Kita memasuki minggu ke-12 dari seri khotbah kita yang berjudul Facing the World with Gospel Confidence dengan eksposisi dari kitab Efesus. Fokus kita pada minggu ini adalah Berjalan dalam Identitas Injil, dan kita akan bersama-sama membaca Efesus 4:25 - Efesus 5:7. Meskipun bacaan kita cukup panjang, teks ini berisi perintah-perintah yang Rasul Paulus sampaikan kepada jemaat di Efesus, dan setiap perintah ini sangat relevan untuk kita renungkan dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
BACAAN: Efesus 4:25-5:7
4:25 Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota.
4:26 Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu
4:27 dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.
4:28 Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan.
4:29 Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.
4:30 Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan.
4:31 Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.
4:32 Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.
5:1 Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih
5:2 dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.
5:3 Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus.
5:4 Demikian juga perkataan yang kotor, yang kosong atau yang sembrono--karena hal-hal ini tidak pantas--tetapi sebaliknya ucapkanlah syukur.
5:5 Karena ingatlah ini baik-baik: tidak ada orang sundal, orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah.
5:6 Janganlah kamu disesatkan orang dengan kata-kata yang hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka.
5:7 Sebab itu janganlah kamu berkawan dengan mereka.
Ilustrasi untuk Memahami Pesan Ini
Bayangkan ada seorang narapidana yang telah menjalani hukuman penjara selama bertahun-tahun. Selama masa hukumannya, ia mengalami transformasi. Di dalam penjara, ia bertemu dengan komunitas yang penuh kasih, mengikuti persekutuan rohani, dan akhirnya menerima hati yang baru setelah dibaptis dan dimuridkan.
Setelah beberapa tahun, ia dibebaskan dan kembali ke kehidupan di luar penjara. Namun, ketika ia kembali ke komunitas lamanya, ia bertemu dengan teman-teman yang dulu menjalani kehidupan kriminal bersamanya. Di sinilah muncul sebuah dilema.
Teman-temannya mulai menggoda dan mengajaknya kembali ke pola hidup lama. Narapidana ini merasa ada tarik-menarik dalam dirinya. Di satu sisi, ia tidak ingin kehilangan teman-temannya, tetapi di sisi lain, ia kini memiliki nilai-nilai baru yang bertentangan dengan cara hidup mereka.
Inilah ketegangan yang juga dihadapi oleh jemaat Efesus. Mereka telah menerima identitas baru di dalam Kristus, tetapi di saat yang sama, mereka masih berjuang melawan godaan untuk kembali ke kebiasaan lama yang tidak sesuai dengan Injil.
Pertanyaan besar yang kita jawab hari ini adalah: Bagaimana kita dapat sungguh-sungguh berjalan dalam identitas baru kita di dalam Kristus? Ada tiga poin utama yang akan kita bahas:
1. DASAR DARI KEHIDUPAN YANG DIUBAHKAN
Ketika berbicara tentang kekristenan, kita perlu memahami bahwa Alkitab tidak hanya memberikan larangan atas apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi juga memberikan perintah positif tentang apa yang harus dilakukan. Hal ini terlihat jelas dalam Efesus 4:25–5:7.
Rasul Paulus memberikan beberapa larangan, seperti: “Jangan berdusta,” “Jangan marah sampai matahari terbenam,” “Jangan mencuri,” dan “Jangan ada perkataan kotor keluar dari mulutmu.” Namun, selain larangan-larangan itu, ia juga memberikan perintah positif, yaitu: “Bekerja keras,” “Berkata dengan jujur,” “Mengampuni,”dan “Hidup di dalam kasih.”
Apa yang Membuat Kekristenan Berbeda?
Jika kita hanya membaca ayat-ayat ini tanpa melihat konteksnya, kita mungkin akan berpikir bahwa daftar perintah dari Paulus tidak jauh berbeda dari aturan moral yang juga ditemukan dalam agama lain. Anda mungkin pernah mendengar pernyataan: “Semua agama sama saja. Semuanya mengajarkan kebaikan.”
Namun, yang membedakan kekristenan dari agama lain bukanlah daftar moralnya, melainkan dasarnya—motivasi hati yang mendorong perubahan itu. Perbedaan ini terlihat dalam Efesus 4:25, yang diawali dengan kata “Karena itu”(therefore). Kata ini menunjukkan bahwa perubahan hidup dalam kekristenan selalu memiliki dasar yang mendahului perintah moral.
