Dalam rangkaian khotbah berseri eksposisi kitab Efesus, kita telah memasuki minggu kedelapan dengan tema "Facing the World with Gospel Confidence." Hari ini, kita akan merenungkan sebuah khotbah berjudul "Ketika Penderitaan Menjadi Kemuliaan." Kita akan bersama-sama menyelami pertanyaan: kapan penderitaan kita beralih menjadi kemuliaan, dan bagaimana caranya?
Bacaan : Efesus 3:1-13
3:1 Itulah sebabnya aku ini, Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus Yesus untuk kamu orang-orang yang tidak mengenal Allah
3:2 --memang kamu telah mendengar tentang tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah, yang dipercayakan kepadaku karena kamu,
3:3 yaitu bagaimana rahasianya dinyatakan kepadaku dengan wahyu, seperti yang telah kutulis di atas dengan singkat.
3:4 Apabila kamu membacanya, kamu dapat mengetahui dari padanya pengertianku akan rahasia Kristus,
3:5 yang pada zaman angkatan-angkatan dahulu tidak diberitakan kepada anak-anak manusia, tetapi yang sekarang dinyatakan di dalam Roh kepada rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya yang kudus,
3:6 yaitu bahwa orang-orang bukan Yahudi, karena Berita Injil, turut menjadi ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus.
3:7 Dari Injil itu aku telah menjadi pelayannya menurut pemberian kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku sesuai dengan pengerjaan kuasa-Nya.
3:8 Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu,
3:9 dan untuk menyatakan apa isinya tugas penyelenggaraan rahasia yang telah berabad-abad tersembunyi dalam Allah, yang menciptakan segala sesuatu,
3:10 supaya sekarang oleh jemaat diberitahukan pelbagai ragam hikmat Allah kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga,
3:11 sesuai dengan maksud abadi, yang telah dilaksanakan-Nya dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
3:12 Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya.
3:13 Sebab itu aku minta kepadamu, supaya kamu jangan tawar hati melihat kesesakanku karena kamu, karena kesesakanku itu adalah kemuliaanmu.
Saudara sekalian, bagian dari surat Efesus ini—Efesus 3:1-13—sering kali tidak dibahas secara mendalam dan bahkan kerap dilewatkan dalam banyak eksposisi. Mengapa demikian? Jika kita perhatikan, dalam bagian ini, seolah-olah Paulus menyimpang dari topik yang sebelumnya sedang ia bahas. Ayat pertama diawali dengan sebuah tanda hubung, menunjukkan bahwa Paulus tiba-tiba memberikan sebuah selingan atau penyimpangan dari pembahasan utama. Secara struktur, bagian ini tampak tidak terlalu sistematis, tetapi justru di sinilah letak keunikannya. Saya memilih untuk membahas bagian ini karena sangat relevan dan praktis bagi keadaan kita saat ini.
Khotbah ini akan kita bagi dalam empat bagian utama. Pertama, kita akan melihat realita penderitaan manusia. Kedua, kita akan membahas keajaiban Injil dan kasih karunia yang dinyatakan dalam Kristus. Ketiga, kita akan menyambung dari minggu lalu dengan mengangkat keagungan gereja sebagai bagian dari rencana kekal Allah. Dan terakhir, kita akan merenungkan bagaimana kemuliaan dapat ditemukan di dalam penderitaan.
Kiranya pesan ini dapat menjadi penguatan bagi kita di tengah berbagai tantangan dan ketidakpastian yang kita hadapi. Di era di mana dunia terasa semakin gelap, di tengah berbagai tagar seperti #IndonesiaGelap atau #KaburAjaDulu, bagaimana kita dapat menghadapi dunia ini dengan keyakinan Injil? Biarlah firman Tuhan hari ini menolong kita untuk menemukan kekuatan dan pengharapan yang sejati dalam Kristus.
1. REALITA PENDERITAAN MANUSIA
Mengapa Paulus menyimpang dari topik utama? Karena ia ingin mengingatkan jemaat dengan berkata, "Aku ini Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus untuk kamu." Paulus menulis ini karena ia mengingat sesuatu. Di ayat 13, ia berkata, "Sebab itu aku meminta padamu…" Dengan kata lain, ayat 1 yang menyatakan bahwa ia berada di penjara berhubungan langsung dengan ayat 13 yang berisi permohonannya kepada jemaat.
