Hidup Merdeka di Tengah Ketidakadilan

KEBENARAN INJIL UNTUK PERGUMULAN MASA KINI – WEEK 10 "Hidup Merdeka di Tengah Ketidakadilan" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Kita ada di khotbah berseri ke-10, Kebenaran Injil untuk Pergumulan Masa Kini. Minggu lalu kita membahas The Gospel for the City. Beberapa orang bertanya, “Mengapa gereja perlu bicara tentang kota dan bangsa, padahal kondisi bangsa sedang buruk?” Kita melihat berbagai masalah: ketidakadilan, pengangguran, korupsi, hingga keresahan di media sosial. Tidak heran banyak yang marah dan kecewa dengan keadaan ini.

Namun pertanyaannya justru di sini: mengapa gereja dipanggil untuk tetap mencintai kota, mendoakan bangsa, dan berharap bagi negara? Karena Tuhan peduli. Jika kita tidak peduli, kita sedang tidak berjalan dalam kehendak-Nya. Hidup di tengah situasi sulit bukan alasan untuk membenci, melainkan kesempatan untuk memohon belas kasih Tuhan atas bangsa kita.

Alkitab memberi teladan: Daniel, Sadrah, Mesakh, Abednego, dan para nabi di pembuangan tidak berhenti mengusahakan kesejahteraan kota tempat mereka tinggal. Mereka berdoa, bekerja, dan tetap setia kepada Allah. Itu juga panggilan kita hari ini.

Mungkin ada yang merasa, “Semua usaha ini percuma.” Namun tidak demikian. Tuhan melihat, dan segala doa serta usaha kita memiliki arti. Pada akhirnya, Allah sendiri yang akan memulihkan dunia bersama Kristus di langit dan bumi yang baru.

Hari ini saya ingin berbicara tentang hidup merdeka, karena kebetulan juga bertepatan dengan hari kemerdekaan. Namun pertanyaan pentingnya adalah: maukah kita benar-benar hidup merdeka di tengah ketidakadilan? Untuk itu, kita akan membaca Mazmur 73, sebuah mazmur dari Asaf. Mazmur ini memperlihatkan pergumulan hati Asaf yang penuh dengan kemarahan terhadap ketidakadilan.

Bacaan : Mazmur 73

(1) Mazmur Asaf. Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya.

(2) Tetapi aku, sedikit lagi kakiku terpleset, nyaris tergelincir.

(3) Sebab aku cemburu kepada pembual, ketika melihat kemujuran orang fasik.

(4) Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, tubuh mereka sehat dan gemuk.

(5) Mereka tidak mengalami kesusahan manusia, tidak kena tulah seperti orang lain.

(6) Sebab itu mereka berkalungkan kecongkakan dan berpakaian kekerasan.

(7) Karena kegemukan, kesalahan mereka menyolok. Hati mereka meluap dengan sangkaan.

(8) Mereka menyindir dan mengajak dengan jahat, percakapan mereka tinggi hati.

(9) Mereka membuka mulut melawan langit, lidah mereka membual di bumi.

(12) Sesungguhnya itulah orang fasik, mereka menambah harta benda dan senang selamanya.

(13) Sia-sia aku menjaga hati tetap bersih dan membasuh tanganku tanda tak bersalah.

(14) Setiap pagi aku kena tulah, setiap hari kena hukum.

(16) Tetapi ketika aku masuk ke tempat kudus Allah, aku mengerti kesudahan mereka.

(23) Namun aku tetap di dekat-Mu. Engkau memegang tangan kananku.

(24) Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan.

(25) Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tiada yang kuingini di bumi.

(26) Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.

Hari ini kita merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia, delapan puluh tahun sejak bangsa ini bebas dari penjajahan. Bendera dikibarkan, lagu kebangsaan dinyanyikan, kita mengenang jasa para pahlawan. Namun sejarah membuktikan: merdeka sebagai bangsa tidak otomatis membuat pribadi sungguh merdeka. Di negara merdeka pun masih ada ketidakadilan, kesenjangan, dan diskriminasi. Indonesia memang bebas dari penjajah, tetapi banyak yang tetap diperbudak dosa dan sistem yang rusak.

Pada tingkat pribadi pun sama. Meski merdeka secara politik, apakah hati kita benar-benar merdeka? Penjajahan halus hadir dalam bentuk kepahitan, iri hati, rasa tidak adil, dan kemarahan kepada Tuhan. Banyak yang mengaku tidak percaya Tuhan, tapi alasannya justru karena merasa Tuhan tidak adil—sebuah kontradiksi. Kita pun sering begitu: pahit, sinis, bahkan sarkastis. Akar dari semua itu: hati yang marah kepada Tuhan.

