Hari ini kita kembali masuk ke dalam seri khotbah Facing the World with Gospel Confidence, dan kita sudah sampai di minggu ke-15. Hari ini kita akan melanjutkan eksposisi kitab Efesus, dan judul khotbahnya adalah "Injil di Rumah dan di Tempat Kerja" (The Gospel at Home and the Gospel at Work).
Bacaan: Efesus 6:1-9
6:1 Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian.
6:2 Hormatilah ayahmu dan ibumu--ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini:
6:3 supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.
6:4 Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.
6:5 Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus,
6:6 jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah,
6:7 dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia.
6:8 Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan.
6:9 Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah, bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan Ia tidak memandang muka.
Tempat yang paling sulit untuk hidup sebagai orang yang beriman kepada Kristus itu bukan di gereja. Tempat yang paling menantang adalah di rumah dan di tempat kerja, karena di situlah siapa kita yang sebenarnya akan terlihat.
Itulah sebabnya, dalam proses pemilihan majelis, kami juga melakukan wawancara dengan istri, anak-anak, guru sekolah minggu anaknya, dan pemimpin care group-nya. Kami ingin mengetahui apakah kehidupan mereka konsisten—baik di gereja, di rumah, maupun di tempat kerja. Sebab jika tidak, maka Injil hanya menjadi sesuatu yang berhenti di dalam tembok gereja.
Kalau kita sungguh memahami Injil, maka kuasanya akan nyata, bukan hanya di dalam ibadah di gereja, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Injil sejati mengubah seluruh relasi kita: bagaimana menjadi orang tua, bagaimana menjadi anak, bagaimana bersikap sebagai atasan maupun bawahan.
Di titik-titik ini, banyak orang Kristen sering kehilangan Injil. Kita bisa hafal banyak ayat, ikut seminar apologetika, mahir berbicara rohani, tetapi kehidupan di rumah dan tempat kerja tidak bisa dipalsukan.
Selama tiga pasal pertama dalam kitab Efesus, kita telah diajar bahwa kita telah ditebus, dipersatukan dengan Kristus, dan diberi identitas baru. Bagian yang kita pelajari hari ini adalah bagian akhir dari kitab Efesus. Indikatifnya sudah selesai, imperatifnya sudah selesai.
Maka hari ini mungkin akan terasa seperti banyak nasihat, namun sesungguhnya semua itu dimotivasi oleh Injil. Kristus tidak hanya mengubah identitas kita di dalam komunitas gereja, tetapi juga cara kita menjalani kehidupan sehari-hari.
Poin besar hari ini ada tiga:
1. INJIL DI DALAM PEKERJAANMU
6:5 Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus,
6:7 dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia.
Tadi kita membaca, hamba-hamba di tempat kerja harus taat sama seperti taat kepada Kristus. Dikatakan, mereka melayani Tuhan, bukan manusia. Rasul Paulus di sini menyamakan pekerjaan kita dengan pelayanan kepada Tuhan.
1A: Pekerjaan Kita adalah Panggilan Ilahi — Our Work is Divine Calling.
Banyak orang memisahkan dunia sekuler dan dunia rohani. Mereka membagi hidup dengan false dichotomy: dunia rohani (seperti pelayanan, ke gereja, misi) dan dunia sekuler (kantoran, dagang, pabrik, restoran, toko boba, kopi, dan sebagainya). Bahkan ada yang berkata, agama jangan dicampur dengan bisnis. Tetapi kitab Efesus meruntuhkan pembagian palsu ini. Kita tidak dipanggil untuk hidup dalam dikotomi. Allah terlibat dalam setiap pekerjaan sehari-hari, bukan hanya dalam pelayanan gerejawi.
John Stott berkata:
"Tidak ada dikotomi antara pekerjaan rohani dan pekerjaan sekuler bagi orang Kristen, karena semua dilakukan untuk Tuhan."
Seorang ibu rumah tangga yang mencuci pakaian dan mengasuh anak-anak bahkan bisa lebih berkenan di mata Tuhan daripada seorang hamba Tuhan yang berkhotbah tanpa kasih. Apa pun pekerjaanmu, apa pun peranmu, lakukanlah seperti melayani Tuhan.
