DIKUASAI OLEH KESOMBONGAN
Pada hari itu keluarlah Haman dengan hati riang dan gembira; tetapi ketika Haman melihat Mordekhai ada di pintu gerbang istana raja, tidak bangkit dan tidak bergerak menghormati dia, maka sangat panaslah hati Haman kepada Mordekhai. – Ester 5:9
Haman adalah contoh nyata orang yang sangat egois dan penuh kesombongan. Ia senang dikelilingi orang-orang yang mau mendengarkan ceritanya dan memuji betapa hebat dirinya. Ia percaya bahwa dialah pusat dari segalanya.
Kalau dipikir-pikir, Haman akan cocok sekali hidup di zaman sekarang, di mana media sosial sering dipenuhi orang-orang yang mencari perhatian dan pengakuan. Mereka ingin terlihat hebat, walau sebenarnya belum tentu melakukan sesuatu yang besar. (Sebenarnya, hati kita juga mirip—kita pun sering ingin dipuji. Bedanya, mungkin kita saja yang belum punya kesempatan untuk menonjolkan diri).
Sepulang dari perjamuan istimewa yang diadakan Ratu Ester, hati Haman begitu senang karena merasa dihormati. Tapi semua kebahagiaan itu langsung hilang hanya karena satu hal: Mordekhai tidak berdiri saat ia lewat. Sukacitanya begitu rapuh, sampai satu hal kecil ini saja cukup untuk membuat amarah menguasainya.
Inilah wajah asli kesombongan. Tidak pernah puas. Tidak pernah cukup. Orang yang sombong selalu merasa kurang—ingin jabatan lagi, penghargaan lagi, harta lagi yang ingin dikejar—selalu ada sesuatu yang terasa belum diraih. Raja Salomo menulis, “Jika engkau melihat orang yang menganggap dirinya bijak, harapan bagi orang bebal lebih banyak dari pada bagi orang itu” (Ams. 26:12). Hidup Haman adalah contohnya. Karena kesombongannya, ia merencanakan pembunuhan bahkan pembantaian. Karena kesombongannya, ia tidak bisa menikmati apa yang ia miliki, tetapi hanya bisa marah atas apa yang tidak ia miliki.
Kita mungkin menggeleng-gelengkan kepala melihat kesombongan Haman. Tapi ketika membaca firman Tuhan, kita diingatkan akan Yesus yang justru mengambil jalan yang berbeda. Yesus, yang adalah Tuhan, rela “mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba, menjadi sama dengan manusia, dan merendahkan diri-Nya sampai mati di kayu salib” (Flp. 2:7-8).
Pertanyaannya: hidup kita lebih mirip siapa—Yesus atau Haman?
Saat kita merenungkan kerendahan hati Yesus, kita jadi sadar bahwa hati kita sering penuh dengan kesombongan. Maka, kita perlu berdoa seperti George Whitefield: “Oh, andai aku selalu bisa melihat diriku dengan benar! Aku yakin aku tak akan punya alasan untuk menyembah diriku sendiri. Tuhan, kasihanilah aku, orang berdosa!”
Melihat kejatuhan dan kesombongan Haman, lalu bercermin pada diri sendiri, semestinya membuat kita berseru kepada Tuhan. Kita butuh anugerah-Nya supaya bisa belajar rendah hati seperti Yesus. Sebab, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yak. 4:6).
Refleksi
Bacalah Ester 5:9-14 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Kebenaran Injil mana yang mengubahkan hati saya?
2. Hal apa yang perlu saya pertobatkan?
3. Apa yang bisa saya terapkan hari ini?
Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-hakim 19–21; Yohanes 6 : 1 - 21