BAHAYA SIMPATI YANG SALAH ARAH

“Sejumlah besar orang mengikuti Dia; di antaranya banyak perempuan yang menangisi dan meratapi Dia. Yesus berpaling kepada mereka dan berkata: ”Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” – ‭‭Lukas‬ ‭23‬:‭27‬-‭28

 

Teriakan “Salibkan Dia!” yang sebelumnya bergema dari kerumunan orang mulai mereda. Mereka sudah berhasil dengan tujuannya: Pilatus telah memutuskan untuk menyalibkan Yesus. Kini, suara teriakan kematian itu digantikan dengan suara ratapan—tangisan para perempuan yang meratap melihat keadaan Yesus.

 

Tidak mengherankan jika Yesus yang kelelahan hanya sekilas menoleh kepada mereka yang sedang menangisi-Nya, lalu berjalan menuju tempat penyaliban. Tapi Yesus melakukan lebih dari itu: Ia berhenti, berpaling, dan berkata, “Jangan menangisi Aku, tetapi tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu.” Dengan kata lain, Yesus berkata bahwa simpati mereka keliru arahnya. Mereka merasa iba kepada Yesus, tetapi justru merekalah yang sedang berada dalam bahaya dan seharusnya meratap atas keadaan mereka sendiri.

 

Kata-kata Yesus bukanlah teguran keras, seolah-olah menangis itu salah. Melainkan, Ia ingin membuka mata mereka bahwa ada hal yang jauh lebih serius untuk ditangisi—yaitu penghakiman yang akan menimpa Yerusalem bila mereka terus hidup dalam ketidakpercayaan dan menolak Dia.

 

Beberapa hari sebelum peristiwa itu, Yesus sudah menubuatkan tentang kehancuran Yerusalem: “Musuh-musuhmu akan meratakan engkau dengan tanah, engkau dan anak-anakmu yang ada di dalam engkau. Mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tetap berdiri di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengenali saat Allah datang kepadamu” (Lukas 19:44). Perempuan-perempuan itu memang bisa melihat penderitaan Yesus. Mereka tahu bahwa yang terjadi pada-Nya adalah hal yang sangat salah dan tidak adil. Karena itu, mereka merasa iba dan menangisi Dia. Tetapi mereka belum menyadari hal yang lebih besar—bahwa melalui Yesus, Allah sendiri sedang datang untuk menepati janji-Nya dan menawarkan keselamatan. Siapa pun yang gagal mengenali bahwa Allah datang melalui Yesus untuk menyelamatkan, pada akhirnya hanya akan berhadapan dengan penghakiman-Nya. Itulah yang terjadi pada Yerusalem: sebagai gambaran awal dari penghakiman akhir, kota itu dihancurkan tentara Romawi pada tahun 70 M, warganya dibunuh, dan bait Allah diratakan sampai habis.

 

Sampai hari ini pun, Yesus tidak memanggil kita hanya untuk merasa iba kepada-Nya. Dia tidak membutuhkan simpati manusia! Yesus sekarang tidak lagi tergantung di salib, melainkan duduk di sebelah kanan Bapa di surga. Pesan Yesus kepada perempuan-perempuan itu, dan juga kepada kita sekarang, adalah sebuah peringatan: jangan berhenti pada rasa kasihan terhadap Dia sebagai korban ketidakadilan, tetapi sadarlah bahwa kita semua sedang menghadapi penghakiman Allah. Yang perlu kita tangisi adalah kondisi kita yang berdosa. Jalan keluarnya hanya satu: datang kepada Yesus dengan pertobatan dan iman. Sebab pada hari penghakiman terakhir nanti, tidak ada tempat aman dari Dia. Satu-satunya tempat aman adalah di dalam Dia.

 

Refleksi

Bacalah Lukas 19:41-46 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:

 

1. Kebenaran Injil mana yang mengubahkan hati saya?

2. Hal apa yang perlu saya pertobatkan?

3. Apa yang bisa saya terapkan hari ini?

 

Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-hakim 7-8; Yohanes 3:16-36