Perhatikan dalam teks tadi beberapa kali disebut "hamba." Paulus berbicara kepada budak-budak, pekerjaan yang dianggap rendah saat itu. Tapi ia mengatakan bahwa pekerjaan mereka adalah pelayanan kepada Kristus. Artinya, pekerjaan yang dianggap rendah di dunia, sangat mulia di hadapan Allah.
Martin Luther berkata:
"Seorang ibu yang menyusui bayinya sedang melakukan pekerjaan lebih tinggi daripada semua doa para biarawan yang tidak dilakukan dengan sepenuh hati."
Kalau kamu dipanggil untuk menyapu jalan, jadi OB, cuci piring, jadi kasir, clerk, sales — semua itu tidak rendah di hadapan Tuhan. Tidak semua harus jadi CEO. Tidak semua harus jadi pemilik bisnis besar. Tapi kalau kamu diberi pekerjaan itu, lakukanlah seperti Leonardo da Vinci melukis, atau seperti Beethoven menggubah lagu. Karena audiens kita bukan manusia, tapi Tuhan.
John Calvin berkata:
"Tidak ada pekerjaan yang terlalu hina atau rendah saat kamu melakukan dalam panggilanmu. Itu akan selalu bersinar dan dihitung sangat berharga di mata Allah."
Dunia mungkin tidak mengenalmu. Namamu mungkin tidak pernah masuk daftar Top 50 Businessman. Tapi di hadapan Tuhan, bahkan hal paling sederhana yang kamu lakukan dengan iman menjadi ibadah sejati. Pekerjaan bukan hanya alat mencari nafkah, tapi bagian dari mandat budaya: memelihara ciptaan Allah.
Di kota metropolitan ini, kita hidup di antara penyapu jalan, penjaga parkir, kurir, sopir Gojek, Grab, dan lainnya. Kalau kita memandang mereka rendah, kita belum memahami Injil. Karena Tuhan menghormati semua pekerjaan yang bukan dosa dan membawa kebaikan.
Kalau kita lihat Kejadian 1:28, Allah memberkati manusia dan memberi mandat budaya: "Beranak cuculah, penuhilah bumi, taklukkanlah itu, berkuasalah." Ini tentang membangun peradaban, mengelola bumi. Martin Luther berkata:
"Semua pekerjaan manusia adalah bagian dari providensia Allah atas bumi. Tuhan memberi kita susu lewat tangan peternak, bukan langsung dari langit."
Semuanya butuh kerja: petani, tukang bangunan, programmer, pemilik UMKM — semua adalah alat Allah. Bagaimana pembuat sepatu memuliakan Tuhan? Bukan dengan menjahit salib di sepatunya, tapi dengan membuat sepatu terbaik. Entah kamu tukang sepatu, ibu rumah tangga, karyawan, atau wiraswasta — semuanya adalah pelayanan kepada Tuhan.
Pekerjaan kita adalah bagian dari pemulihan bumi di bawah Kristus Raja. Kita sedang berpartisipasi dalam pemulihan dunia, yang nanti akan digenapi di langit baru dan bumi baru. Already but not yet — sudah, tapi belum.
Ketika memperjuangkan keadilan di tempat kerja, melakukan pekerjaan dengan integritas di tengah korupsi, itu semua tidak sia-sia. Itu benih kecil dari Kerajaan Allah. Satu hari dunia ini akan ditebus. Tidak ada lagi korupsi, ketidakadilan, atau kebusukan. Apa yang kamu lakukan sekarang menjadi cicipan bagi orang-orang tentang bagaimana rasanya hidup di bawah pemerintahan Kristus.
Contohnya, di Gibeon: saat kita membangun taman kota, memperindah lingkungan, itu bukan percuma. Ada yang berkata, "Ah, kayak lempar garam ke laut." Tapi di hadapan Tuhan, perjuangan itu tidak sia-sia. Kita melakukan yang terbaik bukan demi upah, tapi sebagai partisipasi dalam rencana pemulihan Tuhan.
