Pengharapan Yang Pasti

GOSPEL CONFIDENCE – WEEK 3 "Pengharapan yang Pasti"  

Ps. Natanael Thamrin

 

Saat kita merenungkan kehidupan kita di dunia ini, kita sadar bahwa dunia yang kita tinggali penuh dengan ketidakpastian. Segala sesuatu bisa berubah dalam sekejap. Hidup kita, kalau kita renungkan dengan jujur, begitu rapuh. Ketika kita mencoba mencari sesuatu untuk diandalkan—apakah itu kekayaan, kesehatan, kesuksesan, atau kuasa—dan hal-hal itu mulai goyah oleh kenyataan hidup, kita pun mulai bertanya-tanya:

"Apakah ada pengharapan yang benar-benar kokoh dalam hidup ini? Jika ada, bagaimana pengharapan itu bisa memberikan keyakinan sejati kepada saya di tengah dunia yang penuh goncangan ini?"

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin menjadi bagian dari pergumulan kita sepanjang hidup. Maka hari ini, mari kita belajar dari surat Efesus 1:11-14 untuk menemukan jawabannya. 

Bacaan : Efesus 1:11-14

1:11 Aku katakan "di dalam Kristus", karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan--kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya-- 

1:12 supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. 

1:13 Di dalam Dia kamu juga--karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu--di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu. 

1:14 Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya.

Sebagai manusia, kita tidak bisa lepas dari pengharapan. Harapan adalah salah satu elemen penting yang membentuk cara kita berpikir, merasa, dan bertindak. Harapan terhadap sesuatu di masa depan sering kali menentukan bagaimana kita menjalani hari ini.

Saya ingin memberikan ilustrasi sederhana: bayangkan ada dua orang yang ditempatkan dalam situasi yang sama—sebuah ruangan yang sumpek, panas, dan penuh orang yang berteriak satu sama lain. Mereka diberikan tugas berat untuk menyelesaikan pekerjaan yang sama. Tapi ada satu perbedaan.

Orang pertama diberi tahu, “Setelah tugas ini selesai, kamu akan menerima Rp200.000.”
Orang kedua diberi tahu, “Setelah tugas ini selesai, kamu akan menerima Rp200 juta.”

Sekarang, coba bayangkan bagaimana respons mereka. Orang pertama mungkin merasa setiap detik yang berlalu adalah siksaan. Dia akan bertanya-tanya, “Untuk apa saya melakukan ini? Apakah ini sebanding?” Sementara itu, orang kedua, meskipun berada dalam kondisi yang sama, mungkin bekerja dengan senyuman dan hati yang ringan. Dia tahu bahwa apa yang dia hadapi saat ini sepadan dengan hasil besar yang menantinya.

Ilustrasi ini menunjukkan bahwa cara kita memandang masa depan akan mempengaruhi bagaimana kita menghadapi masa kini. Pengharapan memiliki kekuatan untuk menopang kita.

Tiga Dimensi Pengharapan yang Pasti

Dalam khotbah ini, kita akan merenungkan tiga aspek pengharapan yang disebutkan dalam Efesus 1:11-14:

  1. Pengharapan Berdasarkan Rencana Kekal Allah
    Pengharapan kita bukanlah sesuatu yang sembarangan. Ini didasarkan pada rencana Allah yang kekal, yang bekerja menurut kehendak-Nya. Allah tidak pernah berubah, sehingga rencana-Nya juga tidak tergoyahkan.
  2. Pengharapan yang Mengubahkan Hidup Kita Sekarang
    Ketika kita menyadari bahwa kita memiliki jaminan dalam Kristus, cara kita menjalani hidup berubah. Kita tidak lagi dikuasai oleh ketakutan, tetapi oleh keyakinan bahwa hidup kita ada dalam tangan-Nya.
  3. Pengharapan yang Memberi Keyakinan Tentang Masa Depan
    Roh Kudus adalah jaminan yang diberikan kepada kita, tanda bahwa Allah akan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Pengharapan ini memberi kita kekuatan untuk menghadapi apa pun yang ada di depan.

