Rasul Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, menasihatkan agar mereka hidup berpadanan dengan panggilan mereka sebagai orang percaya. Ia mengingatkan bahwa menjadi orang Kristen bukan hanya sekadar percaya kepada Yesus, datang ke gereja setiap minggu, atau berusaha menjalani hidup sebaik mungkin. Jika seseorang tidak bertumbuh dalam iman, ia akan tetap menjadi bayi rohani. Ada banyak orang yang sudah lama menjadi Kristen tetapi masih mudah goyah, tidak dapat membedakan ajaran yang benar dan yang salah, serta mudah diombang-ambingkan oleh berbagai angin pengajaran. Karena itu, hari ini kita akan belajar bagaimana bertumbuh dalam kedewasaan rohani, sebab Tuhan tidak memanggil kita untuk tetap stagnan, melainkan untuk terus bertumbuh.
Bacaan: Efesus 4:1-16
4:1 Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu.
4:2 Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.
4:3 Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera:
4:4 satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu,
4:5 satu Tuhan, satu iman, satu baptisan,
4:6 satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.
4:7 Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus.
4:8 Itulah sebabnya kata nas: "Tatkala Ia naik ke tempat tinggi, Ia membawa tawanan-tawanan; Ia memberikan pemberian-pemberian kepada manusia."
4:9 Bukankah "Ia telah naik" berarti, bahwa Ia juga telah turun ke bagian bumi yang paling bawah?
4:10 Ia yang telah turun, Ia juga yang telah naik jauh lebih tinggi dari pada semua langit, untuk memenuhkan segala sesuatu.
4:11 Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar,
4:12 untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus,
4:13 sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus,
4:14 sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan,
4:15 tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.
4:16 Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, --yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota--menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.
Dalam perikop ini, Paulus menyusun suatu logika argumentatif yang brilian mengenai pertumbuhan rohani. Ia memulai dengan menekankan pentingnya hidup yang berpadanan dengan Injil. Banyak orang mengaku Kristen, tetapi hidup mereka tidak mencerminkan Injil. Oleh karena itu, ada tiga poin utama yang akan dibahas hari ini:
1.KEHIDUPAN ALLAH TRITUNGGAL DI DALAM KITA.
Dalam Efesus 4:15 dikatakan bahwa ketika kita percaya kepada Kristus, Dia menjadi kepala, dan kita adalah tubuh-Nya. Tapi saudara, kepala itu tidak hanya sekadar menempel pada tubuh. Kalau hanya sekadar menempel, itu seperti Frankenstein—sebuah tubuh yang tidak memiliki kehidupan yang sejati. Tetapi kepala adalah bagian yang mengatur seluruh tubuh. Kepala dan tubuh memiliki sistem peredaran darah yang sama, sistem saraf yang sama, dan kehidupan yang mengalir dari kepala ke seluruh tubuh.
Artinya, jika Kristus adalah kepala, maka menjadi orang Kristen bukanlah sekadar menjadi orang baik atau orang religius. Saya sering mendengar orang berkata, "Oh, dia itu religius, tapi aku tidak religius." Atau ada yang berkata, "Dia itu orang beragama, tapi aku hanya Kristen KTP."
Saudara, jika kita berpikir bahwa menjadi Kristen hanyalah sekadar menjalani kehidupan yang lebih baik agar Tuhan berkenan kepada kita, itu berarti kita tidak memahami Injil dengan benar. Jangan meremehkan kekristenan dan diri sendiri dengan menganggap bahwa kekristenan hanyalah soal moralitas atau agama semata.
Firman Tuhan berkata bahwa "Barang siapa ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan yang baru." Ini berarti bahwa seorang Kristen sejati adalah seseorang yang dilahirbarukan oleh Roh Kudus. Ketika saudara bertobat dan percaya kepada Yesus, saudara bukan hanya menjadi orang baik atau lebih religius, tetapi saudara dilahirbarukan dan menjadi bagian dari keluarga Kristus. Saudara menjadi anak-anak Allah.
Kita bukan hanya diberikan kesempatan kedua dalam hidup. Kita juga bukan hanya diberikan sebuah buku pedoman bernama Alkitab untuk membantu kita hidup lebih baik. Lebih dari itu, kita diadopsi ke dalam keluarga Allah! Dulu kita adalah musuh Allah, tetapi karena kasih karunia-Nya, kita dilahirbarukan oleh Roh Kudus dan menjadi anak-anak-Nya. Kehidupan yang kita miliki sekarang adalah kehidupan yang baru—a new life! Roh Kristus bekerja di dalam kita.