Setiap email yang ditulis dengan jujur, kontrak yang dinegosiasikan dengan adil, setiap pelayanan yang dilakukan dengan kasih — semua itu benih dari kerajaan yang akan digenapi Kristus.
1B: Pekerjaan Perlu Dilakukan dengan Sepenuh Hati
Work needs to be done with your heart.
Efesus 6:6 berkata: "Jangan hanya taat jika dilihat orang, tetapi lakukanlah sebagai hamba-hamba Kristus." Mungkin ada yang berpikir, "Saya masih kuliah atau sekolah, bukan pekerja." Ingat, belajar adalah pekerjaanmu saat ini! Belajarlah dengan rajin, jujur, setia — itu juga memuliakan Tuhan.
Ayat 7 berkata: "Layanilah dengan senang hati." Kata "layani" di sini berasal dari doulos — artinya hamba. Tapi juga dipakai untuk penyembahan. Artinya kerja itu ibadah. Kamu bekerja bukan supaya dilihat bos atau supervisor. Kalau hanya untuk manusia, hasilnya ala kadarnya. Tapi kalau sadar bekerja untuk Tuhan, kamu akan melakukannya dengan sukacita.
Mungkin bosmu diktator, kantormu toxic. Tetaplah bekerja dengan sepenuh hati, karena Tuhan yang setia, bukan karena tempatmu ideal. Efesus 6:8 berkata: "Setiap orang yang bekerja akan menerima balasan dari Tuhan." Ini bukan transaksi. Ini janji kasih Bapa. Kita bekerja bukan untuk diterima, tapi karena sudah diterima. Bukan untuk membuktikan diri, tapi untuk melayani Tuhan.
Yesus berkata di Matius 6:24: "Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan." Kalau bekerja demi status dan pengakuan, kita adalah budak. Kalau bekerja untuk Tuhan, kita adalah orang merdeka. Identitas kita bukan dari pekerjaan, tapi dari apa yang Kristus sudah lakukan di kayu salib. Karena itu, bekerjalah dengan bebas, untuk memuliakan Tuhan.
Lalu, apakah berarti kita tidak perlu lagi pelayanan di gereja? Tidak. Pekerjaan di dunia adalah bagian dari misimu. Tapi pelayanan di gereja tetap penting. Gereja adalah tempat kita dibentuk, dilatih, diasah, dan diutus bersama. Melayani di gereja membentuk karakter kita — supaya ketika bekerja di dunia, kita menghidupi Kristus di mana pun kita berada.
2. INJIL DI DALAM KELUARGAMU
Sekarang kita masuk ke poin kedua. Tadi kita sudah melihat bagaimana Injil mengubah cara kita bekerja, sekarang kita akan melihat bagaimana Injil mengubah cara kita mengasihi, khususnya di rumah.
Kenapa ini penting? Karena di rumah, topeng kita harus copot. Di tempat kerja, kita mungkin masih bisa profesional, menahan diri saat kesal. Tapi di rumah, di hadapan keluarga, sifat asli kita muncul. Di situlah Injil diuji paling jujur.
Mari kita lihat Efesus 6:4, "Dan kamu, bapak-bapak, janganlah membangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Menarik bahwa Paulus menyebut "bapak-bapak." Kenapa bukan "orang tua" secara umum? Ini berkaitan dengan konteks budaya Romawi kuno, di mana ayah memiliki kuasa mutlak atas anak-anak — bahkan bisa mengusir atau membunuh mereka. Tapi Injil mengoreksi model otoritas ini.
2A: Peran Orang Tua: Mendidik Tanpa Membangkitkan Amarah
Paulus tidak berkata, "Tunjukkan siapa yang berkuasa," tapi, "jangan bangkitkan amarah." Otoritas dalam Kristus bukan untuk menindas, tapi untuk membentuk. Anak-anak adalah titipan Tuhan, bukan proyek ambisi pribadi. Seperti menitipkan barang, suatu hari Tuhan akan meminta pertanggungjawaban atas bagaimana kita memperlakukan anak-anak yang dititipkan kepada kita.
Mengapa Anak Bisa Marah?
