Rahasia Besar Di Balik Pernikahan

GOSPEL CONFIDENCE WEEK 14 "Rahasia Besar di Balik Pernikahan" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Hari ini kita masuk ke khotbah ke-14 dari seri Facing the World with Gospel Confidence, dan topik kita adalah “Rahasia Besar di Balik Pernikahan.”

Pembacaan : Efesus 5: 21 - 33

5:21 dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.

5:22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, 

5:23 karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. 

5:24 Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. 

5:25 Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya 

5:26 untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, 

5:27 supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. 

5:28 Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. 

5:29 Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, 

5:30 karena kita adalah anggota tubuh-Nya. 

5:31 Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 

5:32 Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. 

5:33 Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.

Bayangkan jika Anda bisa menikah dengan seseorang yang 100% cocok dengan Anda—secara emosi, seksual, keuangan, hobi, dan chemistry. Apakah Anda yakin pernikahan seperti itu akan membuat Anda bahagia?

Kebanyakan orang akan menjawab, “Tentu saja! Iya dong.” Karena pada dasarnya, banyak dari kita berpikir bahwa tujuan utama pernikahan adalah untuk mencapai kebahagiaan. Ketika seseorang ditanya mengapa ingin menikah, sering kali jawabannya adalah: “Supaya saya bahagia.” Narasi-narasi romantis ala Disney telah membentuk imajinasi kita—bahwa begitu pangeran menikah dengan sang putri dan mereka menunggang kuda putih menuju matahari terbenam, kisahnya pun berakhir dengan “bahagia selamanya.”

Namun, bagaimana jika Alkitab justru mengajarkan bahwa tujuan utama pernikahan bukanlah kebahagiaan, melainkan kekudusan? Bahwa Tuhan menggunakan pernikahan bukan sekadar sebagai sarana kenyamanan, tetapi sebagai alat pembentukan karakter. Dan hal itu tidak akan pernah mungkin terjadi jika Kristus tidak menjadi pusat dalam hubungan tersebut.

Mungkin sebagian dari kita berpikir: “Ah, ini khotbah tentang pernikahan. Saya belum menikah, bahkan belum terpikir untuk menikah. Jadi ini bukan untuk saya.” Tapi tunggu dulu—topik ini relevan untuk setiap orang, apa pun status Anda saat ini. Mengapa?

Saya ingin memberikan tiga alasan:

1. Untuk Anda yang sudah menikah:
Mungkin hubungan Anda saat ini sedang kering, hambar, atau terasa berat. Anda membutuhkan pengharapan dan arah yang baru—bukan sekadar tips, tetapi sebuah visi yang besar dan kudus tentang pernikahan.

2. Untuk Anda yang belum menikah:
Sebelum Anda mulai mencari pasangan, penting untuk memahami terlebih dahulu: Apa sebenarnya makna cinta sejati? Apa dasar yang kokoh untuk membangun hubungan yang sehat dan bertumbuh?

3. Untuk Anda yang enggan menikah:
Mungkin Anda sudah menyerah dalam hal pernikahan. Tapi perlu diingat: hidup tidak gagal tanpa pernikahan. Karena ada satu pernikahan yang jauh lebih besar dan jauh lebih penting yang sedang menanti—yaitu pernikahan antara Kristus dan umat-Nya.

Mari kita kembali kepada Efesus 5:32, di mana Paulus menulis:
“Rahasia ini besar, tetapi yang kumaksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.”

Dengan kata lain, pernikahan bukan hanya tentang dua sejoli yang saling jatuh cinta seperti dalam lagu-lagu nostalgia. Pernikahan adalah gambaran kasih Kristus kepada jemaat-Nya—kasih yang tidak menyerah, kasih yang rela berkorban, kasih yang bahkan siap mati. Dan kasih inilah yang menjadi dasar, bukan hanya bagi pasangan suami istri, tetapi bagi setiap orang yang ingin memahami apa itu kasih sejati dalam terang Injil.

