Mengalami Tuhan di Tengah Ketidakadilan

KEBENARAN INJIL UNTUK PERGUMULAN MASA KINI – WEEK 11 "Mengalami Tuhan di Tengah Ketidakadilan" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Kita masuk pada khotbah berseri kita. Hari ini adalah khotbah terakhir dari seri ini, karena minggu depan kita akan memulai seri baru yang berjudul Liturgi: Menjadikan Injil sebagai Pusat. Dan pada kesempatan ini saya akan melanjutkan eksposisi dari Mazmur 73, bagian kedua. Jika minggu lalu kita berbicara tentang “hidup merdeka di tengah ketidakadilan,” hari ini kita akan membahas tentang “mengalami Tuhan di tengah ketidakadilan.”

Mari kita mengingat kembali secara singkat. Minggu lalu kita belajar soal “diagnosis” hati manusia ketika menghadapi ketidakadilan. Ternyata, saat kita protes terhadap ketidakadilan, bisa jadi yang sebenarnya terjadi adalah hati kita dipenuhi rasa iri. Iri kepada mereka yang tampaknya hidup enak, tertawa, bersenang-senang, sementara kita sendiri bergumul dengan kesusahan. Ada yang hanya mendapat gaji tiga juta sebulan, sementara melihat orang lain yang hidupnya jauh lebih ringan, bahkan dengan cara yang curang, seolah-olah lebih diberkati. Dalam kejujuran, sering kali kita harus mengakui bahwa kita iri kepada mereka. Itulah yang minggu lalu kita bongkar bersama.

Namun, mengetahui “diagnosis” saja tidak cukup. Jika hanya tahu apa yang terjadi di dalam hati, tapi tidak tahu bagaimana menanggulanginya, itu percuma. Kita memang tahu Injil, tetapi bagaimana cara menghadapi iri hati ini? Nah, doa Asaf di dalam Mazmur 73 ternyata penuh dengan makna yang menolong kita.

Bacaan: Mazmur 73

1 Mazmur Asaf. Sungguh, Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya.

2 Tetapi aku, sedikit lagi kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir,

3 sebab aku cemburu kepada pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik.

13 Sia-sialah sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih dan membasuh tanganku tanda tak bersalah;

14 namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi.

15 Seandainya aku berkata: "Aku mau berkata-kata seperti mereka," maka sesungguhnya aku telah mengkhianati keturunan anak-anakmu.

16 Tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu sulit bagiku,

17 sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah; dan memperhatikan kesudahan mereka.

18 Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur.

19 Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh kedahsyatan!

20 Seperti mimpi pada waktu terjaga, ya Tuhan, pada waktu bangun, rupa mereka akan Kau pandang hina.

21 Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya,

22 aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu.

23 Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku.

24 Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan.

25 Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.

26 Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.

Minggu lalu kita melihat bagaimana Asaf hampir tergelincir. Ia marah kepada Tuhan karena menyaksikan ketidakadilan. Orang bejat, orang jahat, orang licik, justru hidupnya lebih enak. Sementara dirinya yang bekerja keras, melayani Tuhan, seorang pemimpin ibadah, seorang yang saleh dan berintegritas, malah harus bergumul.

Dan kalau jujur, ini bukan hanya kisah Asaf. Banyak dari kita pun mengalaminya. Di balik sikap sinis dan skeptis, sering timbul pertanyaan: “Mengapa orang yang setia dan baik justru susah? Mengapa mereka yang korupsi, licik, jahat, malah tampak berhasil?”

Pertanyaan itu bisa membawa kita pada satu realita pahit: bagaimana jika rasa iri, kecewa, dan kemarahan kita terhadap ketidakadilan bukan membuat kita semakin dekat dengan Tuhan, melainkan justru menjauhkan kita dari-Nya? Meski tetap ke gereja, hati bisa menjauh. Di tengah dunia yang keras, penuh ketidakadilan dan korupsi, di mana kita dapat menemukan Tuhan? Bagaimana kita bisa mengalami-Nya?

