Pembacaan : Efesus 4 : 1 - 16

 

Bacaan Alkitab Setahun:  

Keluaran 23 – 25

Teologi tanpa kasih adalah teologi yang buruk.

 

              Saya mengalami salah satu momen paling luar biasa yang pernah dialami seorang guru  – momen di mana Anda tidak bisa merencanakannya dan tidak tahu apa yang akan terjadi. Saya sedang mengajar di sebuah seminari. Mata kuliah yang saya ajar adalah sesuatu yang banyak calon gembala tidak mau ambil di masa depan. Itu adalah mata kuliah konseling / pendampingan pastoral. Kelas saya penuh dengan para calon gembala yang berpikir kalau mereka mengkhotbahkan khotbah yang benar secara teologi dan eksegesis, orang yang mendengar mereka tidak perlu konseling. Karena saya tahu mahasiswa di kelas saya tidak terlalu ingin ikut kelas ini dan mereka tidak terlalu lapar dengan apa yang akan saya ajarkan, saya memulai setiap semester dengan menceritakan kisah tentang kekacauan yang dibuat orang di dalam hidup mereka dan mencari saya, minta tolong agar dibantu melewati kesulitan dan bencana. Saya akan menceritakan kisahnya sampai satu orang di kelas berkata, “Ok, kami mengerti, kami benar-benar butuh apa yang akan diajarkan di kelas ini.”

Di tengah salah satu kisah, seorang mahasiswa mengangkat tangan dan berkata, “Pak Tripp, kami tahu kami akan bertemu dengan orang-orang seperti ini di gereja kami; beritahu apa yang harus kami lakukan dengan mereka supaya kami bisa kembali ke ladang pelayanan.” Saya kaget dengan apa yang dikatakannya dan bersyukur karena saya jadi punya kesempatan untuk berbagi. Di hadapan saya ada orang yang mau masuk ladang pelayanan yang jelas lebih menyukai ide daripada mengasihi manusia! Mahasiswa saya ini jauh sekali norma Alkitabiah, “[katakan] kebenaran di dalam kasih” (Ef. 4:15).  Panggilannya adalah melakukan teologi dalam komunitas yang penuh kasih dengan orang lain. Kebenaran yang tidak disampaikan dengan kasih tidak akan menjadi benar karena sudah dibengkokkan dan dipelintir oleh agenda manusia. Saya tidak bisa meninggalkan kebenaran demi hubungan dan saya tidak bisa meninggalkan hubungan demi kebenaran. Keduanya harus berjalan beriringan karena kita perlu memahami kebenaran dalam komunitas dalam hubungan dengan sesama karena kita cenderung buta dan bias, dan kita perlu kebenaran untuk memberitahu kita komunitas seperti apa yang harusnya kita masuki.

Terakhir, kita harus mengerti bahwa teologi bukanlah akhir, tetapi sarana mencapai akhir, akhir yang secara progresif kita mengarah ke sana, menjadi serupa dengan Dia yang adalah definisi ultimat dari kasih dan apa yang kasih lakukan. Dalam anugerah-Nya, Dia menyediakan semua yang kita butuhkan untuk menjadi komunitas yang penuh kasih dan punya teologi yang murni di waktu bersamaan. Meninggalkan salah satunya bukan hanya gagal untuk mengasihi, tetapi juga memiliki teologi yang buruk.

              Itu berarti kita mengkompromikan kebenaran Allah dan menolak panggilan-Nya. Dalam komunitas kasih yang rendah hati-lah kita ada di posisi terbaik untuk mengerti apa yang Allah katakan kepada kita dalam firman-Nya.