The Gospel for The City

KEBENARAN INJIL UNTUK PERGUMULAN MASA KINI – WEEK 8 "The Gospel for The City" 

Ps. Natanael Thamrin

Kita masih berada dalam rangkaian sermon series yaitu kebenaran Injil untuk pergumulan masa kini. Untuk mengawali khotbah hari ini, saya ingin bercerita tentang beberapa pesan di Instagram yang masuk secara pribadi kepada saya. Intinya, pergumulan mereka berkisar pada hal yang sama.

Beberapa orang bertanya atau bercerita seperti ini, “Pastor, saya sudah pindah ke kota ini beberapa bulan. Bukan di Surabaya, tetapi di kota lain. Namun, saya belum menemukan gereja yang benar-benar mengkhotbahkan Injil. Saya rindu sekali memiliki komunitas rohani di mana saya bisa terhubung dan bertumbuh di kota tempat saya diutus sekarang.” Biasanya kami mengobrol di sana, saya memberikan beberapa dorongan, tetapi sering kali percakapan itu diakhiri dengan pertanyaan seperti, “Pastor, Gibeon tidak buka cabang?”

Saya rasa ini bukan tempat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, suara-suara seperti ini mungkin mewakili kenyataan yang terjadi di banyak kota. Sekalipun kota itu ramai dan penuh aktivitas, ia bisa menjadi tempat di mana orang merasa lelah secara rohani, kehilangan fokus, dan sulit merasakan kehadiran Tuhan. Karena itulah tema khotbah hari ini, The Gospel for the City, menjadi sangat penting untuk kita renungkan kembali.

Hari ini saya akan mengajak kita melihat tema ini secara topikal dan tematik. Saya tidak akan mengambil satu ayat secara khusus, tetapi ingin mengajak melihat bagaimana Alkitab menyatakan betapa pentingnya kota, dan betapa kota membutuhkan Injil.

Beberapa waktu lalu kita banyak berbicara tentang bagaimana Injil berbicara kepada diri kita, kecemasan kita, dan rasa takut kita. Itu seperti sedang melakukan zoom in ke dalam hati kita. Namun hari ini, saya ingin kita memakai lensa zoom out, melihat gambaran yang lebih luas. Injil bukan hanya berbicara tentang saya dan apa yang Tuhan lakukan bagi saya, tetapi juga tentang bagaimana Allah akan merestorasi dunia ini.

Pertanyaannya: mengapa pembahasan tentang kota itu penting? Topik ini jarang, bahkan hampir tidak pernah, dikhotbahkan pada hari Minggu. Biasanya kita mendengarnya di konferensi urban mission atau penginjilan di kota. Tetapi hari ini, di hari Minggu ini, saya ingin kita memikirkannya bersama.

Untuk mengawali, saya ingin mengutip tiga pandangan dari orang-orang dengan latar belakang yang berbeda. Meskipun konteksnya bukan Indonesia, pandangan mereka tetap relevan.

Yang pertama adalah Jim Clifton, CEO Gallup dari tahun 1988 hingga 2022. Ketika ditanya tentang krisis lapangan kerja, Clifton menjawab melalui bukunya bahwa jawabannya adalah kota-kota. Menurutnya, arah kepemimpinan di 100 kota terbesar di Amerika akan menentukan masa depan ekonomi negara tersebut. Ia menekankan bahwa masa depan ekonomi nasional sangat ditentukan oleh kualitas kepemimpinan lokal di kota-kota besar. Di tengah krisis lapangan kerja, pembangunan ekonomi, kata Clifton, harus dimulai di kota.

Yang kedua berasal dari sebuah artikel di jurnal Foreign Policy, ditulis oleh Parag Khanna. Ia mengatakan, abad ke-21 tidak akan didominasi oleh Amerika, Tiongkok, Brasil, atau India, tetapi oleh kota. Di zaman yang sulit dikelola ini, kota-kota—bukan negara—menjadi pusat kendali pemerintahan yang akan menjadi fondasi tatanan dunia mendatang. Ia menegaskan bahwa kota akan menjadi pusat yang mengatur, memengaruhi, dan membentuk masa depan dunia melebihi negara secara keseluruhan. Sekarang, ketika seseorang pergi ke suatu negara, ia sering kali berbicara secara spesifik tentang kota yang dituju, bukan hanya negaranya.