Saudara, perhatikan ayat 4-6 dalam perikop ini. Di sana dikatakan ada satu tubuh, satu Roh, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa. Ini berbicara tentang Allah Tritunggal: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Ketiga pribadi ini bekerja bersama untuk menyelamatkan kita.
Bapa merancangkan keselamatan kita. Yesus Kristus menyelesaikan karya keselamatan itu. Di kayu salib, Dia berkata, "Sudah selesai!" Dia mati, tetapi Dia tidak tinggal dalam kematian. Dia bangkit, naik ke surga, dan mengirimkan Roh Kudus kepada kita. Roh Kudus inilah yang mengaplikasikan penebusan Kristus di dalam hati kita.
Lalu, bagaimana mungkin Roh Kudus dapat tinggal di dalam kita yang adalah orang berdosa? Jawabannya adalah karena kita telah ditebus oleh darah Kristus. Kita yang dulunya najis kini telah disucikan oleh karya salib, sehingga Roh Kudus dapat tinggal di dalam kita. Dan bukan hanya itu, Bapa juga mengadopsi kita menjadi anak-anak-Nya.
Ini adalah kabar baik, saudara-saudara! Ini adalah Injil! Jadi, jangan pernah meremehkan siapa diri kita di dalam Kristus. Kita bukan hanya sekadar orang religius atau orang yang beragama Kristen. Kuasa Allah Tritunggal bekerja di dalam kita.
Jika seseorang hanya Kristen KTP, hanya beragama Kristen tanpa mengalami kelahiran baru, maka dia memang belum pernah memiliki keselamatan sejati. Tetapi jika seseorang telah lahir baru, maka tidak mungkin keselamatannya hilang. Mengapa? Karena Allah Tritunggal tinggal di dalam dia! Rencana Tuhan tidak pernah gagal.
Saudara, dalam ayat 7-10 tadi, dikatakan bahwa Kristus naik ke surga dan memberikan anugerah serta kasih karunia kepada umat-Nya. Bagian ini sudah kita bahas dalam minggu-minggu sebelumnya, jadi saya tidak akan mengulanginya. Kemudian, dalam ayat 11 dikatakan bahwa Tuhan memberikan rasul-rasul, nabi-nabi, penginjil, gembala-gembala, dan pengajar-pengajar bagi gereja. Ini berarti bahwa tugas para pemimpin gereja bukanlah untuk melayani jemaat seorang diri, tetapi untuk memperlengkapi jemaat agar mereka juga melayani.
Saya sering berbincang dengan beberapa gereja yang merasa gerejanya stagnan dan tidak bertumbuh. Mereka bertanya kepada saya, "Pastor, bagaimana bisa ada 600 jemaat yang melayani di pelayanan? Bagaimana bisa ada lebih dari 15.500 orang yang aktif dalam kelompok kecil?"
Lalu mereka berkata, "Kami di sini, para hamba Tuhan, sudah hampir mati kelelahan. Kami harus hadir di semua acara—dari kedukaan, peresmian toko, syukuran kelahiran, visitasi, dan banyak lagi. Kami tidak sanggup lagi!"
Saudara, inilah pola pikir yang keliru. Banyak gereja berpikir bahwa tugas seorang pendeta atau hamba Tuhan adalah melakukan semua pelayanan sendiri. Tetapi Firman Tuhan berkata bahwa tugas seorang pemimpin gereja adalah memperlengkapi jemaat untuk melakukan pelayanan.
Dalam bahasa Inggris, kata yang digunakan adalah empowering, yaitu memberdayakan jemaat! Itulah sebabnya di gereja ini ada program Discover Your Calling. Kita ingin setiap jemaat menemukan panggilannya dalam pelayanan.
Saya baru-baru ini berbincang dengan seorang teman yang sangat menginspirasi saya. Dia seorang ibu rumah tangga, tetapi dia menghidupi panggilannya untuk menggembalakan dan membimbing pasangan-pasangan yang dia layani. Dia tidak harus menjadi seorang pendeta untuk melakukan pelayanan. Dia hanya seorang jemaat biasa, tetapi dia memahami bahwa setiap orang Kristen dipanggil untuk melayani.
Saudara, kita semua punya panggilan! Kekristenan bukan hanya soal datang ke gereja seminggu sekali dan duduk manis. Kita semua dipanggil untuk menjadi terang Kristus di mana pun kita berada—di pabrik, di toko, di perusahaan, di sekolah, di kampus.
