Aman Dalam Rencana Tuhan

GOSPEL CONFIDENCE – WEEK 2 "Aman Dalam Rancangan Tuhan" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Kita memasuki minggu kedua dari seri khotbah Facing the World with Gospel Confidence. Kita akan belajar banyak mengenai kedaulatan Tuhan—khususnya tentang bagaimana kita dapat merasa aman dan tenang dalam rencana-Nya. Namun, ini bukan berarti kita menjadi pasif. Sebaliknya, kita diajak untuk menyadari bahwa hidup yang diberikan dan dipercayakan kepada kita adalah sepenuhnya karena kasih karunia Tuhan.

Bacaan : Efesus 1:7-11

1:7 Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, 

1:8 yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian. 

1:9 Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus 

1:10 sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi. 

1:11 Aku katakan "di dalam Kristus", karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan--kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya

Ayat-ayat ini adalah firman Tuhan yang luar biasa. Dalam rangkaian ini, kita menemukan sebuah cetak biru atau "blueprint" dari rencana Tuhan. Paulus menggambarkan rencana ini sebagai sesuatu yang tidak mungkin gagal. Rencana yang sebelumnya adalah sebuah rahasia kini telah dinyatakan.

Surat Efesus sendiri adalah kitab yang sangat indah, karena di dalamnya terdapat kekayaan tentang kasih karunia Tuhan. Rasul Paulus menulis surat ini dari penjara kepada jemaat di Efesus yang saat itu sedang menghadapi banyak tekanan sosial di tengah budaya Romawi yang penuh dengan penyembahan berhala dan perpecahan masyarakat.

Mengapa surat Efesus begitu penting? Karena surat ini mengingatkan kita tentang identitas kita di dalam Kristus. Di dalam surat ini, frasa "di dalam Kristus" muncul lebih dari 216 kali, menunjukkan betapa pentingnya kesadaran bahwa kita tidak hanya disebut Kristen, tetapi kita adalah bagian dari gereja, tubuh Kristus.

Efesus juga menunjukkan bahwa ada kehidupan yang digerakkan oleh Injil. Surat ini dibagi menjadi dua bagian utama: pasal 1–3 membahas doktrin, sedangkan pasal 4–6 berbicara tentang praktik hidup. Paulus memulai surat ini dengan pengajaran teologis yang mendalam, termasuk ayat 3–14 yang merupakan satu kalimat panjang dalam bahasa Yunani dengan 202 kata. Kalimat ini penuh dengan kekayaan teologis yang menggarisbawahi berkat-berkat rohani yang telah diberikan kepada kita di dalam Kristus.

Minggu lalu, kita belajar bahwa Tuhan memilih kita, bukan sebaliknya. Dia telah menebus kita, bukan dengan barang fana seperti emas dan perak, tetapi dengan darah Kristus. Terobosan terbesar dalam hidup kita adalah penebusan yang kita miliki di dalam Yesus Kristus. Ini semua dilakukan Tuhan untuk tujuan tertentu. 

 

Hari ini, kita akan membahas tiga poin utama:

  1. Ada rencana dan tujuan Allah untuk sejarah.
  2. Segala sesuatu dalam sejarah adalah bagian dari rencana Allah.
  3. Yesus Kristus adalah inti dari rencana Allah.

          1. ADA RENCANA DAN TUJUAN ALLAH UNTUK SEJARAH

Kita akan memulai pembelajaran dengan memahami rencana dan tujuan Tuhan dalam sejarah. Mari kita baca Efesus 1:9:

“Sebab Ia telah menyatakan kepada kita rahasia kehendak-Nya sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu.

Dalam versi NIV, frasa “kegenapan waktu” diterjemahkan sebagai “to be put into effect when the times reach their fulfillment.” Ini menunjukkan bahwa ada momen-momen tertentu yang telah dirancang dalam rencana Tuhan, dan sejarah sedang diarahkan menuju tujuan tersebut.