Mazmur 73 memperlihatkan bahwa Asaf bukan hanya bergumul, bukan hanya berdialog dengan Allah, tetapi ia berdoa. Dan doa itu mengubah perspektifnya. Mazmur 73 adalah tentang doa yang memberi jalan keluar yang radikal. Justru lewat doa inilah Asaf mengalami Tuhan, bahkan di tengah ketidakadilan.

Itu sebabnya hari ini kita akan mengupas doa Asaf. Sebab tanpa belajar dari sini, kehidupan doa kita bisa berhenti pada doa yang sekadar hafalan, atau hanya berisi permintaan. Tetapi pernahkah kita benar-benar bergumul dengan isi hati kita di hadapan Tuhan dalam doa?

Yesus sendiri mengajarkan dalam Matius 6:13, “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari yang jahat.” Doa ini ternyata sudah dialami Asaf di Perjanjian Lama. Ia dicobai—itulah sebabnya ia iri, marah, hampir kehilangan iman. Namun Tuhan menjawab doa Asaf. Ia dilepaskan dari jerat iri hati, diselamatkan dari kejahatan yang merusak jiwanya.

Di sini kita belajar bagaimana Asaf berproses. Dalam doanya, ia menemukan jalan keluar. Dari iri hati menjadi damai. Dari kepahitan berubah menjadi penyembahan.

Ada empat hal penting yang Asaf lakukan. Pertama, ia berani mengakui yang terburuk dalam dirinya. Kedua, melalui doa ia melihat gambaran besar Allah. Ketiga, ia menyingkapkan Firman, merenungkannya, dan menemukan kasih karunia. Keempat, ia menata ulang kasih yang ada di dalam hatinya.

MENGAKUI YANG TERBURUK DALAM DIRI

Mari kita mulai dari sebuah kisah yang begitu jujur: pengakuan Asaf dalam Mazmur 73. Ia sampai pada titik putus asa dan berani berkata, “Sia-sialah aku mempertahankan hati yang bersih dan membasuh tanganku tanda tak bersalah. Namun sepanjang hari aku kena tulah, aku kena hukuman setiap pagi.”

Bayangkan, ini bukan keluar dari mulut orang biasa, melainkan dari seorang pemimpin ibadah, seorang hamba Tuhan. Justru karena itu, kalimat ini terdengar mengejutkan. Tetapi menariknya, banyak penafsir Alkitab menekankan bahwa Tuhan menghargai kejujuran Asaf. Mengakui yang terburuk di dalam diri bukanlah tanda kelemahan iman, melainkan keberanian untuk jujur di hadapan Allah.

Berapa sering kita tidak berani jujur? Kita tahu hati ini retak, tetapi kita menutupinya. Seperti sebuah cermin pecah: ketika kita bercermin, wajah tampak cacat. Jika diarahkan pada orang lain, wajah mereka pun ikut terdistorsi. Bukan karena wajah mereka rusak, melainkan karena cerminnya retak. Begitu juga hati kita—ia menjadi cermin yang retak, memutarbalikkan realita, membuat kita salah melihat diri sendiri dan salah menilai orang lain.

Saya tidak sedang mengecilkan kerusakan dunia: kejahatan, bencana, penderitaan, semua itu nyata. Tetapi Alkitab mengingatkan bahwa kerusakan yang lebih dalam justru ada di hati manusia. Itulah yang Asaf sadari. Ia mengaku iri, pahit, retak di dalam. Bukan hanya dunia yang rusak, hatinya pun hancur.

Pertanyaannya, beranikah kita jujur seperti Asaf? Sebab tanpa kejujuran, kita akan jatuh pada kemunafikan. Kita bisa tampak begitu baik di luar, namun menyimpan amarah dan iri hati di dalam, lalu membungkusnya dengan bahasa rohani. Bahkan dalam doa, kita sering merasa perlu berkata manis kepada Tuhan, padahal hati sebenarnya sedang kecewa. Mazmur mengajarkan sebaliknya: datanglah apa adanya. Tuhan sanggup menampung keluhan, jeritan, bahkan protes. Daud, Habakuk, Ayub, dan Asaf membuktikannya.