Yang ketiga adalah pandangan seorang teolog modern, Albert Mohler, presiden Southern Baptist Theological Seminary. Ia mengatakan, jika gereja Kristen tidak mempelajari cara-cara baru pelayanan di kota, kita akan menjadi penonton dari luar. Injil Yesus Kristus memanggil generasi baru orang-orang Kristen untuk berkomitmen masuk ke kota-kota padat ini. Jika gereja tidak belajar melihat tantangan dan dinamika baru di tengah kota, ia akan kehilangan pengaruh dan peran pentingnya, menjadi tidak relevan dan tidak aktif di tengah kehidupan kota.

Ketiga pandangan ini—Jim Clifton, Foreign Policy, dan Albert Mohler—datang dari latar belakang yang berbeda dan fokus yang berbeda pula, tetapi mereka sepakat: kota itu sangat penting. Apa yang terjadi di kota-kota akan menentukan arah dunia.

Dari sini, kita melihat betapa pentingnya pembahasan tentang kota. Kita perlu memandangnya dengan serius, melihat persoalan kota dalam lensa Injil, dan memahami bahwa Injil sanggup memulihkan segala sesuatu.

Maka dari itu, mari kita membaca beberapa ayat. Kita mulai dari Kejadian 1:28:

Allah memberkati mereka. Lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu; berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”

Lanjut ke Kejadian 11:4:

“Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota, dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.”

Kemudian kita masuk ke Perjanjian Baru, Ibrani 11:10:

“Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.”

Dan terakhir, Wahyu 21:1–3:

“Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan laut pun tidak ada lagi. Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari surga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: ‘Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia, dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka.’”

Setidaknya ada tiga hal yang akan kita renungkan dari tema The Gospel for the City. Pertama, apa kata Alkitab tentang kota? Kedua, mengapa Allah menciptakan kota? Dan ketiga, bagaimana Allah memulihkan kota.

APA KATA ALKITAB TENTANG KOTA

Mari kita lihat terlebih dahulu apa kata Alkitab tentang kota. Ini adalah hal yang perlu didahulukan, karena kita perlu mempelajarinya secara objektif. Sebelum kejatuhan manusia dalam dosa, Kejadian 1:28 mencatat bahwa Allah memberkati manusia dan berfirman kepada mereka—Adam dan Hawa—“Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi; taklukkanlah itu; berkuasalah.”

Dalam bahasa teologi, ini dikenal sebagai mandat budaya. Kejadian 1:28 adalah mandat budaya, sedangkan Matius 28:18–20 berbicara tentang Amanat Agung. Saat Allah berfirman “beranak cuculah dan bertambah banyak,” itu adalah perintah agar manusia berkembang biak. Secara sederhana, ketika jumlah manusia bertambah, terbentuklah kehidupan sosial. Perintah “penuhilah bumi” bukan hanya berarti bertambah banyak, tetapi juga menyebar, membentuk komunitas di tempat masing-masing. Perintah “taklukkanlah itu dan berkuasalah” adalah mandat untuk menjaga keteraturan serta mengelola sumber daya dengan bertanggung jawab.

Seorang profesor misi dari Westminster Theological Seminary, Harvie M. Conn, menanggapi Kejadian 1:28 dengan mengatakan: “Mandat budaya yang diberikan kepada Adam dan Hawa di taman untuk memenuhi, memerintah, dan menaklukkan bumi tidak lain adalah mandat untuk membangun kota.” Dengan kata lain, Kejadian 1:28 menyiratkan bahwa membangun kota adalah mandat dari Allah. Manusia diberi tanggung jawab dan perintah untuk hidup bersama, bekerja, mengatur kehidupan sosial dan ekonomi, dengan tujuan mencerminkan kemuliaan Allah dalam kehidupan manusia. Sebagaimana Allah bekerja menciptakan, manusia pun dipanggil untuk bekerja—di kota.