Sebelum kedatangan Yesus, kehendak Tuhan adalah sebuah rahasia yang tersembunyi. Namun, dengan kedatangan Kristus, rahasia itu telah dinyatakan secara jelas. Tidak ada lagi misteri tersembunyi—semua telah diungkapkan melalui Kristus. Pesannya sederhana tetapi sangat mendalam: kasih karunia Tuhan dinyatakan di dalam Kristus. Saudara dan saya, yang seharusnya binasa karena dosa, telah menerima hidup kekal.

Namun, di tengah kemurnian Injil ini, ada tantangan. Banyak pengajaran yang menyimpang, di mana beberapa orang mengklaim menerima wahyu baru dari Tuhan, seolah-olah Alkitab tidak lagi menjadi otoritas tertinggi. Beberapa mengatakan, “The Lord told me,” tetapi ketika diteliti, pernyataan mereka ternyata berasal dari pemikiran manusia, bahkan kadang-kadang mengutip tokoh seperti Charles Spurgeon atau Martin Luther tanpa sumber yang jelas. Firman Tuhan mengajarkan bahwa segala sesuatu yang perlu kita ketahui untuk keselamatan dan kehidupan kudus telah dinyatakan di dalam Alkitab. Tidak ada yang baru di bawah kolong langit, kecuali yang telah dinyatakan oleh Firman Tuhan.

Sejarah dunia tidak berjalan secara acak. Perang di Ukraina, konflik di Gaza, kebakaran hutan di California—semuanya ada dalam kendali Tuhan. Semua ini adalah bagian dari rencana besar Allah yang akan mencapai kegenapannya pada waktu yang telah Ia tetapkan.

Pandangan ini sangat berbeda dari pandangan para ateis. Salah satu filsuf ateis terkenal, Bertrand Russell, pernah berkata bahwa manusia hanyalah hasil dari pertemuan kebetulan atom-atom. Menurutnya, hidup tidak memiliki makna atau tujuan, dan segala pencapaian manusia pada akhirnya akan lenyap dalam kehancuran alam semesta. Ini adalah pandangan nihilisme eksistensial, yang menganggap bahwa hidup ini sia-sia dan tanpa arah.

Namun, Alkitab dengan tegas menolak pandangan ini. Firman Tuhan mengajarkan bahwa hidup kita adalah bagian dari rencana kekal Allah yang penuh makna. Seperti yang dinyatakan dalam Efesus 1:11:

“Di dalam Dia kami juga telah dipilih, setelah ditentukan dari semula sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya.”

Jonathan Edwards dalam bukunya The End for Which God Created the World mengatakan bahwa kita tidak akan memahami sejarah sampai kita melihatnya sebagai panggung untuk kemuliaan Allah. Hidup kita tidak acak, tetapi sepenuhnya ada dalam kendali Tuhan yang berdaulat.

Refleksi untuk Kehidupan Kita

Di awal tahun ini, mari kita merenungkan bagaimana keyakinan bahwa Tuhan memiliki rencana yang kekal dapat mengubah cara kita memandang hidup. Bagaimana kita merespons ketika menghadapi situasi sulit yang tampaknya di luar kendali? Apakah kita tetap percaya bahwa Tuhan memegang kendali penuh?

Bahkan dalam kedukaan atau pergumulan, doa-doa kita yang seolah-olah belum dijawab bukan berarti Tuhan tidak peduli. Tuhan tetap berdaulat dan mengatur segala sesuatu untuk kebaikan kita.

Ada kalanya kita merasa hidup ini tidak berarti. Itu adalah perasaan manusiawi. Namun, kebenaran Injil memberi makna dan arah bagi hidup kita. Pergumulan kita untuk hidup kudus, pelayanan kita, doa-doa kita, dan upaya kita untuk menginjili orang lain tidak sia-sia. Semua ini adalah bagian dari rencana Tuhan yang kekal.

Hidup kita bermakna karena Tuhan telah menetapkan tujuan untuk setiap detailnya. Tidak ada yang sia-sia, karena semuanya diarahkan untuk memuliakan Tuhan. 

