Hari ini, kita melanjutkan seri khotbah di minggu ke-11 dengan satu pembelajaran penting: hidup sebagai manusia baru.
Mungkin kita sudah memahami doktrin tentang manusia baru secara teologis. Kita juga bisa membedakan mana khotbah yang berpusat pada Injil dan mana yang tidak sesuai dengan Alkitab. Tetapi, hanya mengetahui konsep ini saja tidaklah cukup.
Ada perbedaan besar antara tahu dan benar-benar mengenal. Sebagai contoh, saya tahu bahwa makanan kesukaan istri saya adalah kwetiau dan bakmi karet. Namun, sering kali justru saya mengajaknya membeli soto atau nasi goreng—karena itulah yang saya sukai. Ini menunjukkan bahwa ada jarak antara apa yang saya ketahui dan bagaimana saya bertindak.
Hal yang sama bisa terjadi dalam kehidupan iman kita. Memahami konsep manusia baru tidak boleh berhenti di tingkat pengetahuan. Kita harus menghidupinya dalam keseharian.
Hari ini, kita akan belajar bersama agar Injil tidak hanya menjadi teori, tetapi menjadi kenyataan yang kita jalani. Tujuan kita bukan hanya mengerti tentang manusia baru, tetapi benar-benar menjadi manusia baru.
BACAAN: Efesus 4:17-24
4:17 Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan: Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia
4:18 dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka.
4:19 Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran.
4:20 Tetapi kamu bukan demikian. Kamu telah belajar mengenal Kristus.
4:21 Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus,
4:22 yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan,
4:23 supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu,
4:24 dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.
Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus memberikan peringatan yang tegas: jangan lagi hidup seperti mereka yang tidak mengenal Allah, yang pikirannya sia-sia, hanya mencari kepuasan diri, dan hidup dalam moralitas yang rusak. Paulus ingin menegaskan bahwa kita yang ada dalam Kristus harus bertumbuh secara rohani.
Jika minggu lalu kita belajar tentang bayi rohani, maka hari ini kita diingatkan untuk tidak terus-menerus menjadi bayi dalam iman. Kita dipanggil untuk bertumbuh dan mengalami perubahan hidup yang nyata.
Dari pembacaan firman Tuhan hari ini, ada tiga hal yang bisa kita renungkan:
Mari kita mendalami ketiga poin ini agar kita tidak hanya memahami konsep manusia baru, tetapi benar-benar hidup sebagai manusia baru sesuai dengan kehendak Tuhan.
1. CARA HIDUP MANUSIA LAMA
Sebagai orang percaya, kita sering berpikir bahwa menjadi Kristen berarti memiliki perilaku yang baik dan hidup bermoral. Namun, Rasul Paulus dalam suratnya mengingatkan kita untuk tidak hidup seperti orang yang tidak mengenal Tuhan—mereka yang pikirannya sia-sia, pengertiannya gelap, dan hidup jauh dari kebenaran (Efesus 4:17–19).
Tantangannya adalah, meskipun kita mengaku percaya kepada Kristus, pikiran dan tindakan kita sering kali tidak jauh berbeda dengan mereka yang belum mengenal Tuhan. Kita bisa saja terlihat rohani, aktif dalam pelayanan, dan melakukan banyak hal baik. Namun, jika motivasi kita keliru, sebenarnya kita masih terjebak dalam pola pikir manusia lama.
Manusia lama adalah mereka yang membangun identitas berdasarkan pencapaian pribadi, status sosial, pengakuan dari orang lain, atau moralitas diri sendiri. Mereka mengejar kebahagiaan dalam kenikmatan duniawi, namun membungkusnya dengan hal-hal yang terlihat baik dan rohani.
Saya sendiri pernah mengalaminya. Sebelum menjadi hamba Tuhan penuh waktu, saya bergumul selama dua tahun karena merasa menjadi pengusaha lebih menjanjikan. Saya berpikir, “Kalau saya sukses, saya bisa menyumbang ke gereja dan membantu orang lain. Bukankah itu lebih baik?” Tetapi di balik alasan yang tampaknya mulia itu, tersimpan motivasi tersembunyi: saya ingin hidup nyaman, stabil, dan tidak mau menderita.
Tanpa disadari, kita bisa melakukan hal-hal baik tetapi dengan motivasi yang keliru. Ini adalah bentuk lain dari pola pikir manusia lama—ketika kita mencoba menyenangkan Tuhan dengan cara kita sendiri. Mirip seperti orang yang belum mengenal Tuhan dan melakukan amal demi mendapatkan sesuatu: entah itu berkat, pujian, atau status sosial.