Paulus tahu bahwa keberadaannya di penjara menjadi pukulan bagi teman-temannya, sahabat-sahabatnya, dan rekan-rekannya dalam merintis gereja. Mereka mungkin berpikir bahwa jika mereka berada dalam kehendak Tuhan, seharusnya Tuhan melindungi mereka. Namun, kenyataannya, Paulus menghadapi banyak penderitaan. Hal ini membuat banyak orang mulai resah dan tawar hati. Oleh karena itu, Paulus berhenti di tengah pemikirannya untuk memberikan pandangan tentang penderitaan dan menguatkan jemaat di Efesus. Ia ingin menegaskan bahwa penderitaan adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kehidupan orang percaya.
Salah satu hal yang luar biasa tentang Alkitab adalah kejujurannya dalam menggambarkan penderitaan. Tidak seperti banyak buku lainnya, Alkitab tidak menutup-nutupi kenyataan ini. Jika hanya berfokus pada hal-hal yang menarik seperti mukjizat dan terobosan besar, maka penderitaan seharusnya tidak menjadi bagian yang ditekankan. Namun, kenyataannya, Alkitab dipenuhi dengan kisah-kisah penderitaan, bukan hanya dialami oleh orang jahat, tetapi juga oleh orang-orang percaya.
Jemaat Efesus melihat Paulus di penjara dan mulai kehilangan pengharapan. Paulus tahu bahwa penderitaan dapat menggoncangkan iman. Jika kita perhatikan, banyak tokoh Alkitab yang mengalami kekecewaan dan protes kepada Tuhan karena penderitaan mereka, seperti Abraham, Ayub, Gideon, Elia, dan Habakuk. Ini menunjukkan bahwa orang yang mencintai Tuhan pun bisa mengalami penderitaan dan bahkan mengalami goncangan iman.
Contohnya adalah Yohanes Pembaptis. Ia adalah sepupu Yesus dan sejak dalam kandungan sudah mengenali Mesias. Namun, ketika ia dipenjara dan hendak dieksekusi oleh Herodes, imannya tergoncang. Ia bahkan mengirim muridnya untuk bertanya kepada Yesus, "Engkaukah yang akan datang, atau haruskah kami menanti yang lain?" Mengapa Yohanes meragukan Yesus? Karena realitas yang ia hadapi tidak sesuai dengan harapannya. Ketika harapan kita tidak sesuai dengan kenyataan, di situlah keraguan dan kekecewaan muncul.
Mungkin saat ini Anda mengalami pergumulan serupa. Anda mulai bertanya-tanya mengapa Tuhan tidak menjawab doa Anda. Apakah itu berkaitan dengan ekonomi, kesehatan, atau keluarga? Saya teringat sebuah buku berjudul The Jesus I Never Knew oleh Philip Yancey. Buku ini menyoroti bahwa pemahaman yang tidak utuh tentang Yesus bisa menyisakan celah dalam hidup kita, yang kemudian terisi dengan ambisi, ekspektasi, dan naluri manusia yang telah tercemar oleh dosa.
Ketika kita mengalami keraguan dan goncangan iman, kita perlu memproses penderitaan kita dengan Injil. Paulus menjelaskan dalam ayat 13: Sebab itu aku minta kepadamu supaya kamu jangan tawar hati melihat kesesakanku… Tawar hati di sini berarti patah semangat dan kecewa. Paulus tidak ingin jemaatnya mengalami hal ini. Ia ingin mereka memahami bahwa penderitaan adalah bagian dari hidup yang harus dihadapi dengan keyakinan dalam Injil.
Stop & Reflect
Bagaimana kita merespons penderitaan? Apakah kita marah kepada Tuhan atau tawar hati? Atau kita belajar percaya bahwa Tuhan bekerja di dalam segala keadaan?
Paulus tidak putus asa meskipun ia berada di penjara, karena ia melihat segala sesuatu dari perspektif Tuhan. Bagaimana kita bisa melihat tantangan sebagai kesempatan untuk lebih dekat dengan Tuhan?
