Satu Bangunan, Satu Keluarga, Satu Injil

GOSPEL CONFIDENCE WEEK 7 "Satu Bangunan, Satu Keluarga, Satu Injil"

Ps. Michael Chrisdion


Pembacaan                : Efesus 2:19-22

Hari ini, kita akan merenungkan tentang satu bangunan, satu keluarga, dan satu Injil. Minggu lalu, telah membahas bagaimana salib Kristus menyatukan kita sebagai umat percaya. Kita semua adalah orang berdosa yang sebenarnya tidak layak menerima kasih karunia Tuhan. Namun, melalui karya salib Kristus, kita telah menerima anugerah-Nya yang mengubahkan. Tidak peduli siapa kita—status sosial, latar belakang, atau warna kulit—kita semua disatukan dalam Injil. Salib menghapus segala perbedaan dan membuat kita setara di hadapan Tuhan. Jika bukan karena anugerah-Nya, kita seharusnya binasa. Tetapi sekarang, kita hidup dalam kesadaran bahwa Injil menyatukan setiap orang percaya.

Bacaan : Efesus 2 : 19-22

2:19 Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, 

2:20 yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. 

2:21 Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. 

2:22 Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.

Ketika kita mempelajari kitab Efesus, terutama dari pertengahan pasal 2 hingga pasal 4, kita menemukan bahwa Paulus secara gamblang menjelaskan tentang gereja—apa itu gereja dan siapa yang menjadi bagian darinya. Dalam perikop yang baru saja kita baca, kita melihat salah satu gambaran terkuat tentang gereja. Ayat-ayat ini begitu padat dengan makna teologis yang mendalam. Oleh karena itu, hari ini kita akan membahasnya dalam tiga poin utama:

  1. Siapa Kita Dahulu – Kita adalah orang asing, pendatang, dan terpisah dari perjanjian Allah. Kita hidup dalam keterasingan dari Tuhan, tanpa pengharapan, dan berada di bawah hukuman dosa.
  2. Siapa Kita Sekarang – Melalui Kristus, kita bukan lagi orang asing, melainkan anggota keluarga Allah. Kita dibangun di atas dasar yang kokoh, yaitu para rasul dan nabi, dengan Kristus sebagai batu penjuru yang menyatukan dan meneguhkan seluruh bangunan.
  3. Bagaimana Kita Menghidupi Identitas Ini – Sebagai bagian dari bangunan Allah yang kudus, kita dipanggil untuk hidup dalam kesatuan, kudus di hadapan Tuhan, dan menjadi tempat kediaman-Nya melalui Roh Kudus.

SIAPA KITA DAHULU?

Hari ini, kita akan memulai dengan sebuah pertanyaan: Siapakah kita dahulu? Sebelum mengenal Kristus, kita adalah orang asing dan pendatang. Efesus 2:19 berkata, "Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah."

Bayangkan jika Anda berada di negeri asing, tidak mengenal siapa pun, dan tidak memahami bahasa yang digunakan. Berbeda jika Anda hanya berkunjung—mungkin ada tour guide, ada teman perjalanan. Tetapi bagaimana jika Anda pindah ke negara lain untuk bekerja atau bersekolah? Itu adalah pengalaman yang bisa sangat sulit dan membuat kita merasa terasing.

Saya masih ingat ketika saya pertama kali pindah dari Indonesia untuk bersekolah di luar negeri saat berusia 17 tahun. Meskipun saya sudah bisa berbahasa Inggris, tetap saja saya merasa asing. Kesepian itu nyata. Saya masih ingat ketika saya pindah ke Indiana, tepat setelah Natal. Saat saya tiba pada tanggal 26 Desember, satu-satunya tempat yang saya kenal adalah McDonald's, tetapi ternyata McDonald's pun tutup karena masih dalam suasana Natal. Saya merasa sangat sendiri dan homesick, karena saya merasa seperti orang asing di tempat yang bukan rumah saya.

Ketika Rasul Paulus mengatakan bahwa dahulu kita adalah orang asing dan pendatang, ia tidak hanya berbicara tentang status geografis atau nasionalitas kita, tetapi lebih kepada kondisi spiritual kita. Dalam Efesus 2:12, Paulus berkata bahwa kita adalah "orang asing yang tidak termasuk umat pilihan Allah, kita tidak termasuk dalam ikatan perjanjian yang dibuat Allah dengan umat-Nya, dan kita hidup tanpa harapan serta tanpa Allah di dunia ini."

