Di zaman yang semakin modern ini, banyak orang merasa tidak membutuhkan Tuhan karena teknologi dan ilmu pengetahuan terus menjawab berbagai pertanyaan manusia. Ada asumsi bahwa Tuhan hanya diperlukan ketika manusia belum dapat menjelaskan misteri-misteri alam semesta. Namun, kenyataannya, kebutuhan manusia akan makna dan spiritualitas tidak pernah memudar. Bahkan David Barrett dari World Christian Encyclopedia mengungkapkan bahwa dunia sedang mengalami perubahan keagamaan yang masif, dengan munculnya hampir 10.000 agama berbeda dan bertambah 2–3 agama baru setiap hari.
Ini menunjukkan bahwa semakin maju zaman, semakin kuat kebutuhan manusia untuk menemukan makna batin yang tidak dapat dijawab oleh teknologi semata. Walaupun teknologi dapat menjawab banyak pertanyaan, tetap ada kekosongan di dalam jiwa manusia — sebuah kebutuhan mendalam yang hanya dapat diisi oleh Sang Pencipta. Hal ini juga yang membuat iman Kristen berbeda dari agama lainnya. Iman Kristen tidak menawarkan pelarian dari realitas, tetapi membawa manusia pada pribadi Allah yang memberi makna, kecukupan, dan kepuasan sejati bagi hidup.
Inilah yang terlihat di dalam Mazmur 63. Mazmur ini lahir dari pengalaman Daud ketika berada di padang gurun Yehuda, tempat dia menemukan kepuasan sejati bersama Tuhan.
BACAAN: MAZMUR 63
63:1 Mazmur Daud, ketika ia ada di padang gurun Yehuda.
63:2 Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair.
63:3 Demikianlah aku memandang kepada-Mu di tempat kudus, sambil melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu.
63:4 Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau.
63:5 Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu.
63:6 Seperti dengan lemak dan sumsum jiwaku dikenyangkan,dan dengan bibir yang bersorak-sorai mulutku memuji-muji.
63:7 Apabila aku ingat kepada-Mu di tempat tidurku, merenungkan Engkau sepanjang kawal malam, –
63:8 sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku, dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai.
63:9 Jiwaku melekat kepada-Mu, tangan kanan-Mu menopang aku.
63:10 Tetapi orang-orang yang berikhtiar mencabut nyawaku, akan masuk ke bagian-bagian bumi yang paling bawah.
63:11 Mereka akan diserahkan kepada kuasa pedang, mereka akan menjadi makanan anjing hutan.
63:12 Tetapi raja akan bersukacita di dalam Allah; setiap orang, yang bersumpah demi Dia, akan bermegah, karena mulut orang-orang yang mengatakan dusta akan disumbat.
Mazmur 63 ini bukan ditulis dari tempat doa yang tenang, tetapi dari padang gurun yang gersang. Seperti terlihat dari ayat pertama, ini adalah mazmur Daud ketika berada di padang gurun Yehuda. Kemungkinan besar Daud menuliskannya saat dia sedang dalam pelarian dari anaknya sendiri, Absalom. Ada beberapa masa pelarian dalam hidup Daud, tetapi yang paling memungkinkan terkait dengan mazmur ini adalah ketika Absalom mengancam takhta kerajaan yang dimiliki Daud.
Bayangkan, seorang ayah yang dikhianati oleh anaknya sendiri, seorang raja yang harus meninggalkan takhta, dan seorang penyembah Allah yang kehilangan akses ke tempat ibadah. Daud menjerit di padang gurun, tempat yang sunyi dan penuh kesepian. Namun yang mengejutkan, dalam Mazmur ini Daud tidak memunculkan nada kepahitan atau kemarahan. Yang keluar dari hatinya justru sebuah kerinduan yang dalam untuk mengalami Tuhan. Justru di tengah padang gurun, tempat yang kering dan penuh kesunyian itu, Daud menemukan sumber sejati dari kepuasan hidup.