          2. SEGALA SESUATU DALAM SEJARAH ADALAH BAGIAN DARI RENCANA ALLAH

Dalam perjalanan hidup, banyak dari kita bergumul dengan pertanyaan yang mendasar: Apakah segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah ditakdirkan? Apakah kita benar-benar memiliki kehendak bebas, atau semua hanya sekadar ilusi? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya menjadi bahan renungan teologis, tetapi juga sering diangkat dalam film, seminar, bahkan obrolan sehari-hari. 

Salah satu contoh menarik datang dari film Slumdog Millionaire yang memenangkan Academy Award pada 2010. Di awal film, terdapat tulisan: It is written—seakan mengisyaratkan bahwa segala sesuatu sudah tertulis, serupa dengan respons Yesus saat dicobai oleh Iblis: “Ada tertulis.” Namun, apa makna sebenarnya dari ide ini? Apakah hidup kita sepenuhnya diatur oleh takdir, ataukah kita memiliki kuasa untuk memilih jalan hidup kita sendiri?

Pertanyaan ini sudah lama menjadi pergumulan manusia. Banyak film fiksi ilmiah mengeksplorasi tema ini dengan konsep perjalanan waktu—usaha untuk mengubah sejarah. Namun, apakah sejarah benar-benar dapat diubah? Ataukah segala upaya itu justru bagian dari rencana yang sudah ditetapkan? Pertanyaan-pertanyaan ini sering membawa kita ke dua pandangan ekstrem: fatalisme dan libertarianisme.

Fatalisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan, sehingga kehendak bebas hanyalah ilusi. Akibatnya, orang yang percaya pada fatalisme sering menjadi apatis dan pesimis. Misalnya, ketika seseorang gagal dalam pekerjaan, ia mungkin berkata, “Ya sudahlah, ini memang sudah takdir.” Orang fatalis kehilangan makna hidup, mudah depresi, dan tidak bersemangat untuk berusaha. Bahkan dalam konteks iman, mereka mungkin menyalahgunakan konsep kedaulatan Allah sebagai alasan untuk tidak bertindak—tidak menginjili, tidak bekerja keras, dan tidak bertanggung jawab atas hidup mereka.

Di sisi lain, libertarianisme mengajarkan bahwa masa depan sepenuhnya ada di tangan kita. “Pilihan ada di tanganmu! Ciptakan masa depanmu sendiri!” demikian seruan yang sering kita dengar dari para motivator. Namun, pandangan ini juga bermasalah. Orang libertarian sering menjadi sombong saat berhasil, karena menganggap semua itu hasil usahanya sendiri. Sebaliknya, mereka mudah cemas dan takut gagal karena merasa segala sesuatu bergantung pada keputusan mereka. Dalam pernikahan, misalnya, seorang libertarian mungkin berkata, “Jangan-jangan aku salah memilih pasangan,” ketika menghadapi masalah. Begitu pula dalam pekerjaan, mereka selalu khawatir telah salah mengambil keputusan.

Kedua pandangan ini bertentangan dengan ajaran Alkitab. Fatalisme meniadakan tanggung jawab manusia, sementara libertarianisme mengabaikan kedaulatan Allah.

Alkitab menawarkan jawaban yang berbeda melalui konsep kompatibilisme—yakni keyakinan bahwa kedaulatan Allah yang mutlak dan kehendak bebas manusia dapat berjalan bersamaan. Manusia benar-benar memiliki kebebasan untuk memilih, tetapi pilihan-pilihan itu tetap berada dalam rencana dan kendali Allah yang sempurna.

Salah satu contoh paling nyata dari kompatibilisme adalah perjalanan hidup kita sendiri. Contohnya dalam hubungan pernikahan, seseorang mungkin merasa bebas memilih pasangan hidupnya berdasarkan kriteria tertentu. Namun, di tengah perjalanan, ia menyadari bahwa hubungan itu tidak hanya soal pilihannya sendiri, tetapi juga bagian dari rencana Tuhan untuk membentuk karakternya, mengajarinya tentang kasih sejati, dan menunjukkan bagaimana anugerah Tuhan bekerja dalam hubungan yang penuh tantangan.

