Nilai-Nilai Siapa yang Kita Kejar? Jalan Mana yang Benar?

KEBENARAN INJIL UNTUK PERGUMULAN MASA KINI – WEEK 6 "Nilai-Nilai Siapa yang Kita Kejar? Jalan Mana yang Benar" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Bacaan: Mazmur 19:1-15

19:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud. 

19:2 Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; 

19:3 hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. 

19:3 Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; 

19:5 tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit untuk matahari, 

19:6 yang keluar bagaikan pengantin laki-laki yang keluar dari kamarnya, girang bagaikan pahlawan yang hendak melakukan perjalanannya. 

19:7 Dari ujung langit ia terbit, dan ia beredar sampai ke ujung yang lain; tidak ada yang terlindung dari panas sinarnya. 

19:8 Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. 

19:9 Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya. 

19:10 Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya, 

19:11 lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah. 

19:12 Lagipula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar. 

19:13 Siapakah yang dapat mengetahui kesesatan? Bebaskanlah aku dari apa yang tidak kusadari. 

19:14 Lindungilah hamba-Mu, juga terhadap orang yang kurang ajar; janganlah mereka menguasai aku! Maka aku menjadi tak bercela dan bebas dari pelanggaran besar. 

19:15 Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku , ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku.

Saya akan memulai dengan sebuah pernyataan. Dari TikTok sampai ruang kelas, dari ruang keluarga sampai ruang kerja, semua bicara soal valueMasalahnya, siapa yang menentukan standarnya? Kita hidup di era relativisme moral, di mana kebenaran menjadi soal preferensi, bukan lagi prinsip. Apa yang benar bagi satu orang belum tentu benar bagi yang lain. Misalnya, ada seorang yang bekerja di sebuah korporasi. Setiap minggu, HRD mengirim email soal nilai-nilai perusahaan: integritas, ownership, growth, kejujuran, etika kerja. Tapi realitanya, dia melihat bosnya tidak jujur, manipulatif, targetnya tidak masuk akal. Dan yang naik jabatan bukan yang berprestasi, tapi yang paling pintar cari muka.

Semua bicara soal nilai, tapi siapa yang benar-benar menghidupinya?

Saya pernah bertemu dengan seorang mahasiswa yang berkata, “Pastor, saya diajar di kelas filsafat bahwa kebenaran itu relatif. Kebenaran buat saya belum tentu benar buat orang lain. Makanya saya melakukan plagiat, menyontek.” Tapi ketika profesornya tahu, dia tetap dihukum. Mahasiswa ini bingung, katanya kebenaran relatif. Kenapa itu salah? Bukankah itu kebenaran versi dia?

Di titik ini kita menyadari, ketika seseorang melanggar nilai pribadi kita, barulah kita sadar bahwa sebenarnya ada kebenaran yang absolut. Jika semua dianggap relatif, maka semua bisa dibenarkan, semua bisa dihalalkan. Inilah kebingungan kolektif moral dalam budaya kita saat ini.

Coba lihat media sosial: “Follow your truth.” “Don’t judge.” “Live your lives.” Atau sekarang, “Tanya AI saja.” “Biarkan AI yang menentukan yang terbaik untukmu.” Yang penting nyaman. Semua terdengar memerdekakan, tapi di saat yang sama, mengapa angka depresi meningkat? Mengapa orang makin bingung menentukan sikap terhadap berbagai isu?

Pertanyaan ini tidak bisa dihindari: Nilai siapa yang sedang dikejar? Jalan mana yang benar? Ini bukan hanya pertanyaan budaya, tetapi pertanyaan eksistensial. 

Mazmur 19 membuka mata kita, karena jawaban ada di sana. Tapi jawabannya bukan sekadar sepuluh perintah Allah atau aturan moral semata. Bukan legalisme, tetapi tentang tujuan dan fungsi seluruh ciptaan. Tentang bagaimana hukum Tuhan bukan menindas, melainkan memerdekakan. Dan bagaimana hukum itu menunjuk pada satu nama: Sang Penebus.

Jadi ada tiga poin utama hari ini:

  1. Kita tidak bisa hidup tanpa moral yang absolut.
  2. Hukum Tuhan tidak menindas, namun memberi kebebasan.
  3. Hukum Tuhan akan menghancurkan kita—kecuali ada Sang Penebus.

