PENGHIBURAN YANG MENDALAM
“Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya; selalu baru setiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” — Ratapan 3:22–23
Ungkapan tentang kesetiaan Tuhan di ayat ini mungkin sudah tidak asing bagi kita. Ayat ini sering kita lihat di kartu ucapan, hiasan dinding, atau gambar dengan latar langit yang indah. Karena itu, kita sering mengaitkan ayat ini dengan suasana yang nyaman dan penuh damai. Padahal sebenarnya, ayat ini muncul dari masa yang sangat kelam. Jika ayat ini dijadikan lagu, nadanya mungkin bukan riang, tapi sedih dan dalam.
Kitab Ratapan ditulis dalam suasana yang sangat menyakitkan. Kitab ini berisi tangisan dan doa dari nabi Yeremia tentang keadaan umat Tuhan setelah Yerusalem dihancurkan dan bangsa itu dibuang ke Babel. Sesuai dengan namanya, kitab ini adalah kumpulan puisi yang mengekspresikan kesedihan dan penyesalan umat atas apa yang telah terjadi.
Ratapan dimulai dengan kata-kata yang menggambarkan kesepian dan kehancuran: “Betapa terpencilnya kota itu, yang dahulu ramai!” (Rat. 1:1). Dalam situasi seperti ini, mudah bagi orang berpikir bahwa kejahatan telah menang, atau bahwa Tuhan sudah menyerah terhadap umat-Nya yang berdosa. Tetapi kebenarannya tidak demikian. Tuhan tetap berdaulat. Dialah yang mengizinkan bangsa Babel menaklukkan Yerusalem agar umat-Nya sadar akan dosa mereka dan berbalik kepada-Nya dalam pertobatan.
Tuhan menghajar umat-Nya “tatkala murka-Nya yang menyala-nyala” (Rat. 1:12). Namun di tengah murka itu, ada juga kasih yang dalam. Di tengah kesedihan mereka, Tuhan menegaskan bahwa mereka belum ditinggalkan. Mereka memang kehilangan banyak hal — kedamaian, keamanan, bahkan rumah. Tapi ada dua hal yang tidak akan pernah hilang: kasih setia Tuhan dan rahmat-Nya yang baru setiap pagi.
Kasih dan rahmat itu tidak bergantung pada perbuatan mereka, melainkan anugerah yang diberikan Tuhan kepada orang berdosa yang sebenarnya tidak layak menerimanya. Umat Tuhan akhirnya belajar tentang kasih Tuhan dengan cara yang baru — bukan melalui kenyamanan di rumah mereka, tetapi melalui penderitaan di tanah pembuangan. Di tempat itulah mereka menemukan penghiburan yang sejati.
Begitu juga dengan kita. Sering kali, justru di masa tergelaplah kita dapat melihat dengan paling jelas bahwa Tuhan itu setia. Saat hidup berjalan lancar, kita mudah berpikir bahwa kita bisa mengandalkan diri sendiri. Namun ketika kita jatuh dan tak berdaya, kita bisa bersandar penuh pada kasih Tuhan dan menemukan betapa besar kasih karunia-Nya.
Mungkin kamu juga pernah mengalami masa seperti Yerusalem — saat semua hal yang dulu memberi rasa aman dan sukacita tiba-tiba runtuh. Di saat seperti itu, ayat ini menjadi pengingat yang sangat dalam:
Kasih setia Tuhan tak akan pernah berakhir.
Rahmat-Nya tak akan pernah kering.
Kesetiaan-Nya tidak akan pernah gagal.
Bahkan ketika kita telah kehilangan segalanya, kasih Tuhan tetap ada. Di saat kita merasa tak layak dan tak punya apa-apa lagi, Tuhan datang dengan kasih yang tidak berubah. Di dalam Kristus, kita melihat wujud paling nyata dari kasih setia itu — kasih yang rela mati bagi kita agar kita boleh hidup. Dan karena Yesus telah menanggung murka Allah bagi kita, kita bisa yakin: kasih dan rahmat Tuhan akan selalu baru setiap pagi.
Refleksi
Bacalah Ratapan 3:49-58 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Kebenaran Injil mana yang mengubahkan hati saya?
2. Hal apa yang perlu saya pertobatkan?
3. Apa yang bisa saya terapkan hari ini?
Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 27-29; 1 Timotius 3