Secara sederhana, membangun kota adalah bagian dari tanggung jawab yang Allah berikan kepada manusia untuk merawat dan mengatur dunia ini.

Mungkin muncul pikiran, “Itu kan sebelum kejatuhan manusia dalam dosa. Setelahnya, segalanya jadi rusak.” Namun, meski manusia jatuh dalam dosa, eksistensi kota tetap mendapat sorotan di Alkitab. Kejadian 4:17–22 menunjukkan perkembangan kota pasca kejatuhan. Kota pertama didirikan oleh Kain, yang menamainya Henok, sesuai nama anaknya. Dalam ayat 20, Yabal disebut sebagai bapa orang yang tinggal di kemah dan memelihara ternak—industri peternakan mulai berkembang. Ayat 21 memperkenalkan Yubal, saudaranya, sebagai bapa semua pemain kecapi dan suling—industri musik dan seni. Ayat 22 menyebut Tubal-Kain sebagai bapa tukang tembaga dan besi—cikal bakal teknologi dan arsitektur.

Manusia membangun kota yang semakin kompleks, dari mandat awal Tuhan untuk memelihara bumi, kini berkembang ke bidang musik, peternakan, teknologi, dan arsitektur. Kompleksitas kota ini makin jelas pada kisah Menara Babel di Kejadian 11:4: “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota, dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” Seandainya dikontekstualisasikan, seolah-olah orang-orang ini sedang membangun perusahaan dengan visi Connecting Heaven and Earth—One Brick at a Time, dan misi “supaya nama kami viral.”

Kota memang berkembang, tetapi Tuhan ingin menyampaikan pesan penting: masalahnya bukan pada kota itu sendiri, melainkan pada hati manusia yang ingin menjadi tuhan di kota. Semangat otonomi, membangun identitas terpisah dari Allah, itulah persoalan utamanya.

Namun, kabar baiknya adalah Allah tidak menyerah pada rencana-Nya. Ada sebuah kota yang dirancang dan dibangun oleh Allah sendiri, seperti tertulis di Ibrani 11:10: “Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.” Ayat ini berbicara tentang Abraham, bapak orang beriman. Ia hidup sebagai pendatang di tanah yang dijanjikan, tidak membangun kotanya sendiri, tidak mencari keamanan atau identitas dari kota, tetapi menantikan kota yang dirancang Allah.

Kisah ini menjadi ironi bila dihubungkan dengan Kejadian 11. Di sana manusia membangun kota demi otonomi, sementara di Kejadian 12, Abraham justru meninggalkan kotanya demi sesuatu yang tidak kelihatan: kota rancangan Allah.

Maka, apa kata Alkitab tentang kota? Sederhananya, Allah adalah inisiator dan arsitek kota. Sebelum dan sesudah kejatuhan, Dia tetap memegang peran ini. Inilah pengharapan kita: Allah tidak pernah meninggalkan kota, dan suatu saat Dia akan membangun Yerusalem baru. Apa yang kita lakukan hari ini tidak sia-sia, karena Tuhan peduli pada kota.

Respon kita seharusnya adalah melihat kota dengan lensa teologis—bukan hanya sebagai produk sosial-budaya atau tempat mencari peluang, tetapi sebagai ladang misi di mana Allah ingin bekerja dan Injil harus dihadirkan. Kita juga dipanggil untuk terlibat, bukan hanya di gereja, tetapi juga di pemerintahan, perencanaan kota, kebijakan publik, dan pelayanan masyarakat.

Gereja Gibeon sangat peduli akan hal ini. Salah satu nilai yang dipegang adalah kemurahan hati dan belas kasih. Lingkungan di sekitar gereja bukan gangguan, tetapi kesempatan untuk memberkati. Misalnya, CFD di sekitar lokasi gereja bisa menjadi ruang di mana Injil diberitakan dan dirasakan.