Kata "membangkitkan amarah" dalam bahasa asli adalah parorgizete, artinya menyulut amarah yang menetap, yang membusuk di dalam hati karena anak tidak merasa dimengerti, dikasihi atau dipimpin dengan hikmat. Amarah anak bisa muncul dari dua ekstrem:
1. Overdiscipline (Terlalu keras):
Hasilnya? Anak penuh luka dan amarah.
2. Underdiscipline (Terlalu permisif):
Kedua ekstrem ini sering berasal dari apa yang disebut guilty parenting — mendidik dari rasa bersalah, bukan dari hikmat Injil.
Prinsip Penting: Relasi + Disiplin
Yang benar: Relasi + Disiplin.
Charles Spurgeon berkata: "Didiklah seorang anak menurut jalan yang patut baginya, tapi pastikan engkau sendiri berjalan di jalan itu." Kemunafikan orang tua — standar ganda antara perkataan dan perbuatan — melukai anak. Anak-anak belajar lebih banyak dari tindakan kita daripada kata-kata kita.
Tujuan Parenting: Bukan Sekadar Kepatuhan, Tapi Kedewasaan. Tujuan mendidik anak bukan supaya mereka sekadar patuh, sopan, dan rapi, tapi supaya mereka menjadi dewasa secara rohani, memiliki hikmat, dan mampu memilih yang benar bahkan tanpa dipaksa aturan.
Agustinus dalam bukunya Confessions berkata: "Tujuan pengasuhan adalah melatih anak menjadi pribadi yang merdeka — bukan merdeka dari aturan, tetapi merdeka untuk melakukan apa yang benar."
Jadi jangan hanya membentuk perilakunya, tetapi bentuklah hatinya. Ajarkan bukan hanya apa yang harus mereka lakukan tetapi kenapa itu benar dan baik di hadapan Tuhan. Bukan hanya menurut saja tapi mereka jadi serupa dengan Yesus Kristus. Kita membentuk hati mereka, bukan hanya perilaku lahiriah. Kita membimbing mereka untuk mengenal siapa mereka di dalam Kristus.
2B: Peran Anak: Menghormati Orang Tua
Setelah melihat peran orang tua, sekarang kita melihat peran anak. Efesus 6:1-2: "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan... Hormatilah ayahmu dan ibumu..." Di sini ada dua perintah: taat dan hormat. Seringkali kita bingung karena terjebak dalam budaya, kapan harus taat dan kapan harus hormat. Menurut alkitab berikut petunjuk untuk kapan taat dan kapan hormat:
Ketika anak sudah dewasa dan mandiri, mereka tidak lagi wajib "taat" dalam setiap hal, terutama kalau bertentangan dengan firman Tuhan atau keyakinan pribadi. Namun hormat tetap wajib — bahkan terhadap orang tua yang mungkin gagal atau mengecewakan. Hormat bukan berarti selalu setuju, tetapi menunjukkan respek atas posisi mereka sebagai alat anugerah Tuhan dalam hidup kita.
Tension dalam Menghormati
Ada dua ekstrem dalam menghormati:
1. Tunduk berlebihan:
Ini melanggar prinsip "seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya" — prinsip leave and cleave dalam pernikahan.
2. Kurang hormat:
Hormat harus tetap ada, bahkan saat kita harus mengambil keputusan yang berbeda dari kehendak orang tua.
Kita perlu berjalan di tengah-tengah ketegangan ini. Kita perlu dewasa: menghormati tanpa kehilangan identitas, mengasihi tanpa tunduk membabi buta. Karena pada akhirnya, hormat kepada orang tua adalah cerminan dari hormat kita kepada Tuhan yang adalah Bapa kita yang sejati.
Henri Nouwen berkata: “Hadiah terbesar yang dapat diberikan orang tua kepada anak-anak mereka adalah pertobatan mereka sendiri”. Injil yang mempertobatkan dapat mengubah dinamika otoritas menjadi dinamika kasih. Keluarga yang dipimpin oleh injil tidak lagi dibangun atas ketakutan tapi atas kasih. Orang tua tidak lagi mendidik karena takut malu atau reputasi. Anak tidak lagi taat karena takut, namun karena respek dan cinta.