J.I. Packer dalam bukunya "Evangelism and the Sovereignty of God" menjelaskan kompatibilisme sebagai dua hal yang terlihat bertentangan, tetapi sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Ia menggunakan istilah "antinomi," yaitu dua kebenaran yang tampaknya bertolak belakang, tetapi keduanya benar. Dalam hal ini, kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia berjalan berdampingan.

Packer menegaskan bahwa Allah memegang kendali penuh atas segala sesuatu, tetapi ini tidak membatalkan fakta bahwa manusia bertanggung jawab atas setiap pilihan yang dibuatnya. Ia memberi contoh bagaimana Allah memakai kehendak bebas manusia untuk menggenapi rencana-Nya tanpa memaksa atau menghilangkan kebebasan itu.

Dalam kitab Yeremia 25:8-9, Allah menyatakan bahwa Dia akan menggunakan Nebukadnezar, Raja Babel, sebagai alat untuk menghukum bangsa Israel yang tidak setia. Namun, di ayat 12, Allah juga menyatakan bahwa Dia akan menghukum Nebukadnezar atas dosa-dosanya. Ini menunjukkan bahwa Allah sepenuhnya berdaulat, tetapi manusia tetap bertanggung jawab atas tindakannya.

Setelah membahas kompatibilisme, kita perlu merenungkan implikasi praktis dari kebenaran bahwa Allah adalah berdaulat, sementara manusia bertanggung jawab atas pilihannya. Kebenaran ini tidak hanya teologis tetapi juga relevan dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika kita merenungkan Efesus 1.

Efesus 1:4-5 menegaskan:

“Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih, Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.”

Kebenaran bahwa Allah memilih kita membawa penghiburan yang mendalam. Ini berarti identitas kita tidak bergantung pada keberhasilan, kegagalan, atau penerimaan manusia, tetapi ditentukan oleh kasih dan rencana kekal Allah. Dalam kehidupan praktis, ini menguatkan kita untuk tidak bergantung pada pengakuan dunia, tetapi hidup dalam keyakinan bahwa kita adalah anak-anak Allah.

Implikasi ini relevan saat menghadapi kegagalan atau ketika kita merasa tidak cukup baik. Pilihan Allah atas kita sebelum dunia dijadikan memberikan jaminan bahwa hidup kita bernilai, bukan karena apa yang kita capai, tetapi karena kasih karunia Allah.

Pemahaman ini mengajarkan kita untuk tetap aktif dan bertanggung jawab dalam hidup, sambil mempercayai bahwa Allah berdaulat atas segala sesuatu. Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menjalani hidup yang sesuai dengan panggilan Allah, seperti yang Paulus nasihatkan dalam Efesus 4:1: “Hiduplah sebagai orang-orang yang telah dipanggil, berpadanan dengan panggilan itu.” Allah memilih kita sebelum dunia dijadikan (Efesus 1:4-5), tetapi kita juga diminta untuk mengenakan perlengkapan senjata Allah dan melawan tipu muslihat Iblis (Efesus 6:10-11).

Contoh lainnya dalam Kisah Para Rasul 2:23, Petrus dengan jelas menyatakan bahwa penyaliban Yesus adalah bagian dari rencana Allah yang kekal. Ia berkata, “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa peristiwa penyaliban Kristus bukanlah sebuah kecelakaan sejarah, melainkan penggenapan rencana keselamatan yang telah ditentukan Allah sejak kekekalan. Namun, fakta bahwa ini adalah rencana Allah tidak menghilangkan tanggung jawab manusia yang menyalibkan-Nya.

Tindakan menyalibkan Yesus tetap dipandang sebagai dosa besar yang dilakukan oleh manusia dengan kehendak bebas mereka. Di sini terdapat paradoks yang mencerminkan harmoni antara kedaulatan Allah yang mutlak dan tanggung jawab manusia. Allah, dalam hikmat-Nya yang sempurna, menggunakan tindakan berdosa manusia untuk menggenapi tujuan penebusan-Nya tanpa menjadi pelaku dosa itu sendiri. Dengan kata lain, meskipun Allah adalah yang berdaulat atas semua peristiwa, manusia tetap bertanggung jawab atas pilihan-pilihan moral mereka.