Pelayanan justice and mercy juga menjadi bagian penting. Pelayanan sekolah, kepedulian terhadap taman di depan gereja, semua adalah wujud nyata keterlibatan. Pertanyaannya: apakah kehadiran kita membawa dampak pemulihan bagi kota tempat Tuhan menempatkan kita? Apakah kita melihat kota hanya sebagai tempat tinggal dan mencari nafkah, atau sebagai ladang misi Allah?

Saat kota rusak akibat dosa, apakah kita menjauh, mengkritik, atau terlibat membangunnya kembali? Bahkan keresahan sosial yang viral di media, seperti isu rekening atau tanah nganggur, mencerminkan kegelisahan masyarakat kota. Pertanyaannya tetap sama: apakah kita hanya mengomentari, atau kita terlibat dalam pemulihan?

Hari ini, apa pun bidang kita—pemerintahan, sosial, atau profesi masing-masing—pertanyaan ini tetap relevan: apa yang sudah kita lakukan untuk memulihkan kota?

Kita sudah melihat apa kata Alkitab tentang kota. Pertanyaannya berikutnya: mengapa kota begitu penting bagi Tuhan? Apa maksud-Nya menciptakan kota?

MENGAPA ALLAH MENCIPTAKAN KOTA

Mari kembali sejenak ke Kejadian 11. Saya tidak sedang berorasi politik di sini, tetapi ingin mengajak kita melihat kembali Alkitab. Dalam Kejadian 11:4 tertulis, “Mari kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit dan marilah kita cari nama supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.”

Sebenarnya, Tuhan menciptakan kota dengan tiga tujuan. Pertama, seperti yang kita lihat dari ayat ini, sekalipun manusia telah jatuh ke dalam dosa, Tuhan tetap ingin membangun kota untuk mengembangkan potensi manusia. Sejak awal, bahkan setelah kejatuhan, kota telah hadir—tercatat di Kejadian 4. Dalam Kejadian 11, kita melihat seni, teknik, dan arsitektur berkembang pesat. Mereka mulai memikirkan pembangunan gedung-gedung tinggi. Artinya, potensi manusia terus berkembang.

Mengapa banyak orang ingin ke kota besar? Saya sendiri lahir di Makassar dan merantau ke Jawa karena perkembangan di sana, termasuk teologi, lebih pesat. Istri saya dari Jepara pun heran melihat gedung-gedung tinggi di Jakarta. Banyak orang datang ke kota untuk hiburan, pendidikan, karier, dan relasi yang lebih luas—singkatnya, untuk mengembangkan potensi. Namun, tekanan produktivitas dan persaingan sering membuat potensi itu dipakai demi membangun nama dan pengakuan diri sendiri.

Tidak heran Tim Keller, dalam khotbahnya The Problem of the City, mengatakan bahwa Tuhan merancang kota seperti kaca pembesar, agar isi hati manusia terlihat jelas. Tujuan awal manusia membangun kota, seperti di Kejadian 11:4, adalah mencari nama. Dalam Alkitab Terjemahan Sederhana Indonesia dikatakan, “Dengan demikian kita akan jadi terkenal.”

Sebelum kejatuhan, Allah ingin manusia membangun kota untuk mengembangkan potensi. Namun setelah kejatuhan, kekuatan kota untuk mengembangkan potensi justru didorong oleh keinginan memuliakan diri. Kota memang memacu kita menjadi lebih baik, tetapi akhirnya melelahkan. Kota bukan lagi sekadar tempat membangun, melainkan tempat yang menguras tenaga dan emosi.

Pernah dengar istilah “kota yang tidak pernah tidur”? Kota memburu kita dengan waktu, menuntut produktivitas, mengejar target, dan membandingkan kita satu sama lain. Tanpa sadar, hidup kita hanya untuk mengejar semua itu. Inilah tragedinya: kota bisa menjadi tempat mengembangkan potensi, tetapi juga tempat yang cepat menghancurkan jiwa manusia.

