The Gospel & Our Neighbor

GOSPEL IN LIFE Week 8 "Gospel And The Neighbor" 

Ps. Dave Rindy Hatoguan


Pembacaan : Lukas 10 : 25 – 37

Mengasihi sesama tentunya bukan sesuatu yang asing di dalam kehidupan orang Kristen, bahkan orang diluar sana mengidentikan kekristenan dengan cinta kasih, tetapi pertanyaannya apakah benar demikian, lalu apakah motivasi kita sebagai orang percaya benar-benar tulus ketika mengasihi sesama? Apakah hanya supaya kita juga menerima kebaikan orang dikemudian hari, atau mengasihi seseorang yang hanya baik kepada kita, lalu bagaimana perasaan kita, ketika kita berusaha berbuat baik kepada sesama, tetapi justru orang tersebut menolak perbuatan baik kita atau respon orang tersebut tidak menyenangkan? Melalui pembacaan Firman yang kita lakukan ada 3 point penting untuk dapat kita renungkan.

          1. TUHAN MENGHENDAKI UMAT MENGASIHI ALLAH SERTA SESAMA MANUSIA TANPA MEMANDANG IDENTITAS DAN LATAR BELAKANG 

Lukas 10:27 

Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Perikop ini dimulai dengan pertanyaan untuk mencobai Yesus, oleh seorang ahli Taurat. Di mana ia ingin mengetahui, pengajaran seperti apa yang Yesus anut untuk memperoleh hidup yang kekal. Sebenarnya pertanyaan ini muncul untuk menjebak dan mencari-cari kesalahan dari Yesus. Karena sesungguhnya Ahli Taurat sudah mengerti tentang hal itu. Jika kita lihat kisah selanjutnya, ahli Taurat itu mungkin berharap Yesus akan menyebutkan kriteria tertentu, yang kemudian bisa disanggahnya. Tetapi, Yesus malah memberikan perumpamaan yang mengejutkan. Dan jelas ahli Taurat tidak dapat menduga jawaban dari Tuhan Yesus. 

Dalam kisah ini ahli Taurat memiliki pandangan bahwa “sesamanya manusia” yang hanya terbatas pada orang Yahudi saja. Karena menurut orang Yahudi, “sesama” adalah yang satu komunitas agama dan bangsa, dan juga untuk mendapat hidup kekal maka mereka harus melakukan hukum taurat ( Hidup Kekal = Hukum Taurat ) Tetapi yang menarik dari respon Tuhan Yesus terhadap pertanyaan ahli Taurat itu dengan bertanya, “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kau baca di sana?” (ayat 26). Pada ayat 27, ahli Taurat itu menggabungkan Ulangan 6 : 5 (mengasihi Tuhan Allah) dan Imamat 19: 18 (mengasihi sesama manusia). Karena inilah inti dari seluruh hukum Taurat, kita tahu bahwa sang ahli Taurat sangat menguasai isi Kitab Suci-nya. Ia bisa mengutip dengan benar hukum yang utama. 

Kemudian Yesus malah memberikan perumpamaan yang mengejutkan. Melalui orang Samaria, orang Samaria adalah keturunan Yahudi yang sudah berdarah campuran, sehingga dihindari oleh orang Yahudi asli. Namun, ketika mendapati seorang Yahudi yang sekarat, justru orang Samaria yang memberikan pertolongan. Sungguh sebuah contoh yang dramatis! Orang yang ditolongnya bukan hanya berasal dari kaum yang berbeda, tetapi yang selama ini juga menghina dan mengasingkan kaumnya! Berkaitan dengan orang Samaria, ada catatan yang menyebutkan bahwa bagi orang Yahudi, makan bersama dengan seorang Samaria adalah sama artinya dengan makan bersama babi dan ini najis hukumnya. Dengan tradisi yang demikian maka sulit bagi seorang Yahudi untuk mengasihi sesama dalam cakupan yang sesungguhnya, sehingga melalui pertanyaan keduanya Si ahli Taurat berharap agar Yesus mengurangi tuntutan dari hukum mengasihi sesama dalam Taurat, sehingga ia tidak dapat disalahkan. Bukankah hal ini mirip dengan kita, seringkali kita suka menilai seseorang atau memasang stigma atau cap kepada golongan suku tertentu? Apalagi jika kita pernah bermasalah dengan salah satu suku tertentu, respon yang saya sering temui adalah kita langsung memukul rata suatu golongan suku tersebut. 