Itulah pergumulan Asaf dalam Mazmur 73. Sebagai pemimpin ibadah, ia bertanya, “Mengapa orang yang tidak percaya hidupnya lebih enak daripada aku yang ikut Tuhan?” Ia marah, namun tetap datang dengan jujur di hadapan Allah. Mazmur ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak terintimidasi oleh keluhan atau amarah kita. Banyak tokoh Alkitab pun bergumul demikian.

Karena itu, mari belajar jujur di hadapan-Nya. Sering kali orang ragu bukan karena kurang bukti, melainkan kecewa melihat ketidakadilan dan penderitaan. Asaf hampir goyah meski tahu Tuhan itu baik. Namun akhirnya ia bersaksi, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau?” Ia sadar, kemerdekaan sejati bukan soal kondisi luar, melainkan pembebasan hati. Hati yang terikat pada kepahitan dan kekecewaan tidak akan pernah sungguh merdeka, meski hidup di negara merdeka.

Hari ini, ada tiga poin yang ingin saya bagikan dari Mazmur 73. 

  • Pertama, kita perlu menghadapi realita ketidakadilan, bukan menyangkalnya. 
  • Kedua, kita harus masuk ke dalam hadirat Tuhan, ke tempat kudus-Nya. 
  • Ketiga, kita perlu melihat bahwa hidup kita dipegang oleh tangan Tuhan.

          1. MENGHADAPI REALITA KEHIDUPAN

Yang pertama, menghadapi realita ketidakadilan. Jika kita perhatikan ayat 4–9, itu berisi komplain Asaf, yang sangat bisa kita rasakan.

Digambarkan, orang fasik hidup sehat, kuat, jarang sakit (ayat 4). Mereka tampak lebih makmur, dan hal ini mengguncang iman Asaf seolah kebaikan Tuhan tidak nyata. Hari ini pun kita melihat banyak orang jauh dari Tuhan tetapi punya body goals, rajin liburan, dan tampak bahagia. Lalu muncul pertanyaan, “Kenapa mereka lebih bahagia daripada aku?

Ayat 5 berkata orang fasik tampak bebas dari beban hidup. Sementara kita yang setia pada Tuhan justru merasa lebih berat, hingga ada yang berkata, “Percuma ikut Tuhan.” Ayat 6 menambahkan, kesombongan menjadi perhiasan mereka. Di era media sosial, kesombongan bahkan jadi branding pribadi—pamer barang mewah, pencapaian, dan gaya hidup.

Lebih dari itu, kekerasan menjadi pola hidup mereka, entah fisik atau dengan menginjak orang lain demi keuntungan. Dalam bisnis maupun politik, orang kejam justru sering punya banyak pengikut. Ayat 7 menggambarkan pikiran mereka penuh niat jahat—menambah kekayaan dan kenikmatan tanpa peduli siapa dirugikan. Keserakahan, hawa nafsu, dan perkataan sinis menjadi ciri, bahkan sampai cyber bullying. Mereka angkuh terhadap sesama dan berani merendahkan Tuhan.

Ketidakadilan nyata di mana-mana. Di Indonesia, koruptor bisa bebas, sedangkan orang kecil dipenjara karena lapar. Yang dekat penguasa lolos hukum, sementara rakyat ditindas. Yang taat aturan dipersulit, yang melanggar malah dipermudah. Tak heran muncul keluhan, “Tuhan, Engkau lihat atau tidak?”

Di media sosial pun hidup orang lain tampak indah—liburan, prestasi, momen bahagia—padahal sering diperoleh lewat cara kotor. Bahayanya, jika hanya fokus pada potret itu, iman bisa goyah. Apalagi ketika kita sudah berusaha hidup benar: ibadah, jujur, bayar pajak, memperlakukan orang dengan baik, namun yang melanggar justru tampak hidup lebih enak. Godaan untuk menyalahkan Tuhan pun muncul.

Namun bahaya yang lebih besar ada di hati: kita diam-diam mengagumi gaya hidup mereka. Krisis Asaf bukan sekadar intelektual, tetapi juga keinginan tersembunyi—ingin menikmati hidup orang fasik. Kekaguman pada dunia bisa mengubah standar kebenaran, dan lama-lama hati ikut terikat. Yesus berkata, “Di mana hartamu, di situ hatimu berada.”