Hari ini, ada tiga pelajaran rohani dari pengalaman Daud yang dapat menolong kita untuk menghadapi dan mengatasi kekeringan jiwa:
MENGAPA JIWA BISA KERING?
Ayat 2 dengan jelas berkata, “Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair.” Saat membaca ayat ini, saya tertarik dengan kata “mencari”. Ternyata dalam beberapa terjemahan Alkitab, muncul perbedaan. Misalnya, dalam ESV (English Standard Version) kata ini diterjemahkan earnestly (dengan sungguh-sungguh). Sedangkan dalam New King James Version atau King James Version, diterjemahkan early (pada waktu pagi atau fajar). Kedua terjemahan ini sering digunakan secara bergantian di versi yang lain, dan saya melihat keduanya saling melengkapi.
Secara harfiah, kata Ibrani yang digunakan berarti early, pada dini hari. Tapi maknanya tak berhenti di sana. Kata ini juga mengandung intensitas kerinduan dari Daud; bukan hanya mencari Tuhan lebih awal, tapi juga dengan kesungguhan hatinya. Sejak membuka mata di pagi hari, Daud tahu kepada siapa dia harus datang. Yang pertama dia cari bukan kenyamanan atau solusi atas masalah, tetapi Tuhan sendiri.
Daud menggambarkan pencariannya akan Tuhan seperti orang yang membutuhkan air. Lalu di ayat 6–7, gambaran ini diperluas: “Seperti dengan lemak dan sumsum jiwaku dikenyangkan, dan dengan bibir yang bersorak-sorai mulutku memuji-muji.” Di sini Daud mengarahkan perhatian, bukan hanya pada air, tapi juga makanan — dua hal yang paling mendasar dalam hidup. Dia ingin menunjukkan bahwa kerinduannya akan Tuhan melampaui kebutuhan akan air dan makanan.
Bayangkan: bukan hanya pagi hari, sepanjang malam pun dia terus mengingat Tuhan. “Apabila aku ingat kepada-Mu di tempat tidurku, merenungkan Engkau sepanjang kawal malam.”
Saya suka komentar David Platt dalam bukunya Exalting Jesus in Psalms 63. Dia berkata bahwa Daud terdengar begitu “terobsesi” di sini. Platt memakai istilah kecanduan (bukan dalam arti negatif) untuk menunjukkan dampak dari mengenal kasih Tuhan. Seperti seorang pecandu yang terdorong untuk mencari sesuatu yang diyakininya akan memuaskan, demikian juga Daud: “kecanduan” akan Tuhan.
Ini selaras dengan pernyataan Daud di Mazmur 27:4: Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN, dan menikmati bait-Nya.
Demikian pula pemazmur lain berkata: “Lebih baik satu hari di rumah TUHAN daripada seribu hari di tempat lain.” Yesus sendiri mengatakan kecintaan-Nya akan bait Allah menghanguskan jiwa-Nya.
Reaksi seperti ini mungkin dianggap berlebihan oleh banyak orang hari ini. Ada yang berkata, “Beragama biasa saja, jangan terlalu serius, nanti dikira fanatik.” Tapi apakah ini bukan akar kekeringan kita? Kita sering ingin semua yang baik dari Tuhan — air, makanan, berkat, solusi — tapi tidak benar-benar menginginkan Tuhan sendiri.
Kita ingin damai, tapi tidak kehadiran-Nya. Kita mau penghiburan, tapi tanpa keintiman. Kita cari kekuatan, tapi enggan berserah. Kita sadar ada kekeringan, tapi tidak mau datang minum dari Sumber sejati. Tuhan hanya jadi tambahan yang nyaman, bukan pusat kerinduan.
Mungkin ada yang berkata, “Tapi saya masih percaya, masih hadir di ibadah, kasih persembahan, ikut seminar.” Pertanyaannya bukan apakah masih percaya atau beribadah, tetapi: apakah sungguh menginginkan Tuhan lebih dari apa pun di dunia ini?