Ilustrasi : Nelson Mandela adalah seorang tokoh pejuang dari negara Afrika Selatan yang menentang apartheid. Beliau sangat berjasa dan dikenang banyak orang. Supaya kita lebih memahami perjuangan Nelson Mandela lebih baik, mungkin kita bahas dulu sedikit tentang politik apartheid Sederhananya, apartheid ini adalah sistem yang memisahkan (segregasi) ras kulit putih dan ras lainnya, dan praktik ini merugikan terutama kepada penduduk kulit hitam yang merupakan mayoritas di Afrika Selatan. Kenapa merugikan? Karena hak penduduk ras kulit putih jauh lebih besar dari ras lainnya, seperti hak pendidikan, politik, dan tempat tinggal. Nelson Mandela terkenal sebagai tokoh yang menentang politik apartheid. Mandela memperjuangkan kesetaraan hak bagi masyarakat kulit hitam yang sering mendapatkan diskriminasi. Perjuangan ini tentu saja tidak mudah baginya. Dalam perjalanannya, Mandela kerap ditangkap, diadili, bahkan dipenjara hingga 27 tahun, namun pada februari 1990, Nelson Mandela dibebaskan, Setelah dibebaskan pada 11 Februari 1990, Mandela kemudian memimpin ANC dalam negosiasinya dengan pemerintah minoritas kulit putih untuk mengakhiri apartheid dan pembentukan pemerintahan multiras. Selama masa pemerintahannya, Mandela tetap berfokus pada penghapusan pengaruh apartheid, memberantas rasisme, kemiskinan, kesenjangan, dan mendorong rekonsiliasi rasial. 

Kita dipanggil mengasihi bersifat non-kondisional dan non-eksklusif, tetapi masalahnya siapa dari kita yang mampu seperti, banyak dari kita sudah gagal akan hal ini, jangankan mengasihi orang lain, sebaik-baiknya seseorang, kita tidak tahu motivasi sesungguhnya dari hati seseorang, bahkan kita sudah gagal mengasihi orang-orang terdekat kita, Akan tetapi kita perlu ingat bahwa Tuhan menghendaki kita mengasihi sesama manusia, bukan hanya orang-orang yang sama dengan kita saja. 

          2. TUHAN MENGHENDAKI UMAT MENGASIHI SESAMA BUKAN HANYA MELAKUKAN KEGIATAN AGAMAWI 

Lukas 10:33 

Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.”

Dalam kisah ini justru seorang Samaria mendekati orang Yahudi yang sekarat itu. Sementara Imam dan Lewi hanya membiarkan begitu saja, Tetapi justru fakta yang menarik adalah beberapa komentari menjelaskan bahwa kemungkinan, orang Yahudi yang sekarat itu baru saja pulang beribadah dari Yerusalem, kita tahu bahwa Yerusalem pada masa itu adalah pusat Bait Suci.

Lukas 10:31 

Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 

Kata “turun", sama seperti yang dipakai pada ayat 30, menunjukkan bahwa imam berjalan dari arah yang sama dengan si korban, yaitu dari Yerusalem ke Yerikho. Ternyata ibadah yang baru saja imam lakukan itu tidak mengubah hati. Sekalipun mereka taat beribadah tetapi mereka tidak peduli terhadap orang lain yang memerlukan pertolongan. William Barclay menjelaskan bahwa tidak dapat diragukan bahwa imam mengingat akan ketentuan bahwa barangsiapa menyentuh orang mati maka ia akan menjadi najis selama tujuh hari (Bilangan 19:11). Sehingga ia menempatkan kewajiban-kewajiban seremonialnya jauh di atas tugasnya, yaitu melayani orang yang malang itu. Imam berpikir bahwa orang yang tergeletak setengah mati itu sungguh sudah benar-benar mati dan ia tidak mau mengambil risiko menjadi tidak murni secara ritual (lihat Im 21:1). Baginya kesalehan lahiriah yang tampak ternyata lebih penting daripada kasih sejati, bahkan melakukan ibadah hanya untuk kepuasan diri. Lalu ada seorang Lewi. 

Berbeda dengan imam itu, orang Lewi itu bukan hanya lewat, menoleh kepada kepadanya, melainkan ia datang dan melihat. Orang Lewi mendekati si korban perampokan itu, namun dia “nyelonong” pergi juga. Barangkali, dia takut atau kuatir para penyamun itu akan menyerbu lagi. Jadi, bagi si orang Lewi, keselamatan dirinya lebih penting daripada keselamatan sesamanya. Mereka yang harusnya menunjukkan belas kasihan terhadap orang lain, malah menahan diri. Sikap orang Lewi ini adalah tidak memedulikan mereka yang memerlukan pertolongan. Orang yang terluka itu (Lukas 10: 32). Orang Lewi itu adalah seorang yang mempunyai semboyan pertama-tama keamanan diri. lapun tidak mau mengambil risiko untuk menolong orang lain. Sungguh menyedihkan bila orang yang seharusnya menjadi teladan kemurahan hati justru berprilaku sangat jahat. 