Asaf sendiri menulis, “Aku cemburu kepada orang congkak ketika aku melihat keberuntungan orang jahat.” (ay. 3). Bukankah ini juga yang kita rasakan? Kita datang ke gereja, tapi hati masih pahit; kita berdoa, tapi kecewa; kita tersenyum, tapi di dalam ada luka yang belum selesai. Dan justru kejujuran itulah yang membuka pintu pemulihan.

Yang menarik, ketika Asaf jujur, ia justru melihat kebobrokan hatinya sendiri. Ia sadar bahwa motivasinya melayani Tuhan seringkali bukan demi Tuhan, melainkan demi keuntungan diri. Maka keluarlah keluhan, “Untuk apa aku setia, kalau orang jahat justru diberkati?” Tanpa sadar, ia sedang menggunakan Tuhan, bukan mengasihi-Nya.

Derek Kidner, seorang teolog, pernah menulis bahwa kata-kata Asaf di Mazmur 73 adalah keluhan yang berpusat pada diri sendiri, seolah berkata: “Apa yang aku dapat dari Tuhan atas ketaatanku ini?” Tetapi justru ketika Asaf berani mengakuinya, ia tersentak, sadar, dan mulai ditarik kembali ke jalan yang benar. Kejujuran itulah pintu pemulihan.

Saya pun pernah mengalaminya. Tahun 2008, ketika bisnis saya jatuh, kredit macet, krisis ekonomi menekan, saya marah kepada Tuhan. Saya berkata, “Bukankah aku sudah melayani-Mu? Mengapa Engkau tidak membalas dengan melayani aku?” Dalam doa, saya menuliskan kemarahan itu. Dan di tengah keputusasaan, ada suara yang menegur: “Apakah kamu sadar apa yang kamu katakan? Siapa yang sebenarnya Tuhan, dan siapa hamba? Bukankah engkau sedang menjadikan Aku jongosmu?” Saat itu saya tersadar: masalah terbesar bukanlah ekonomi yang runtuh, melainkan hati saya yang rusak. Saya ingin Tuhan, tapi pada saat yang sama ingin memakai Tuhan demi kepentingan saya sendiri.

Maka refleksi ini kembali kepada kita.

Apa yang akhir-akhir ini membuat hati kita iri? Apa yang membuat kita merasa Tuhan tidak adil? Beranikah kita mengakuinya di hadapan-Nya? Sebab pemulihan selalu dimulai dari kejujuran.

MELIHAT GAMBARAN BESAR-NYA

Kita masuk pada bagian kedua. Apa yang terjadi? Asaf mulai melihat gambaran besar. Perhatikan di ayat 16 sampai 20—minggu lalu kita sudah sempat membahas ini. Di ayat 17 tertulis, “I enter the sanctuary of God, sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah.” Ada perubahan tensi sebelum dan sesudah ayat 17.

Sebelum ayat 17, Asaf menyebut Tuhan dari perspektif orang ketiga. Ia berkata, Allah. Dia adil, Dia baik. Namun sesudah ayat 17, Asaf mulai menyebut Tuhan sebagai perspektif orang kedua. Tidak lagi Dia Allah, tetapi menjadi Engkau Allah. Perubahan ini sangat penting.

Pertanyaannya: apakah kita hanya berbicara tentang Tuhan, ataukah kita sungguh sudah berjumpa dengan Tuhan? Apakah kosakata doa kita hanya seakan-akan Tuhan itu pihak ketiga, atau sudah sampai kita bisa berkata, “Engkau, ya Tuhan.” Di sinilah letak perbedaan antara agama dan Injil. Agama membuat kita sekadar tahu tentang Tuhan dari luar, tetapi Injil membawa kita masuk dalam relasi, dalam hadirat-Nya. Sampai kita berkata, “Tuhan adalah gembalaku, Engkaulah kekuatanku.” Itu bukan lagi sekadar doktrin yang dipelajari, melainkan relasi pribadi.