3. INJIL DI DALAM HIDUPMU
Saudara, dari dua bagian sebelumnya kita sudah melihat nasihat-nasihat Rasul Paulus tentang bagaimana seharusnya kita bekerja dan mengasihi dalam keluarga. Tapi apa yang benar-benar bisa mengubah cara kita bekerja dan mengasihi? Bukan sekadar aturan. Bukan sekadar motivasi. Melainkan kasih dari Bapa di surga. Di sinilah kekuatan itu berada: kita butuh Injil.
Kalau Saudara perhatikan, Rasul Paulus menyisipkan dasar Injil di tengah-tengah nasihatnya. Ia berkata (ayat 6-7), jangan hanya bekerja baik di hadapan bos untuk menyenangkan hati manusia, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dengan rela menjalankan tugas, seolah-olah kita melayani Tuhan, bukan manusia.
Banyak orang memang rajin bekerja, tetapi bukan karena mereka mengasihi Tuhan—melainkan karena takut miskin, takut gagal, takut tidak dianggap. Demikian juga dalam relasi keluarga, banyak yang tampak mengasihi orang tua atau anak, tetapi dengan motivasi tersembunyi: supaya anak berutang budi, supaya kelak dapat warisan. Semuanya tidak tulus.
Mari kita mulai dari pekerjaan. Ini adalah inti Injilnya: jika kita tidak sadar akan Injil, kita tidak akan pernah bekerja dengan kemerdekaan. Kita akan terus jadi budak. Semua orang bekerja untuk sesuatu: entah untuk uang, kekuasaan, pengakuan, atau rasa berharga. Jika yang kita kejar bukan Tuhan, kita sedang diperbudak oleh hal-hal itu. Tapi Injil membebaskan kita. Kita tidak perlu lagi bekerja untuk membuktikan diri, sebab kita sudah dimiliki Tuhan.
Bagaimana Injil membebaskan kita? Perhatikan Yesus Kristus adalah Tuhan yang menjadi hamba. Filipi 2 mengajarkan bahwa Dia, yang setara dengan Allah, rela mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba. Dia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan memberikan hidup-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang. Dia mati supaya kita, hamba-hamba dosa yang terus bekerja untuk validasi diri, bisa dibebaskan.
Kristus telah menebus kita dari ketakutan kita: takut tidak diakui, takut tidak berharga, takut ditinggalkan. Dia, yang paling berharga, rela membayar harga tertinggi supaya kita, yang seharusnya dibuang, dijadikan sangat berharga. Budak dunia bekerja untuk upah; murid Kristus bekerja sebagai bentuk penyembahan.
Saudara sudah menerima warisan surgawi, maka sekarang kita bekerja bukan untuk membuktikan nilai diri, tetapi untuk memuliakan Tuhan. Injil mengubah motivasi kita secara mendasar: dari mengejar harga diri menjadi memberi diri untuk melayani. Karena itu, kita bisa bekerja tanpa takut gagal, mengasihi tanpa takut ditolak, melayani tanpa takut kehilangan. Inilah kehidupan yang dimerdekakan oleh Injil.
Sekarang kita masuk ke bagian kehidupan keluarga. Saudara, kita tidak akan bisa sungguh-sungguh mengasihi jika kita belum mengalami kasih yang sempurna. Banyak ketegangan relasi terjadi karena kita mengasihi dari trauma, bukan dari kasih. Kita memanjakan anak karena takut ditolak. Kita mendisiplinkan terlalu keras karena takut merasa gagal. Kita menyimpan kepahitan terhadap orang tua karena merasa kurang dicintai. Semua ini akar masalahnya ada pada identitas yang belum pulih.
Sebelum kita bisa menjadi orang tua yang sehat, sebelum kita bisa menghormati orang tua dengan tulus, kita harus terlebih dahulu tahu siapa diri kita di hadapan Tuhan. Adopsi sebagai anak Allah adalah anugerah tertinggi dari Injil. Seperti yang ditulis di Efesus 1:5: “Dalam kasih, Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya.”