Kekristenan tidak dimulai dari usaha manusia untuk berbuat baik, tetapi dari identitas baru yang diberikan oleh Allah. Kita dapat hidup sesuai perintah Allah karena kita sudah diubahkan terlebih dahulu oleh anugerah-Nya. Efesus 4:23 menyatakan bahwa kita telah dibaharui di dalam roh dan pikiran kita, sedangkan ayat 24 menegaskan bahwa kita telah mengenakan manusia baru. Ini berarti kita adalah ciptaan baru di dalam Kristus.
Sebagai orang percaya, kita tidak berbuat baik untuk diterima oleh Allah. Sebaliknya, kita berbuat baik karena kita sudah diterima oleh-Nya melalui Kristus. Inilah perbedaan mendasar antara agama dan Injil. Agama berkata, “Lakukan perbuatan baik, maka kamu akan diterima oleh Allah.” Injil berkata, “Kamu sudah diterima oleh Allah, maka hidupmu pasti akan berubah.”
Perubahan dalam kekristenan adalah perubahan dari dalam ke luar, bukan dari luar ke dalam. Dalam Mere Christianity, C.S. Lewis menulis bahwa Tuhan tidak hanya ingin membuat manusia menjadi lebih baik, tetapi ingin menciptakan manusia baru. Ini bukan seperti mengajarkan seekor kuda untuk melompat lebih tinggi, tetapi seperti mengubah kuda itu menjadi makhluk bersayap.
Inilah keunikan Injil. Injil bukan hanya membuat orang jahat menjadi baik, tetapi membuat orang yang mati secara rohani menjadi hidup.
Untuk memahami ini lebih dalam, kita perlu mengenal konsep indikatif sebelum imperatif. Dalam bahasa Yunani, ada dua bentuk kata kerja utama:
Surat-surat Paulus selalu dimulai dengan indikatif, yaitu dengan menjelaskan apa yang Tuhan telah lakukan terlebih dahulu. Baru kemudian, Paulus melanjutkan dengan imperatif, yaitu memberikan perintah tentang apa yang harus kita lakukan.
Contohnya, Efesus 4:23–24 mengatakan bahwa kita telah diperbarui dan mengenakan manusia baru. Ini adalah indikatif—fakta bahwa Allah telah mengubah kita. Setelah itu, barulah muncul imperatif: “Hiduplah sesuai dengan identitas barumu.”
Ini adalah pola yang sangat penting dalam kekristenan:
Karena perubahan dalam kekristenan berasal dari hati yang diubahkan, motivasi kita untuk taat kepada Allah juga berbeda. Kita tidak taat karena ingin mendapatkan sesuatu dari Allah, tetapi karena kita sudah menerima kasih-Nya.
Sebagai contoh, bayangkan ada seorang suami yang tidak pernah berzina, tetapi juga tidak lagi mencintai istrinya. Hubungan mereka dingin dan penuh jarak. Secara moral, suami itu tidak melanggar perintah “Jangan berzina,” tetapi hatinya tidak lagi dipenuhi dengan kasih.
Sekarang, bayangkan seorang suami yang memahami bahwa ia dikasihi oleh Kristus, dan bahwa pernikahan adalah gambaran dari hubungan antara Kristus dan gereja. Ketika suami ini dijamah oleh kasih Kristus, hatinya berubah. Ia tidak hanya menaati perintah “Jangan berzina,” tetapi juga mengasihi istrinya dengan tulus. Perubahan ini tidak terjadi karena paksaan dari luar, tetapi karena kasih Kristus yang mengubah hatinya dari dalam.
Inilah kekuatan Injil. Injil memberikan kita motivasi yang benar dan kekuatan yang berasal dari kasih Allah. Agama mungkin memberikan banyak aturan moral, tetapi hanya Injil yang benar-benar mengubah hati manusia.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion mengatakan bahwa kita tidak diadopsi oleh Allah karena kita sudah menjadi benar. Sebaliknya, kita dijadikan benar karena kita telah diadopsi oleh Allah di dalam Kristus.
Inilah dasar dari kehidupan yang diubahkan: Allah bekerja terlebih dahulu, lalu kita merespons dengan hidup yang baru. Indikatif sebelum imperatif. Anugerah sebelum perintah. Kasih sebelum ketaatan.
2. Komunitas untuk Kehidupan yang Diubahkan
Dalam Efesus 4:25 bagian kedua, kita membaca, "Karena kita adalah sesama anggota." Ayat ini menunjukkan bahwa ada dimensi komunitas dalam setiap perilaku kita, terutama dalam hal perkataan. Hal-hal sederhana seperti berkata jujur dan tidak menipu ternyata memiliki dampak besar bagi komunitas.