Injil bukan hanya soal memperbaiki perilaku, tetapi mengubah hati. Kita perlu waspada agar tidak sekadar mengalami modifikasi perilaku, tetapi benar-benar mengalami transformasi hati.
Apa itu modifikasi perilaku?
Modifikasi perilaku adalah saat kita melakukan hal-hal baik, tetapi dengan motivasi yang salah. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari:
Semua ini adalah tindakan baik, tetapi jika dilakukan demi membentuk citra diri, kita sedang terjebak dalam pola manusia lama.
Saya pun pernah bergumul dalam hal ini. Sebagai seorang hamba Tuhan, saya merasa terbebani oleh ekspektasi banyak orang. Saya harus selalu ramah, tidak boleh marah, dan tidak boleh tersinggung. Namun kenyataannya, saya tahu bahwa saya memiliki temperamen yang cukup tinggi. Kadang, saat mengemudi dan disalip oleh pengendara motor yang ugal-ugalan, saya merasa sangat marah. Tapi karena sedang bersama rekan pelayanan, saya menahan diri. Apakah itu tanda bahwa hati saya sudah berubah? Tidak sepenuhnya—saya hanya sedang memodifikasi perilaku saya.
Perubahan sejati tidak bisa dicapai hanya lewat aturan atau ancaman hukuman. Kekristenan bukan tentang menakut-nakuti dengan neraka atau menjanjikan berkat materi. Injil mengundang kita untuk menanggalkan manusia lama dan mengenakan identitas baru di dalam Kristus.
Satu-satunya cara untuk benar-benar berubah adalah dengan memandang kepada salib Kristus. Ketika kita melihat salib, kita sadar bahwa kita adalah orang berdosa yang tidak layak, tetapi dikasihi dan ditebus oleh Kristus. Kesadaran akan kasih dan pengampunan inilah yang mengubahkan hati kita—bukan sekadar perilaku kita.
Saat kita sungguh-sungguh memahami besarnya kasih Kristus, kita tidak lagi berbuat baik untuk membuktikan sesuatu, tetapi karena hati kita telah diubahkan. Kita mengasihi karena telah lebih dulu dikasihi. Kita memberi karena telah lebih dulu menerima. Kita sabar karena Tuhan lebih dulu bersabar terhadap kita.
Jika identitas kita masih ditentukan oleh peran atau pencapaian, kita akan hancur saat gagal. Namun, jika identitas kita tertanam di dalam Kristus, kita akan tetap teguh, karena kita tahu: kita berharga, sebab Kristus telah mati bagi kita.
STOP & REFLECT
Apa yang menjadi motivasi utama ketika saya ingin meninggalkan kebiasaan atau perilaku manusia lama?
2. MENYADARI IDENTITAS MANUSIA BARU
Pada bagian kedua ini, kita akan membahas tentang pentingnya menyadari identitas kita sebagai manusia baru di dalam Kristus. Dalam Efesus 4:20-21 dikatakan:
"Tetapi kamu bukan demikian. Kamu telah belajar mengenal Kristus. Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus."
Rasul Paulus dengan tegas mengingatkan bahwa kita tidak boleh hidup seperti orang yang tidak mengenal Tuhan. Hidup dalam dosa bukan lagi bagian dari identitas kita sebagai orang percaya. Injil bukan sekadar teori atau kumpulan pengetahuan. Injil bukan pula sekadar cara agar kita terlihat religius atau menjadi “orang Kristen yang baik.”
Sayangnya, banyak orang yang menjalani kehidupan Kristen hanya untuk mencari pengakuan dan validasi dari orang lain. Ketika hidup berpusat pada pencapaian dan penilaian orang lain, kita mulai kehilangan jati diri sejati kita di dalam Kristus. Banyak orang mengalami stres, cemas, bahkan depresi karena terus-menerus mengejar pengakuan dari dunia. Ini adalah pola pikir manusia lama.
Sebagai gambaran, kita bisa melihat lirik lagu Secukupnya dari Hindia yang cukup menggambarkan pergumulan banyak orang hari ini. Salah satu bagian liriknya berbunyi:
“Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?”
Lirik ini mencerminkan kenyataan banyak orang yang sulit tidur karena overthinking, kekhawatiran, dan ketidakpuasan dalam hidup. Mereka menggantungkan makna hidup pada pencapaian, pekerjaan, atau pengakuan dari orang lain.