Hari ini kita akan menggali empat poin utama:

           1.APA ITU PERNIKAHAN

Untuk memahami makna pernikahan menurut Alkitab, mari kita mulai dengan Efesus 5:31 yang mengutip langsung Kejadian 2:24—ayat utama dalam Perjanjian Lama mengenai pernikahan:

“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.”

Mengapa Alkitab menyatakan bahwa dua orang harus menjadi satu daging? Karena kesatuan ini merupakan cerminan dari pribadi Allah Tritunggal—yang meskipun terdiri dari tiga pribadi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus, namun tetap satu dalam hakikat-Nya. Kesatuan ini bukan sekadar angka "satu", melainkan ikatan yang dalam, menyeluruh, dan tidak terpisahkan. Dalam bahasa Ibrani, konsep ini disebut ehad, yakni kesatuan yang utuh.

Allah Tritunggal hidup dalam relasi perjanjian yang kekal (covenant) antara satu pribadi dan pribadi yang lain. Tidak ada pengkhianatan, hanya kasih, pemberian diri, dan saling memuliakan. Oleh karena itu, ketika Allah menciptakan pernikahan, Ia merancangnya sebagai refleksi dari diri-Nya sendiri. Itulah mengapa pernikahan sangat berharga dan sakral di mata Tuhan.

Dalam Kejadian, Tuhan menyatakan bahwa “tidak baik manusia seorang diri saja,” sehingga Ia menciptakan seorang penolong yang sepadan—dalam bahasa Ibrani disebut ezer, istilah yang juga digunakan untuk Allah sendiri sebagai Penolong umat-Nya, seperti dalam nama Eben-Ezer. Bahkan Roh Kudus disebut sebagai Penolong. Maka, ketika Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, Ia menciptakan mereka untuk hidup dalam relasi—sebagaimana Ia sendiri adalah relasi yang sempurna dalam Tritunggal.

Ketika seorang pria dan wanita menikah dan membentuk keluarga, mereka mencerminkan kesatuan itu: satu keluarga, satu hakikat. Mereka sama-sama manusia yang berharga, namun bersatu dalam satu unit yang tak terpisahkan. Ketika Tuhan melihat pernikahan dan keluarga, Ia melihat cerminan dari Diri-Nya sendiri. Indah, bukan?

Lebih dari sekadar kesatuan, pernikahan adalah covenant—sebuah ikatan perjanjian antara suami dan istri. Perjanjian ini bahkan mencerminkan hubungan Allah dengan umat-Nya. 

Dalam Ulangan 31:6, Tuhan berjanji kepada bangsa Israel:

“Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.”

Paulus pun menegaskan dalam Efesus 5:32:

“Rahasia ini besar—yang aku maksud ialah hubungan Kristus dan jemaat.”

Dengan demikian, pernikahan menjadi lambang dari perjanjian kasih antara Kristus dan jemaat-Nya. Di dalamnya terdapat elemen leave and cleave—meninggalkan dan bersatu—artinya dua pribadi yang berbeda meninggalkan masa lalu mereka dan memasuki sebuah kesatuan yang total dan permanen.

Namun budaya modern sering memutarbalikkan makna pernikahan. Dunia berkata bahwa pernikahan adalah puncak dari cinta romantis. Tapi Alkitab berkata sebaliknya: cinta sejati justru dimulai dari perjanjian. Dari janji yang diucapkan di hadapan Tuhan, cinta bertumbuh melalui pengorbanan. Inilah cinta yang tahan uji—yang mencerminkan kasih Kristus.

Pernikahan bukan sekadar pernyataan cinta hari ini, tetapi komitmen untuk terus mengasihi di masa depan. Bahkan ketika tidak ada rasa ingin mencintai, covenant membuat kita tetap memilih untuk mengasihi. Inilah inti dari sebuah perjanjian kasih.

Budaya dunia mengagungkan chemistry, koneksi instan antara dua individu. Banyak yang berkata, “Kami punya chemistry.” Namun Alkitab tidak berbicara tentang chemistry, melainkan covenant. Dunia berkata, “Kalau chemistry-nya hilang, cari pasangan lain.” Tapi Tuhan berkata, “Jika engkau telah mengucapkan janji, dialah pasanganmu seumur hidup.”