Injil mengubah ucapan kita, dari “Dialah pengharapanku” menjadi “Engkaulah pengharapanku.” Dari sekadar konsep menjadi perjumpaan personal. Pertanyaan bagi hati kita: sudahkah kita mengubah Tuhan dari pihak ketiga menjadi pihak pertama, sehingga bukan lagi Dia, melainkan Engkau?

Bagaimana caranya? Melalui doa. Saat membaca firman, personifikasikan. Itu sebabnya kita perlu mengkhotbahkan Injil kepada diri kita sendiri. Tidak cukup hanya mendengar khotbah dari pastor Mike, pastor Natan, atau siapapun. Harus dipersonalisasikan. Kalau tidak, kita hanya berkata, “Oh, bagus ya,” tetapi itu tetap pengalaman orang lain. Sudahkah kita sendiri mengalami Tuhan?

Ketika Asaf masuk ke sanctuary, ia tidak lagi berbicara tentang Allah, tetapi berbicara kepada Allah. Ia mulai melihat kehidupan dari perspektif Tuhan, bukan dari kacamata manusia. Iman bukan berarti semua masalah langsung hilang. Masalah tetap ada, tetapi kita bisa tenang karena melihatnya dari sudut pandang kekekalan.

Yesus berkata, “I am the Alpha and the Omega.” Bayangkan menonton film tiga jam, tetapi berhenti di menit ke-15 lalu mencoba menyimpulkan isinya. Mustahil. Demikian juga hidup kita. Kita tidak tahu detail masa depan, tetapi kita tahu akhirnya.

Martyn Lloyd-Jones dalam komentarnya tentang Mazmur 73 menulis, masuk ke dalam tempat kudus Allah berarti masuk ke dalam doa. Artinya kita mulai melihat segalanya secara utuh, diingatkan kembali akan hal-hal yang selama ini kita lupakan. Saat berdoa dengan jujur, melihat kebobrokan hati kita, lalu kembali kepada Tuhan, kita tidak hanya mengenal Tuhan secara kognitif, tetapi mulai mengalami-Nya sebagai pribadi.

Di ayat 18 sampai 20, Asaf menyadari kesalahannya. Tadi ia berkata iri, kakinya hampir tergelincir. Namun kemudian ia melihat bahwa justru orang fasiklah yang kakinya mudah tergelincir. Ia sendiri aman. Semestinya ia berbelas kasihan pada mereka.

Ilustrasinya seperti orang yang sedang hiking. Dari bawah hanya terlihat semak dan hutan. Jika tidak berdoa dan tidak membaca firman, hidup hanya terlihat sebagai masalah uang, cicilan, pasangan, anak, atau persoalan sosial politik. Semuanya semak belukar yang membuat kita ruwet. Tetapi doa membuat kita berhenti tersesat di bawah pepohonan masalah, dan mulai melihat gambaran besar dari perspektif kekekalan bahwa Tuhan tetap berdaulat.

Setiap hari dunia berteriak, “Akulah realita satu-satunya.” Tetapi firman mengingatkan, dunia ini seperti mimpi. Segala kejayaan orang fasik hanyalah seperti mimpi yang sekejap lenyap. Kita pernah bermimpi dikejar anjing, harimau, atau sesuatu yang menakutkan. Saat terbangun, kita sadar itu hanya mimpi dan bahkan bisa menertawakan ketakutan tadi. Demikianlah hidup orang fasik. Kekayaan, kemewahan, hedonisme, seksualitas—semua yang ditawarkan dunia hanyalah sementara, dan pada akhirnya lenyap.

Kalau seluruh kebanggaan hanya bertumpu pada hal-hal duniawi, semuanya akan diambil dari kita. Orang yang gagah, sehat, kuat, akhirnya menua dan rapuh. Foto keluarga yang kita banggakan satu per satu akan diambil Tuhan. Semua itu memudar. Waktu berjalan cepat. Apa yang dulu tampak megah akhirnya hilang.

