sehingga tidak punya waktu atau keinginan untuk melayani Allah.” Itu adalah salah satu momen diagnosa diri sendiri paling akurat yang pernah saya alami. Dia benar. Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, dia mulai menangis. Belum pernah saya melihat pria dewasa menangis seperti dia. Tubuhnya bergoncang sementara anugerah mulai melepaskannya dari ikatan diri sendiri.

 

Namun, teman saya ini tidak unik. Jika Anda adalah orangtua, Anda tahu bahwa anak-anak Anda adalah sekumpulan orang yang merasa benar sendiri. Yang anak-anak inginkan adalah caranya sendiri. Dia tidak mau diberitahu apa yang harus dimakan, dipakai, kapan harus tidur, cara merawat miliknya, atau cara memperlakukan orang lain. Dia ingin menjadi pusat dari dunia kecilnya dan menulis aturannya sendiri. Dan dia terkejut ketika Anda memiliki keberanian untuk mengatakan apa yang harus dilakukannya. Namun, bukan hanya anak-anak saja yang seperti itu. Dosa menyebabkan rasa benar diri hidup di dalam kita semua. Kita cenderung ingin lebih bisa mengendalikan daripada apa yang bisa kita kendalikan. Kita ingin orang mengikuti cara kita dan tidak menghalangi kita. Namun, ketika kita menginginkannya, kita lupa siapa kita, siapa Allah dan anugerah apa yang sudah diberikan kepada kita. Kita hanya punya dua pilihan: selalu meratapi fakta bahwa kita tidak bisa melakukan apa yang kita mau atau mensyukuri anugerah yang membawa kita ke dalam cara hidup baru dan lebih baik. Kita frustrasi karena tidak punya kendali atau beristirahat dalam Dia yang adalah “Kepala dari segala yang ada” (Ef. 1:22). Saya rasa mungkin ada percampuran ratapan dan ucapan syukur dalam diri kita semua.

 

Apa yang Anda rasakan hari ini? Ratapan atau ucapan syukur? Apakah Anda akan memberikan celah bagi frustrasi karena tidak bisa mendapat apa yang Anda inginkan atau bersyukur karena Anda menjadi bagian dari rencana paling indah yang pernah ada.

 

Hari ini Anda akan mensyukuri anugerah yang telah menjadikan Anda bagian dari rencana Allah atau menangisi tempat di mana Anda tidak bisa melakukan apa yang Anda mau.