Untuk apa semua pelayanan ini?
Apa tujuan kita melakukan semua ini? Mengapa kita sibuk dalam gereja? Mengapa kita melayani?
Tujuannya ada dalam ayat 12 dan 13:
"Sampai kita semua mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus."
Saudara-saudara, inilah tujuan dari semua yang kita lakukan di gereja: agar kita bertumbuh menjadi dewasa secara rohani. Artinya, jika Rasul Paulus mengatakan bahwa gereja bertujuan untuk membawa orang kepada kedewasaan, maka itu berarti bahwa gereja memang dipenuhi oleh orang-orang yang masih belum dewasa secara rohani. Dan di sinilah gereja berperan—bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sebagai tempat pertumbuhan. Kita semua masih dalam proses bertumbuh menuju kedewasaan penuh di dalam Kristus.
2. KITA MASIH HIDUP DALAM KETIDAKDEWASAAN ROHANI
Paulus menjelaskan hal ini dalam bentuk negatif di Efesus 4:14, yang berbunyi: “Sehingga kita bukan lagi anak-anak yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan.”
Dalam bahasa aslinya, kata "anak-anak" di sini merujuk kepada "infant" atau bayi. Ini bukan sekadar anak-anak yang sudah bisa berjalan dan berbicara, tetapi benar-benar bayi yang masih lemah dan bergantung sepenuhnya. Artinya, ketika seseorang percaya kepada Kristus dan menerima hidup baru dalam Allah Tritunggal, ia lahir baru, menjadi ciptaan yang baru. Namun, kelahiran baru itu tidak serta-merta menjadikannya dewasa secara rohani. Ibarat bayi yang baru lahir, seseorang yang baru percaya tidak otomatis menjadi kuat dan matang dalam iman. Ia masih harus bertumbuh, belajar, dan mengalami proses pendewasaan rohani.
Paulus sendiri mengakui bahwa ia pun termasuk dalam kategori ini. Jadi, apa sebenarnya tanda-tanda dari ketidakdewasaan rohani? Mari kita lihat beberapa cirinya dan gunakan ini sebagai bahan refleksi bagi diri kita masing-masing.
Martin Luther pernah berkata bahwa tidak ada yang lebih berbahaya daripada ajaran yang tampaknya benar, tetapi sebenarnya menyesatkan. Banyak orang Kristen yang hanya mengikuti arus tanpa menyelidiki kebenaran, bagaikan anak bebek yang hanya mengikuti induknya tanpa tahu ke mana mereka sedang diarahkan.
2. Egois dan hanya peduli pada diri sendiri
Bayi hanya peduli pada dirinya sendiri. Ia menangis ketika lapar, marah ketika tidak nyaman, dan menuntut perhatian penuh dari orang-orang di sekitarnya. Demikian pula dengan bayi rohani: mereka cenderung memikirkan dirinya sendiri lebih dari orang lain. Mereka mudah tersinggung, selalu merasa tidak diperhatikan, dan lebih peduli tentang bagaimana mereka diperlakukan dibandingkan bagaimana mereka memperlakukan orang lain.
Rasul Paulus dalam Efesus 4:2 berkata, “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar, tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” Ini adalah karakter orang yang sudah bertumbuh secara rohani. Jika kita masih sering berkata, “Aku tidak dihargai,” atau “Aku tidak diperlakukan dengan baik,” bisa jadi kita masih dalam tahap ketidakdewasaan rohani.
3. Tidak stabil dan mudah terombang-ambing
Seorang bayi memiliki rentang perhatian yang sangat pendek. Satu saat ia tertawa, beberapa detik kemudian ia menangis. Demikian pula dengan bayi rohani yang hidupnya bergantung pada pengalaman emosional semata. Ketika mengalami mujizat atau terobosan, mereka sangat bersemangat. Namun, ketika doa-doanya tidak dijawab sesuai harapan, mereka merasa kecewa dan lemah.
Yesus pernah berkata dalam Lukas 10:20, “Jangan bersukacita karena roh-roh takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di surga.” Artinya, iman kita tidak boleh bergantung pada pengalaman spektakuler atau mujizat semata, tetapi harus berakar dalam kebenaran Injil yang kekal.
Lalu, bagaimana kita bisa bertumbuh menjadi dewasa secara rohani? Ada beberapa langkah yang perlu kita lakukan:
1. Memiliki Pemahaman Doktrin yang Matang
Belajar firman Tuhan dengan sungguh-sungguh sangat penting. Orang yang memahami Alkitab dengan baik tidak akan mudah tertipu oleh ajaran yang menyesatkan.