Paradoks ini tidak hanya menjadi dasar teologis, tetapi juga menawarkan perspektif praktis bagi kita. Dalam penderitaan Kristus, kita melihat bahwa Allah mampu mengubah kejahatan terbesar menjadi anugerah terbesar, yaitu keselamatan bagi dunia. Hal ini mengajarkan kita untuk percaya kepada kedaulatan-Nya bahkan dalam situasi yang tampaknya penuh dengan kejahatan dan ketidakadilan, karena Dia dapat memakai segalanya untuk kemuliaan-Nya dan kebaikan kita.

Refleksi untuk Kehidupan Kita

Apakah kita benar-benar percaya bahwa Tuhan menggunakan setiap peristiwa, termasuk yang sulit, untuk menggenapi tujuan-Nya? Keyakinan akan kedaulatan Allah membawa penghiburan di tengah penderitaan dan menolong kita memahami bahwa tidak ada pengalaman yang sia-sia dalam rencana-Nya.

Namun, pemahaman ini juga menantang kita untuk menyeimbangkan respons kita. Apakah kita menyerah pada fatalisme, berpikir bahwa usaha kita tidak berarti? Ataukah kita terlalu bergantung pada kekuatan sendiri, seolah-olah segalanya tergantung pada kita? Kebenaran Alkitab memanggil kita untuk hidup berserah kepada Tuhan sambil tetap bertindak dengan iman dan tanggung jawab.

Kedaulatan-Nya bukan alasan untuk menjadi pasif, tetapi justru motivasi untuk beriman, berdoa, dan bekerja keras. Pada akhirnya, hidup kita bukan untuk “melibatkan Tuhan” demi rencana kita, tetapi untuk hidup dalam kehendak-Nya dan menyelaraskan diri dengan rencana-Nya yang kekal.

         3. YESUS KRISTUS ADALAH INTI DARI RENCANA ALLAH.

Yesus Kristus adalah inti dari seluruh rencana Allah. Segala sesuatu yang Allah kerjakan dalam sejarah, termasuk penebusan, pemilihan, dan pengadopsian kita sebagai anak-anak-Nya, mengarah pada satu tujuan utama: mempersatukan segala sesuatu, baik yang di surga maupun di bumi, di bawah satu kepala, yaitu Yesus Kristus. Efesus 1:10 menegaskan bahwa seluruh sejarah bergerak menuju pemulihan total di dalam Kristus, Sang Raja di atas segala raja.

1:10 sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi. 

Mengapa Allah menebus kita? Mengapa Ia memilih kita? Semua itu dilakukan agar segala sesuatu, baik di surga maupun di bumi, dipersatukan di dalam Kristus. Seluruh dunia bergerak menuju satu titik klimaks: pemulihan di bawah pemerintahan Kristus, Sang Raja di atas segala raja. 

Namun, ketika kita berbicara tentang Kristus sebagai Raja, kita tidak berbicara tentang Raja yang memerintah dengan cara dunia ini. Raja dunia biasanya memulihkan kekuasaan mereka dengan cara-cara kekerasan, kekuatan politik, militer, atau kemewahan. Sebaliknya, Ia datang dengan kerendahan hati. Ia lahir di kandang, bukan di istana; tidur di palungan, bukan di tempat tidur mewah; dan memerintah dari salib, bukan dari singgasana emas. Mahkota-Nya adalah mahkota duri, dan jalan-Nya adalah jalan pengorbanan. 

Yesus menjalani hidup-Nya dengan kerendahan hati yang radikal. Ia rela hancur—tubuh-Nya, reputasi-Nya, bahkan nyawa-Nya—demi memulihkan kita. Kehancuran yang dialami Yesus di kayu salib bukanlah kehancuran biasa; itu adalah kehancuran yang membawa pemulihan. Kehancuran itu menanggung dosa-dosa kita. Ia mengambil tempat kita yang seharusnya menerima penghukuman. Tubuh-Nya yang hancur menjadi sarana pemulihan bagi kita. Kematian-Nya menjadi awal dari kehidupan baru kita. Salib-Nya adalah bukti kasih Allah yang besar, bukti bahwa Allah rela memberikan segalanya untuk membawa kita kembali kepada-Nya.