Ketika romansa memudar dan perasaan tak lagi bergelora, justru di situlah pernikahan diuji. Pernikahan bukan tentang spontanitas perasaan, melainkan tentang komitmen yang dibangun bersama. “I will always be there for you.” Bahkan ketika rasa itu hilang, kita tetap memilih untuk mencintai. Chemistry bisa menjadi awal hubungan, tapi hanya covenantyang membuat hubungan bertahan. Pernikahan yang hanya dibangun di atas chemistry akan rapuh dan mudah runtuh.

Banyak orang mengira api cinta padam karena ketidakcocokan. Tapi cinta sejati bukanlah api yang muncul dengan sendirinya, melainkan api yang terus dijaga melalui pengorbanan, pengertian, pengampunan, dan komitmen. Dalam pernikahan Kristen, cinta bertahan bukan karena perasaan, tetapi karena janji—the vow.

Dunia mengejar koneksi, namun Tuhan memanggil kita untuk hidup dalam kasih yang mengikat. Sebuah film dokumenter karya Dana Adam Shapiro mewawancarai 50 pasangan yang telah bercerai. Kesimpulannya? Monogami dianggap gagal karena chemistry dan spontanitas mati oleh rutinitas dan kewajiban.

Budaya modern menganggap cinta harus instan dan spontan. Komitmen dianggap sebagai penjara bagi cinta. Maka tidak heran jika banyak yang berkata, “Ngapain nikah? Itu cuma selembar kertas.” Tapi benarkah demikian?

Penyair WH Auden menulis dalam bukunya A Certain World: A Commonplace Book:

“Setiap pernikahan, entah bahagia atau tidak, lebih menarik daripada kisah asmara manapun, karena pernikahan bukan hasil emosi sesaat, melainkan ciptaan dari waktu dan kehendak.”

Itulah covenant. Lebih dalam dari sekadar chemistry. Jika cinta ibarat sungai, maka cinta sejati mengalir semakin dalam dan kuat, bukan seperti kembang api yang indah sesaat lalu padam. Cinta berdasarkan perjanjian bukan soal merasa dicintai, tetapi memilih untuk mencintai—bahkan saat pasangan tidak layak dicintai. Kasih seperti ini mencerminkan kasih Kristus: bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani dan menyerahkan diri-Nya.

Saya pernah hadir dalam talkshow bertema cinta di kalangan anak muda. Seseorang bertanya, “Pastor, apakah masih ada ‘listrik’ saat bergandengan tangan dengan istri?” Saya sudah menikah 24 tahun. Masihkah deg-degan saat dicium?

Saya ingin menjawab: listrik dan deg-degan bukanlah cinta sejati. Itu lebih dekat ke ego. Kamu senang seseorang karena ia membalas cintamu. Maka ketika bergandengan atau berciuman, kamu merasa istimewa. Tapi fokusnya tetap pada dirimu sendiri. Cinta sejati bukan tentang rasa menggebu saat cintamu dibalas. Cinta sejati adalah kasih yang hadir bahkan saat tidak dibalas.

Cinta sejati melihat keindahan dalam diri pasangan dan menolongnya untuk makin serupa dengan Kristus—meskipun mereka belum layak untuk dicintai. Cinta seperti ini tidak lahir dalam sehari. Ini membutuhkan waktu dan pengenalan yang mendalam. Di awal hubungan, kita hanya jatuh cinta pada bayangan pasangan. Misalnya, kita menyukai seseorang karena ia cinta Tuhan, suka melayani anak-anak, atau karena senyumnya manis. Tapi semua itu masih permukaan.