2. Tidak Berpusat pada Diri Sendiri
Belajar melayani orang lain, terlibat dalam komunitas, dan memiliki sikap rendah hati adalah tanda pertumbuhan rohani. Orang yang dewasa rohani tidak mudah tersinggung dan lebih peduli bagaimana mereka bisa menjadi berkat bagi orang lain.
3. Konsisten dan Stabil dalam Iman
Orang yang dewasa rohani tetap setia kepada Tuhan dalam segala musim kehidupan—baik ketika mengalami berkat maupun ketika menghadapi kesulitan. Mereka tidak hanya hidup berdasarkan pengalaman emosional, tetapi memiliki iman yang teguh.
Ketika kita ada dalam gereja, kita akan menemukan banyak orang yang masih dalam proses pertumbuhan. Jangan heran jika ada ketidakdewasaan di gereja, karena gereja adalah tempat di mana orang-orang sedang bertumbuh, bukan tempat untuk orang yang sudah sempurna.
Namun, di sisi lain, kita juga tidak boleh mentoleransi ketidakdewasaan rohani dalam diri kita sendiri. Kita harus terus bertumbuh dan tidak puas dengan kondisi rohani kita saat ini. Seperti yang dikatakan oleh seorang pendeta, "Dia mungkin salah, tetapi aku tidak lebih benar." Artinya, kita semua masih dalam proses dan harus saling membangun, bukan saling menjatuhkan.
Paulus mengatakan bahwa kita bukan lagi anak-anak, tetapi sedang dalam perjalanan menuju kedewasaan rohani. Dan hal yang luar biasa adalah bahwa kita tidak menjalani perjalanan ini sendirian. Kita memiliki Allah Tritunggal yang bekerja di dalam kita, mengubah kita hari demi hari.
STOP & REFLECT
Mungkin jawaban mereka mengejutkan, tetapi ini adalah langkah awal pertumbuhan.
3. CARA BERTUMBUH DEWASA ADALAH MENGERJAKAN KESATUAN MELALUI GEREJA.
Cara bertumbuh dewasa dalam iman adalah dengan mengerjakan kesatuan melalui gereja. Rasul Paulus dalam Efesus 4:13 menekankan bahwa tujuan pertumbuhan rohani bukan hanya sekadar menjadi dewasa, tetapi mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah. Paulus menggunakan ungkapan yang unik di sini: bukan "kedewasaan" dalam bentuk jamak, tetapi "kedewasaan penuh" dalam bentuk tunggal.
Mengapa demikian? Saat kita masih bayi rohani, kita disebut sebagai bayi-bayi rohani dalam bentuk jamak. Namun, ketika berbicara tentang kedewasaan, Paulus menggunakan bentuk tunggal, yang menunjukkan bahwa tujuan akhir pertumbuhan kita adalah menjadi satu manusia yang dewasa—yaitu serupa dengan Kristus. Dulu, kita memiliki berbagai karakteristik sebagai bayi rohani: mudah tersinggung, sombong, minder, atau penuh kebencian. Namun, semua itu harus diubahkan menjadi satu pribadi yang menyerupai Kristus. Dengan kata lain, pertumbuhan rohani bukan hanya tentang perkembangan individu, tetapi tentang bagaimana kita bersama-sama, sebagai tubuh Kristus, bertumbuh menjadi satu kesatuan yang serupa dengan Dia.
Bagaimana cara kita mencapai kedewasaan ini? Paulus memberikan jawabannya dengan jelas: melalui komunitas gereja. Dalam Efesus 4:16, ia menjelaskan bahwa seluruh tubuh harus tersusun rapi, diikat oleh pelayanan setiap anggotanya, dan bertumbuh dalam kasih. Kunci dari pertumbuhan ini terdapat dalam ayat sebelumnya, yaitu dengan berpegang teguh pada kebenaran di dalam kasih atau speaking the truth in love.
Berbicara kebenaran dalam kasih bukanlah hal yang mudah. Sering kali, kita lebih memilih untuk bersikap baik tanpa menegur, karena takut menyakiti perasaan orang lain. Kita membiarkan seseorang hidup dalam kesalahan demi menjaga hubungan yang harmonis. Namun, kasih tanpa kebenaran justru berujung pada kesesatan. Jika kita membiarkan teman atau anggota keluarga kita percaya pada ajaran yang salah tanpa menegur mereka, itu bukanlah kasih sejati, melainkan ketakutan.