Tujuan kedua Allah menciptakan kota adalah sebagai tempat perlindungan. Dalam bahasa Ibrani, kata “kota” (ʿîr) berarti tempat yang dijaga terus-menerus. Tujuannya untuk melindungi dari ancaman. Dalam Kejadian 11:4, mereka berkata, “Marilah kita cari nama supaya kita jangan terserak.” Kota bukan hanya tempat menetap, tapi juga tempat manusia merasa aman—mengandalkan satu sama lain, membangun identitas, dan merasa kuat. Manusia yang tercerai-berai akan rentan, tetapi jika berkumpul, mereka menjadi kuat. Karena itu, komunitas menjadi penting.

Kota sering menjadi tempat berkumpulnya orang dari berbagai penjuru yang mencari rasa aman, meski datang sendirian. Ada empat alasan utama.

  • Pertama, anonimitas. Di kota, tidak banyak orang memperhatikan siapa kita. Saat saya berkunjung ke rumah istri di Jepara, ia selalu disapa banyak orang di jalan. Sebaliknya, jika saya ke Makassar, belum tentu ada yang menyapa. Di kota besar, kita merasa aman karena tidak terlalu dikenal.
  • Kedua, peluang. Kota menawarkan akses yang lebih luas terhadap pekerjaan, pendidikan, hiburan, dan rasa aman secara ekonomi maupun sosial. Tak jarang anak muda di Surabaya berkata, “Peluang di sini makin sedikit, saya ingin pindah ke Jakarta.”
  • Ketiga, komunitas baru. Pendatang dapat menemukan “keluarga” baru tanpa harus membuka masa lalunya. Banyak orang yang ingin memulai hidup baru memilih pindah ke kota lain.
  • Keempat, keragaman. Pendatang tidak merasa asing karena banyak penghuni kota juga berasal dari luar daerah.

Sejak dahulu, kota menjadi simbol perlindungan, seperti “kota-kota perlindungan” dalam Bilangan 35 yang memberi keadilan bagi orang yang dituduh. Kini, kota bisa memberi peluang, penerimaan, ruang berekspresi, dan rasa aman bagi berbagai latar belakang. Namun, di bawah pengaruh dosa, kota berubah menjadi tempat kekerasan—seperti dicatat di Kejadian 4:17–22, di mana kemajuan seni dan teknologi justru disertai nyanyian Lamek tentang pembunuhan..

Kita melihat bagaimana Allah menciptakan kota untuk mengembangkan potensi, tetapi berujung pada keletihan. Allah menciptakan kota sebagai tempat perlindungan, tetapi berubah menjadi tempat kekerasan.

Tujuan ketiga Allah menciptakan kota adalah sebagai tempat pencarian rohani. Dalam Kejadian 11:4, menara yang mereka bangun bukan sekadar gedung pencakar langit, tetapi—dalam konteks budaya Mesopotamia—sebuah zigurat. Zigurat adalah bangunan bertingkat menyerupai tangga, diyakini sebagai penghubung para dewa dengan bumi. Ada kuil di puncak maupun di kaki bangunan sebagai tempat kediaman para dewa.

Menara yang mereka bangun adalah simbol keyakinan bahwa manusia bisa membangun jalan ke surga. Kisah Menara Babel menjadi konfrontasi teologis bahwa manusia tidak mungkin datang kepada Allah dengan kekuatan sendiri—hanya Allah yang dapat turun kepada manusia.

Mungkin ada yang merasa kisah ini tidak relevan. Tetapi sebenarnya, konteks zaman dulu dan sekarang tidak jauh berbeda. Kota selalu memiliki unsur spiritual yang kental. Gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, dan perkantoran sering kali menjadi “kuil modern” tempat manusia mencari kuasa, uang, kesuksesan, dan prestise—semua demi menunjukkan siapa dirinya.

Kota selalu membuat orang mengejar sesuatu: karier, popularitas, atau makna hidup. Itulah sebabnya banyak kota tidak pernah tidur—sibuk di tengah hiruk pikuk—karena orang mencari arti hidup. Mereka mulai bertanya, “Apa tujuan semua ini? Untuk apa saya melakukan ini? Apa tujuan hidupku?”

Tidak heran jika Rasul Paulus merintis pelayanannya di kota. Ia tahu, kota adalah tempat berkumpulnya ide-ide baru, pencarian makna, dan ladang subur untuk memberitakan Injil.