Iri hati adalah penjara jiwa. Kita sakit hati melihat orang lain mendapat sesuatu yang menurut kita tidak pantas. “Seharusnya aku yang dapat,” begitu isi hati kita. Contohnya di kantor, pelayanan, bahkan keluarga: kita setia, tapi orang lain yang dipuji atau lebih berhasil.

Itulah yang dialami Asaf. Ia berkata sia-sia menjaga hati bersih, karena justru merasa tertimpa hukuman. Dari mengakui kebaikan Tuhan, ia sampai berkata sia-sia beribadah. Namun ia jujur. Ia berani mengungkap isi hati. Ini pelajaran penting: di balik kemarahan atas ketidakadilan sering tersembunyi iri hati dan keinginan duniawi.

Asaf bukan hanya marah pada ketidakadilan, tetapi tergoda meninggalkan Allah demi gaya hidup fasik yang tampak lebih enak. Ia mengaku, “Aku cemburu kepada pembual, ketika aku melihat kemujuran orang fasik” (ayat 3).

Inilah titik tergelincir orang percaya—menilai Tuhan hanya dari untung-rugi jangka pendek. Iri hati bukan hal netral, melainkan bukti hati yang sedang terpikat dunia.

           2.MASUK KE HADIRAT TUHAN

Kita masuk pada poin kedua: masuk ke dalam hadirat Tuhan. Di sinilah Asaf tiba-tiba mulai sadar. Perhatikan Mazmur 73:16-17: "Tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu menjadi kesulitan di mataku. Sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka."

Inilah titik balik Asaf. Ia berkata bahwa ketika ia berusaha memahami semua ini, rasanya sulit baginya. Namun, ketika ia masuk ke tempat kudus Allah, barulah ia mulai melihat dengan berbeda. Dalam bahasa Inggris disebut the sanctuary, dalam bahasa kita bisa dimengerti seperti pergi ke gereja. Apa yang terjadi di gereja? Ada firman Tuhan, ada puji-pujian, ada penyembahan. Tempat kudus dalam Perjanjian Lama adalah tempat kehadiran Allah, tempat ibadah berlangsung.

Ketika Asaf masuk ke dalam ibadah, ia tidak lagi hanya melihat potongan kecil dari puzzle kehidupan, tetapi mulai melihat gambaran besar. Perubahan yang terjadi bukanlah perubahan situasi hidupnya—orang fasik tetap hidup enak, ia sendiri masih bergumul—tetapi yang berubah adalah perspektifnya.

Inilah prinsip penting: banyak orang menunggu keadilan terwujud lebih dulu, menunggu situasi berubah, baru hati bisa damai. Namun firman Tuhan mengajarkan, hati kita bisa damai meskipun situasi belum berubah, asalkan kita memandangnya dari perspektif Allah.

Sering kali kita terpaku pada here and now, hanya pada apa yang tampak. Elisabeth Elliot pernah menulis pengalamannya di Skotlandia: ia melihat seorang gembala menggiring domba ke bak berisi obat untuk membunuh parasit. Proses itu keras—domba didorong bahkan ditenggelamkan kepalanya. Mereka memberontak, seolah gembala kejam. Padahal ia sedang menyelamatkan nyawa mereka. Elliot merenung, demikian juga kita kepada Tuhan: merasa Ia kejam saat membawa kita ke situasi sulit, padahal Ia sedang menyelamatkan dari bahaya yang tak kita sadari. Proses itu menyakitkan, tetapi ini merupakan bagian dari pemurnian hati dan pembebasan dari keinginan salah.

Masuk ke hadirat Tuhan melalui firman dan ibadah menolong kita mengingat bahwa Ia Gembala yang bijaksana. Di hadapan-Nya kita belajar melihat akhir cerita, bukan hanya situasi sekarang.

Asaf pun sadar kemakmuran orang fasik itu rapuh. Mazmur 73:18 berkata, “Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh mereka.” Awalnya ia hampir tergelincir karena iri, tetapi ia sadar justru mereka yang berdiri di tanah licin, siap jatuh. Pada akhirnya semua manusia mempertanggungjawabkan hidup di hadapan Tuhan.

Karena itu ia tak lagi iri pada kesuksesan sementara. Hidup bukan potongan kecil, melainkan cerita utuh yang hanya Tuhan, Alfa dan Omega, tahu hingga akhir. Dari sudut pandang kita sering tampak tidak adil, tetapi firman menyingkapkan bahwa keadilan Allah pasti ditegakkan.