Sangat mungkin kita berbicara tentang Kristus setiap hari, tetapi tidak berbicara kepada-Nya. Kita bisa menjalankan aktivitas rohani, meyakini doktrin yang benar, tapi tidak mengingini Dia.
Sebagai hamba Tuhan, saya diingatkan: bisa saja memberitakan Injil, melayani, tetapi Injil itu sendiri tidak merembesi hati saya. Bahaya terbesar bukan ketika orang meninggalkan gereja, tetapi ketika tetap aktif namun tidak lagi menginginkan Kristus.
Jadi, jika disimpulkan: jiwa kita kering bukan karena kita tidak tahu kebenaran Injil, tetapi karena kita berhenti terpesona pada keindahan Injil.
Saya teringat sebuah kejadian. Di arena olahraga, saya melihat seorang anak berlatih badminton dengan serius. Tapi di satu momen, anak ini malah bengong, matanya terpaku pada seseorang di lapangan sebelah. Perhatiannya teralihkan.
Bukankah ini sering menggambarkan kehidupan rohani kita? Kita tahu kepada siapa kita harus melihat, tapi hati teralihkan. Kita bilang mau serupa Kristus, tapi hati mudah terpikat oleh yang lain. Kita tahu Kristus cukup, tapi mencari rasa cukup di luar Dia.
Perhatikan bagaimana Daud menegaskan: “Jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu.” Ini bukan sekadar pengulangan, tetapi penekanan. Seluruh keberadaannya merindukan Tuhan. Jiwa butuh Tuhan seperti tubuh butuh air.
Rasa haus ekstrem dapat membuat tubuh menyerah, bahkan halusinasi. Jiwa kita tak bisa hidup tanpa Tuhan. Tim Keller pernah menulis, “Sebagaimana tubuh kita tak bisa hidup tanpa air, jiwa kita tak bisa hidup tanpa Tuhan.” Ini pengalaman eksistensial.
Dunia kita sibuk. Notifikasi terus berdatangan, agenda padat. Kadang, kesibukan itulah yang membuat kita merasa hidup berarti. Tapi jangan-jangan justru hati kita kosong. Kita sibuk melayani, tapi tak lagi menikmati Dia.
Seperti kata Agustinus, “Engkau mencipta kami untuk diri-Mu, ya Tuhan, dan hati kami takkan tenang sebelum tenang di dalam Engkau.” Kekeringan terjadi ketika kita menjauh dari Sumber hidup. Rutinitas, aktivitas, bahkan pelayanan tidak akan pernah cukup. Hanya di dalam Tuhan jiwa kita menemukan istirahat sejati.
Jadi, penyebab lainnya: jiwa kering karena kita terus mencari kepuasan di luar Tuhan, Sumber sejati itu sendiri. Kekeringan bukan karena kurang aktivitas, tetapi karena menjauh dari hadirat-Nya, tempat jiwa berdiam dan dipuaskan.
Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita kembali kepada Tuhan, Sumber kepenuhan jiwa?
BAGAIMANA MENGATASINYA?
Kita masuk ke poin yang kedua: Bagaimana mengatasi jiwa yang kering? Dalam Mazmur 63, Daud memberi tiga langkah praktis.
Yang pertama: Memandang.
Lihat ayat 3: “Demikianlah aku memandang kepada-Mu di tempat kudus sambil melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu.” Kata memandang di sini dapat berarti to behold, to gaze, atau to contemplate. Jadi ini bukan sekadar melihat dengan mata, tetapi memandang dengan penuh kagum dan renungan yang mendalam.
Contohnya seperti seorang pelukis yang selesai membuat karya. Ia tidak hanya melihat lukisannya sepintas, tetapi memandangi dengan penuh perhatian, merasakan cerita, emosi, dan keindahan dari setiap warna dan detail yang tergurat.