Di satu sisi, kota menunjukkan besarnya kebutuhan rohani. Di sisi lain, kota juga menjadi pusat pemujaan berhala modern yang membuat manusia terus haus mencari tujuan hidup. Pertanyaannya sekarang, jika Allah menciptakan kota tetapi tujuan awalnya telah terdistorsi oleh dosa, apa tanggapan kita sebagai orang Kristen?

BAGAIMANA ALLAH MEMULIHKAN KOTA

Beberapa kali saya berbincang dengan hamba-hamba Tuhan senior, yang mungkin sudah mendekati masa pensiun atau sudah memasuki masa emeritus. Beberapa di antara mereka berkata, “Saya ingin kembali ke kota kecil, pastor, supaya tidak tergerus dengan hiruk-pikuk banyak hal.” Bahkan ada yang menambahkan, “Kalau tinggal di kota kecil, umur kita biasanya lebih panjang.” Saya tersenyum dalam hati—bukankah seharusnya kita tahu bahwa hidup ada di tangan Tuhan, bukan bergantung pada ukuran kota? Tapi begitulah yang mereka katakan.

Ada juga yang bersikap masa bodoh terhadap kondisi kota. “Biar saja rusak, toh sudah rusak,” begitu kira-kira. Namun hari ini, mari kita melihatnya dengan lensa Injil. Sebenarnya, Allah ingin kita melakukan empat hal.

Pertama, Allah mengajak kita untuk mengasihi. Ini sangat jelas terlihat dalam kisah Yunus. Yunus bukan hanya diperintahkan untuk berkhotbah kepada orang-orang Niniwe, tetapi juga diperintahkan untuk mengasihi kota itu. Ia tidak diminta sekadar bekerja di sana demi popularitas, tetapi sungguh-sungguh mengasihi. Dalam Yunus 4:11, Tuhan berkata, “Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe?” Tuhan mengasihi kota itu. Pertanyaannya untuk kita: apakah kita mengasihi kota di mana kita tinggal, seperti Allah mengasihi Niniwe?

Kedua, memberitakan Injil. Dalam kisah para rasul, Filipus pernah berkhotbah di sebuah kota di Samaria. Ia memberitakan Injil di sana, dan dampaknya besar: ada sukacita yang melimpah di kota itu. Mengasihi kota berarti merindukan Injil diberitakan di sana. Kalau Injil adalah kabar baik yang membawa sukacita, mengapa kita sering enggan membagikannya?

Ketiga, mengusahakan kesejahteraan kota. Yeremia 29:7 mencatat bagaimana orang-orang Israel di pembuangan Babel menerima perintah Tuhan untuk mengusahakan kesejahteraan kota itu. Seolah Tuhan berkata melalui Yeremia, “Buatlah Babel menjadi besar, dan buatlah nama-Ku besar di Babel.” Aneh memang, apalagi ketika pasal sebelumnya ada nabi yang berkata bahwa pembuangan hanya sebentar. Namun Yeremia justru memerintahkan mereka untuk membangun dan berbuat baik di tempat itu. Pertanyaannya: apakah kehadiran kita di kota ini membawa dampak nyata bagi kebaikan kota?

Keempat, memberkati kota. Amsal 11:10–11 berkata, “Bila orang benar mujur, bersorak-sorailah kota… berkat orang jujur memperkembangkan kota.” Dalam terjemahan ESV: “By the blessing of the upright, a city is exalted.” Artinya, hidup orang benar membawa kemuliaan bagi kota. Memberkati kota bukan berarti sekadar menumpangkan tangan di depan rumah besar dan berkata, “Dalam nama Yesus, ini jadi milikku.” Lebih dari itu, setiap kali kita melintasi jalan-jalan kota, kita bisa berdoa, “Biarlah berkat Tuhan turun atas kota ini, dan nama Tuhan dikenal di dalamnya.”