2. KEAJAIBAN INJIL KASIH KARUNIA
Rasul Paulus mampu bertahan dalam penderitaan dan mengatasi keraguan serta goncangan iman karena ia memahami suatu rahasia yang dinyatakan oleh Tuhan kepadanya. Dalam Efesus 3:3-4 dan 9, Paulus berulang kali menyinggung tentang "rahasia," atau dalam bahasa Yunaninya disebut "musterion." Istilah ini bukanlah misteri dalam pengertian modern yang harus dipecahkan oleh manusia, seperti dalam novel detektif, tetapi sesuatu yang sebelumnya tersembunyi dan kini dinyatakan oleh Allah melalui wahyu ilahi.
Dalam Efesus 3:5, Paulus menjelaskan bahwa rahasia ini belum disampaikan kepada generasi sebelumnya tetapi kini telah dinyatakan kepada para rasul dan nabi oleh Roh. Ini berarti manusia tidak mungkin menemukannya dengan akal budi sendiri, melainkan hanya dapat mengetahuinya jika Allah sendiri yang menyatakan.
Dalam Efesus 3:6-8, Paulus menjelaskan bahwa rahasia ini berkaitan erat dengan Injil, yaitu bahwa:
Ini berarti bahwa keselamatan bukan hanya bagi bangsa Israel, tetapi juga bagi seluruh umat manusia, termasuk kita semua, tanpa memandang latar belakang etnis.
Berbeda dengan hukum Taurat yang tidak pernah disebut sebagai rahasia, Injil justru disebut demikian. Hukum Taurat, seperti yang terdapat dalam Sepuluh Perintah Allah, bersifat masuk akal dan diterima oleh semua budaya. Semua agama memiliki prinsip moralitas yang serupa. Namun, Injil justru bertentangan dengan naluri alami manusia.
Ini yang membuat Injil sulit dipahami oleh manusia, karena prinsipnya bertolak belakang dengan sistem meritokrasi yang biasa dipahami manusia.
Pemahaman yang benar tentang Injil membawa perubahan besar dalam hidup seseorang:
Bagaimana kita tahu apakah kita benar-benar memahami Injil kasih karunia? Salah satu cara mengujinya adalah dengan melihat respons kita terhadap penderitaan dan kekecewaan:
Injil adalah rahasia yang luar biasa karena bertentangan dengan pemahaman manusia tentang keadilan dan pahala. Namun, justru di situlah letak keindahannya. Semakin kita merenungkannya, semakin kita ingin menyelidikinya, karena kasih karunia Tuhan begitu ajaib dan menakjubkan. Oleh karena itu, marilah kita hidup bukan dalam pola kalau, tetapi dalam pola walau, bersandar sepenuhnya pada kasih karunia Tuhan yang telah menyelamatkan kita di dalam Kristus.
STOP & REFLECT
Apakah kita benar-benar memahami dan mengalami kasih karunia Tuhan? ataukah kita masih bersandar sama performa untuk diterima atau diperkenan Tuhan?
Bagaimana Injil sebagai ”rahasia" yang dinyatakan Tuhan mengubah cara kita melihat diri sendiri atau orang lain? Apakah kita masih membandingkan diri dengan orang lain?
3. KEAGUNGAN GEREJA
Panggilan Rasul Paulus adalah menjadi pemberita dan misionaris Injil kasih karunia. Dalam Efesus 3:7-9, ia menjelaskan bahwa tujuan hidupnya adalah memberitakan kekayaan Kristus yang tidak terduga dan menyatakan keindahan Injil kepada semua bangsa, termasuk bangsa-bangsa non-Yahudi.
Lalu, bagaimana dunia dapat melihat keajaiban Injil ini? Dalam Efesus 3:10 dikatakan:
"Supaya sekarang oleh jemaat diberitahukan pelbagai ragam hikmat Allah kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di surga."
Ayat ini menegaskan bahwa gereja adalah sarana utama bagi dunia untuk memahami keajaiban Injil dan maksud kekal Tuhan. Paulus sebelumnya menjelaskan bahwa seluruh sejarah, termasuk penderitaan dan peperangan, pada akhirnya akan mencapai pemulihan sempurna di dalam Kristus. Tuhan sedang mempersatukan segala sesuatu di bawah pemerintahan-Nya, baik di surga maupun di bumi. Namun, pemulihan ini berada dalam ketegangan "already but not yet"—sudah dimulai tetapi belum terjadi secara sempurna.
Dalam dunia yang penuh dengan penderitaan, ketidakadilan, dan kejahatan, bagaimana orang dapat melihat bahwa Tuhan sedang bekerja? Jawabannya ada di dalam gereja.