Saat Daud berkata bahwa dia memandang Tuhan, maksudnya ialah memberi perhatian penuh, dengan kagum dan kesadaran penuh akan siapa Allah dan apa yang Dia lakukan. Inilah momen di mana pengetahuan tentang Tuhan berubah menjadi pengalaman pribadi bersama-Nya. Bukan hanya tahu bahwa Allah itu baik, tetapi merasakan bahwa Allah memang baik. Bukan hanya mengerti bahwa Allah mengasihi, tetapi juga mengalami kasih itu nyata dalam hidup.
Secara praktis, waktu melakukan saat teduh, jangan hanya membaca untuk menemukan jawaban bagi kebutuhan pribadi, tetapi juga bertanya: Karakter Allah apa yang terlihat dari bacaan ini? Biarlah itu menyentuh dan mengisi hati, membuat pandangan semakin terarah pada Allah.
Yang kedua: Memuji.
Ayat 4–5 berkata: “Sebab kasih setia-Mu lebih baik daripada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau. Demikianlah aku memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu.” Ini bukan soal menyanyikan lagu atau mengangkat tangan sebagai rutinitas, tetapi soal luapan sukacita dari pengalaman pribadi bersama Allah. Daud tidak bisa diam — dia terdorong memuji Allah, bahkan di tengah kesendirian padang gurun.
C.S. Lewis pernah berkata: “Kita senang memuji apa yang kita nikmati, karena pujian tidak hanya mengungkapkan tetapi juga menyempurnakan kenikmatan itu sendiri.” Saat menikmati Allah, sukacita itu tidak lengkap sebelum diekspresikan. Contohnya, ketika makan makanan yang sangat enak atau menemukan restoran yang istimewa, sulit rasanya tidak memberi tahu orang lain. Begitu juga dengan Allah. Mereka yang pernah merasakan kebaikan-Nya tidak dapat menahan diri dari memuji dan membagikan pengalaman itu.
Inilah sebabnya kita selalu diajak untuk pray, share, invite. Berbagi kabar baik bukan soal kewajiban semata, tetapi soal luapan dari pengalaman pribadi bersama Allah. Jiwa yang memuji Allah di tengah berbagai musim hidup adalah jiwa yang disegarkan dari dalam.
Seperti kata Spurgeon: “Meskipun Daud berada di padang gurun, padang gurun itu tidak berada di hatinya. Sekalipun berada di tengah kesunyian dan kegersangan, dia tetap memuliakan Allah dengan bibirnya.”
Yang ketiga: Merenungkan.
Ayat 7–9 berkata: “Apabila aku ingat kepada-Mu di tempat tidurku, merenungkan Engkau sepanjang kawal malam… sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai. Jiwaku melekat kepada-Mu, tangan kanan-Mu menopang aku.” Kata merenung membawa makna yang lebih dalam dari memandang. Tim Keller menjelaskan bahwa merenung berarti membawa kebenaran Alkitab, memikirkannya, menghargainya, dan memaksa hati untuk berpikir, merasakan, dan hidup sesuai dengan kebenaran itu.
Jika memandang ialah soal merespons Allah dengan kagum, maka merenung ialah soal berpikir dengan intensional, memberi ruang bagi Allah untuk memperbarui pola pikir dan kebutuhan terdalam di dalam hati. Beralih dari cinta kepada hal-hal fana, dan mengarahkan sepenuhnya kepada Allah — satu-satunya pribadi yang sanggup memuaskan dahaga jiwa.
Itulah sebabnya terus diajak agar tidak hanya membaca Alkitab untuk memenuhi kebutuhan pribadi semata, tetapi juga masuk dalam sebuah pola merenung yang konsisten. Berada dalam komunitas juga menolong agar dapat bersama-sama merenung dan menghidupi kebenaran itu hari demi hari.
Kesimpulan dari tiga langkah ini:
Kalau berhenti di titik ini saja, mungkin terasa cukup. Ada tiga langkah jelas yang dapat dijadikan pedoman. Minimal bisa berkata, “Sekarang saya tahu tiga cara mengatasi jiwa yang kering: memandang, memuji, dan merenung.”