KITA TIDAK BISA HIDUP TANPA MORAL YANG ABSOLUT

Tadi judul perikop kita adalah Kemuliaan Tuhan dalam Pekerjaan Tangan-Nya. Kalau kita lihat ayat 2 dikatakan, "Langit menceritakan kemuliaan Allah, cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya." Tidak ada berita, tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar, tetapi gemanya terpancar ke seluruh dunia.

Maksudnya apa? Dunia hari ini bising dengan suara-suara nilai dari manusia, tetapi alam semesta bersaksi secara tenang. Bukan dengan kata-kata, melainkan dengan hukum alam yang tetap. Mazmur 19 dimulai dengan realitas universal yang absolut. Matahari terbit di timur dan tenggelam di barat—dan itu tidak peduli dengan opini manusia. Tidak ada yang bisa bilang, “Matahari, capek deh kamu terbit di timur terus. Sekali-sekali coba di utara.” Lalu polling dibuat dan lima miliar orang setuju. Apakah matahari lalu berubah arah? Tentu tidak.

Alam semesta terus menyatakan kemuliaan Allah secara objektif dan konstan. Langit tidak tergantung budaya, matahari tidak tunduk pada opini publik. Seluruh ciptaan tidak butuh persetujuan manusia untuk menyatakan siapa Allah. Dari sini kita tahu, hukum alam ada karena ada Sang Pencipta. Ciptaan memperkenalkan Allah sebagai sumber nilai yang otoritatif dan objektif. Tidak berbicara dengan kata, tapi semua orang bisa "mendengarkan" dan harus tunduk pada kesaksian semesta. Hukum alam tak bisa dilawan. Jika seseorang bilang, “Saya tidak percaya gravitasi,” dan mencoba lompat dari lantai lima, hukum itu tetap berlaku.

Rasul Paulus meneguhkan kebenaran Mazmur 19 dalam Roma 1:20. Terjemahan Indonesia yang sederhana menyatakan: "Sejak penciptaan dunia, sifat-sifat-Nya sebagai Allah sudah terlihat jelas melalui seluruh ciptaan." Ini terlalu indah. Bahkan jika seseorang percaya pada teori Big Bang, tetap harus ada yang memulai letusan itu. Melalui ciptaan, kita memahami hal-hal tentang Allah yang tak terlihat mata: keilahian dan kuasa-Nya yang kekal. Karena itu, "tidak ada alasan apapun bagi manusia untuk tidak mengenal Allah."

Pada hari penghakiman, tak seorang pun dapat berkata, “Aku tidak tahu tentang Engkau, Tuhan.” Karena sejak semula, semesta sudah bersaksi. Langit, matahari, cakrawala—semua berjalan sesuai rancangan-Nya.

Mazmur 19 dimulai dengan penegasan tentang kemuliaan Allah karena penting bagi kita untuk tahu siapa yang layak ditaati, sebelum kita bisa menaati. Jawabannya jelas: Tuhan. Kemudian Daud mengalihkan perhatian pada Taurat—the Law of God. Ia menulis, “Taurat Tuhan itu sempurna, menyegarkan jiwa.” Ayat 8 dan 10 mengatakan: “Hukum-hukum Tuhan itu benar, adil semuanya.”

Kata sempurna dalam bahasa Ibrani berarti utuh, lengkap, tidak bercela. Bukan hanya tanpa salah, tetapi satu-satunya standar yang layak dijadikan ukuran kehidupan. Kata benar secara harfiah berarti “alat ukur yang lurus”—straight edge tool. Seperti ketika membangun gedung, semua harus presisi. Ada perencana, pemborong, kontraktor, semua berdasarkan rancangan. Tidak bisa asal lihat dan bilang, “Kelihatannya lurus.” Jika semua berdasarkan kira-kira, bangunannya bisa miring semua.

Bahkan dalam ibadah, kursi yang tersedia dan jumlah jemaat pun dihitung presisi. Ada alat ukurnya. Kalau untuk bangunan fisik saja butuh alat ukur yang presisi, bagaimana mungkin hidup kita tidak memiliki standar? Harus ada ukuran yang objektif, bukan berdasarkan penilaian sendiri, melainkan berasal dari luar diri.