Tanpa Tuhan, kita semua adalah orang asing secara rohani. Kita terpisah dari sumber kehidupan yang sejati. Hati manusia pada dasarnya hanya bisa menemukan rumah sejatinya di dalam Tuhan. Santo Agustinus berkata, "Ya Tuhan, Engkau menciptakan kami untuk diri-Mu, dan hati kami gelisah sampai kami menemukan perhentian di dalam-Mu." Ini adalah realitas spiritual kita. Kita selalu mencari sesuatu yang bisa membuat kita merasa nyaman, yang bisa membuat kita merasa diterima, yang bisa membuat kita merasa di rumah. Namun, tanpa Tuhan, kita tidak akan pernah benar-benar menemukannya.

Mazmur 90:1 mengatakan, "Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami turun-temurun." Dalam teks aslinya, kata "tempat perteduhan" ini berarti "rumah"—sebuah tempat di mana kita benar-benar merasa nyaman dan aman. Itulah sebabnya kita selalu mencari suasana yang "homie," yang membuat kita merasa diterima dan nyaman. Kita ingin berada di tempat yang terasa tepat, di mana segalanya terasa pas. Tetapi realitanya, dunia ini tidak bisa memberikan hal itu secara sempurna.

Ketika Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, mereka kehilangan rumah sejati mereka di dalam Tuhan. Sebelumnya, mereka tidak merasa malu, mereka tidak merasa asing, mereka hidup dalam keintiman dengan Tuhan. Tetapi ketika dosa masuk, mereka merasa terputus, terasing, dan mulai bersembunyi. Sejak saat itu, seluruh umat manusia hidup dalam keterasingan spiritual. Bahkan seorang filsuf yang tidak percaya Tuhan seperti Martin Heidegger mengatakan bahwa manusia mengalami "ketidaknyamanan ontologis"—kondisi di mana kita tidak pernah benar-benar merasa di rumah di dunia ini. Kita selalu merasa ada sesuatu yang kurang.

Albert Camus, seorang filsuf eksistensialis lainnya, berkata bahwa keindahan itu menyakitkan. Mengapa? Karena setiap kali kita menikmati sesuatu yang indah—sebuah lagu, secangkir kopi, makanan lezat—itu hanya sesaat. Kita ingin kenikmatan itu bertahan selamanya, tetapi ia selalu berlalu. Begitu juga dengan semua pencapaian dan kebahagiaan duniawi. Kita selalu ingin lebih, tetapi tidak pernah benar-benar puas.

Apa yang sebenarnya kita cari? Kita mencari cinta yang tidak pernah mengecewakan. Kita mencari penerimaan yang tidak pernah berakhir. Kita mencari makna yang tidak dapat diguncang oleh keadaan. Tim Keller berkata dalam bukunya Reason for God, "Di dalam semua cinta yang Anda cari untuk memberi kepuasan diri Anda, sebenarnya Anda mencari pelukan yang Anda ingat tetapi belum pernah Anda alami." Pelukan siapa itu? Pelukan Tuhan.

Ketika kita memuji Tuhan, mengapa kita bisa tersentuh? Mengapa kita bisa menangis? Karena kita mengalami nostalgia spiritual—sebuah pengingat bahwa kita sebenarnya diciptakan untuk tinggal dalam hadirat Tuhan. Adam dan Hawa pernah memiliki itu, tetapi dosa membuat kita tersesat. Namun, kabar baiknya adalah, melalui Kristus, kita tidak lagi menjadi orang asing. Efesus mengajarkan bahwa kita yang dahulu hidup terasing, kini telah dijadikan bagian dari keluarga Allah. Kita menemukan rumah sejati kita di dalam Kristus.

Saudara, apakah Anda pernah merasa kosong meskipun sudah mendapatkan apa yang dunia tawarkan? Mungkin Anda telah mencari kenyamanan dalam makanan, musik, kesuksesan, tetapi tetap merasa ada sesuatu yang kurang. Itu karena yang sebenarnya Anda butuhkan bukanlah hal-hal duniawi yang lebih mewah, tetapi Tuhan sendiri. Hanya di dalam Dia kita bisa benar-benar merasa di rumah.