 

          1.PENGHARAPAN BERDASARKAN RENCANA KEKAL ALLAH

Dalam kehidupan ini, pengharapan menjadi sesuatu yang sangat esensial. Namun, apa dasar dari pengharapan kita? Dalam refleksi pada poin pertama dari pembahasan ini, kita diajak merenungkan tentang pengharapan yang berdasarkan rencana kekal Allah.

Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, menegaskan bahwa pengharapan kita sebagai orang percaya bukanlah sesuatu yang muncul secara kebetulan. Pengharapan itu juga tidak bergantung pada keberuntungan atau usaha manusia semata, melainkan berakar pada kehendak Allah yang berdaulat. Dalam Efesus 1:11, tertulis bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita berjalan sesuai dengan keputusan dan kehendak Allah. Tuhan bukan hanya perancang keselamatan kita, tetapi juga Sang Penentu segala detail dalam hidup ini.

Bayangkan, setiap langkah yang kita ambil, setiap keputusan kecil atau besar yang kita buat, bahkan setiap tantangan yang kita hadapi, semuanya berada di bawah kendali dan rencana Allah. Kadang kita tidak memahami cara kerja-Nya. Namun, seperti seorang penenun yang menyusun benang-benang menjadi kain yang indah, Allah sedang menenun kisah hidup kita untuk sebuah tujuan besar—kemuliaan-Nya.

Tak ada hal yang terlalu kecil atau tak berarti dalam hidup kita. Setiap peristiwa, baik suka maupun duka, adalah bagian dari cerita besar Allah. Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang mungkin merasa pekerjaannya kurang dihargai dibandingkan seorang wanita karier. Padahal, setiap tindakan kecil yang dilakukan—mendoakan anak-anak, memberi teladan iman dalam keluarga—semua itu adalah bagian dari rencana besar Allah untuk membentuk generasi yang akan datang.

Sering kali kita merasa bahwa pekerjaan atau peran tertentu lebih mulia dibandingkan yang lain. Sebagai contoh, seorang direktur mungkin merasa lebih hebat dibandingkan petugas kebersihan di kantornya. Namun, di mata Allah, setiap peran memiliki tempat dalam rencana-Nya. Keselamatan yang kita terima bukanlah hasil usaha atau pencapaian kita, melainkan kasih karunia Allah semata. Paulus menggunakan istilah dalam bentuk pasif, seperti dalam Efesus 1:11, untuk menunjukkan bahwa kita hanyalah penerima anugerah. Allah adalah pihak yang aktif memilih dan mengasihi kita, bukan karena kita layak, tetapi karena kasih-Nya yang tak terbatas.

Ulangan 7:6-8

7:6 Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya.

7:7 Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu--bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? -- 

7:8 tetapi karena TUHAN mengasihi kamu dan memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu, maka TUHAN telah membawa kamu keluar dengan tangan yang kuat dan menebus engkau dari rumah perbudakan, dari tangan Firaun, raja Mesir.

Hal ini juga ditegaskan dalam Ulangan 7:6-8, di mana Allah memilih bangsa Israel bukan karena jumlah mereka yang besar atau kualitas mereka yang istimewa, melainkan semata-mata karena kasih Allah dan janji-Nya. Demikian pula dengan kita. Kasih Allah kepada kita tidak didasarkan pada kelebihan atau prestasi kita, melainkan pada keputusan-Nya untuk mengasihi kita. Kita dikasihi bukan karena kita istimewa, tetapi karena Allah adalah kasih itu sendiri.

Pengharapan yang sejati tidak tergantung pada kekuatan atau kemampuan kita, tetapi pada kasih dan kesetiaan Allah yang tidak pernah berubah. Jika dasar pengharapan kita adalah sesuatu yang rapuh—seperti kekayaan, kesuksesan, atau kekuatan diri sendiri—kita akan mudah goyah. Namun, pengharapan yang didasarkan pada kasih dan janji Allah memberi ketenangan dan rasa aman yang sejati.

Bayangkan sebuah jangkar yang menahan kapal di tengah badai. Demikianlah kasih Allah menjadi jangkar yang kokoh bagi pengharapan kita. Allah tidak hanya memberikan yang terbaik, tetapi juga membuktikan kesetiaan-Nya dari dahulu hingga sekarang, dan untuk selama-lamanya.