Namun, dunia saat ini memakai 3 E sebagai ukuran: expectation, emotion, dan ease.

  • Ekspektasi publik: apa kata mayoritas?
  • Emosi: apakah yang terasa nyaman?
  • Kemudahan: mana yang paling praktis?

Tapi ini semua sangat subjektif. Bisa berubah-ubah dan menipu.

Contoh: seorang profesional muda mengejar karier demi memenuhi ekspektasi keluarga dan masyarakat. Dulu, kerja di perusahaan asing dengan gaji stabil dianggap sukses. Maka ia kerja keras, beli rumah, naik jabatan. Tapi setelah semua tercapai, justru merasa kosong. Lalu muncul tren baru: quit your 9–5 job, kerja dari rumah, pindah ke Bali, work remotely. Sukses sekarang berarti kebebasan. Orang yang dulu dianggap sukses, kini disebut korban kapitalisme, budak korporat. Ia pun bertanya, “Loh, semua ini yang saya kejar, ternyata salah?”

Hal serupa terjadi di standar kecantikan. Dulu: kulit putih, tubuh langsing, hidung mancung. Banyak yang mengejarnya, bahkan dengan operasi plastik. Tapi kini algoritma berubah. Tren sekarang: kulit sawo matang, tubuh berisi dan berotot, tampil natural. Yang terlalu "kinclong" dianggap tidak nyata. Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah telanjur operasi? Standar berubah—dan terus berubah. Inilah bahayanya jika moral hanya berdasar perasaan, budaya, atau kenyamanan.

Hanya hukum Tuhan yang menjadi straight edge of truth—alat ukur yang lurus, tidak berubah, dan tidak bisa ditawar. Firman Tuhan berkata: jangan hanya menonjolkan kecantikan luar, tapi bangunlah keindahan batiniah. Bukan berarti tampilan luar diabaikan, tapi fondasinya adalah hati.

Jangan kejar uang, karena itu fana. Ketika moral ditentukan oleh perasaan, budaya mayoritas, atau manfaat sesaat, maka keadilan sejati tidak tercapai.

Lihat bagaimana publik figur bisa dilaporkan melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Awalnya dibela—karena masih dianggap “baik,” “ganteng,” “kelihatan mesra.” Tapi ketika bukti muncul, publik berbalik arah dan ia di-cancel

Jika moral tergantung emosi, kebenaran bisa ditunda sampai orang cukup marah. Jika tergantung budaya, maka keadilan baru muncul ketika ramai-ramai menyuarakannya. Ketika kasih hanya didefinisikan sebagai “jangan menyakiti perasaan,” maka seseorang bisa mencuri dan tetap merasa sebagai korban. Padahal, korban sebenarnya adalah yang kehilangan.

Tanpa moral absolut dari Tuhan, tidak ada keadilan sejati.

C. S. Lewis pernah mengatakan: "Seseorang tidak akan menyebut sebuah garis bengkok kecuali dia memiliki gambaran tentang garis yang lurus." Artinya, jika bisa berkata sesuatu itu salah, maka pasti ada standar yang benar. Standar itu tidak berasal dari dalam manusia, tapi dari luar—dari Tuhan sendiri.

Setiap budaya memiliki kesadaran akan “yang seharusnya.” Kesadaran akan keadilan menunjukkan bahwa ada standar moral lebih tinggi. Mazmur 19 menegaskan: hukum Tuhan adalah firman Tuhan yang sempurna.

Tanpa kebenaran absolut, kita kehilangan keberanian untuk menyebut yang salah itu salah. Tanpa itu, kita bingung mendidik anak-anak, karena semuanya dianggap boleh—bahkan identitas gender pun bisa dinegosiasikan. Tanpa kebenaran absolut, kita lebih memilih yang nyaman daripada yang benar. Tapi firman Tuhan memberikan dasar kokoh. Kita bisa berdiri teguh bukan di atas opini manusia, tetapi di atas kebenaran Allah.

Nah, pertanyaan berikutnya mungkin muncul: "Kalau hukum Tuhan mutlak dan lurus, bukankah itu menindas dan membatasi kebebasan?" Tampaknya demikian. Tapi benarkah begitu?