Namun, di tengah realita kota yang penuh ketidakadilan, kejahatan, korupsi, kekerasan, kemiskinan, dan ketidakpedulian, reaksi kita sering terjebak di dua ekstrem. Pertama, isolasi: kita menarik diri, membangun tembok di gereja agar tidak “tercemar”, dan berhenti peduli. Kedua, asimilasi: kita mulai terbiasa dengan praktik kotor, membenarkannya dengan alasan “semua orang melakukannya,” dan akhirnya larut dalam dosa kota.

Di sinilah kita perlu kembali kepada Injil—Injil bagi kota. Lukas 19:41 mencatat bahwa ketika Yesus mendekati Yerusalem dan melihatnya, Ia menangisinya. Ia tidak menjauh karena dosa kemunafikan yang ada di dalamnya, juga tidak berkompromi dengannya. Yesus menangis karena kasih kepada mereka yang keras hati dan hilang arah.

Kasih itu mencapai puncaknya ketika Ia masuk ke Yerusalem dan dielu-elukan dengan teriakan “Hosana!”, namun akhirnya melihat kerusakan di mana-mana dan harus mati di kayu salib. Ibrani 13:12 berkata bahwa Yesus menderita di luar pintu gerbang kota untuk menguduskan umat-Nya dengan darah-Nya sendiri. Dalam hukum Taurat, yang najis dan terkutuk dibuang ke luar kota—dan itulah yang Yesus alami demi kota yang Ia kasihi. Ia yang seharusnya disembah di bait Allah justru ditolak, disalibkan di luar gerbang kota, dikuburkan di kubur pinjaman, tergantung tak berdaya di kayu salib, menanggung hukuman seolah-olah Ia yang paling najis.

Inilah Injil bagi kota: kasih Yesus tidak hanya menetes lewat air mata, tetapi tercurah lewat darah di salib. Salib menunjukkan bahwa Allah tidak menyerah atas kota. Ia mempersiapkan Yerusalem yang baru, seperti digambarkan dalam Wahyu 21:1–3—sebuah kota kudus di mana Allah berdiam bersama manusia.

Kebenaran ini mengubah cara kita melihat kota. 

  • Bukan lagi, “Untuk apa peduli dengan kota yang rusak?” melainkan, “Bagaimana mungkin saya tidak peduli, jika Allah begitu peduli?” 
  • Bukan lagi, “Untuk apa mengasihi orang-orang yang korup?” melainkan, “Bagaimana mungkin saya tidak mengasihi, jika Kristus telah mengasihi kota yang menolak-Nya?” 
  • Bukan lagi, “Untuk apa memberitakan Injil di sini?” melainkan, “Bagaimana mungkin saya tidak melakukannya, jika Kristus rela disalibkan agar kasih Allah diberitakan sampai ke ujung bumi?”
  • Bukan lagi, “Untuk apa saya tinggal dan bekerja dengan setia di kota yang sudah rusak?” melainkan. “Bagaimana mungkin saya tidak tinggal dan bekerja dengan setia, jika Yesus sendiri memilih hadir, menangisi, dan akan memulihkan kota?”

Pengharapan kita adalah bahwa Yesus sendiri akan memulihkan kota. Maka, kita dipanggil melihat kota bukan sekadar sebagai tempat mencari nafkah, tetapi sebagai ladang misi. Kita adalah warga Kerajaan Allah yang hidup di kota dunia dengan mentalitas Injil: mengasihi, memberitakan Injil, mengusahakan kesejahteraan, dan memberkati kota. Kita bekerja keras, mengembangkan potensi, memberi dampak, bukan untuk membesarkan nama sendiri, tetapi untuk memuliakan Tuhan.

ORANG BERINJIL

  • Tidak lagi melihat kota hanya sebagai tempat mencari nafkah, tetapi sebagai ladang misi di mana kasih Allah perlu dinyatakan dan Injil diberitakan.
  • Dipanggil menjadi warga Kerajaan Allah yang hidup di kota dunia dengan mentalitas Injil: mengasihi, memberitakan Injil, mengusahakan kesejahteraan, dan memberkati kota.
  • Bekerja keras, mengembangkan potensi dan memberi dampak di dalam kota bukan untuk membuat nama bagi dirinya sendiri, melainkan untuk memuliakan nama Tuhan.