PARADOKS KEBEBASAN DI DALAM KRISTUS

Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya…Lagi pula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar. Mazmur 19:8-9, 12

 

Orang Kristen sering punya hubungan yang paradoks dengan hukum Taurat.

 

Terkadang, kita salah menerapkan ajaran Paulus bahwa kita tidak berada di bawah hukum Taurat tetapi di bawah kasih karunia (Roma 6:14) yang menyatakan bahwa seluruh hukum Taurat hanya berlaku pada zaman Perjanjian Lama. Kita berpikir, dulu umat Allah melakukan apa yang diperintahkan dan menaati Sepuluh Perintah Allah; sekarang, kita dapat melakukan apa pun yang kita inginkan karena kita hidup dalam kebebasan. Namun dengan perspektif seperti itu, sulit untuk memahami kecintaan pemazmur terhadap hukum-hukum Allah. Dia tidak melihat hukum Taurat hanya sebagai sesuatu yang harus dilakukan—sebagai sarana untuk mencapai tujuan—tetapi mengenalinya sebagai sumber pemulihan, sukacita, dan berkat. Hal itu masih berlaku bagi orang percaya dewasa ini. Memang benar bahwa kita tidak lagi berada di bawah hukum Taurat supaya bisa diterima Allah; tetapi kita masih harus melihat hukum Taurat sebagai sarana hidup bagi Allah. Kita telah ditebus agar kita dapat menjadi buah sulung ciptaan baru Allah, yang mengabdikan diri kepada Allah dengan melakukan kehendak-Nya—dan kita menemukan kehendak-Nya dalam hukum-Nya! Yesus berkata kepada kita, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:31-32). Kuasa pembebasan dari firman Allah hanya akan bekerja ketika kita berpegang teguh pada kebenaran dalam ketaatan pada apa yang Yesus katakan.

Rasul Yakobus menggambarkan hukum Allah sebagai hukum yang sempurna, yang memberi kita kebebasan (Yakobus 1:25). Di dalam Kristus, hukum ini tidak lagi berada di luar diri kita, tertulis di loh batu. Hukum ini sekarang tertulis di hati kita: “Roh Kudus juga memberi kesaksian kepada kita … ‘Inilah perjanjian yang akan Kuadakan dengan mereka sesudah waktu itu, demikianlah firman Tuhan, yaitu bahwa Aku akan menaruh hukum-Ku dalam hati mereka dan menuliskannya dalam akal budi mereka’” (Ibrani 10:15-16).

 

Inilah paradoksnya: kebebasan kita di dalam Kristus terkait langsung dengan ketaatan kita. Orang yang tidak taat berpikir bahwa mereka bebas, tetapi sebenarnya mereka terikat oleh dosa. Orang yang taat terkadang merasa terkekang, tetapi mereka bebas, tidak lagi diperbudak oleh dosa. Semakin besar ketaatan kita, semakin besar pula kebebasan kita, karena semakin kita menaati Sang Pencipta yang memberi tahu ciptaan yang diciptakan serupa dengan gambar-Nya untuk menikmati berkat (Kejadian 1:28), semakin kita hidup sejalan dengan tujuan Allah menciptakan kita.

 

Pemazmur menyadari paradoks ini dan karena itu dapat bersukacita dalam hukum Allah. Begitu pula seharusnya kita. Jika Anda ingin mengetahui kebebasan dari rasa bersalah, hawa nafsu, ketakutan, kesepian, tanpa tujuan, dan kekosongan, Anda harus tinggal dalam kebenaran. Saat Anda berjalan dalam ketaatan pada hukum Allah, Anda akan menemukan kebebasan sejati yang menyegarkan jiwa Anda, membawa sukacita yang tak berkesudahan dan berkat yang tak terbayangkan. Dengan cara apa Anda berjuang untuk hidup di bawah hukum Allah hari ini? Di sanalah Anda dapat mengalami kebebasan dari paradoks ketaatan. 

 

Refleksi

Bacalah Yeremia 31:31-34 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:

  • Pola pikir apa yang harus saya ubah?
  • Apa yang perlu dikalibrasi dalam hati saya?
  • Apa yang bisa saya terapkan hari ini?

 

Bacaan Alkitab Setahun: Rut 1; Kisah Para Rasul 8:26-40