PERTANYAAN REFLEKSI

Pertanyaannya sekarang, di mana kita meletakkan pengharapan kita? Apakah kita mengandalkan kekuatan dan kemampuan kita sendiri? Ataukah kita telah belajar sepenuhnya mengandalkan Allah yang setia? Mungkin kita sering mendengar konsep ini berulang kali, tetapi sudahkah pengertian itu nyata dalam hidup kita? Apakah benar Allah menjadi satu-satunya sumber pengharapan kita?

Mari kita terus merenungkan dan mempraktikkan iman kita. Saat dunia berubah dan banyak hal terasa tak pasti, kita dapat menemukan kedamaian dalam pengharapan yang kekal, yang bersumber dari Allah yang setia dan tidak pernah gagal menepati janji-Nya.

          2.PENGHARAPAN YANG MENGUBAHKAN HIDUP KITA SEKARANG

Efesus 1: 11-14

11 Aku katakan "di dalam Kristus", karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan — kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya —

12 supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.

13 Di dalam Dia kamu juga — karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu — di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu.

14 Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya.

Kita tiba di poin kedua dari refleksi ini: pengharapan yang mengubahkan hidup kita saat ini. Untuk memahaminya, mari kita kembali melihat empat ayat dalam Efesus 1:11-14. Jika kita amati, pola penulisan Paulus memiliki keindahan tersendiri. Dalam ayat 11 dan 13, ia sengaja menulis dengan struktur yang sejajar: “di dalam Dia kami mendapat bagian yang dijanjikan” diulang dengan format serupa pada ayat 13, “di dalam Dia kamu juga dimeteraikan dengan Roh Kudus yang dijanjikan-Nya.” Kemudian, ayat 12 dan 14 menekankan tujuan yang sama: segala sesuatu ditujukan untuk memuliakan Allah. Pola ini menjadi pesan yang kuat tentang inti dari iman kita.

Sebuah catatan dari Gospel Transformation Study Bible menyoroti hal ini dengan indah: “Setiap berkat yang kita terima di dalam Kristus, dirancang oleh Bapa dan dimeteraikan oleh Roh Kudus, bertujuan untuk memuliakan Allah Tritunggal.” Ini mengingatkan kita bahwa berkat yang kita terima bukanlah untuk memperbesar diri kita, tetapi untuk memperlihatkan kebesaran Allah yang telah memberi segalanya.

Namun, apakah ini mudah untuk diterapkan? Seorang penulis, Paul David Tripp, dalam bukunya Instruments in the Redeemer's Hands, memberikan peringatan tajam. Ia berkata, “Dosa menjadikan kita pencuri kemuliaan. Di balik setiap hubungan yang rusak atau kehidupan yang hancur, ada kemuliaan yang dicuri. Kita menggunakan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri dan menjadikan diri kita tokoh utama di atas panggung kehidupan.” Pernyataan ini memaparkan kenyataan pahit bahwa kita sering kali menaruh harapan pada hal-hal fana, bahkan menggunakan Tuhan untuk mengejar apa yang kita inginkan. Tetapi kabar baiknya adalah, sekalipun kita berdosa, Tuhan tetap setia mencari dan menyelamatkan kita.

Ayat 13-14 dari Efesus 1 memberikan penegasan yang mendalam. Ketika kita percaya, kita dimeteraikan dengan Roh Kudus sebagai jaminan warisan kita. Roh Kudus adalah tanda bahwa kita telah menjadi milik Allah. Ini adalah kebenaran yang menguatkan: saya dan Anda adalah milik Allah.

Bayangkan sebuah ilustrasi. Anda tinggal di apartemen yang dipenuhi barang berharga, termasuk sebuah kotak kecil berisi kalung pusaka keluarga. Suatu hari, alarm kebakaran berbunyi, dan Anda harus segera meninggalkan apartemen. Apa yang akan Anda ambil? Mungkin kotak pusaka itu, karena nilainya jauh lebih penting dibandingkan barang lain. Demikian juga Allah. Ketika Dia memandang dunia ini dengan segala keindahannya, Anda dan saya lebih berharga di mata-Nya daripada seluruh alam semesta.