HUKUM TUHAN TIDAK MENINDAS, NAMUN MEMBERI KEBEBASAN

Ayat 8 berbunyi: “Taurat Tuhan itu sempurna, menyegarkan hati. Titah Tuhan itu tepat, menyukakan hati.” Firman Tuhan itu menyukakan hati. Sementara dunia berkata bahwa kebebasan berarti hidup tanpa batas, suka-suka kita. Tapi kenyataannya, hidup tanpa batas selalu mengarah kepada kehancuran. Mazmur 19 justru berkata sebaliknya: hukum Tuhan bukan belenggu, tapi menciptakan habitat dan kodrat yang tepat.

Saya beri sedikit ilustrasi. Lihat gambar yang bawah itu, yang hitam. Ikan tidak bisa hidup di darat. Burung terbang hidup di udara dan darat, tidak bisa hidup di air. Beruang kutub kalau dipindah ke padang pasir, pasti mati. Demikian juga manusia rohani tidak bisa hidup di luar hukum Tuhan. Hidup tanpa batas membawa kehancuran. Batas yang salah membawa kematian. Tapi batas yang benar membawa kebebasan sejati. 

Saya beri ilustrasi lagi. Ini gitar, ya. Semua tahu ini gitar. Tapi kalau saya main gitarnya seperti ini (asal-asalan), saya tampak seperti orang bodoh. Kenapa? Karena gitar tidak didesain untuk dimainkan seperti itu. Tapi bukankah itu kebebasan? Terserah saya dong mau main seperti apa? Tapi kalau kamu ngamen seperti itu, kira-kira dapat uang tidak? Tentu tidak.

Kalau mau main gitar, harus di tempat yang tepat. Ada batasannya juga. Bisa tidak kamu pencet senar di bagian yang salah? Tidak bunyi. Tapi kalau kamu pencet di tempat yang benar, lalu genjreng di posisi yang tepat, misalnya kunci C, lalu mainkan semua not dalam kunci C—apa yang terjadi? Tercipta harmoni. Indah.

Ada kebebasan dalam bermain musik, tapi di dalam batas yang benar. Batas itu tidak mengekang, justru menciptakan keindahan. 

Kalau kamu ngotot, “Aku mau main gitar suka-suka,” ya kamu tidak akan menghasilkan apa-apa. Dunia berkata ketaatan adalah belenggu, tapi Injil berkata ketaatan adalah jalan kehidupan. Masuklah ke dalam rancangan Allah. Di sana ada nilai dan sukacita sejati.

Saya masih ingat waktu bekerja di sebuah perusahaan, orang-orang mengajak saya macam-macam. Orang Amerika itu kadang-kadang semuanya diisap—rokok, ganja, macam-macam. Mereka sering mengajak saya, dan saya berkata, “Tidak, saya tidak ikut.”

Ini bukan soal menghakimi siapa pun. Tapi saya ingin hidup sehat, tidak mau terikat apapun. Saat musim panas, semua orang ajak saya mencoba. Mereka bilang, “Michael ini paling suci.” Saya dihina. Tapi saya tetap tidak mau.

Lalu saat musim dingin datang, saya tanya, “Eh, anak-anak ke mana semua?” Mereka di luar. Saya lihat dari jendela, mereka menggigil kedinginan. Ketika masuk, saya tanya, “Kalian sudah kedinginan begitu kenapa masih di luar?”

Jawab mereka, “Soalnya aku sudah gemetaran, belum ngisep. Kalau aku enggak ngisep, aku enggak bisa berfungsi.”

Sekarang saya tanya: siapa yang terbelenggu? Saya tidak butuh zat-zat itu untuk berfungsi. Tapi mereka tidak bisa hidup tanpanya. Ada orang yang kalau tidak minum whisky pagi-pagi, gemetaran. Terikat. Siapa yang sebenarnya terbelenggu?

Ketika kita mulai berkata “tidak” kepada dosa, saat kita tunduk pada batasan firman Tuhan, justru banyak kesaksian pemulihan terjadi. Pernikahan yang rusak mulai dipulihkan. Pekerjaan menjadi lebih baik. Kebebasan tanpa batas menghancurkan hidup, tapi firman Tuhan memberikan kehidupan.

