MENYALAKAN KEMBALI KASIH YANG HILANG

Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula. Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan. Jika tidak demikian, Aku akan datang kepadamu dan Aku akan mengambil kaki dianmu dari tempatnya, jikalau engkau tidak bertobat. – Wahyu 2:4-5

 

Sungguh menyedihkan melihat sebuah pernikahan di mana suami dan istri mulai menjadi dingin satu sama lain.  Mereka mungkin masih tinggal serumah, tetapi hatinya jauh. Hubungan yang dulu hangat kini terasa kaku dan formal. Wajah mereka menampakkan kebosanan, dan pancaran kasih yang dulu hidup kini padam. Sukacita dan penemuan baru yang dulu mewarnai masa awal hubungan mereka kini perlahan memudar seiring berjalannya waktu.

 

Demikian juga dengan jemaat di Efesus. Mereka adalah gereja yang berorientasi pada tugas, berpikiran tegas, dan sangat menjunjung kebenaran. Karena hal itu, mereka dipuji (Why. 2:2–3). Namun melalui firman-Nya, Yesus menyingkapkan kelemahan mereka yang paling mendasar: di tengah kesetiaan mereka terhadap kebenaran, mereka telah kehilangan kasih. Seorang penafsir Alkitab menulis, “Jika harga yang harus dibayar oleh jemaat Efesus untuk mempertahankan kekristenan yang sejati adalah kehilangan kasih, maka harga itu terlalu mahal. Sebab kekristenan tanpa kasih bukanlah iman yang sejati, melainkan iman yang telah menyimpang.”

 

Apakah mereka telah kehilangan kasih kepada Kristus? Atau kepada sesama? Atau mungkin kepada orang-orang di sekitar mereka yang belum percaya? Sesungguhnya, kita tidak perlu memilih salah satu di antara itu, sebab ketika kasih kita kepada Kristus tidak lagi seperti seharusnya, maka kasih kita kepada semua hal lainnya pun akan ikut terpengaruh. Kasih yang hilang kepada Kristus selalu berdampak pada seluruh kehidupan rohani kita.

 

Bagi kita yang menekankan kesetiaan doktrinal, ini adalah peringatan penting: ukuran sejati dari sebuah gereja bukan terletak pada program, prestasi, reputasi, atau ortodoksi ajarannya—melainkan pada kasihnya. Sebab, seperti yang dikatakan Thomas Chalmers, kasih kepada Kristus lahir dari “daya tarik kasih yang baru”—yaitu ketika hati kita jatuh cinta kepada Kristus karena kagum pada besarnya kasih dan anugerah-Nya yang mengejar kita. Ketika kasih itu mulai pudar, kita akan menjadi seperti jemaat Efesus—terlihat kuat dari luar, tetapi hampa di dalam.

 

Yesus memperingatkan bahwa hal ini bukan perkara sepele — ketika Ia mengancam untuk mengambil kaki dian jemaat Efesus, itu berarti Ia akan menarik pengakuan-Nya atas mereka sebagai gereja-Nya, sebagai umat-Nya. Gereja tanpa kasih, pada hakikatnya, bukanlah gereja sama sekali. Mungkin Anda menyadari bahwa kasih Anda kepada Allah tidak lagi seperti dahulu. Kita beribadah, melayani, dan berdoa, tetapi hati kita mulai dingin. Lalu, apa yang dapat kita lakukan?

 

Yesus memberi jawabannya: “Ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh.” Kita harus mengingat kembali bagaimana kasih itu dulu bermula—saat kita pertama kali mengenal Yesus, saat hati kita menyala karena kasih karunia-Nya. Kita perlu kembali ke dasar: memandang kembali kepada Yesus dan kasih-Nya yang besar bagi kita di salib. Di sanalah kasih yang sejati lahir—karena di sana kita melihat Dia yang terlebih dahulu mengasihi kita. Singkatnya, kita perlu menatap Yesus kembali — mengalihkan pandangan dari apa yang kita lakukan (program, pelayanan, atau usaha kita) kepada keindahan dan kasih-Nya, Dia yang telah mati bagi kita dan kini hidup di dalam kita.

 

Kasih akan kembali menyala ketika kita memandang kepada Pribadi yang layak dikasihi. Jadi, jika kasih Anda mulai dingin, marilah kita kembali menatap Yesus sebagaimana Ia menyatakan diri-Nya melalui firman-Nya — maka sukacita dan semangat itu pasti akan kembali.

 

Refleksi

Bacalah Ibrani 1:1-13 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:

 

1. Kebenaran Injil mana yang mengubahkan hati saya?
2. Hal apa yang perlu saya pertobatkan?
3. Apa yang bisa saya terapkan hari ini?

 

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Tawarikh 10-12; Lukas 1:39-56