Jadi, pertanyaannya adalah, di mana kita mencari identitas kita? Apakah kita masih mencari penggenapan dalam hal-hal yang sementara? Ataukah kita sudah benar-benar menemukan rumah kita di dalam Kristus? Hari ini, kita diajak untuk kembali kepada sumber kehidupan kita yang sejati. Karena hanya di dalam Dia, kita bisa berkata, "Home sweet home."

STOP & REFLECT

  • Apakah kita pernah merasakan kekosongan yang tak terpuaskan seperti orang asing di dunia ini? Bagaimana kita masih sering mencari identitas di luar Kristus?
  • Apakah ada aspek dalam kehidupan di mana kita masih sering merasa jauh dari Tuhan?

SIAPA KITA SEKARANG?

Siapakah kita sekarang sebagai orang yang telah diselamatkan oleh Tuhan? Ini adalah pertanyaan penting, karena pemahaman kita tentang identitas kita dalam Kristus akan mempengaruhi bagaimana kita menjalani hidup ini.

Sebelum kita membahas lebih jauh, mari kita kembali ke inti dari Injil itu sendiri. Mungkin ada di antara kita yang belum sepenuhnya memahami apa itu Injil. Injil adalah kabar baik, bukan sekadar nasihat baik. Apa bedanya?

Nasihat baik adalah tuntunan moral, aturan, atau pedoman yang mengajarkan kita bagaimana menjadi orang yang lebih baik agar dapat memperoleh perkenanan Tuhan. Nasihat baik berpusat pada usaha manusia: "Kalau kamu hidup baik, Tuhan akan memberkatimu." "Kalau kamu taat, kamu akan diterima oleh Tuhan." Segala sesuatu dalam nasihat baik bergantung pada tindakan dan pencapaian manusia.

Namun, Injil berbeda. Injil bukan tentang apa yang harus kita lakukan untuk diterima Tuhan, tetapi tentang apa yang telah Tuhan lakukan melalui Yesus Kristus. Injil adalah kisah tentang Tuhan yang menghampiri kita, manusia berdosa yang tidak mampu menyelamatkan diri sendiri. Yesus datang, hidup dengan sempurna, mati menggantikan kita, dan bangkit untuk memberikan kita hidup yang baru. Keselamatan bukan hasil usaha manusia, melainkan anugerah Tuhan yang diterima melalui iman kepada Kristus.

Jadi, Injil bukan beban, tetapi kelegaan. Injil bukan daftar tugas yang harus dilakukan, tetapi janji Tuhan yang telah digenapi melalui karya Kristus. Injil bukan tuntutan moral, tetapi kasih karunia yang mengubahkan kita dari dalam ke luar.

Sebagai orang yang telah diselamatkan, Rasul Paulus memberikan tiga gambaran penting tentang siapa kita sekarang dalam Kristus:

  1. Warga Kerajaan Allah
  2. Anggota Keluarga Allah
  3. Batu dalam Bangunan Bait Allah

Ketiga gambaran ini menunjukkan hubungan kita dengan Tuhan dan dengan sesama orang percaya. Dan yang menarik, ketiga gambaran ini semakin lama semakin intens.

Sebagai warga negara, ada rasa memiliki dalam suatu kerajaan. Saya masih ingat ketika pertama kali pindah ke Amerika di usia 17 tahun. Di sana, saya bertemu dengan sesama orang Indonesia dalam komunitas mahasiswa. Rasanya menyenangkan, ada koneksi karena kami berasal dari budaya yang sama. Tetapi Paulus tidak berhenti pada gambaran warga negara.

Lebih dari itu, kita adalah anggota keluarga Allah. Seorang presiden mungkin tidak mengenal semua rakyatnya, tetapi seorang ayah mengenal anak-anaknya dengan baik. Dalam keluarga, ada kedekatan yang lebih dalam dibandingkan sekadar berbagi budaya.

Dan yang lebih dalam lagi, kita adalah batu dalam bangunan bait Allah. Batu-batu ini tidak diletakkan secara acak, tetapi dibentuk dan disusun hingga pas satu sama lain. Artinya, semakin dalam kita bertumbuh dalam Injil, semakin erat pula kita dipersatukan dengan orang-orang percaya lainnya.

Kita mungkin berasal dari latar belakang yang berbeda—suku, budaya, ekonomi—tetapi sekarang kita memiliki identitas yang sama dalam Injil. Ikatan kita dengan sesama orang percaya seharusnya lebih kuat daripada ikatan budaya atau bahkan keluarga biologis kita, karena Injil membentuk kita lebih dalam dibandingkan apa pun di dunia ini.