Namun ketika Asaf masuk ke tempat kudus, ketika ia berdoa dan mengubah “Dia” menjadi “Engkau,” ia mendapatkan perspektif baru. Hidup orang fasik hanyalah sementara, menuju kebinasaan. Sebaliknya, hidup orang beriman memiliki kekayaan kekal di dalam Tuhan—kekayaan yang tidak bisa diambil dan sudah dibayar mahal oleh salib Kristus.

Pertanyaan reflektifnya: apakah kita masih melihat hidup hanya dari lensa dunia yang sementara, ataukah kita sudah dibawa untuk melihat dari sudut pandang kekekalan? Apakah kita hanya tahu tentang Tuhan sebagai pihak ketiga, atau sudah menyebut-Nya, “Tuhanku, gembalaku, pengharapanku, keselamatanku, kekuatanku.” Apakah kita sungguh sudah mengalami Tuhan?

MENERIMA KASIH KARUNIA TUHAN

Ada sebuah kontras menarik di ayat 21–22. Dikatakan, “Ketika hatiku merasa pahit, aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu. – I was senseless and ignorant. I was a beast before you.”

Asaf kembali jujur. Ia merasa seperti binatang di hadapan Tuhan. Artinya, ia mengakui kebobrokan dirinya, mengaku bahwa ia dungu, bertindak hanya seperti binatang. Perlu diperhatikan hal ini: manusia berbeda dengan binatang. Manusia memiliki pertimbangan, kasih, hasrat, dan kesengajaan. Sementara binatang hanya bergerak mengikuti insting, secara otomatis dan egois.

Pernah ada sebuah video di Instagram, ketika pemilik seekor anjing pura-pura dirampok orang. Namun anjing itu sedang diberi steak yang enak. Saat pemilik berteriak minta tolong, anjing tidak peduli, ia tetap sibuk dengan makanannya. Mengapa? Karena insting dan kesenangan mengalahkan kepedulian pada majikannya.

Saya sendiri pernah mengalaminya dengan anjing peliharaan di rumah. Saat saya pulang, saya langsung memeluk anak saya dan sengaja mengabaikan anjing saya. Seketika anjing itu cemburu, menjadi beringas, meminta perhatian. Itu karena binatang hanya punya insting otomatis. Asaf pun menyadari, dirinya sama bobroknya—dungu, seperti hewan.

Namun yang menakjubkan, ia berkata, “Tetapi aku tetap di dekat-Mu. Engkau tetap memegang tanganku.” Ia kagum karena walau layak binasa, ditolak, bahkan dihukum, ternyata Tuhan tetap menggenggamnya. Di sinilah kita belajar: yang memelihara hidup ini bukanlah kesetiaan kita kepada Tuhan, melainkan kesetiaan Tuhan kepada kita. Itulah kasih karunia.

Inilah yang membedakan iman Kristen dengan agama. Orang Kristen berani berkata, “Benar, aku sering egois, sering tidak mengasihi Tuhan, bahkan memanfaatkan-Nya. Tetapi Dia tetap dekat, tetap menggenggam tanganku.” Asaf mengaku kebobrokan hatinya, tetapi juga tahu bahwa Tuhan tidak pernah menyerah, tetap mendekat dan mencari umat-Nya.

Kisah Petrus mengingatkan hal yang sama. Murid Yesus ini gagal, menyangkal Gurunya tiga kali. Namun Yesus tetap menghampirinya. Saat Petrus kembali ke danau dan berkata ingin jadi nelayan lagi, Yesus hadir di sana. Sepanjang malam Petrus tak mendapat ikan, sampai Yesus berkata, “Tebarkan jalamu.” Saat ia menyadari itu Yesus, Petrus langsung berenang menghampiri. Di tepi danau Yesus sudah menyiapkan ikan bakar, lalu bertanya tiga kali, “Apakah engkau mengasihi Aku?”—untuk menebus tiga kali penyangkalan Petrus.