Namun, yang perlu diingat, ini bukan soal usaha manusia semata. Jawaban bagi jiwa yang kering bukan dengan menambah lebih banyak usaha rohani, tetapi dengan kembali lebih dalam kepada Injil — memandang karya Allah, memuji kasih-Nya, dan merenungkan anugerah-Nya hingga jiwa disegarkan kembali.
Yang dibutuhkan bukan aktivitas rohani tambahan, tetapi hadirat Allah sendiri. Injil tidak pernah menawarkan tiga langkah cepat atau lima tips instan untuk pemulihan, tetapi membawa kita kembali kepada satu pribadi yang paling kita butuhkan — yang menjawab kehausan terdalam jiwa.
Mungkin ada yang bertanya, “Di mana Injil dalam semua ini? Di mana karya Allah yang membuat semua ini nyata?”
APA YANG PALING KITA BUTUHKAN DI TENGAH KEKERINGAN JIWA?
Saat masuk ke ayat 10–12 dari Mazmur 63, Daud membuat sebuah kesimpulan yang penuh keyakinan:
“Tetapi orang-orang yang berikhtiar mencabut nyawaku akan masuk ke bagian-bagian bumi yang paling bawah. Mereka akan diserahkan kepada kuasa pedang; mereka akan menjadi makanan anjing hutan. Tetapi raja akan bersukacita di dalam Allah; setiap orang yang bersumpah demi Dia akan bermegah, karena mulut orang-orang yang mengatakan dusta akan disumbat.”
Beberapa penafsir mengatakan bahwa ayat-ayat ini seolah-olah antiklimaks dan bisa saja tidak perlu dicantumkan. Namun, saat direnungkan lebih dalam, di sini justru Daud memberikan sebuah pengakuan yang sangat penting. Daud tidak hanya berkata bahwa Allah dapat memuaskan jiwanya, tetapi juga bahwa Allah sanggup menjaganya.
Yang menarik, Daud tidak berkata, “Aku yakin Allah menjagaku karena aku raja yang taat dan benar,” atau, “Aku yakin Allah menjagaku karena pelayananku yang penuh kesalehan,”. Tidak. Keyakinannya bukan berdasarkan prestasi atau kesalehan pribadi, tetapi sepenuhnya berdasarkan kesetiaan Allah sendiri.
Kuncinya terlihat di ayat 4: “Sebab kasih setia‑Mu lebih baik daripada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau.” Saat Daud berada di tempat yang paling rawan — di tengah kesendirian dan kehausan — dia tidak memohon agar Allah menyelamatkan hidupnya. Daud tidak berkata, “Tuhan, beri aku keamanan dan keluarkan aku dari situasi ini,” atau, “Tuhan, aku sudah melakukan ini dan itu untuk-Mu, maka selamatkan aku.” Daud juga tidak berkata, “Yang paling aku butuhkan adalah nyawaku diselamatkan.”
Yang dia katakan justru jauh lebih radikal: “Kasih setia‑Mu lebih baik daripada hidup.”
Kata yang digunakan Daud untuk “kasih setia” ialah kata Ibrani chesed — kasih yang berdasarkan perjanjian Allah, bukan perasaan semata. Kasih ini bukan kasih yang mudah berubah, tetapi kasih yang teguh dan tidak tergoyahkan. Seperti dikatakan oleh David Platt, kasih Allah ini bukan soal sentimentalisme, tetapi soal sebuah komitmen Allah yang tak pernah gagal memegang umat-Nya — bahkan ketika kita gagal, jatuh, dan lemah.
Inilah yang juga diungkapkan oleh Paulus dalam Roma 8:38–39:
“Sebab aku yakin bahwa baik maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”
Saat merenungkan Mazmur 63 ini, terlihat jelas bahwa Daud memahami hal ini dari pengalaman hidup yang pahit. Ketika Absalom, putranya sendiri, memberontak dan merebut takhta dari Daud, dia tidak terkejut. Daud mengingat dengan jelas teguran Nabi Natan setelah dosa perzinahan dan pembunuhan yang dia perbuat. Dalam 2 Samuel 12:11, Allah berkata:“Bahwasanya malapetaka akan Kutimpakan atasmu dari keluargamu sendiri.”