Lirik lainnya berbunyi:
“Kita semua gagal.”
Ini adalah pengakuan yang jujur—memang benar, kita semua telah gagal. Tidak ada satu pun yang sanggup memenuhi standar kekudusan Allah dengan kekuatan sendiri. Tetapi solusi yang dunia tawarkan sering kali hanya bersifat sementara. Contohnya, lirik lain dalam lagu itu berkata:
“Angkat minumanmu, bersedih bersama-sama.”
Solusi dunia adalah pelarian sesaat—pesta, hiburan, atau pelampiasan emosi—yang tidak pernah menyelesaikan akar masalah. Setelah semua kesenangan itu usai, realitas tetap tidak berubah.
Dalam Efesus 4:20, Paulus menegaskan bahwa kita telah belajar mengenal Kristus. Artinya, kita tidak lagi mencari kepuasan dan pembenaran diri dalam hal-hal duniawi. Sebelum mengenal Kristus, mungkin kita berpikir bahwa kita harus berusaha keras agar diterima oleh Allah. Namun setelah mendengar Injil, kita menyadari bahwa kita telah lebih dulu diterima oleh Allah melalui kasih karunia-Nya.
Sekarang, kita tidak lagi berharga karena kesuksesan, jabatan, atau status sosial—kita berharga karena Kristus sudah menerima dan menebus kita. Inilah pola pikir yang harus dimiliki manusia baru.
Ketika identitas kita berakar dalam Kristus, tidak ada hal di dunia ini yang bisa mengguncang kita—bukan kegagalan, bukan penolakan, dan bukan pula ketakutan akan masa depan. Kita aman dan utuh di dalam Kristus.
Ada sebuah kisah menarik tentang dua orang yang mengikuti audisi untuk masuk ke dunia Broadway:
Keduanya gagal dalam audisi. Bagi sang pengusaha, kegagalan ini tidak terlalu berpengaruh—hidupnya tetap berjalan. Tapi bagi orang kedua, kegagalan itu menghancurkan dirinya. Ia merasa hancur dan tidak berharga, karena seluruh identitasnya dibangun di atas kesuksesan duniawi.
Kisah ini menggambarkan bahwa jika kita membangun identitas pada pencapaian, pekerjaan, atau penerimaan orang lain, maka ketika semuanya runtuh, kita pun akan runtuh. Tapi jika identitas kita dibangun di atas Kristus, maka di tengah kegagalan sekalipun, kita tetap tahu siapa diri kita: pribadi yang dikasihi dan ditebus oleh Tuhan.
Seperti tertulis dalam 2 Korintus 5:17:
"Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan yang baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang."
Identitas baru ini bukan berasal dari usaha kita, tetapi adalah anugerah dari Allah melalui salib Kristus.
Sering kali kita mendengar slogan, “Jadilah dirimu sendiri.” Tapi Kekristenan tidak mengajarkan itu. Kekristenan mengajarkan: “Jadilah seperti Kristus.”
Versi terbaik dari diri kita yang lama tetap rentan terhadap dosa. Karena itu, kita memerlukan identitas yang benar-benar baru—yang berasal dari Kristus, bukan dari dunia.
Maka dari itu, jangan menaruh identitas Anda pada hal-hal yang bisa berubah atau hilang. Dunia bisa mengecewakan, tetapi Kristus tidak pernah mengecewakan. Dalam Dia, kita menemukan pengharapan, kedamaian, dan sukacita yang sejati—yang tidak tergantung pada keadaan.
STOP & REFLECT
Apakah kita masih menaruh validasi dalam identitas manusia lama, ataukah kita sudah menyadari bahwa kita telah menerima identitas baru yang diberikan Kristus?
3. MENGHIDUPI IDENTITAS MANUSIA BARU
Setelah kita menyadari bahwa kita dipanggil untuk menanggalkan manusia lama dan bahwa Kristus telah memberikan kita identitas baru, pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana kita bisa menghidupi identitas manusia baru itu secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari?
Dalam Efesus 4:22–24, Rasul Paulus menjelaskan bahwa sebagai orang percaya, kita memiliki status baru di hadapan Allah. Jika kita memperhatikan gaya penulisan Paulus dalam surat-suratnya, ia sering memakai dua pendekatan: indikatif dan imperatif.