Karena kita adalah milik Allah, implikasinya sangat luas. Pertama, nilai diri kita tidak ditentukan oleh pencapaian, kepemilikan, atau pendapat orang lain. Kita berharga karena kita adalah milik-Nya. Kedua, ketika kita menghadapi kekhawatiran, kita diingatkan bahwa hidup kita ada dalam tangan Allah. Yesaya 43:1-2 menguatkan ini: “Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau; engkau ini kepunyaan-Ku.” Bahkan di tengah api pencobaan, Allah menyertai kita.

Ketiga, pemahaman bahwa kita adalah milik Allah mengubah motivasi kita dalam ibadah. Kita tidak lagi datang untuk sekadar mencari berkat, tetapi dengan hati penuh syukur karena telah menerima yang terbaik melalui pengorbanan Kristus. Terakhir, pemahaman ini juga menggerakkan kita dalam misi. Kita dipanggil untuk memberitakan kabar baik, bahkan jika itu berarti menghadapi tantangan besar.

PERTANYAAN REFLEKSI

Bagaimana pemahaman ini mempengaruhi cara kita menjalani hidup? Apakah kita tetap mencari solusi sendiri dalam kekhawatiran, ataukah kita datang kepada Allah dalam doa? Jika kita sungguh-sungguh menyadari bahwa hidup kita adalah milik Allah, bagaimana hal itu mempengaruhi cara kita memandang diri kita sendiri dan orang lain?

Kebenaran ini, bahwa kita adalah milik Allah, mengingatkan kita akan kasih karunia-Nya yang luar biasa. Hidup kita memiliki nilai yang tak tergantikan, bukan karena apa yang kita lakukan, tetapi karena siapa yang telah memberi nilai itu kepada kita—Allah sendiri. Dan sebagai milik-Nya, kita dipanggil untuk hidup memuliakan-Nya di segala aspek kehidupan.

          3.PENGHARAPAN YANG MEMBERI KEYAKINAN TENTANG MASA DEPAN

Ketika kita menyadari bahwa kita bukan hanya milik Allah, tetapi juga menantikan penebusan di masa depan, sebuah kepastian yang luar biasa muncul dalam hati kita. Efesus 1:14 dengan tegas menyatakan bahwa Roh Kudus adalah jaminan bagi kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah sepenuhnya.

Namun, mungkin beberapa dari kita bertanya-tanya: "Bukankah penebusan sudah terjadi melalui darah Kristus? Mengapa masih ada penantian?" Efesus 1:7 memang menegaskan bahwa melalui Kristus, kita telah menerima penebusan, yaitu pengampunan dosa. Tetapi, penebusan yang dimaksud dalam ayat 14 mengacu pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan terjadi di masa depan—penebusan yang menyeluruh, di mana kita sepenuhnya dibebaskan dari semua konsekuensi dosa.

Saat ini, meskipun penebusan Kristus sudah selesai, kita masih bergumul dengan kenyataan dosa. Kita mengalami kekhawatiran, kemarahan, iri hati, bahkan keputusasaan. Namun, suatu hari nanti, segala hal yang rusak karena dosa akan dipulihkan. Ketidakadilan, penderitaan, penyakit, hingga kematian akan dihapuskan. Itulah pengharapan besar yang dijanjikan Allah kepada kita.

John Newton pernah berkata, "Jika kita memahami kemuliaan yang akan datang, maka masa-masa sukar di dunia ini akan terasa lebih mudah untuk ditanggung, karena kita tahu bahwa harapan kita pasti." Dengan pengharapan ini, kita tidak akan mudah putus asa dalam kesukaran, juga tidak akan menjadi sombong dalam kejayaan, karena kita menyadari bahwa apa pun yang kita alami saat ini tidak sebanding dengan kemuliaan yang kelak dinyatakan kepada kita.

Namun, mungkin ada yang bertanya: "Bagaimana kita tahu bahwa janji ini pasti? Apa buktinya?" Jawabannya terletak pada Roh Kudus, yang disebut sebagai jaminan atau “deposit” atas pengharapan kita. Kehadiran Roh Kudus dalam hidup kita adalah bukti bahwa Allah sedang bekerja untuk memulihkan dunia dan mengubah hidup kita secara total.