Bukankah ini juga mirip dengan fenomena orang-orang pada jaman ini, ketika melihat orang kecelakaan di jalan, kebanyakan yang dilakukan justru bukan memberikan pertolongan, tetapi malah mendokumentasikan peristiwa tersebut lalu menyebarkannya ke sosial media. Terdapat sebuah teori yaitu, mengapa Imam dan Lewi itu tidak memberikan bantuan, karena terdapat. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) berasumsi bahwa perilaku menolong ditentukan oleh besarnya imbalan yang diterima dengan pengorbanan yang diminimalkan. Salah satu bentuk imbalan yang dapat diperoleh melalui menolong orang lain adalah rasa positif tentang diri sendiri. Hal lain yang mendorong perilaku menolong menurut teori ini adalah adanya konsep timbal balik. Dalam konsep ini perilaku menolong dilakukan untuk membalas kebaikan orang lain atau sebagai investasi agar di kemudian hari ada orang lain yang menolong kita bila kita membutuhkannya. Jadi setiap tindakan dillakukan oleh seseorang dengan mempertimbangkan untung-ruginya. Secara sederhana ini adalah tindakan transaksional. Jadi jelas mereka tidak akan merasa diuntungkan sesuatu apa pun seandainya mereka menolong si korban. Mereka juga tidak pernah merasa berhutang budi kepada si korban, dan mereka juga tidak merasa perlu untuk melakukan investasi dengan cara menolong si korban. Itulah sebabnya mereka mengambil keputusan untuk tidak menolong. 

Tetapi orang Samaria tetap memberikan bantuan Dalam ayat 33, Yesus menjelaskan bahwa pertolongan yang diberikan oleh orang Samaria merupakan wujud dari hati yang digerakan oleh belas kasihan. Kata Yunani “splagchnizomai” untuk belas kasihan secara literal berarti “tergerak bagian dalam tubuhnya.” sederhananya ada suatu tindakan yang dilakukan, itu berarti bahwa hati yang berbelas kasihan akan akan menggerakan kita untuk mendekat kepada seseorang dan masuk atau menempatkan diri dalam situasi orang tersebut. Melalui kisah ini kita juga dapat belajar bahwa : 1. Berbicara tentang kebenaran tidak menjamin seseorang memiliki hati yang benar. 2. Memahami Kitab Suci tidak menjamin perubahan karakter 3. Aktif melayani tidak sama dengan menaati Firman Tuhan 

Ilustrasi : Rodney Stark, seorang ahli sejarah dan sosiologi yang mempelajari alasan-alasan mengapa Kekeristenan menyebar luas di kekaisaran Romawi. Dunia Yunani-Romawi diserang beberapa wabah penyakit yang hebat. Stark menyelidiki dan menemukan bahwa reaksi orang-orang Kristen sangat berbeda dengan orang-orang yang menganut kepercayaan tradisional politeis pada saat itu. “(Saat terjadi wabah penyakit yang hebat), kebanyakan saudara-saudara Kristen kita menunjukkan kasih dan kesetiaan tanpa batas, tidak memikirkan diri sendiri ... tanpa menghiraukan bahaya, orang-orang Kristen merawat yang sakit, memperhatikan kebutuhan mereka, dan melayani mereka di dalam Kristus... Banyak orang Kristen, saat merawat dan mengobati sesamanya, tertular penyakit yang mematikan itu dan akhirnya meninggal meng- gantikan mereka... Sikap orang-orang non-Kristen pada saat itu sangat jauh berbeda. Ketika wabah pertama kali datang, mereka menjauhkan orang- orang yang menderita dan bahkan pergi meninggalkan pasangan atau keluarga dekat mereka, melemparkan mereka ke jalan sebelum mereka mati.” 

Kasih seharusnya sebuah ekspresi bukan impresi. Ekspresi adalah sesuatu yang muncul dari dalam diri, dari hati keluar menjadi tindakan. Memiliki Belas-kasih dan akan memberkati orang lain, tetapi impresi hanya sekadar tindakan, hanya supaya terlihat baik, sekadar kasihan, dan dilakukan untuk diri sendiri supaya orang lain melihat yang kita perbuat. 