Dalam ayat 25–31, Paulus memberikan berbagai perintah praktis: bersikap jujur, tidak mencuri, bekerja keras, mengendalikan amarah, dan hidup dengan kasih. Namun, sebelum memberi perintah-perintah ini, ia lebih dahulu menegaskan siapa kita di dalam Kristus. Artinya, perubahan perilaku bukanlah titik awal, tetapi buah dari pemahaman akan identitas baru kita. Paulus tidak hanya berkata, “Ayo berubah,” tetapi mengajak kita untuk mengingat siapa kita di hadapan Allah.
Sering kali kita tergoda untuk hanya mempercantik tampilan luar, tanpa benar-benar mengubah pola pikir lama. Seperti seseorang yang memakai pakaian baru di luar tetapi tetap mengenakan jaket lusuh di dalamnya. Kita mungkin masih mencari makna dan penerimaan dari dunia, meskipun kita tahu bahwa Kristus telah memberi kita identitas yang sejati.
Namun Firman Tuhan menegaskan: identitas baru dalam Kristus bukan sekadar perubahan moral atau perilaku.Paulus menggunakan istilah “menanggalkan” dan “mengenakan” dalam bahasa Yunani yang menggambarkan tindakan sekali untuk selamanya. Artinya, manusia lama sudah ditanggalkan, dan kita telah mengenakan manusia baru.Sekarang, tugas kita adalah menghidupi identitas baru itu.
Efesus 4:23 menyebutkan bahwa kita harus “diperbarui di dalam roh dan pikiran.” Ini menunjuk pada perubahan dari dalam ke luar, bukan hanya penyesuaian luar. Dan siapa yang mengerjakannya? Roh Kudus.
Tanpa Roh Kudus, kita tidak mampu menanggalkan manusia lama. Kita membutuhkan Dia untuk terus memperbarui hati dan pikiran kita setiap hari. Regenerasi adalah pekerjaan Allah, bukan hasil usaha manusia. Roh Kudus bukan hanya memulai perubahan ini, tetapi juga menyertai kita hingga akhir kehidupan kita.
Jadi, jalan keluar dari dosa dan pencarian validasi dunia bukanlah dengan berusaha lebih keras menjadi “orang Kristen yang baik,” melainkan dengan menerima identitas baru dalam Kristus, dan membiarkan Injil membentuk seluruh aspek hidup kita.
Kita harus memahami bahwa kekristenan bukan hanya soal sistem etika atau moralitas. Kekristenan bukan sekadar menjadi “orang baik.” Jika kita melihat kekristenan hanya dari sisi perilaku, kita kehilangan makna sejatinya.
Kekristenan adalah tentang identitas baru—identitas sebagai orang yang ditebus, dipulihkan, dan diperbarui oleh kasih karunia Allah. Kita bukan lagi orang yang hidup dalam kegelapan. Kita adalah ciptaan baru yang dimampukan oleh Roh Kudus untuk semakin menyerupai Kristus setiap hari.
Perubahan ini bukan sesuatu yang kita paksa dari luar, tetapi mengalir secara alami dari iman kita kepada Kristus. Seperti pohon mangga yang pasti menghasilkan buah mangga, ketika kita bertumbuh dalam Kristus, buah Roh akan nyata dalam hidup kita.
Setiap hari, kita perlu mengingat dan merenungkan apa yang telah Kristus lakukan bagi kita:
Ketika kita terus merenungkan kebenaran ini, hati kita diperbarui dan kita terdorong untuk hidup dalam identitas manusia baru.
Apakah kita masih hidup dengan pola pikir manusia lama—mencari validasi dari dunia?
Atau sudahkah kita benar-benar hidup dalam identitas baru kita di dalam Kristus?
Jika kita masih merasa diri kita diukur dari pencapaian atau pengakuan orang lain, mari kita datang kembali kepada Kristus. Dia telah memberikan kepastian identitas bagi kita—bukan sebagai hamba dosa, tetapi sebagai anak-anak Allah.
Kita tidak perlu lagi mencari arti hidup dari kesuksesan atau pengakuan dunia, karena di dalam Kristus kita telah memiliki makna yang sejati. Kita tidak perlu lagi memelihara manusia lama, karena kita telah diberi identitas baru yang aman dan kekal di dalam Dia.
Sebagai orang percaya, marilah kita rindu untuk terus diubahkan oleh Injil dan hidup dalam kebenaran Kristus—bukan dengan kekuatan kita sendiri, tetapi oleh karya Roh Kudus yang terus bekerja dalam diri kita.
ORANG BERINJIL