Sejak awal, Allah selalu lebih dahulu mendekat. Adam jatuh dalam dosa, tetapi justru Allah yang mencari dia di taman Eden. Dalam kisah anak sulung dan anak yang hilang, bapaklah yang keluar menghampiri keduanya. Bapak berlari ketika si bungsu pulang. Itulah gambaran Tuhan, kasih karunia yang selalu bergerak mendekati.

Di sinilah letak gospel connection-nya. Bagaimana orang yang jatuh bangun dalam dosa tetap dipelihara, bagaimana kita yang gagal tetap dapat pulih, karena Tuhan tidak pernah melepaskan tangan kita. Asaf menyadarinya di sanctuary. Di sana ada altar, tempat korban disembelih, tempat darah dicurahkan untuk pengampunan dosa. Itu menunjuk pada salib Kristus.

Yesus adalah bait Allah yang sejati. Dialah korban terakhir yang menanggung murka Allah, darah-Nya tercurah. Karena itu Ia berkata di Yohanes 2:19, “Runtuhkan bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan membangunnya kembali.” Orang Farisi tidak mengerti, tetapi Yesus mati dan bangkit, karena Dialah bait suci yang sejati, pengantara sempurna.

Di salib Yesus berseru, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dalam kemanusiaan-Nya, Ia merasakan ditinggalkan, seakan-akan perlindungan Bapa hilang. Itu Ia tanggung supaya kita tidak pernah sekalipun ditinggalkan. Ia merasakan seolah kehilangan tangan Bapa, supaya kita yang percaya tetap digenggam selamanya.

Perasaan jauh dari Tuhan, yang sering kita alami, sesungguhnya pernah ditanggung oleh Yesus. Karena itu saat kita merasa sendirian, Ia mengingatkan, “Aku pernah mengalami itu, dan Aku menanggungnya, supaya kamu tidak pernah ditinggalkan.” Melalui karya salib, tangan Bapa tetap menggenggam kita. Yesus menjadi korban sempurna yang menjamin kita tetap berada dalam genggaman Allah. Itulah kekuatan kita.

MENATA ULANG KASIH YANG ADA DI HATI

Inilah kekuatan yang akhirnya menata ulang kasih yang ada di dalam hati. Perhatikan ayat 25: “Whom have I in heaven but You? Siapa yang kumiliki di surga kecuali Engkau? There is nothing on earth that I desire besides You.”

Ini puncak perjalanan Asaf. Di awal, ia hampir tergelincir. Iman seolah hilang. Namun ia memilih jujur, datang dalam doa, dan hatinya berubah. Ia masuk ke tempat kudus Allah, melihat Tuhan bukan lagi sebagai pihak ketiga, melainkan pribadi yang dihadapinya. Di sanalah ia berkata, “Engkaulah pengharapanku.” Ia menemukan perspektif kekekalan. Meski dirinya bobrok, Tuhan tetap dekat. Tangan-Nya menggenggam.

Itulah tanda nyata. Ia berkata, “There is nothing on earth that I desire but You. Whom have I in heaven but You?” Kasihnya dikalibrasi ulang. Iri hati pada dunia berubah menjadi kasih yang diterima dan diarahkan kembali kepada Allah.

Ada transformasi di hati Asaf. Bagaimana dengan kita? Apakah hal itu juga terjadi dalam hati kita?

Kalau diperhatikan sebelumnya, Asaf memperalat Tuhan. Ia lebih menginginkan berkat daripada Tuhan. Keluhannya “sia-sia aku hidup benar” bermakna: “Aku ikut Tuhan supaya sukses, kaya, diakui.” Saat semua itu tidak didapat, ia merasa percuma. Tuhan hanya dijadikan sarana, bukan tujuan.