Dampak Perilaku Individu terhadap Komunitas
Lewis Smedes, dalam bukunya Mere Morality, memberikan gambaran yang menohok. Ia mengatakan bahwa jika masyarakat kehilangan kepercayaan satu sama lain—di mana janji tidak pernah ditepati, pemimpin berbohong, guru dicurigai, dan pendeta dianggap penipu moral—maka masyarakat itu akan berubah menjadi "gerombolan." Hidup akan menjadi brutal, penuh ketidakpercayaan, dan hancur akibat perilaku individu yang tidak bermoral.
Hal ini tidak hanya terjadi di satu tempat, tetapi di seluruh dunia. Contoh sederhana dalam komunitas kita: jika seseorang terus-menerus terlambat atau tidak memenuhi janji, maka kepercayaan terhadapnya akan terkikis. Lebih buruk lagi, jika banyak orang dalam komunitas melakukan hal serupa, budaya tersebut akan mempengaruhi seluruh komunitas.
Sebaliknya, jika ada orang-orang yang hidup dengan integritas, menepati janji, dan menjaga kata-kata mereka, maka budaya yang positif akan terbentuk. Orang lain akan terdorong untuk ikut serta dalam budaya tersebut. Inilah pentingnya kejujuran dan integritas, karena tindakan individu dapat membangun atau merusak komunitas.
Kekuatan Perkataan
Ada teori yang disebut speech act, yang menjelaskan bahwa kata-kata kita memiliki dampak nyata. Sebagai contoh, dalam upacara pernikahan, seorang pendeta berkata, "Dengan otoritas yang diberikan kepada saya, saya menyatakan bahwa A dan B kini adalah suami dan istri." Kata-kata tersebut menciptakan realitas baru—dua orang menjadi suami istri.
Namun, kata-kata juga bisa berdampak negatif. Bayangkan jika seseorang berjanji membawa makanan untuk sebuah acara, tetapi berulang kali ingkar tanpa alasan yang valid. Kepercayaan kepada orang itu akan hilang, dan ini bisa menyebar, menciptakan budaya ketidakpercayaan dalam komunitas.
Bahaya Dosa Pribadi terhadap Komunitas
Paulus menulis dalam Efesus 4 dan 5 bahwa dosa pribadi tidak hanya merusak individu, tetapi juga komunitas. Misalnya, perkataan yang tidak jujur atau kasar bukan hanya melukai individu, tetapi juga menghancurkan hubungan dalam komunitas. Paulus mengingatkan kita untuk berbicara dengan kasih, membangun, dan memberikan kasih karunia kepada orang lain.
Selain itu, dosa seksual yang sering dianggap "privat" juga memiliki dampak sosial yang besar. Perselingkuhan dan perzinahan menghancurkan keluarga, menyebabkan trauma bagi pasangan dan anak-anak, serta merusak fondasi komunitas. Pornografi, meskipun dilakukan sendiri, memperkuat eksploitasi manusia, perdagangan manusia, dan kekerasan seksual. Semua ini menunjukkan bahwa dosa pribadi memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada yang kita bayangkan.
Injil Membentuk Komunitas
Melalui surat Efesus, Tuhan mengajarkan bahwa Injil bukan hanya untuk keselamatan pribadi, tetapi juga untuk membentuk komunitas yang mencerminkan kasih dan kebenaran Allah. Sebagai orang yang telah ditebus oleh kasih karunia, kita dipanggil untuk hidup dengan cara yang berbeda: berkata jujur, bekerja untuk berbagi, dan menggunakan perkataan untuk membangun, bukan merendahkan.
Edmund Clowney, dalam bukunya The Church, mengatakan bahwa gereja bukanlah kumpulan individu yang terisolasi, tetapi sebuah persekutuan orang-orang yang telah didamaikan dengan Allah dan sesamanya. Komunitas Kristen seharusnya mencerminkan budaya yang berbeda, penuh dengan kasih, kejujuran, dan integritas. Kita dipanggil menjadi "Gospel people"—orang-orang yang hidupnya diperbarui oleh Injil, sehingga cara hidup, berbisnis, menjadi suami, istri, dan anggota komunitas semuanya berubah.
3. Kuasa untuk Menjalani Kehidupan yang Diubahkan
Bagaimana kita dapat memiliki kuasa untuk berjalan dalam identitas Injil? Pertanyaan ini adalah kunci dari pesan yang disampaikan Rasul Paulus dalam perikop yang kita baca. Menariknya, Paulus tidak hanya memberikan perintah-perintah positif dan larangan-larangan kepada jemaat, tetapi juga menunjukkan bagaimana kita memperoleh kuasa untuk melakukannya. Hal ini terlihat dengan jelas di akhir pasal 4 ayat 32 dan berlanjut di pasal 5 ayat 1-2.