Saya pribadi mengalami hal ini. Sebelum saya tertarik pada istri saya, Novie, awalnya saya tidak terlalu memperhatikannya. Namun, suatu hari setelah persekutuan doa, Alkitab miliknya tertinggal. Saya membawanya pulang dan saat membukanya, saya menemukan tulisan-tulisan pribadinya: doa-doa, pergumulan, dan kerinduan untuk melayani Tuhan. Saat itu saya menangis. Saya berkata dalam hati, “Ini wife material.” Tapi setelah menjalin hubungan, ternyata realitasnya tidak semudah isi tulisan itu. Namun seiring waktu, bayangan itu menjadi nyata. Dan dalam pernikahan, kita dimampukan untuk mencintai bahkan ketika tidak layak dicintai.

Saudara, pernikahan adalah covenant. Pernikahan bukan tempat untuk mendapatkan cinta, melainkan tempat untuk belajar mengasihi—seperti Kristus mengasihi. Pernikahan bukan soal “kamu membuatku bahagia,” tapi “aku memilih menolong kamu bertumbuh menjadi serupa Kristus.”

Siapa pusat dari covenant ini? Kristus. Maka, ketika kita mencintai Kristus lebih dari pasangan kita, kita akan mampu mencintai pasangan kita dengan lebih baik.

          2. Apa Yang Dilakukan Oleh Pernikahan

Efesus 5:25–26 mengatakan:
“Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya...”

Ayat ini menyatakan bahwa pernikahan adalah sarana pengudusan. Meskipun dalam posisi rohani kita telah dikuduskan di dalam Kristus, secara pengalaman, kita terus-menerus dibentuk dan diperbarui. Salah satu alat utama yang Tuhan pakai dalam proses tersebut adalah pasangan hidup kita.

Pasangan hidup bukanlah juru selamat, tetapi merupakan alat di tangan Tuhan—rekan sekerja Kristus—yang dipakai untuk membentuk kita agar semakin serupa dengan-Nya. Dunia modern sering memandang pernikahan sebagai sarana untuk mencari kenyamanan, romantika, atau peningkatan kualitas hidup (misalnya, pendapatan ganda, liburan bersama, dan sebagainya). Namun Injil menawarkan sesuatu yang jauh lebih mendalam dan kekal: transformasi karakter.

Pernikahan menyatukan dua orang berdosa, bukan untuk saling menyelamatkan, melainkan untuk saling menolong dalam pertumbuhan rohani. Dalam kehidupan pernikahan, dua pribadi secara konstan dihadapkan pada dosa dan kelemahan masing-masing. Justru di tengah gesekan inilah, Tuhan bekerja untuk mengikis sisi gelap dalam diri kita.

Pernikahan bukanlah taman hiburan, melainkan lebih mirip bengkel. Di sanalah karakter dibentuk, ego diredam, kesabaran dilatih, dan kasih diuji. Konflik dalam rumah tangga sering kali membuka sisi-sisi tersembunyi dalam diri kita yang tidak tampak saat masa pacaran. Namun dalam kejujuran dan pertolongan Roh Kudus, proses pengudusan terjadi secara nyata.

Filipi 1:6 berkata bahwa “Allah, yang memulai pekerjaan baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya.” 

Maka, pasangan hidup adalah seseorang yang Tuhan tempatkan untuk membantu menyelesaikan pekerjaan tersebut. Ketika kita melihat pasangan kita bertumbuh, bertobat, dan semakin serupa Kristus, saat itulah kita menyaksikan keindahan rencana Allah sedang digenapi.

Saya pribadi mengalami hal ini. Ada momen-momen ketika saya melihat istri saya bertumbuh secara rohani—misalnya, ketika ia merespons seseorang yang terluka dengan bijak dalam sesi konseling, atau ketika ia dengan rendah hati meminta maaf lebih dulu setelah konflik. Saat-saat seperti itu membuat saya jatuh cinta kembali—bukan karena penampilan fisiknya, melainkan karena saya melihat Kristus hidup dalam dirinya.