Inilah yang perlu kita renungkan. Kasih yang salah—ketika sesuatu yang baik dijadikan utama—akan memperbudak. Jika keluarga jadi pusat hidup, ekspektasi bisa menghancurkan keluarga itu sendiri. Jika pasangan jadi pusat, akhirnya kecewa, sebab ia manusia berdosa. Jika karir pusat hidup, kita diperbudak rasa takut gagal. Jika uang pusat, hidup penuh cemas dan tak pernah cukup. Jika reputasi pusat, kita menjadi budak opini. Jika tubuh dan penampilan pusat, hidup dikuasai ketakutan akan sakit atau tua. Bahkan pelayanan, bila dijadikan pusat, bisa berubah menjadi sarana mencari validasi, bukan untuk Tuhan.

Semua kasih yang salah hanya menyiksa dan mengecewakan. Asaf sadar ketika ia mengalami Tuhan. Hatinya ditata ulang hingga ia berkata: “There is nothing on earth that I desire but You.” Mengapa? Karena hanya kasih Allah yang tak tergoncangkan. Kasih yang tetap ada, bahkan makin indah saat kita berpulang pada-Nya.

Kasih Allah satu-satunya yang tidak pernah mengecewakan. Hanya kasih itu yang menata ulang hati.

Minggu lalu kita menyanyikan lagu “It Is Well with My Soul – Tenanglah Jiwaku.” Lagu ini ditulis oleh Horatio Spafford, seorang pengacara kaya dari Chicago pada 1870-an. Hidupnya diguncang bertubi-tubi: anak laki-laki meninggal, kebakaran Chicago menghanguskan aset, lalu kapal yang membawa istrinya dan empat anak perempuannya tenggelam. Istrinya selamat, anak-anaknya meninggal. Dalam perjalanan menyusul istrinya, tepat di lokasi karamnya kapal, ia menulis: “It is well with my soul.” Bukan kesedihan, melainkan pengakuan iman: meski musim hidup silih berganti, Tuhanlah yang menuntun menuju kekekalan.

Ia menulis tentang salib: anugerah kasih yang menebus hidup di Kalvari. Ia menutup dengan seruan: “Puji Tuhan, hai jiwaku.” Mustahil dilakukan tanpa anugerah Tuhan yang tetap dekat meski bencana bertubi-tubi.

Apa yang membuat Spafford mampu berkata “It is well with my soul” bukan karena ia kuat, tetapi karena ia memandang salib. Di salib, Tuhan tetap menggenggam tangannya. Di salib, Tuhan begitu dekat.

Khotbah ini ditutup dengan dua pernyataan. Pertama, salib Kristus menjawab tuduhan hati: “Mungkin penderitaan ini hukuman Tuhan.” Tidak, sebab Yesus sudah dihukum menggantikan kita. Kedua, ketika hati bertanya: “Mungkin Tuhan tidak peduli?” Juga tidak. Salib membuktikan Tuhan peduli. Bapa rela kehilangan Anak-Nya demi menebus kita.

Yesus meninggalkan surga, masuk sejarah manusia berdosa, merasakan kehinaan, kemiskinan, sakit, bahkan kematian. Yang Ilahi bersolidaritas dengan yang insani. Maka saat kita menderita, kita tidak sendirian. Ia berkata, “Aku mengerti apa yang engkau alami. Aku bersamamu. Aku memegang tanganmu. Aku menopang.” Dan ketika kita melihat itu, hati ditata ulang. Kita bisa berkata: “Hal-hal buruk mungkin terjadi, tapi kakiku tidak tergelincir. Sebab Tuhan dekat. Tangan-Nya memegangku.”

Refleksinya: apakah hati masih terpaut pada “allah-allah” palsu yang memperbudak? Ataukah sudah mengalami kasih sejati di dalam Kristus?

ORANG BERINJIL

  • berani mengaku dengan jujur kebobrokan dosa di hati, namun justru di sanalah mereka mengalami kuasa Tuhan yang memulihkan.
     
  • melihat kenyataan pahit di dunia ini, tetapi justru dari sanalah mereka belajar melihat kemuliaan & kesetiaan Allah yang lebih besar.
     
  • tidak lagi mengejar apa yang dunia tawarkan, karena mereka sudah menemukan Yesus Kristus harta yang jauh lebih indah.