Suami istri yang tadinya di ambang perceraian—karena egois, ingin bebas, ingin menang sendiri—justru mulai pulih. Mereka belajar saling mengampuni, belajar saling memberi kasih karunia. Itu semua berdasarkan Injil. Tidak saling menyalahkan lagi.

Orang yang dulu ambisius dan curang dalam pekerjaan, lalu bertobat dan membiarkan Injil mengubah hidupnya, justru diberi damai dan berkat. Saat dia bekerja dengan damai, pelayanan kepada pelanggan meningkat. Dia bekerja dengan integritas. Orang percaya padanya. Akhirnya apa? Dia lebih banyak di-hire.

Jadi, tunduk pada Tuhan tidak menghancurkan. Justru di situlah Tuhan menghidupkan kita.

Tim Keller berkata dalam bukunya Reason for God, "Kebebasan sejati bukan hidup tanpa batasan, tapi hidup dalam batasan yang sesuai dengan kodrat kita sebagai ciptaan Allah." Yang setuju katakan amin.

Orang modern alergi dengan kata “taat.” Tapi sebenarnya semua orang taat kepada sesuatu. Pertanyaannya: kamu tunduk pada apa? Siapa yang kamu taati?

Banyak orang tunduk pada opini publik. Banyak orang tunduk pada apa kata orang. Itu sebabnya saya sering bilang: you spend money that you don’t have to buy the things that you don’t need to impress people that you don’t like. Siapa yang terbelenggu?

Kamu menghamburkan uang yang tidak kamu miliki, beli barang yang kamu tidak butuhkan, hanya untuk membuat orang kagum—padahal orang-orang itu pun kamu tidak suka.

Dunia menjanjikan kebebasan, tapi memberi kehampaan. Hukum Tuhan tampak seperti batasan, tapi justru memberi damai dan sukacita dalam hati.

Namun, meskipun hukum Tuhan sempurna, menyegarkan jiwa, menyukakan hati—mari kita jujur: siapa yang benar-benar bisa mentaatinya? Siapa yang bisa berkata, “Aku murni, benar, dan tidak bercela”?

HUKUM TUHAN TIDAK MENGHANCURKAN KITA, KECUALI ADA PENEBUS

Ini yang membawa kita ke titik ketiga dari poin kita hari ini, bahwa di dalam Mazmur 19 ternyata Daud menyadari hal itu: bahwa hukum Tuhan akan menghancurkan kita kecuali ada penebus.

Saudara, hukum akan menghancurkan jika tidak berperan dengan benar dalam hidup kita. Kita bisa mengagumi hukum Tuhan, kita bisa mencoba menaati firman Tuhan. Tapi kalau kita tidak paham peran firman itu, kita akan putus asa, Saudara.

Saya beri sedikit ilustrasi supaya Saudara bisa mengerti. Misalnya Saudara adalah seorang penyanyi solo yang suaranya sangat merdu dan hebat, tapi Saudara masuk dalam paduan suara dan tidak patuh pada arahan dirigen atau pemimpin, maka semuanya akan kacau. Atau Saudara adalah pemain basket yang sangat berbakat dan luar biasa handal, tetapi tidak bermain sesuai peran dalam tim, maka timnya pun akan hancur dan kalah. Begitu juga jika Saudara tidak menyadari apa peran hukum atau firman dalam hidup kita.

Dalam Mazmur 19, saya akan berikan sedikit Bible study di sini. Kalau Saudara lihat ayat 1 sampai 6, itu berbicara tentang ciptaan yang menyatakan kebenaran absolut universal. Kata "Allah" di bagian itu memakai kata "Elohim." Elohim bukanlah nama Tuhan secara pribadi dan mengerucut, melainkan menunjukkan Tuhan yang umum. Maksudnya, alam semesta menyatakan bahwa Tuhan itu ada.

Namun yang menarik adalah pada ayat 7, kata "Allah"-nya berubah, bukan lagi Elohim, tapi menjadi "Yahwe." Dari Allah yang umum menjadi Allah yang pribadi. Seakan-akan Daud mau berkata, “Alam semesta bisa menunjukkan bahwa Tuhan itu ada, tapi alam semesta tidak cukup untuk mengenal Tuhan secara pribadi. Itulah sebabnya kamu perlu firman-Nya, kamu perlu hukum-Nya.”