Dulu, rumah tangga kami penuh dengan bentrokan. Kami sama-sama keras, suka berdebat, dan emosional. Namun seiring waktu, ketika Injil menjadi pusat, kami mulai belajar untuk bertumbuh bersama. Kami memang tidak menjadi sempurna, tetapi kami saling membentuk dan semakin dekat kepada tujuan kekal yang Tuhan tetapkan.

Karena itu, masukilah pernikahan dengan ekspektasi yang benar. Pernikahan bukan sekadar tempat untuk mencari kenyamanan, melainkan arena konfrontasi yang menyucikan. Tidak ada pernikahan yang sehat tanpa konflik. Jika sebuah pernikahan nyaris tanpa pertengkaran, bisa jadi salah satu pihak sudah menyerah atau memilih pasrah. Pernikahan yang sehat ibarat dua batu kasar yang digesekkan—sakit, tetapi perlahan membentuk keindahan.

Efesus 5 juga menekankan aspek penyatuan. Pada ayat 22 dan 25, kita melihat peran yang berbeda: suami sebagai kepala dan istri sebagai penolong. Dunia modern sering kali merasa alergi terhadap konsep “kepala” atau “tunduk.” Namun kita perlu memahami konsep ini dalam terang Kristus.

Menjadi kepala tidak berarti menjadi yang paling superior. Yesus adalah kepala gereja, tetapi Dia tidak memerintah dengan otoritas yang menindas. Sebaliknya, Ia mengasihi, mengorbankan diri, dan menolong jemaat untuk bertumbuh. Demikian pula, suami yang baik bukanlah yang selalu menang dalam argumen, tetapi yang lebih dahulu memikirkan kebutuhan keluarganya. Kepemimpinan Kristus adalah kepemimpinan yang melayani dengan kerendahan hati.

Istri dipanggil untuk tunduk bukan karena posisinya lebih rendah, melainkan sebagai bagian dari struktur kasih yang mencerminkan relasi antara Allah dan gereja. Ini bukan tunduk karena paksaan, tetapi sebagai respons kepada Tuhan. Ketika suami dan istri menjalankan peran ini dengan Injil sebagai pusatnya, relasi mereka akan memancarkan keindahan kerajaan Allah.

Bagi yang belum menikah, hal ini juga penting untuk dipertimbangkan: pilihlah pasangan hidup bukan semata karena chemistry atau daya tarik fisik. Pilihlah seseorang yang mengasihi Kristus, terbuka untuk dibentuk, dan rela bertumbuh dalam pengudusan. Carilah pasangan yang takut akan Tuhan dan bersedia berjalan bersama dalam kasih karunia.

Ingatlah bahwa pasangan hidupmu bukan hanya seseorang yang kamu cintai hari ini, tetapi seseorang yang sedang Tuhan bentuk untuk menjadi serupa dengan Kristus. Dan kamu adalah bagian dari proses itu. Pernikahan bukan hanya tentang dua orang yang jatuh cinta, tetapi tentang dua orang yang bertumbuh bersama dalam kasih karunia, menuju kekudusan dan kesatuan yang sejati.

          3. Apa Yang Dibutuhkan Dalam Pernikahan

Saudara, mari kita melihat kembali konteks Efesus 5. Sebelum Paulus berbicara tentang suami dan istri, ia terlebih dahulu menyampaikan perintah ini:

“Janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh… dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus” (Efesus 5:18, 21).

Ini menarik. Paulus tidak sedang membuat transisi tajam dari topik rohani ke topik relasi. Tidak ada kalimat semacam, “Sekarang kita berhenti bicara tentang Roh Kudus dan mulai membahas seminar pernikahan.” Mengapa? Karena ia tidak sedang berganti topik. Paulus masih berbicara tentang hal yang sama—tentang hidup yang dipenuhi oleh Roh Kudus.

Artinya, pembicaraan tentang pernikahan tidak berdiri sendiri. Dasarnya bukan tips dan trik hubungan, melainkan hidup yang berakar di dalam kasih Kristus. Pernikahan sejati tidak mungkin berhasil tanpa Injil.