Ada kontras yang sangat tajam antara Adam pertama dan Adam kedua. Adam pertama, di Taman Eden, memilih memberontak terhadap Allah, membawa kehancuran pada dunia. Hubungan dengan Allah rusak, hubungan antar sesama hancur, bahkan hubungan manusia dengan diri sendiri dan alam ciptaan pun terpecah. Tetapi Adam kedua, yaitu Yesus Kristus, di Taman Getsemani, tunduk sepenuhnya pada kehendak Bapa, berkata, “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang terjadi.” Di kayu salib, Yesus menanggung kehancuran yang seharusnya menjadi milik kita: penghukuman menjadi pengampunan, kehancuran menjadi pemulihan, dan kematian menjadi kehidupan.

Yesus membalikkan arah kehancuran dunia. Segala sesuatu yang fana, yang penuh dosa, dan yang menuju kerusakan kini memiliki harapan untuk dipulihkan. Salib menunjukkan dua hal yang luar biasa: dosa kita begitu besar hingga hanya darah Anak Allah yang dapat menebusnya, tetapi kasih Allah begitu besar hingga Ia rela melakukannya. Pandanglah salib! Salib adalah bukti kasih Allah yang tidak tergoyahkan. Itu adalah meterai janji-Nya bahwa Ia tidak akan meninggalkan kita, meskipun kita melewati air mata, tekanan, dan ketidakpastian.

Salib mengajarkan kita bahwa kemenangan sejati tidak datang melalui kekuatan manusia, tetapi melalui kelemahan Kristus. Raja kita tidak menunjukkan kekuasaan melalui militer atau politik, melainkan melalui kerendahan hati, pengorbanan, dan cinta yang mendalam. Ketika Anda melihat salib, Anda melihat bukti bahwa dosa kita begitu besar sehingga hanya darah Anak Allah yang dapat menebusnya. Tetapi Anda juga melihat bukti bahwa kasih Allah begitu besar sehingga Ia rela melakukannya.

Setiap minggu, kita perlu diingatkan tentang salib, karena salib adalah pusat dari segala sesuatu. Charles Spurgeon pernah berkata, “Hanya ketika kita melihat kedalaman penderitaan Yesus bagi kita, kita mulai memahami kedalaman kasih-Nya.” Ketika Anda memahami kasih yang sedalam itu, Anda bisa tenang di tengah segala kekacauan. Salib adalah bukti tertinggi kasih Allah. Itu adalah meterai janji-Nya bahwa Ia tidak akan meninggalkan Anda, apa pun yang terjadi dalam hidup ini.

Refleksi untuk Kehidupan Kita

Kehancuran dunia ini tidak akan menjadi akhir cerita, karena Allah sedang memulihkan segala sesuatu. Jika Yesus telah menyerahkan nyawa-Nya bagi Anda, tidakkah Anda dapat mempercayai-Nya dalam segala hal? Injil mengajarkan kita bahwa di tengah segala kekacauan, Tuhan tetap memegang kendali. Kita dapat bekerja keras, melayani, dan terus berjuang, tetapi pada saat yang sama, kita dapat beristirahat dengan tenang, karena kita tahu bahwa Allah berdaulat atas segalanya. Pandanglah salib dan ingatlah, Anda lebih dari pemenang di dalam Kristus!

ORANG BERINJIL

  • Memahami bahwa Allah memiliki rencana yang sempurna, sehingga memiliki kedamaian di tengah ketidakpastian
  • Percaya bahwa kehendak Allah yang sempurna akan tercapai, bahkan melalui setiap pilihan dan kegagalan manusia
  • Tidak pasif dan terus bekerja dan berusaha, namun bisa tenang  dan “Rest” karena  Tuhan berdaulat, di dalam rencana-Nya yang indah, tidak akan gagal