          3. TUHAN MENGHENDAKI UMAT UNTUK MENUNJUKAN BELAS KASIH KEPADA SESAMA, KARENA DIA TELAH MENUNJUKAN BELAS KASIH KEPADA KITA TERLEBIH DAHULU 

Lukas 10:37 

Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Pada ayat yang ke 37 terdapat suatu yang menarik yaitu kata-kata belas kasihan, di ayat yang ke 33 dalam terjemahan bahasa Indonesia menggunakan kata-kata yang sama yaitu belas kasihan, dalam bahasa Inggris pun juga tidak ada perbedaan dalam penggunaan kata yaitu compassion. Akan tetapi jika kita meninjau bahasa asli yang digunakan ternyata kedua ayat tersebut menggunakan kata-kata yang berbeda. Belas kasihan di ayat yang ke-33 menggunakan kata-kata “splagchnizomai” yang artinya tergerak dalam tubuhnya, atau tergerak dalam sebuah tindakan. Tetapi belas kasihan dalam ayat yang ke-37 menggunakan kata-kata “eleos” yang artinya merujuk kepada “mercy”, ini bukan hanya sekedar belas kasihan atau compassion. Tetapi “mercy” itu artinya memberi rahmat, grasi, kemurahan hati, atau karunia. Ilustrasi : Siapa dari kita yang mampu memberikan rahmat kepada orang lain? saya yakin tidak ada satupun dari kita yang mampu melakukan hal ini, mungkin ada dari kita yang sanggup berempati pada sesesorang? 

Lalu Yesus menjawab : Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian! Tentunya ini bukanlah kata-kata saran yang ramah. Itu adalah kalimat penghakiman untuk menjawab pertanyaan sang ahli Taurat. Pertanyaannya adalah siapa dari kita yang sanggup melakukan ini dengan sempurna? siapakah dari kita yang dapat dengan konsisten melakukan ini? bahwa sesungguhnya tidak ada satupun dari kita dapat melakukannya. Kita semua sudah gagal akan hal ini. 

Efesus 2:4 -7

Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, Ef 2:5 telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita -- oleh kasih karunia kamu diselamatkan -- Ef 2:6 dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, Ef 2:7 supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus. 

Lalu bagaimana solusinya, jawabannya ada di Titus 3:5 pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus 

GOSPEL CONNECTION 

Ketika kita belum mengenal Kristus, kita mirip dengan orang malang yang melakukan perjalanan ini. Iblis, musuh kita, telah merampok kita habis-habisan, dan menyakiti kita. Pada dasarnya kita lebih daripada sekadar setengah mati, seperti orang yang dirampok itu, yang kita alami jauh lebih mengerikan, kita mengalami kematian dan kerusakan total, karena melakukan pelanggaran dan dosa. Kita sama sekali tidak mampu menolong diri sendiri, dan tidak berdaya. 

Seperti itulah celaka yang diakibatkan dosa terhadap kita. Hukum Musa, seperti imam dan orang Lewi itu, para pelayan hukum, hanya bisa memandang kita, namun tidak berbelas kasihan kepada kita, tidak memberi kita kelepasan, dan hanya melewati kita dari seberang jalan, seakan-akan tidak memiliki rasa iba ataupun kuasa untuk menolong kita. Orang Samaria itu menaruh belas kasihan terhadap orang Yahudi yang sekarat dan membalut luka-luka orang itu, dan ia menuangkan, minyak dan anggur. Orang Samaria itu merawat korban itu dan memberikan dua dinar kepada pemilik penginapan, serta akan menanggung perawatan jika lebih dari biaya itu. Tetapi jika hanya berhenti disini, maka ini hanya menjadi kotbah yang moralistik. Tetapi Yesus menyelamatkan kita, Dia jauh melebihi orang Samaria yang baik hati itu. Dia bukan hanya memberikan minyak dan anggur, Tetapi Dia memberikan suatu hal yang berharga yakni darah-Nya sendiri untuk menyembuhkan penyakit dosa yang tidak bisa sembuh dengan usaha apapun. 

Dia menaruh belas kasihan terhadap kita dan membalut luka-luka, Dia merawat kita sehingga kita mengalami pemulihan. Kita yang sudah mati oleh pelanggaran dan dosadosa kita, kita yang sudah mati rohani, kembali dihidupkan. Bahkan Yesus tidak hanya membayar lunas semua dosa-dosa kita, tetapi Ia bersedia merendahkan diri dengan rela mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia, di dalam Nama Yesus, Pribadi Roh Kudus diutus untuk memetaraikan dan menopang iman kita, sehingga kita dimampukan untuk terus menghidupi Injil dan percaya kepada Kristus sampai akhir hayat. Hal ini semakin menunjukkan kedalaman kasih-Nya dan membuat kita semua wajib berkata, "Betapa kita ini semua sangat berutang 

IMPLIKASI INJIL

  • Karena Allah telah berbelas kasih maka kita dapat mengasihi sesama manusia walau berbeda 
  • Karena Allah telah berbelas kasih maka kita dapat mengasihi sesama sebagai ekspresi iman bukan hanya karena impresi
  • Karena Allah telah berbelas kasih Maka kita juga dapat mengasihi Tuhan dengan motivasi yang tulus
  • Karena Allah telah berbelas kasih Maka kita juga dapat mengasihi sesama walau tidak dianggap dan diakui