Tanpa Injil yang hidup di dalam hati, pernikahan hanya akan menjadi ladang kekecewaan. Mengapa? Karena kita cenderung mencintai dari kekosongan, bukan dari kelimpahan. Banyak orang masuk ke dalam pernikahan dengan harapan bahwa pasangan mereka akan mengisi kekosongan hati. Namun kenyataannya, manusia berdosa dan terbatas tidak bisa menjadi sumber kasih yang sempurna.

Saya teringat satu adegan ikonik dari film Jerry Maguire, ketika karakter Tom Cruise berkata kepada Renée Zellweger, “You complete me.” Kalimat itu membuat banyak orang meleleh. Tapi seindah apa pun terdengarnya, ungkapan itu sebenarnya tidak sejalan dengan Injil. Bagaimana mungkin sesama manusia yang sama-sama rapuh bisa “menyempurnakan” kita? Hanya Tuhan yang dapat melakukan itu.

Jika pasangan kita menjadi satu-satunya sumber kasih dan identitas kita, maka ketika mereka mengecewakan—dan itu pasti akan terjadi—kita akan merasa hancur. Kita hanya bisa terus mencintai jika hati kita terlebih dahulu dipenuhi oleh cinta yang tidak pernah kering: kasih Allah sendiri.

Timothy Keller, dalam bukunya Generous Justice—meskipun bukan buku tentang pernikahan—mengangkat konsep love philanthropy, yaitu kasih yang murah hati. Ia berkata, “Hanya hati yang kaya oleh Injil yang sanggup mencintai bahkan saat tidak dicintai.” Seperti seorang filantropis yang memberi karena kekayaannya, demikian pula orang yang hidup oleh Injil mampu memberi kasih, bahkan saat kasih itu tidak dibalas.

Inilah kasih sejati: kasih yang tidak menuntut balasan, namun terus mengalir karena sumbernya bukan manusia, melainkan Kristus. Injil adalah kisah cinta terbesar. Bukan tentang dua manusia yang saling mencintai, tetapi tentang satu Pribadi yang terus mencintai, bahkan saat tidak dibalas. Siapa Dia? Yesus.

Dialah pengantin yang sejati. Apa yang Yesus lakukan untuk kita di salib adalah definisi tertinggi dari kasih:

  • Ia ditolak, supaya kita diterima.
  • Ia ditinggalkan, supaya kita tidak pernah sendiri.
  • Ia disalahpahami, supaya kita dipahami.
  • Ia memikul beban kita, supaya kita mampu memikul beban satu sama lain—termasuk beban pasangan kita.
  • Ia menjadi buruk rupa karena dosa, supaya kita diperindah sebagai mempelai-Nya.

Yesus tidak menunggu kita menjadi indah untuk mencintai kita.
He didn’t wait for you to be lovely to love you.
He loves you so that you can become lovely in Him.

Inilah kasih perjanjian. Kasih sejati selalu menyerupai salib—selalu memberi, selalu bertahan, dan selalu mengubah yang dikasihi.

Lalu siapa yang harus memulai terlebih dahulu dalam pernikahan—suami atau istri?

Jawabannya: tidak perlu menunggu.
Kasih itu telah lebih dahulu kamu terima dari Yesus. Maka, berikanlah kasih yang sama kepada pasanganmu. Jadikan dinamika Injil ini sebagai DNA dari pernikahanmu.

          4. Apa Yang Ditunjukkan Oleh Pernikahan

"Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat."
(Efesus 5:32)

Saudara, pernikahan di dunia ini bukanlah tujuan akhir. Pernikahan hanyalah bayangan dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih mulia. Bahkan cinta terbaik yang dapat kita alami di bumi tidak akan pernah mampu sepenuhnya memuaskan dahaga terdalam jiwa kita. Sebab cinta tertinggi tidak ditemukan di pelaminan, di pelukan pasangan, atau di ranjang pernikahan—melainkan di salib, dan dalam pelukan kasih Kristus.