Hukum dan firman Tuhan menyegarkan jiwa, berharga bagi hidup kita. Disebutkan bahwa hukum Yahwe itu sempurna, murni, benar. Tapi mendadak di ayat 12 Daud berkata, “Siapa yang dapat mengetahui kesesatannya?” Kesalahan dirinya sendiri. “Bebaskan aku.” Hukum Tuhan memang menakjubkan, tapi juga menghancurkan.

Maksudnya apa? Ribuan kali saya melihat seseorang mulai sadar bahwa ia butuh Tuhan dalam hidupnya. Mereka ke gereja, mulai baca Alkitab, membaca perintah Tuhan: hidup jujur, taat, kasihilah musuhmu, pipi kiri setelah pipi kanan ditampar, rendah hati, lemah lembut, kudus, dan seterusnya. Awalnya mereka berkata, “Ya, itu benar, aku mau lakukan.” Tapi semakin lama mereka mencoba, mereka sadar mereka gagal, mereka sadar mereka tidak mampu, mereka lelah.

“Oh, kok tidak bisa ya?” Mereka sadar bisa sehari, tapi gagal besoknya. Mereka tertuduh, merasa tidak mampu. Itu yang terjadi dalam Mazmur 19. Daud memandang hukum Tuhan dan berkata, “Hukum-Mu sempurna.” Tapi kemudian sadar, “Yang tidak sempurna itu aku. Aku penuh kesalahan, bobrok, hancur.” Dan itu adalah hal yang baik.

Inilah peran pertama dari hukum: hukum membuat kita sadar bahwa kita gagal. Kalau hukum membuat kita merasa hebat, maka kita belum melihat hukum Tuhan dengan benar. Kita masih munafik. Kita masih membandingkan diri dengan orang lain. Kalau membandingkan diri dengan orang lain, kita bisa merasa lebih lumayan. Tapi bandingkan dengan kekudusan Tuhan, maka kita bobrok, jahat, gagal.

Dan inilah kabar baik, karena kekristenan bukan untuk orang yang merasa dirinya baik. Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi untuk mencari orang berdosa.”

Itu yang terjadi dalam Mazmur 19. Daud mulai dari kemegahan ciptaan, lalu kekudusan dan kehebatan hukum, lalu kehancuran diri, dan akhirnya dia menangis meminta penebus. Ketika Saudara membaca firman dan merasa gagal, merasa tidak mampu, merasa tidak sempurna—itu adalah titik awal keselamatan. Hukum menghancurkan kesombongan kita.

Jika Saudara merasa tidak mampu, Saudara mulai sadar bahwa Saudara perlu diselamatkan. Hanya orang yang merasa gagal, merasa berdosa, yang dapat bertobat dan sadar bahwa dia butuh keselamatan. Ini membawa kita kepada peran hukum yang kedua: hukum mendorong kita memandang kepada Sang Juruselamat.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal.

Bagaimana caranya? Rasul Paulus menjelaskannya di Galatia 4:4, “Ketika genap waktunya, Allah mengutus Anak-Nya, lahir dari seorang perempuan, takluk kepada hukum Taurat, untuk menebus mereka yang takluk kepada hukum Taurat.”

Yesus lahir di bawah hukum Allah, tunduk pada hukum itu, dan menaatinya secara sempurna. Untuk apa? Untuk menjadi pengganti yang sempurna bagi kita yang gagal.

Firman Tuhan berkata, “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Tapi hati kita berkata seperti Daud, “Siapa yang dapat memahami kesesatan hatiku?” Injil menjawab: Yesus datang bukan untuk meniadakan hukum, tetapi untuk menggenapinya, menggantikan kita. Dia hidup sempurna di dalam hukum, tapi mati di bawah kutuk hukum. Dia hidup menaati hukum seperti seharusnya kita lakukan, tetapi disalibkan menanggung hukuman yang selayaknya kita terima. Namun Dia tidak berhenti di situ—Dia bangkit dari kematian untuk membebaskan kita dari belenggu hukum, supaya kita tidak lagi hidup dalam rasa takut, tetapi sebagai anak-anak yang dikasihi Bapa.