Di sisi lain, berbicara kebenaran tanpa kasih juga berbahaya. Jika kita menegur seseorang dengan keras, tanpa belas kasihan, maka teguran kita bisa berubah menjadi kejam. Orang yang ditegur dengan cara seperti itu cenderung menjadi defensif dan tidak mau berubah. Kata-kata yang tajam dan penuh kemarahan tidak akan menghasilkan transformasi, melainkan luka yang mendalam.
Mengapa berbicara kebenaran dalam kasih begitu sulit? Karena kita cenderung lebih berpusat pada diri sendiri. Ketika kita hanya menunjukkan kasih tanpa kebenaran, itu mungkin karena kita takut kehilangan hubungan atau merasa tidak nyaman untuk menegur. Sebaliknya, ketika kita berbicara kebenaran tanpa kasih, bisa jadi kita hanya ingin membuktikan bahwa kita benar dan orang lain salah. Intinya, dosa membuat kita cenderung ekstrem—entah hanya mengasihi tanpa menegur, atau menegur tanpa mengasihi.
Tetapi, ada satu tempat di mana kebenaran dan kasih bertemu secara sempurna: di kayu salib. Di sana, keadilan Allah ditegakkan karena dosa benar-benar dihukum, tetapi kasih Allah juga dinyatakan karena Yesus menanggung hukuman itu bagi kita. Jika Allah hanya bertindak berdasarkan kebenaran-Nya, maka tidak ada manusia berdosa yang memiliki harapan, karena upah dosa adalah maut. Sebaliknya, jika Allah hanya bertindak berdasarkan kasih-Nya tanpa mempertimbangkan keadilan, maka dosa tidak akan pernah dihukum dan Allah tidak akan menjadi adil. Namun, di salib, kebenaran dan kasih tidak berkompromi, melainkan bertemu secara sempurna.
Yesus Kristus dihukum untuk memenuhi tuntutan keadilan Allah, tetapi pada saat yang sama, Dia dikasihi oleh Bapa dan menjadi perantara bagi kita. Barang siapa percaya kepada-Nya tidak akan binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal. Ini adalah dasar dari pertumbuhan rohani kita. Jika kita menyadari betapa mahalnya harga yang telah dibayar Yesus, kita akan semakin terdorong untuk hidup bagi Dia dan bertumbuh menjadi serupa dengan-Nya.
Ilustrasi berikut menggambarkan hal ini dengan baik: seorang pebisnis wanita mengalami krisis keuangan besar dalam usahanya. Ia tidak menyadari betapa parah kondisi keuangannya hingga seorang sahabatnya, yang lebih berpengalaman, datang menolong. Sahabatnya tidak hanya membantunya merapikan pembukuan, tetapi juga menalangi kerugiannya selama berbulan-bulan. Wanita itu baru benar-benar sadar akan besarnya pengorbanan sahabatnya setelah ia melihat sendiri angka-angka yang begitu besar di laporan keuangan. Ia menangis, tersadar betapa hancurnya bisnisnya dan betapa besar kasih sahabatnya yang rela menolongnya tanpa pamrih.
Demikian juga dengan kita. Jika kita tidak menyadari betapa hancurnya keadaan kita sebagai orang berdosa, kita tidak akan pernah benar-benar menghargai betapa berharganya kasih Kristus di kayu salib. Kita sering kali hanya melihat satu sisi dari salib—entah hanya melihat betapa berdosanya kita, atau hanya melihat betapa besarnya kasih Tuhan. Padahal, di salib, kedua realitas ini bertemu: kita sangat berdosa hingga Yesus harus mati bagi kita, tetapi kita juga sangat dikasihi hingga Yesus rela mati bagi kita.
Karena itu, kita dipanggil untuk bertumbuh dalam kedewasaan, bukan karena tekanan agama atau perasaan bersalah, tetapi karena dorongan dari Injil. Keselamatan yang kita terima harus dikerjakan dengan takut dan gentar, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kita baik kemauan maupun pekerjaan menurut kehendak-Nya.
Tim Keller pernah berkata bahwa kita hanya bisa bertumbuh jika kita hidup dalam komunitas yang meneguhkan kita dengan kasih dan mengoreksi kita dengan kebenaran.
Maka, sebagai refleksi:
Kiranya Injil menjadi dasar dan dorongan kita dalam bertumbuh menuju kedewasaan rohani yang serupa dengan Kristus.
ORANG BERINJIL