Alkitab menggambarkan tujuan akhir hidup kita sebagai “Perjamuan Kawin Anak Domba” (Wahyu 19:6–9), yaitu saat umat Allah bersatu dengan Kristus dalam sukacita kekal. Maka, apakah Anda menikah, belum menikah, atau bahkan tidak memiliki keinginan untuk menikah—kita semua sedang melangkah menuju satu pernikahan sejati: pertemuan kekal dengan Sang Mempelai Surgawi. Pada hari itu, gunung yang selama ini tertutup kabut akan tampak dengan jelas. Kita akan melihat-Nya muka dengan muka.

Bagi Anda yang masih single:
Pernikahan itu baik, tetapi bukan segalanya. Anda tidak perlu menikah untuk merasa utuh, karena di dalam Kristus Anda sudah dicintai secara sempurna. Pernikahan hanyalah bayangan, bukan tujuan akhir. Jadi jika Anda belum menikah, Anda tidak kekurangan apa pun. Kristus adalah kepenuhan Anda yang sejati.

Bagi Anda yang sudah menikah:
Pasangan Anda adalah berkat, tetapi bukan juruselamat. Jangan menuntut pasangan Anda untuk menjadi sempurna—karena hanya Kristus yang mampu memenuhi kebutuhan terdalam jiwa. Ketika pasangan mengecewakan Anda, tetaplah mengasihi, sebab kasih itu telah lebih dahulu Anda terima dari Kristus.

Bagi Anda yang pernah mengalami kegagalan dalam pernikahan:
Mungkin Anda pernah mengalami perceraian, perselingkuhan, atau pengkhianatan. Injil tidak menutup-nutupi luka Anda, tetapi juga tidak membiarkan luka itu menjadi identitas Anda. Anda bukan "mantan suami", "mantan istri", atau "orang gagal." Anda adalah anak yang telah ditebus dan dikasihi oleh Allah.

Kegagalan bukan akhir cerita. Kasih Kristus sanggup menulis bab berikutnya dalam hidup Anda. Yesus tahu bagaimana rasanya ditolak oleh mempelai-Nya sendiri, tetapi Dia tetap mengasihi dan tidak meninggalkan. Ia menebus, menyembuhkan, dan memakai luka kita untuk menyatakan kasih-Nya yang besar.

Saudara, pernikahan membantu kita memahami Injil. Tetapi Injil juga memberi kuasa untuk menjalani pernikahan—atau kehidupan sebagai single. Semua ini menuju pada satu tujuan: hidup bagi kemuliaan Tuhan.

STOP & REFLECT

  • Apakah kita memandang pernikahan sebagai tempat “mendapat cinta” atau sebagai tempat “memberi kasih”? Apakah kita siap membangun cinta, bukan hanya menunggu chemistry?
  • Bagaimana Tuhan sedang memakai pasangan (atau komunitas) untuk membentuk karakter saya? Apakah saya menghindari gesekan, atau bersedia bertumbuh di dalamnya?
  • Siapa sumber kasih saya hari ini—pasangan saya, atau Kristus? Apakah saya sedang mencintai dengan kasih filantropis, atau kasih transaksional
  • Apakah saya menaruh harapan terlalu tinggi pada pasangan atau relasi?
    Apakah saya melihat cinta terbesar bukan di bumi, tapi di salib?

GOSPEL PEOPLE

  • Memahami bahwa Chemistry bisa membuat jatuh cinta, tetapi hanya Covenant yang membuat mereka bertahan dalam cinta.
  • Mencintai pasangan bukan karena dia layak dicintai,tetapi karena Kristus lebih dulu mencintai saat mereka masih tidak layak.
  • Menyadari tujuan terbesar pernikahan bukanlah kebahagiaan, tapi kekudusan. Tapi dalam kekudusan itu, kebahagiaan sejati akan ditemukan.
  • Menyadari ketika gagal dalam pernikahan, atau bahkan tidak menikah,mereka tetap memiliki pernikahan sejati yang tidak bisa hilang—yaitu pernikahan kekal dengan Kristus, Mempelai Sejati.