Kita tidak diselamatkan oleh hukum—itulah sebabnya Yesus datang. Salib adalah tempat dua hal bertemu: keagungan hukum Allah yang tidak bisa dikompromi—yang menuntut hukuman atas dosa, dan kasih yang luar biasa yang rela menanggung hukuman itu bagi kita. Di sanalah kita melihat siapa kita sebenarnya: orang-orang berdosa yang menerima kasih karunia. You are sinners that receive grace.

Rasul Paulus menegaskan koneksi Injil ini di Galatia 3:24–26: “Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman. Sekarang iman itu telah datang. Karena itu kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun. Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Kristus Yesus.”

Galatia 3 ini menyempurnakan pesan dari Mazmur 19. Daud mengagumi Taurat Tuhan karena memang sempurna, dan Paulus menjelaskan fungsi finalnya: Taurat bukan jalan keselamatan, tetapi penuntun menuju Kristus.

Tanpa Injil, kita hanya punya dua pilihan:

  1. Antinomian – menolak hukum. “Ya, aku berdosa, jadi sudah, terserah.”
  2. Legalism – mengejar kesempurnaan dan aturan sebagai syarat, penampilan, performa.

Keduanya sama-sama melepaskan kita dari kasih dan anugerah Tuhan, dan sama-sama menghasilkan kehampaan dan kelelahan.

Tetapi Injil menawarkan “jalan ketiga.” Bukan mentaati hukum untuk mendapatkan berkat, dan bukan menolak hukum supaya bebas. Injil adalah tentang Tuhan yang menerima kita karena Kristus telah menaati hukum itu bagi kita. Saat orang Kristen melihat hukum, kini kita tidak takut, tetapi bisa bersukacita. Kita memahami bahwa hukum tidak lagi mengancam, tetapi menjadi peta untuk menikmati hubungan dengan Tuhan.

  1. Hukum bukan sebagai tangga menuju surga – kita sudah berada di sana melalui Kristus.
  2. Hukum sebagai peta untuk menikmati kekudusan – kita diciptakan untuk hidup kudus.

Mengapa Tuhan menghendaki ketulusan hati, kesetiaan dalam relasi, integritas? Karena kekudusan itu indah, dan menuntun kita merasakan sukacita yang sejati.

Ketika kita berdosa, kita merasa tidak nyaman. Muncullah pertobatan dan Roh Kudus bekerja mendewasakan kita – kita makin menjauhi dosa dan jatuh cinta kepada Tuhan. Amin!

J. Packer dalam komentarnya tentang Sepuluh Perintah berkata: “Hukum moral bukanlah musuh kita, melainkan penuntun kasih karunia dari Allah menuju hidup penuh sukacita—damai yang menjadi tujuan penciptaan kita.” Sekarang Firman itu tinggal di dalam kita. Kita bernilai bukan karena prestasi, tetapi karena pengorbanan Kristus. Dia menuntun kita hidup di dalam 

Kita taat bukan karena ingin membuktikan diri, tetapi karena kasih Tuhan lebih dulu menyentuh hati kita. Kasih itu mengubah kita dari dalam ke luar. Kita taat bukan karena harus, tetapi karena rindu.

Pertanyaan reflektifnya:

  1. Nilai siapa yang kamu kejar dan membentuk hidupmu? Apakah kamu dipengaruhi opini dunia, budaya, media sosial—atau oleh kebenaran firman Tuhan?
  2. Apakah kamu melihat firman Tuhan sebagai beban atau pelita yang membebaskan? Penindas atau pemberi kehidupan?
  3. Apakah kamu taat karena sukacita, atau karena tekanan? Apakah kamu masih berusaha membuktikan diri kepada Tuhan dan orang lain, atau karena tahu kamu sudah dikasihi dan diteliti dengan kepenuhan Kristus?

Orang Berinjil:

  • Mencintai hukum & Firman Tuhan, bukan karena mereka sempurna, tapi karena Tuhan yang sempurna telah mengampuni mereka di dalam Kristus.
  • Taat kepada hukum & firman, bukan untuk diterima, tapi karena sudah dikasihi terlebih dahulu oleh Tuhan.
  • Tidak menentukan nilai hidupnya sendiri, karena mereka sudah menerima nilai tertinggi: identitas sebagai anak Allah.