Lalu, bagaimana implikasinya bagi kita? Apakah kita dapat hidup sebagai satu keluarga hanya dengan datang ke gereja seminggu sekali? Apakah kita bisa mengalami komunitas Injil yang sejati jika hanya hadir secara online atau hanya datang sebulan sekali? Tentu tidak.

Kita dipanggil untuk masuk dalam relasi yang mendalam dalam komunitas Kristen. Ada orang yang berkata, "Saya sudah kecewa dengan gereja. Sekarang saya hanya ingin hubungan pribadi dengan Tuhan." Tetapi iman Kristen bukan hanya tentang "me and God alone", melainkan tentang hidup dalam tubuh Kristus.

Paulus memberikan tiga indikator untuk mengukur kedalaman relasi kita dalam keluarga Allah. Yang pertama, gereja harus menjadi tempat yang aman (safe). Dalam keluarga, kita seharusnya bisa menjadi diri sendiri tanpa berpura-pura. Gereja bukanlah sekadar tempat atau acara mingguan, tetapi komunitas di mana kita berbagi kehidupan dengan segala kekurangan dan kelemahan kita.

Namun, gereja juga bukan sekadar tempat yang nyaman. Kita juga harus berani menghadapi tantangan dalam komunitas Kristen. Oleh karena itu, gereja bukan hanya safe, tetapi juga "not soft." Artinya, kita harus memiliki akuntabilitas pribadi, bersedia ditegur, dan bertumbuh dalam kedewasaan rohani. Dalam keluarga, kita saling mengenal dan membantu satu sama lain untuk bertumbuh. Begitu pula dalam gereja, kita harus siap untuk dibentuk oleh komunitas agar semakin menyerupai Kristus.

Terakhir, gereja juga harus memiliki keterlibatan dalam ibadah korporat. Saya ingin berbicara kepada teman-teman yang merasa nyaman hanya mengikuti ibadah secara online. Saya sering bertemu dengan orang-orang yang berkata, "Pastor, saya adalah jemaat online Gibeon Church dan sudah dua tahun tidak menginjakkan kaki di gereja." Saya bersyukur Anda tetap mendengarkan firman Tuhan, tetapi saya ingin mengingatkan bahwa gereja bukan hanya tentang mendengar firman, melainkan juga tentang mengalami persekutuan yang nyata dalam tubuh Kristus.

CS Lewis dalam bukunya The Four Loves mengatakan: “Dibutuhkan komunitas untuk benar-benar mengenal seseorang.” “Kita tidak bisa mengenal seseorang secara penuh hanya melalui hubungan satu lawan satu. Kita hanya bisa melihat semua sisi seseorang dalam konteks komunitas.”

Kita tidak bisa hidup sendiri. Kehidupan Kristen bukanlah perjalanan individu, tetapi perjalanan bersama sebagai satu keluarga di dalam Kristus. Ketika kita hidup dalam komunitas Injil, kita diproses, dibentuk, dan mengalami perubahan yang sejati. Karena itu, mari kita menjadi bagian dari gereja yang sejati, bukan hanya sekadar hadir, tetapi benar-benar terlibat dalam keluarga Allah.

STOP & REFLECT

Apakah kita sudah hidup sebagai bagian dari keluarga Allah dan menjadi bagian dari bangunan yang dibangun seperti Bait Allah, ataukah kita masih menjalani iman sendirian?

BAGAIMANA MENGHIDUPI IDENTITAS KITA SEKARANG?

Di dalam Efesus 4:3, kita diajak untuk "berusahalah memelihara kesatuan roh oleh ikatan damai sejahtera." Hal yang menarik di sini adalah, Paulus tidak mengatakan kita harus berusaha untuk menciptakan kesatuan, melainkan memeliharanya. Kenapa? Karena kesatuan itu sudah ada, sudah tercipta di dalam Yesus Kristus. Ketika kita diselamatkan, kita diselamatkan oleh kasih karunia melalui iman. Itu adalah kabar baik yang membawa kita pada kesatuan dengan Kristus dan sesama. Namun, meskipun kesatuan itu sudah ada, kita masih perlu berusaha untuk memeliharanya.

