JALAN IZEBEL
Tetapi Aku mencela engkau, karena engkau membiarkan wanita Izebel, yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hamba-Ku supaya berbuat zinah dan makan persembahan-persembahan berhala….Tetapi kepada kamu, yaitu orang-orang lain di Tiatira, yang tidak mengikuti ajaran itu dan yang tidak menyelidiki apa yang mereka sebut seluk-beluk Iblis, kepada kamu Aku berkata: Aku tidak mau menanggungkan beban lain kepadamu. Tetapi apa yang ada padamu, peganglah itu sampai Aku datang. Dan barangsiapa menang dan melakukan pekerjaan-Ku sampai kesudahannya, kepadanya akan Kukaruniakan kuasa atas bangsa-bangsa. — Wahyu 2:20, 24−26
Surat Yesus yang terpanjang kepada jemaat-jemaat dalam Wahyu pasal 2–3 ditujukan kepada jemaat di Tiatira—kota yang secara politik paling tidak berpengaruh di antara semuanya. Tiatira adalah kota niaga, bukan pusat politik: sebuah kota yang hidup, ramai, penuh para pedagang dan pengrajin, serta dikenal sebagai tempat yang nyaman untuk berdagang. Berbeda dengan beberapa jemaat lain yang menerima pesan Yesus, jemaat di Tiatira sebenarnya sudah memulai dengan baik dan menunjukkan pertumbuhan rohani yang jelas.
Namun, di tengah begitu banyak kualitas baik yang dimiliki jemaat—“kasih, iman, pelayanan, dan ketekunan” (Why. 2:19)—ada pengaruh beracun yang dibiarkan masuk dan berkembang. Yesus menyebut pemimpin kelompok ini sebagai “Izebel,” menghubungkan tindakannya dengan ratu Israel ribuan tahun sebelumnya. Ratu Izebel telah merusak Israel dengan cara berpikir yang memisahkan agama dari moralitas, seolah-olah dua hal itu bisa berjalan tanpa saling terkait. Di Tiatira, tampaknya hal yang sama sedang terjadi. Ada seorang perempuan yang menyebut dirinya “nabiah,” mengaku berbicara dengan otoritas ilahi dan mengajarkan kepada orang-orang percaya bahwa mereka bisa terlibat dalam penyembahan berhala dan hidup dalam ketidakmurnian sambil tetap menyebut diri sebagai pengikut Yesus. Ia membuat orang percaya bahwa hidup dalam kompromi tetap bisa dianggap benar.
Namun, tidak semua orang di Tiatira mengikuti jalan yang ditempuh Izebel. Bagi mereka yang tetap setia dan menolak ajaran palsu itu, Yesus memberikan dorongan untuk tetap berpegang pada sebuah hidup yang benar-benar berarti—“hidup yang sebenarnya” (1 Tim. 6:19). Dia menutup pesan dengan janji yang sederhana: "Dan barangsiapa menang dan melakukan pekerjaan-Ku sampai kesudahannya, kepadanya akan Kukaruniakan kuasa atas bangsa-bangsa" (Why. 2:26; lihat Mzm. 2:8).
Para pekerja logam, penjahit, dan pengrajin mendengarkan. Mereka memegang gulungan benang, kulit, dan kain yang menjadi pekerjaan mereka dari hari ke hari. Mereka mungkin resah: “Bisakah kami tetap hidup sebagai murid Kristus di tengah tekanan moral dan penyembahan berhala di kota ini?” Tapi di tengah keraguan itulah Kristus sendiri datang dengan panggilan sederhana namun penuh kekuatan: “Peganglah apa yang ada padamu.”
Penghiburan dan peringatan ini berlaku juga bagi kita hari ini. Mungkin kita merasa lelah, kewalahan, atau kecewa oleh tekanan moral dunia ini. Tetapi di dalam Kristus ada kekuatan untuk hidup dalam kebenaran. Kristus bukan hanya memberi perintah—Ia sudah menggenapinya lebih dahulu. Ia menang atas dosa, penyembahan berhala, dan kompromi melalui salib dan kebangkitan-Nya.
Karena itu, ketika kita memegang teguh Injil, kita sebenarnya sedang memegang Dia yang telah memegang kita lebih dahulu. “Berjuang sampai akhir” bukan mengandalkan kekuatan kita, tetapi bergantung pada anugerah-Nya yang menjaga dan mengokohkan kita. Peganglah Kristus. Peganglah Injil. Karena Dia yang memanggil adalah Dia yang memelihara.
Refleksi
Bacalah Wahyu 2:18−29 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Kebenaran Injil mana yang mengubahkan hati saya?
2. Hal apa yang perlu saya pertobatkan?
3. Apa yang bisa saya terapkan hari ini?
Bacaan Alkitab Setahun: 1 Tawarikh 22-24; Lukas 3