“True Rest” di tengah “Anxiety”

KEBENARAN INJIL UNTUK PERGUMULAN MASA KINI – WEEK 7 "True Rest di Tengah Anxiety" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Hari ini kita akan membahas tentang true rest in the midst of anxiety—ketenangan sejati di tengah kecemasan. Kita semua memiliki kecemasan dalam hidup. Yang saya maksud bukan kecemasan dalam pengertian medis, tetapi kecemasan eksistensial. Hari ini kita akan melihat bagaimana Daud merespons kecemasan dalam hatinya melalui Mazmur 27. Ini adalah pelajaran penting yang bisa kita ambil.

Bacaan: Mazmur 27

Aman dalam perlindungan Allah

27:1 Dari Daud. TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar? 

27:2 Ketika penjahat-penjahat menyerang aku untuk memakan dagingku, yakni semua lawanku dan musuhku, mereka sendirilah yang tergelincir dan jatuh. 

27:3 Sekalipun tentara berkemah mengepung aku, tidak takut hatiku; sekalipun timbul peperangan melawan aku, dalam hal itupun aku tetap percaya. 

27:4 Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya. 

27:5 Sebab Ia melindungi aku dalam pondok-Nya pada waktu bahaya; Ia menyembunyikan aku dalam persembunyian di kemah-Nya, Ia mengangkat aku ke atas gunung batu. 

27:6 Maka sekarang tegaklah kepalaku, mengatasi musuhku sekeliling aku; dalam kemah-Nya aku mau mempersembahkan korban dengan sorak-sorai; aku mau menyanyi dan bermazmur bagi TUHAN. 

27:7 Dengarlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku! 

27:8 Hatiku mengikuti firman-Mu: "Carilah wajah-Ku"; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN. 

27:9 Janganlah menyembunyikan wajah-Mu kepadaku, janganlah menolak hamba-Mu ini dengan murka; Engkaulah pertolonganku, janganlah membuang aku dan janganlah meninggalkan aku, ya Allah penyelamatku! 

27:10 Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku. 

27:11 Tunjukkanlah jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, dan tuntunlah aku di jalan yang rata oleh sebab seteruku. 

27:12 Janganlah menyerahkan aku kepada nafsu lawanku, sebab telah bangkit menyerang aku saksi-saksi dusta, dan orang-orang yang bernafaskan kelaliman. 

27:13 Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup! 

27:14 Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!

Kita hidup di dunia yang menawarkan banyak hal—kecanggihan, kemudahan, kecepatan—tetapi tidak menawarkan ketenangan. Teknologi sudah sangat maju. Hanya dengan ponsel, kita bisa bertanya kepada AI, memesan makanan, kendaraan, apa pun. Kita hidup di zaman yang super canggih. Tapi mengapa semakin teknologi berkembang, justru hati kita semakin tidak tenang?

Kita semakin bisa mengontrol banyak hal, tetapi justru makin takut kehilangan kontrol. Kita menjadi generasi paling gelisah sepanjang sejarah. Pertanyaannya, apakah ini hanya gejala manusia modern? Atau ada sesuatu yang lebih mendalam?

Mungkin kamu sedang menghadapi masalah kesehatan, keuangan, atau relasi. Itu wajar membuat cemas. Tapi ada juga yang hidupnya kelihatan baik-baik saja, tapi hatinya tetap gelisah. Mengapa?

Karena kecemasan sering kali mencerminkan apa yang menjadi pusat hidup kita. Bukan hanya sekadar perasaan, tetapi cermin dari apa yang paling kita andalkan. Masalahnya, kita jarang benar-benar jujur dan menyelidiki: apa sih pusat hidup saya sebenarnya?

Kadang kita berkata, “Tuhan,” tapi kenyataannya yang menjadi pusat hidup kita adalah hal lain. Kita berpikir, “Kalau saya punya ini… kalau saya menikah dengannya… kalau saya punya penghasilan segini… rumah di tempat itu… saya akan bahagia.” Tapi jika kehilangan itu berarti kehilangan pengharapan, maka itulah pusat hidup kita.