Jika hanya menekankan satu sifat Tuhan, kita akan bingung. Kasih tanpa kekudusan membuat frustrasi, kekudusan tanpa kasih membuat takut. Yang kita perlukan adalah kebijaksanaan Allah yang sempurna—kasih dan kekudusan berjalan bersama.

Masuk ke hadirat Tuhan melalui firman, doa, dan pujian menolong kita melihat dari perspektif-Nya. Di situlah hati dimurnikan, dilepaskan dari kepahitan, dan benar-benar merdeka. John Stott menulis dalam The Contemporary Christian, kebebasan bukanlah melakukan sesuka hati, melainkan kuasa untuk melakukan yang benar—hidup dalam kehendak Tuhan, mengasihi, dan melayani demi kemuliaan-Nya. Itulah kebebasan sejati yang lahir dari perspektif hadirat Allah.

          3.HIDUP DIPEGANG TANGAN TUHAN

Bagian ketiga berbicara tentang hidup yang dipegang oleh tangan Tuhan. Apa yang kemudian terjadi? Mari kita lihat ayat 23: “Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku.” Ayat 24 melanjutkan, “Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan.”

Perhatikan perubahan nada Asaf. Pada ayat 2 ia berkata, “kakiku hampir tergelincir.” Ia hampir kehilangan iman, hampir jatuh ke jurang. Namun setelah ia masuk ke tempat kudus Tuhan, setelah beribadah, membaca firman, dan melihat gambaran besar Allah, ia menyadari bahwa Tuhan tidak pernah jauh. Justru sebaliknya, Tuhan dekat dan memegang tangannya erat. Hidupnya ternyata dipegang oleh tangan Tuhan.

Perubahan ini bukan karena musuhnya kalah atau ia mendapat terobosan keadilan, melainkan karena hatinya dikalibrasi di hadapan Allah. Ia sadar, bukan dirinya yang memegang Tuhan, melainkan Tuhan yang memegang dia. Demikian juga dengan kita: bukan kita yang memegang tangan Tuhan, tetapi tangan Tuhanlah yang memegang kita. Jika bukan karena kasih karunia Tuhan yang menopang, kita sudah lama jatuh.

Mungkin ada yang pernah marah kepada Tuhan, kecewa dengan gereja, bahkan ingin meninggalkan iman, tetapi kenyataan bahwa hari ini masih mendengar khotbah ini adalah bukti bahwa Tuhan tetap memegang tangan kita. Bahkan ketika kita seperti domba yang memberontak dan melawan gembala, Tuhan tidak menjauh, Ia tetap dekat. Inilah kebenaran yang memerdekakan.

Respon Asaf muncul dalam ayat 25: “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.” Ia menyadari, segala hal yang dahulu membuatnya iri sebenarnya rapuh, sementara yang sejati ia miliki dalam Tuhan. Ayat 26 menegaskan: “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Meskipun ia tidak mengalami apa yang orang fasik nikmati, memiliki Allah berarti ia memiliki segalanya.

Pertanyaan yang diajukan bagi kita adalah: maukah hari ini kita merdeka dari hati yang iri pada orang fasik? Semua yang dimiliki dunia bersifat fana, mudah tergelincir. Jangan lagi kagum pada dunia, karena dunia sedang menuju kebinasaan. Kita memiliki Yesus yang jauh lebih indah, lebih mulia, dan lebih berharga.

Lalu apa yang membuat Asaf berubah begitu drastis? Ayat 17 menjelaskan: “Sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah dan memperhatikan kesudahan mereka.” Tempat kudus adalah sanctuary. Apa yang terjadi di sana? Ada penyembahan, ada mesbah, ada korban. Di sanalah Asaf melihat sesuatu yang mengubah hatinya. Dari iri, pahit, dan cemburu, ia menjadi percaya dan tenang karena menyadari bahwa Tuhan memegang tangannya di altar penyembahan.

Namun semua itu hanyalah bayangan dalam Perjanjian Lama. Kita memiliki sesuatu yang lebih besar: salib Kristus. Semua simbol di mesbah, korban, dan bait suci menunjuk kepada satu peristiwa sejarah—salib. Di sanalah Yesus mengalami ketidakadilan terbesar. Dia yang tanpa dosa dihukum oleh sistem agama, politik, dan hukum yang korup. Tetapi di dalam ketidakadilan terbesar itu, keadilan Allah ditegakkan dan kasih Allah dinyatakan. Hukuman yang seharusnya kita tanggung ditanggung oleh-Nya, agar kita dimerdekakan.

