IMAN YANG RENDAH HATI

Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya. Habakuk 2:4

 

Kita sering ingin memahami hal-hal besar. Kita memusatkan perhatian kita pada ilmuwan, cendekiawan, dan pakar—dan, memang, kita membutuhkan wawasan mereka! Namun, sebagai orang percaya, kita harus ingat bahwa pada akhirnya kita hidup oleh iman, bukan oleh wawasan manusia. 

 

Alkitab menggambarkan orang-orang yang percaya bahwa mereka dapat mengatur hidup dan matinya sebagai "orang yang membusungkan dada." Orang-orang seperti itu berpikir tunduk di hadapan Allah sebagai sesuatu yang menggelikan, tidak perlu, dan tidak membantu—dan mereka siap untuk mencemooh orang-orang yang memilih untuk melakukannya. Sebaliknya, orang benar tidak mengandalkan diri sendiri untuk menemukan semua jawaban; mereka dengan rendah hati "hidup oleh percayanya." Mereka percaya apa yang Tuhan katakan hanya dan semata-mata karena Tuhan mengatakannya.

 

Kita melihat prinsip ayat ini dirujuk pada beberapa kesempatan dalam Perjanjian Baru. Paulus, misalnya, dalam tulisannya kepada jemaat Efesus tentang apa artinya mengenal Allah, kembali kepada Habakuk. Dia menjelaskan bahwa Allah memberikan kebenaran-Nya sebagai anugerah kasih karunia melalui iman, bukan sebagai sesuatu yang kita peroleh melalui perbuatan baik atau tindakan keagamaan kita (Efesus 2:8-9). Suratnya kepada jemaat di Roma dapat dilihat sebagai eksposisi  dari teks Habakuk ini: dia memberi tahu jemaat di Roma, dalam Injil "nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’" (Roma 1:17).

 

Yesus membahas kebutuhan kita akan iman yang rendah hati dalam perumpamaan-Nya tentang orang Farisi dan pemungut cukai (Lukas 18:9-14). Orang Farisi itu bersukacita karena dia tidak seperti orang lain: "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini" (ayat 11). Jiwanya menjadi sombong. Namun, pemungut cukai itu menyadari bahwa ia adalah orang berdosa dan memohon belas kasihan Allah. Yesus berkata, "Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan" (ayat 14). 

 

Jiwa yang sombong yang digambarkan dalam perumpamaan ini dan dalam nubuat Habakuk dapat dengan mudah menjadi gambaran Anda dan saya. Kita merasa lebih mudah hidup dengan hikmat dan usaha manusia daripada dengan iman kepada Allah. Keadaan alamiah kita adalah membanggakan diri, bukan merendahkan diri di kaki salib. Ketika kita menderita karena mengganggap diri terlalu tinggi dan mengecilkan Allah, kita perlu mengingat bahwa kerendahan hati datang dari kesadaran akan siapa Allah sebenarnya:

 

Mari datanglah, sembah Sang Raja,

Puji kasih-Nya, megahkan kuasa-Nya.

Sejak dahulu Dialah Pelindungku.

Bertakhta di surga penuh mulia.

Mari Datanglah, Sembah Sang Raja, Robert Grant

 

Nyanyikanlah lebih banyak tentang kebesaran-Nya daripada tentang Anda dan lebih banyak tentang kuasa-Nya daripada tentang Anda, hiduplah untuk memuji DIa lebih banyak daripada untuk memuji diri sendiri, dan Anda akan mengetahui kebebasan dan kedamaian yang mulia dari  iman yang rendah hati kepada Allah yang mengasihi Anda, mengampuni Anda, dan menyelamatkan Anda.

 

Refleksi

Bacalah Roma 1:1-17 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:

  • Pola pikir apa yang harus saya ubah?
  • Apa yang perlu dikalibrasi dalam hati saya?
  • Apa yang bisa saya terapkan hari ini?

 

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 10-12; Kisah Para Rasul 10:24-48