Perhatikan ayat-ayat ini. Awalnya, Paulus berkata, "Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni," lalu menambahkan petunjuk penting: "sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." Kemudian, di pasal 5, ia melanjutkan, "Sebab itu, jadilah penurut-penurut Allah seperti anak-anak yang kekasih, dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah."
Inilah kuncinya: Paulus selalu mengaitkan perintah praktis (imperatif) dengan kebenaran Injil (indikatif). Bukan hanya, "Lakukan ini," tetapi juga, "Ingatlah apa yang Kristus telah lakukan untukmu."
Kristus Sebagai Korban yang Harum
Perhatikan frasa "korban yang harum" yang digunakan Paulus. Ini bukan kebetulan. Dalam Perjanjian Lama, persembahan korban di atas altar menghasilkan bau harum yang melambangkan penerimaan Allah terhadap korban itu. Paulus menggunakan gambaran ini untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah korban yang sempurna. Melalui pengorbanan-Nya, Yesus telah mempersembahkan diri-Nya sebagai korban yang diterima oleh Allah demi menyelamatkan kita.
Dan inilah koneksi Injil-nya: jika dosa merusak komunitas, kebenaran Injil justru membangun komunitas. Apa yang merusak? Dusta, kejahatan, kata-kata kasar, dan pencurian. Semua itu menghancurkan hubungan. Sebaliknya, kebenaran, kebaikan, dan ucapan syukur mempererat hubungan dan membangun komunitas. Yesus telah menggenapi semua tindakan yang membangun ini dengan sempurna. Puncaknya, Dia melakukannya di kayu salib.
Yesus, Teladan Sempurna dalam Penderitaan
Di kayu salib, Yesus tidak mempertahankan hak dan kemuliaan-Nya sebagai Anak Allah. Sebaliknya, Dia rela melepaskan semuanya dan menjalani penderitaan yang seharusnya kita tanggung. Dia memikul dosa kita dan menghadapi murka Allah tanpa keluhan, tanpa dendam, tanpa kata-kata kasar.
Bahkan dalam penderitaan-Nya yang paling dalam, Yesus tetap membangun komunitas. Dia berbicara dengan kelembutan kepada orang-orang di sekeliling-Nya. Dia berdoa, "Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Dia menunjukkan kasih kepada ibunya dan Yohanes. Kepada penyamun di sebelah-Nya, Dia berkata, "Hari ini engkau akan bersama dengan Aku di Firdaus."
Namun, saat puncak penderitaan itu tiba, Yesus berseru, "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Tidak ada jawaban. Yesus mengalami keterpisahan total dari Bapa. Dia menanggung kegelapan neraka agar kita tidak perlu mengalaminya. Dia ditolak agar kita diterima. Dia dihakimi agar kita diampuni.
Mengaplikasikan Injil di Tengah Konflik
Lalu, bagaimana kita bisa menjalani kehidupan dalam identitas Injil ini? Paulus memberi tahu kita bahwa kekuatan untuk hidup dalam identitas baru itu bukan berasal dari usaha keras memperbaiki diri sendiri, tetapi dari memahami dan mengaplikasikan Injil ke dalam hati kita.
Inilah yang kami terapkan di komunitas kami. Dalam setiap konflik atau gesekan yang terjadi, kami percaya Tuhan sedang bekerja untuk mengekspos dosa dan berhala hati kita. Saat konflik terjadi, kita punya pilihan: akan memakai manusia lama atau manusia baru? Akan melihat situasi dengan lensa ego atau lensa identitas Injil?
Pertanyaan reflektif ini penting untuk membantu kita mengevaluasi hati kita. Mengapa kita berdusta? Mengapa kita berbicara kasar? Mengapa kita iri atau marah? Jawabannya sering kali berakar pada hal-hal yang kita lindungi di dalam hati – reputasi, penerimaan, atau rasa superioritas. Kita berdosa karena lebih mempercayai hal-hal itu daripada mempercayai Tuhan.
Melihat Kepada Kristus
Solusinya? Datang kepada Tuhan dan bertobat. Bawa semua itu kepada salib. Lihat kembali apa yang Yesus sudah lakukan untuk kita. Ketika kita melihat salib, hati yang tadinya dipenuhi kemarahan dan dendam perlahan akan menjadi tenang. Kita tidak bisa mengatasi dosa hanya dengan berkata, "Jangan marah, jangan iri." Kita harus memprosesnya dengan Injil.
Saat hati kita berubah oleh Injil, sikap kita juga akan berubah. Kita tidak lagi mencari validasi dari dunia, karena kita sudah diterima oleh Allah. Kita tidak lagi mengejar identitas palsu dari penerimaan manusia, karena identitas kita yang sejati sudah ada di dalam Kristus.
STOP & REFLECT
ORANG BERINJIL