Kesatuan itu adalah hasil dari karya Kristus di atas salib. Kesatuan itu adalah hasil dari Injil yang kita terima. Tapi kita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Kita harus menghidupinya, mewujudkannya, dan terus memperjuangkannya. Kita sudah menjadi satu tubuh dalam Kristus, namun kita harus berjuang untuk hidup sebagai satu tubuh tersebut. Mungkin ada di antara kita yang merasa tidak terlalu suka berkumpul dengan orang lain, mungkin karena kita introvert atau merasa tidak ada ikatan yang mendalam dengan saudara seiman. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa memelihara kesatuan itu?

Mari kita lihat petunjuk yang diberikan dalam Efesus 2:20, yang menyatakan bahwa kita adalah bagian dari keluarga Allah. Semua ini dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Mengapa Yesus disebut sebagai batu penjuru? Karena, seperti yang dikutip dari Yesaya 28:16, Yesus adalah batu yang terpilih, yang mahal, yang menjadi dasar dari kerajaan Allah dan gereja-Nya. Yesus, yang ditolak, yang dibuang, menjadi batu penjuru. Ini adalah nubuatan yang menunjukkan bahwa Yesus harus ditolak dahulu, sebelum akhirnya menjadi dasar yang kokoh bagi gereja.

Bagi kita, ini berarti bahwa Yesus disingkirkan agar kita yang dulu asing, yang seharusnya dibuang, bisa diterima dan dikasihi. Dalam Efesus 2, kita yang dulunya orang asing, pendatang, kini telah menjadi anggota keluarga Allah. Semua ini terjadi karena kasih dan penerimaan Tuhan yang radikal, yang diberikan kepada kita melalui salib Kristus. Yesus, yang adalah Anak Allah, yang memiliki rumah Allah, rela kehilangan rumah-Nya, agar kita bisa mendapatkan tempat di rumah Allah. Dia yang tidak punya rumah, bahkan dilahirkan di kandang, mengalami penolakan, dan mati di salib, agar kita bisa masuk ke dalam rumah Tuhan.

Yesus kehilangan tempat tinggal-Nya, agar kita bisa pulang kepada Tuhan. Dia mengorbankan segalanya, agar kita yang seharusnya diusir, dapat diterima dan menjadi bagian dari keluarga Allah. Ini adalah bentuk penerimaan yang paling radikal yang pernah ada dalam sejarah. Kita yang seharusnya asing, yang seharusnya tidak diterima, kini diterima menjadi anggota keluarga Allah. Renungkan ini dalam hati kita, karena inilah yang akan mengubah hati kita. Inilah yang akan membuat kita lebih menghargai Yesus dalam hidup kita. Yesus menjadi batu penjuru yang sejati dalam hidup kita, yang mendorong kita untuk hidup dalam komunitas dan mengenal-Nya, tidak sendirian, tetapi bersama keluarga Allah.

Seperti yang dikatakan oleh Charles Spurgeon dalam sermon-nya, "Tanpa Kristus sebagai batu penjuru, gereja bukanlah gereja, melainkan sekumpulan orang tanpa arah." Batu penjuru adalah batu yang paling menentukan dalam sebuah bangunan. Jika kita merasa tidak perlu atau belum siap terikat dengan orang percaya lainnya dalam komunitas Kristen, mungkin itu tandanya bahwa Yesus belum benar-benar menjadi batu penjuru dalam hidup kita. 

STOP & REFLECT

Apakah Kristus benar-benar menjadi batu penjuru dalam hidup kita? Apakah Dia menjadi pusat atau hanya pinggiran di dalam hidup kita? 

Maukah kita memperjuangkan “Satu Keluarga, Satu Bangunan dan Satu Injil” dengan menjadi bagian dari Komunitas Injil?

Di area apa, di dalam hati, kita perlu bertobat, serta dikalibrasi dengan mengkotbahkan Injil kepada diri sendiri?

ORANG BERINJIL

  • Dulu berusaha mencari makna dan identitas di dunia, tetapi sekarang menemukan identitas dan makna “Home” sejati mereka di dalam Kristus
  • Bukan hanya memiliki hubungan dengan Allah secara vertikal, tetapi juga memiliki hubungan horizontal dalam komunitas Injil, yang terdiri dari orang-orang yang berbeda tetapi satu dalam kasih Kristus.
  • Dulunya batu yang tidak berguna dan tidak sempurna, tetapi diukir dan disusun secara sempurna di atas Yesus Kristus Sang Batu Penjuru.