FF Bruce dalam bukunya menjelaskan bahwa gereja adalah proyek awal Tuhan bagi dunia yang telah dipulihkan di masa depan. Gereja adalah gambaran awal dari apa yang akan Tuhan lakukan bagi seluruh dunia.
Pada zaman dahulu, orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Romawi, dan pemilik budak tidak mungkin duduk sejajar dengan budaknya. Namun, di dalam Kristus, semua orang—Yahudi, Romawi, Yunani, pemilik budak, dan budak—dipersatukan dalam kasih-Nya. Mereka bisa berdoa, makan bersama, dan hidup dalam kesatuan. Ini adalah bukti bahwa gereja adalah komunitas baru yang menunjukkan bagaimana kehidupan seharusnya di bawah pemerintahan Kristus.
Gereja bukan sekadar perkumpulan sosial (social club), tetapi masyarakat baru yang dipersatukan dan diubahkan oleh Injil. Alkitab menggunakan istilah "pelbagai ragam" (Efesus 3:10), yang dalam bahasa Yunani berarti "berwarna-warni." Ini menunjukkan bahwa gereja adalah komunitas yang kaya dengan perbedaan—ras, budaya, dan status sosial—namun tetap satu di dalam Kristus.
Itulah sebabnya gereja harus mencerminkan Kerajaan Allah dengan keberagaman yang ada. Misalnya, dalam ibadah, tidak hanya satu kelompok usia atau ras yang dominan, tetapi semua berpartisipasi sebagai satu tubuh Kristus. Gereja adalah tempat di mana rasisme, perpecahan sosial, dan ketidakadilan mulai dipulihkan.
Sering kali, orang kecewa dengan gereja dan memilih menjauh. Namun, penting untuk diingat bahwa gereja bukanlah gedung atau sekadar acara mingguan—gereja adalah kita, tubuh Kristus. Jika kita menjauh, kita kehilangan keindahan komunitas yang Tuhan rancang untuk membentuk kita.
Mungkin ada yang berkata, "Saya sudah trauma dengan gereja, saya lebih nyaman mengikuti ibadah secara online." Namun, firman Tuhan mengajarkan bahwa gereja bukan hanya untuk dikonsumsi, tetapi untuk dihidupi. Kita dipanggil untuk menjadi bagian aktif dalam komunitas iman, berkontribusi, dan mengalami pertumbuhan bersama.
Yesus mencintai gereja lebih dari siapapun. Jika kita kecewa, marilah kita berdoa agar kasih karunia Kristus menyembuhkan hati kita dan memberi kita kekuatan untuk kembali mengasihi gereja. Dunia dapat melihat keajaiban Injil melalui gereja—dan kita adalah bagian dari gereja itu. Marilah kita hidup sebagai saksi Injil yang nyata dalam komunitas iman yang Tuhan rancang untuk kita.
Stop & Reflect
Apakah kita hanya "datang ke gereja" atau sudah benar-benar menjadi bagian dari tubuh Kristus yang aktif dalam komunitas iman? ataukah kita masih menganggap gereja opsional?
Bagaimana kita bisa menjadi bagian dari kesaksian gereja kepada dunia yang mengamati kehidupan gereja? ataukah kita masih hidup ‘selfish’ bagi diri sendiri?
4. KEMULIAAN DI DALAM PENDERITAAN
Mengapa Paulus mengatakan semua ini? Ingat, saudara, ia bukan sedang mengadakan kuliah teologi kepada mahasiswa teologi. Tidak. Paulus menggembalakan orang-orang yang sedang terluka, kehilangan pengharapan karena mengalami penderitaan. Jadi, semua yang baru kita bicarakan ini gunanya untuk apa? Mari kita baca lagi Efesus 3:13:
"Sebab itu Aku minta kepadamu, supaya kamu jangan tawar hati melihat kesesakanku karena kamu, karena kesesakan itu adalah kemuliaanmu."
Paulus ingin mereka tidak tawar hati dan memahami bahwa penderitaan dapat menjadi kemuliaan. Mengapa? Karena:
Tidak Ada Penderitaan Yang Sia-Sia
Dalam Kristus, tidak ada penderitaan yang sia-sia.