Salib Kristus mengubah status kita: yang dahulu bersalah kini dibenarkan, yang dahulu terhukum kini diampuni, yang dahulu dimurkai kini dikasihi, yang dahulu musuh Allah kini menjadi anak-anak-Nya. Jika Asaf hanya memiliki bayangan, kita memiliki kenyataan: Yesus Kristus, Sang Bait Suci sejati, Sang Anak Domba Allah, Sang Imam Besar. Melalui Dia, kita memiliki akses langsung ke hadirat Allah, karena tirai yang memisahkan ruang Maha Kudus telah disobek.

Dengan demikian, kita tidak perlu iri kepada dunia. Kita memiliki sesuatu yang jauh lebih besar: Yesus sendiri. Itulah sebabnya kita bisa berkata, “Kristus cukup.”

1 Petrus 2:23 mengingatkan, ketika Yesus menderita Ia tidak mengancam, melainkan menyerahkan diri kepada Dia yang menghakimi dengan adil. Salib membuktikan bahwa satu hari nanti Allah akan menghakimi segala ketidakadilan dunia, namun tanpa membinasakan kita yang percaya.

Rasul Paulus berkata dalam Galatia 5:1, “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.” Artinya, kita telah dimerdekakan jangan lagi dijajah oleh iri hati dan kekaguman pada dunia. Ayat 13 menambahkan, “Memang kamu telah dipanggil untuk merdeka, tetapi janganlah mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.”

Kemerdekaan sejati dalam Kristus adalah kebebasan untuk mengasihi, bahkan mereka yang pernah menyakiti kita. Kemerdekaan dunia berfokus pada hak, sementara kemerdekaan Injil berpusat pada karya Kristus yang memerdekakan.

Ada sebuah kesaksian. Pada tahun 2010, sebelum masuk pelayanan penuh waktu, saya berjanji di hadapan Tuhan untuk meninggalkan profesi demi melayani dengan murni. Saya pernah mengalami kekecewaan terhadap hamba Tuhan yang menyalahgunakan pelayanan, sehingga saya berdoa agar pelayanan saya tetap murni.

Namun bertahun-tahun kemudian, ketika melihat realitas di Indonesia, saya mulai marah. Ada pengajar yang menyesatkan, money oriented, namun jemaat mereka justru semakin banyak, gedung megah, pengaruh besar. Di hati saya muncul pertanyaan, “Mengapa mereka yang seperti itu terlihat diberkati, sedangkan aku yang ingin murni tidak?” Dalam doa, Tuhan menelanjangi motivasi hati saya. Ternyata diam-diam saya iri. Saya menginginkan pengaruh dan pengakuan yang mereka miliki. Saya terkejut, sekaligus bertobat.

Di momen itu, saya diingatkan: “Whom have I in heaven but You?” Tuhanlah yang paling berharga, lebih dari semua yang dunia tawarkan.

Mungkin kita juga masih menyimpan kekaguman pada dunia. Tapi pertanyaannya: apakah kita mau benar-benar hidup dalam kemerdekaan Kristus? Atau tetap terikat oleh iri hati dan ukuran keberhasilan dunia?

PERTANYAAN REFLEKTIF

  • Apakah saya masih terpenjara oleh iri hati, pengakuan manusia, dan ukuran keberhasilan menurut dunia? Ataukah benar-benar hidup dalam kemerdekaan yang Kristus berikan?
  • Apakah saya mau meminta Tuhan menelanjangi motivasi hati saya, sekalipun itu menyakitkan, supaya saya benar-benar bebas untuk hidup bagi-Nya, bukan bagi diri saya sendiri?
  • Apakah kemerdekaan yang Tuhan berikan saya pakai untuk memuaskan ego dan kepentingan pribadi, atau untuk mengasihi dan melayani sesama dengan hati yang murni?

ORANG BERINJIL

  • Sudah diterima dan dibenarkan Tuhan melalui karya Kristus, sehingga tidak lagi mencari penerimaan dan pembenaran manusia.
  • Berani melawan ketidakadilan, tanpa menukar hatinya dengan kepahitan dan kebencian.
  • Tidak iri pada kemakmuran orang fasik karena sadar kemerdekaan sejati bukan soal hasil atau harta di bumi, namun warisan kekal Kristus di surga.