Tuhan tidak hanya memperbaiki hidup kita dengan sedikit penyesuaian, seperti seorang tukang yang membersihkan selokan. Sebaliknya, Tuhan bekerja dengan cara yang radikal, mengubah hidup kita menjadi sesuatu yang jauh lebih indah daripada apa yang dapat kita bayangkan. C.S. Lewis menggambarkan hal ini dengan indah dalam bukunya Mere Christianity, bahwa Tuhan datang bukan untuk melakukan perbaikan kecil, tetapi untuk mentransformasi hidup kita secara total.

Mungkin ada yang merasa, "Perubahan dalam hidup saya kecil sekali, atau bahkan tidak ada." Ketika kita merasa demikian, ingatlah bagaimana Tuhan mengubah kehidupan para rasul. Petrus, seorang nelayan yang impulsif dan pernah menyangkal Yesus, diubahkan menjadi pemimpin jemaat yang berani. Paulus, yang dahulu penganiaya jemaat, diubahkan menjadi pemberita Injil yang radikal. Jika Tuhan dapat mengubah mereka, Dia juga mampu mengubah kita.

Ketika kita meragukan perubahan dalam hidup orang-orang di sekitar kita—pasangan, anak-anak, atau rekan kerja kita—ingatlah bahwa Tuhan sedang bekerja. Bahkan, konflik sekalipun dapat digunakan oleh Tuhan untuk membawa kemuliaan-Nya, seperti yang terjadi pada perselisihan antara Paulus dan Barnabas, yang pada akhirnya memperluas pemberitaan Injil.

Pandanglah kepada Salib

Bagaimana kita bisa yakin bahwa semua ini akan terjadi? Jawabannya adalah salib Kristus. Di sana, kasih dan keadilan Allah bertemu. Yesus, Anak Allah, rela mengalami penderitaan yang paling mengerikan, terpisah dari Bapa, untuk menanggung hukuman yang seharusnya menjadi bagian kita. Melalui salib, Yesus mengalahkan kuasa dosa dan kematian. Seperti yang dikatakan dalam 1 Korintus 15:54-57, "Maut telah ditelan dalam kemenangan."

Salib menjadi pusat pengharapan kita. Karena karya salib, kita memiliki jaminan hidup yang kekal, hubungan kita dengan Allah dipulihkan, dan kita dibebaskan dari belenggu dosa untuk hidup dalam identitas baru sebagai anak-anak terang.

Ketika kita bergumul untuk hidup sesuai dengan identitas ini, pandanglah salib. Ketika kita menghadapi tantangan, ingatlah bahwa Allah sanggup mengubah hidup kita dan dunia ini menjadi lebih indah daripada apa pun yang dapat kita bayangkan.

Gospel Response

Hari ini, marilah kita bertobat dari kecenderungan hati kita untuk mengandalkan hal-hal yang fana dan sementara. Arahkan pandangan kita kepada Yesus dan salib-Nya, yang telah menjamin pengharapan kita. Dia akan datang kembali untuk memulihkan segala sesuatu yang rusak.

Percayalah, Allah sedang berperkara dengan hidup kita. Dia ingin mengubah kita, bukan sekadar memperbaiki, tetapi mentransformasi kita secara total. Dan suatu saat nanti, segala sesuatu yang rusak dalam dunia ini akan dipulihkan. Itulah pengharapan pasti yang kita miliki di dalam Kristus.

ORANG BERINJIL

  • Tidak menaruh harapannya pada hal-hal yang fana dan sementara di dalam dunia ini, tetapi senantiasa percaya pada kehendak Allah yang sempurna dan kesetiaan-Nya yang tidak pernah berubah. 
  • Telah menerima identitas yang baru sebagai milik Allah dan dimampukan menghidupi identitas tersebut karena Roh Allah berdiam di dalam diri setiap umat-Nya.
  • Memiliki keyakinan dan pengharapan yang pasti bahwa suatu saat nanti segala sesuatu yang telah rusak di dalam dunia ini akan dipulihkan.