Sebuah ilustrasi dari buku Walking With God in Pain and Suffering oleh Tim Keller menceritakan tentang Johnny Erikson Tada, yang mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan saat menyelam. Namun, cerita ini bukan tentang dia, melainkan tentang Denise Walter, seorang gadis berusia 17 tahun yang menderita multiple sclerosis langka yang berkembang cepat. Meski ibunya mendoakan kesembuhan, Denise semakin melemah dan akhirnya meninggal.
Johnny Erikson Tada bertanya, "Untuk apa semua penderitaan ini? Tidak ada yang melihat, tidak ada media, tidak ada yang menyaksikan perjuangannya." Namun, teman-temannya di gereja mengingatkan bahwa meskipun dunia tidak melihat, surga menyaksikan. Efesus 3:10 mengatakan bahwa hikmat Allah diberitakan kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa di surga melalui jemaat-Nya. Lukas 15:7 juga menegaskan bahwa ketika satu orang bertobat, seluruh surga bersukacita.
Dari sini, Johnny memahami bahwa penderitaan Denise tidak sia-sia. Surat yang ia tulis kepada ibunya menyatakan bahwa Denise telah menyelesaikan pertandingan iman dengan baik, menjadi kesaksian bagi malaikat dan seluruh surga.
Tidak Ada Penderitaan Yang Bisa Menghancurkan Kita
Paulus menyebut dirinya "tahanan Kristus", bukan "tahanan Kaisar Roma". Ini menunjukkan pemahamannya akan kedaulatan Allah: ia berada di situ karena Tuhan mengizinkannya. Oleh karena itu, ia tidak takut menghadapi penderitaan.
Dalam 2 Korintus 11:23-28, Paulus mencatat segala penderitaannya: didera, dilempari batu, karam kapal, terancam bahaya dari berbagai pihak, lapar, haus, dan kedinginan. Namun, dalam 2 Korintus 12:9-10, ia berkata:
"Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku... Sebab jika aku lemah, maka aku kuat."
Paulus bisa memiliki sikap ini karena ia tahu di mana hartanya berada. Jika kita menaruh harta dalam kesehatan, maka saat kesehatan hancur, kita pun hancur. Jika kita menaruh harapan dalam harta dan karir, maka saat itu hilang, kita pun runtuh. Tetapi jika kita menaruh harta di dalam Kristus, maka tidak ada penderitaan yang bisa menghancurkan kita.
Paulus berkata, "Kesesakanku adalah kemuliaanmu." Artinya, penderitaan kita bisa menjadi kemuliaan. Bagaimana? Dengan memandang kepada Yesus.
Penderitaan akan Berakhir dalam Kemuliaan
Yesus, satu-satunya yang layak menerima kemuliaan, justru menanggung penderitaan terburuk. Ia disalib, dihukum, dan ditinggalkan oleh Bapa, menanggung murka Allah, supaya kita diterima. Yesus tidak menderita supaya kita bebas dari penderitaan, tetapi supaya ketika kita menderita, kita menjadi seperti Dia.
Penderitaan yang kita alami bukanlah tanpa makna atau sekadar kesialan dalam hidup. Sebaliknya, penderitaan itu adalah sarana pembentukan Tuhan agar kita semakin serupa dengan Kristus. Seperti emas yang dimurnikan dalam api, demikian juga iman kita diuji dalam penderitaan, sehingga menghasilkan ketekunan, karakter, dan pengharapan yang teguh (Roma 5:3-5).
Yesus telah menanggung penderitaan yang seharusnya menghancurkan kita—penderitaan karena dosa dan murka Allah. Oleh sebab itu, tidak ada penderitaan di dunia ini yang dapat benar-benar menghancurkan kita. Sebaliknya, dalam rencana Allah, penderitaan dapat memperindah kita di hadapan-Nya, menjadikan kita semakin memancarkan kemuliaan Kristus.
Stop & Reflect
Apakah kita melihat penderitaan sebagai hukuman, atau percaya bahwa Tuhan sedang bekerja di baliknya untuk membentuk kita, mengarahkan kita kepada kemuliaan-Nya, dan menjadikannya berkat bagi orang lain?
Bagaimana kita dapat mempraktekkan iman dengan bersandar kepada-Nya serta menjadi alat-Nya untuk menguatkan orang lain yang juga bergumul dalam penderitaan?
ORANG BERINJIL