Saat Absalom menghianatinya, Daud menyadari bahwa ini memang konsekuensi dari dosa-dosanya. Daud gagal sebagai seorang raja dan sebagai seorang ayah. Ada begitu banyak kegagalan yang dia alami. Namun, yang luar biasa ialah — terlepas dari kegagalannya — Daud tetap dapat berkata bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya. Kasih setia Allah tidak pernah berakhir.
Dan bagi kita hari ini, bagaimana kebenaran ini dapat memberi keyakinan? Jawabannya terletak pada pribadi Raja yang lain. Ada seorang Raja yang tidak pernah gagal. Seorang Raja yang sepenuhnya mengasihi Allah dan taat seumur hidup-Nya. Seorang Raja yang seharusnya menerima mahkota kemuliaan tetapi justru menerima mahkota duri.
Raja ini ialah Yesus. Dialah air hidup yang memberi kehidupan bagi manusia, tetapi di atas kayu salib pernah berseru, “Aku haus!” Bukan karena dosa-Nya, tetapi karena dosa kita. Yesus masuk ke dalam “padang gurun” Allah — tempat Allah memalingkan wajah — bukan karena kesalahan-Nya, tetapi karena kesalahan dan kegagalan kita.
Saat Dia tergantung di kayu salib itu, Allah memalingkan wajah dari-Nya, agar kita tidak pernah lagi ditinggalkan Allah. Yesus yang haus, memberikan air hidup bagi kita. Yesus yang menerima murka Allah, memberi damai Allah bagi kita. Yesus yang kehilangan hadirat Allah, memungkinkan kita untuk selamanya berada di dalam hadirat Allah.
Inilah jawaban terdalam bagi jiwa yang kering: Bukan soal perubahan keadaan, tetapi soal perjumpaan dengan Pribadi yang rela haus agar kita tidak pernah lagi kehausan.
Saat jiwa terasa kering, pertanyaannya bukan lagi, “Apa yang dapat memuaskan saya?” tetapi “Siapa yang sungguh saya rindukan?”
Saat merasa jauh dari Allah, pertanyaannya bukan, “Apa yang dapat membuat saya merasa lebih baik?” tetapi “Mengapa saya menjauh dari Allah?”
Pertanyaan Reflektif
🌕 (Head) Apa yang selama ini saya andalkan untuk mengatasi kekeringan jiwa saya? Dan mengapa itu selalu tidak cukup?
❤️ (Heart) Ketika saya merasa jauh dari Tuhan, apakah saya berlari kepada-Nya atau justru menjauh? Apa yang saya percayai tentang karakter Tuhan saat saya merasa kering?
✋ (Hand) Jika Yesus rela kehausan agar saya dipuaskan, mengapa saya masih mencari kepuasan di luar Dia? Apa yang membuat saya ragu untuk datang dan tinggal di dalam kasih-Nya?
Orang Berinjil
Senantiasa Terpesona Dengan Keindahan Injil Karena Sadar Bahwa Hanya Kasih Tuhan Yang Mampu Menjangkau Ruang Hati Yang Tidak Bisa Dipuaskan Oleh Dunia.
Selalu Rindu Memandang Pada Karya Tuhan, Menikmati-Nya Dalam Pujian, Dan Merenungkan Akan Kasih-Nya Yang Tak Pernah Habis, Hingga Pikirannya Diperbarui & Hidupnya Diarahkan Kembali Kepada-Nya.
Menemukan Bahwa Hanya Kristus Yang Cukup Bagi Jiwanya, Sehingga Berhenti Mencari Kepuasan Dalam Hal-Hal yang Fana Dan Sementara.