Bagaimana kita menjadi anak Allah? Melalui kayu salib. Di sana, Yesus Kristus, Anak Allah yang sejati, berseru: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dia yang sempurna kehilangan kasih Bapa supaya kita, yang adalah musuh Allah, bisa diterima sebagai anak-anak-Nya.
Ketika kita sadar bahwa kita sudah diadopsi oleh Bapa Surgawi, kita tidak perlu lagi hidup mengejar validasi. Kita bisa membesarkan anak bukan untuk membanggakan diri, tetapi untuk memperkenalkan mereka kepada Tuhan. Kita bisa menghormati orang tua tanpa harus memberhalakan ekspektasi mereka. Kita bisa bekerja dan melayani dari rasa cukup, bukan dari rasa haus validasi. Injil mengubah kita dari dalam ke luar. Perubahan sejati tidak dimulai dari perilaku, melainkan dari identitas di hati.
Izinkan saya menutup dengan sedikit kesaksian pribadi. Saudara, saya bukan anak yang membanggakan dari kecil. Saya sering menyusahkan orang tua saya—sering berkelahi, membuat masalah di sekolah, bahkan sempat berkonflik keras dengan papa saya sendiri. Tapi puji Tuhan, Tuhan menangkap dan mengubah saya. Setelah bertobat di Amerika, saya mulai melayani Tuhan, dan suatu hari papa saya berkata kepada saya, “Papa belum pernah pelayanan bareng kamu.” Kata-kata itu sangat menyentuh saya.
Saya sempat bermimpi untuk pulang ke Indonesia, melayani bersama papa. Namun tiga minggu sebelum saya tiba, papa saya dipanggil Tuhan. Saya sangat terpukul, merasa seperti dipermainkan Tuhan. Sejak itu, tanpa sadar, saya mengalihkan beban hati saya kepada mama saya. Saya melayani dengan harapan membuat mama bangga, tetapi affirmasi yang saya tunggu-tunggu tak kunjung datang.
Hingga suatu hari, melalui perjalanan pembaruan Injil, saya belajar memandang kepada salib. Saya sadar: saya tidak perlu lagi mengejar pengakuan, bahkan dari orang tua saya. Saya sudah diadopsi oleh Bapa di surga. Kasih-Nya cukup untuk saya. Kristus telah membayar harga tertinggi supaya saya, yang tidak layak, boleh menjadi anak Allah.
Itulah yang menenangkan hati saya. Bukan berarti saya tidak ingin membahagiakan mama saya. Tapi kini, saya tidak lagi melayani dengan haus validasi. Saya melayani dari kepenuhan kasih Bapa.
Hari ini mungkin ada di antara Saudara yang juga menunggu-nunggu affirmasi orang tua, anak, pasangan, atau dunia. Tapi kabar baiknya: Injil berkata, Kristus telah kehilangan segalanya supaya Saudara memiliki segalanya. Di dalam Kristus, Saudara telah diampuni, telah dikasihi, telah dimiliki.
Maka hari ini, bukan sekadar tips menjadi orang tua, anak, atau karyawan yang baik. Saya mengajak Saudara untuk kembali ke salib. Pandang Dia. Itulah sumber kekuatan yang sejati. Injil membebaskan Saudara. Injil mengubah Saudara. Injil memampukan Saudara.
STOP & REFLECT
Apakah kita bekerja dengan hati anak yang dikasihi, atau budak yang dituntut?
Sebagai orang tua, apakah kita membesarkan anak demi nama baik/pengakuan/pencitraan?... Sebagai anak, apakah kita tunduk karena ekspektasi keluarga atau karena kasih Kristus?
Apakah kita mencari kasih yang rapuh di dunia, atau sudah hidup dalam kasih yang tak tergoyahkan?
ORANG BERINJIL
Sudah ditebus menjadi milik Tuhan, maka mereka bekerja bukan lagi untuk mencari pengakuan melainkan untuk mengucap syukur dan menyembah.
Sudah diterima dan diadopsi menjadi anak, maka mereka (sebagai orang tua atau anak) dapat mengasihi dengan otentik tanpa pencitraan.
Sudah diampuni dan dikasihi di dalam Kristus, maka mereka dapat hidup merdeka untuk mengasihi dan mengasihi seperti Kristus.