Pusat hidup bisa bermacam-macam: pasangan, penerimaan, pekerjaan, stabilitas. Tapi semua itu fana. Dan jika pusat hidup kita bisa hancur, maka tak heran hati kita selalu cemas. Keluarga, pekerjaan, bisnis—semua itu baik. Tapi ketika hal-hal yang baik menjadi yang terutama, mereka berubah menjadi berhala. Dan berhala akan menghancurkan penyembahnya.

Mazmur 27 adalah mazmur kepercayaan. Kemungkinan besar ditulis Daud saat dikejar musuh—entah oleh Saul atau Absalom. Tapi lihat bagaimana dia membuka mazmur ini: “Tuhan adalah terangku dan keselamatanku.” Lalu ayat 3, “Sekalipun tentara mengepung aku, tidak takut hatiku.”

Ia tidak sedang dalam keadaan damai, tetapi bisa berkata, “Aku tidak takut.” Mengapa? Karena pusat hidupnya bukan pada kemenangan atau stabilitas. Jawabannya ada di ayat 4. “Satu hal telah kuminta kepada Tuhan.” Inilah pusat hidup Daud. Dia tidak minta dilepaskan dari masalah. Tidak minta terobosan. Tidak minta keamanan. Ia berkata, “Aku ingin diam di rumah Tuhan seumur hidupku, menyaksikan kemurahan-Nya dan menikmati bait-Nya.”

Daud tidak mencari jalan keluar, tetapi mencari hadirat Tuhan. Karena hanya di hadirat-Nya ada ketenangan sejati.

Pertanyaannya: apa “one thing” dalam hidup kita? Apa satu hal yang kita dambakan?

Kadang yang kita cari bukan Tuhan, tetapi jawaban dari Tuhan. Yang kita dambakan adalah pertolongan-Nya, bukan Pribadi-Nya. Tapi Daud meminta Tuhan, bukan sekadar bantuan-Nya.

Dari ayat 4 ini, kita akan membahas tiga poin:

  1. True rest dimulai dengan dwell – berdiam di hadirat Tuhan.
  2. True rest diperoleh dengan gaze – memandang keindahan Tuhan.
  3. True rest diperjuangkan dengan seek – mencari wajah Tuhan.

True rest dimulai dengan dwell – berdiam di hadirat Tuhan

Perhatikan, Daud berkata, "Satu hal yang kuinginkan: berdiam di rumah Tuhan seumur hidupku." Apa artinya berdiam di rumah Tuhan? Daud jelas tidak sedang berbicara tentang tinggal secara fisik di Bait Allah. Itu tidak mungkin. Daud berasal dari suku Yehuda, sedangkan yang melayani di Bait Allah adalah suku Lewi—suku para imam—menurut hukum Taurat.

Jadi, maksud Daud ketika berkata, “I want to dwell in the house of the Lord,” adalah keinginan untuk mengenal Tuhan secara dekat. Ia tidak ingin tahu tentang Tuhan dari jauh. Ia rindu untuk hidup dalam relasi yang nyata, relasional, pribadi, dan mendalam.

Ini penting. Banyak dari kita tahu banyak tentang Tuhan—tentang doktrin, firman—tapi belum tentu hidup berdiam bersama Tuhan. Kita bisa hadir di gereja, menikmati khotbah, tapi hati kita belum tentu menetap dalam hadirat-Nya.

Saya pernah tanya ke tim multimedia dan menemukan fakta menarik soal jemaat Gibeon. Katanya 63–64% pendengar YouTube dan Instagram Gibeon itu laki-laki. Mereka bilang, “Karena pesannya logis, tegas, tidak mengada-ada, ini ‘chengli’, tidak jualan.” Saya juga sempat mendengar cerita dari seorang ibu. Ia bercerita tentang suaminya yang dulu malas ke gereja, apalagi datang tepat waktu. Hari Minggu, waktu mandi bisa sampai 20 menit, padahal biasanya 5 menit. Setengah jam sebelum ibadah dimulai, sang istri sudah siap, tapi suaminya baru mandi saat ibadah mulai. Datang telat, duduk sambil mengeluh soal isi khotbah.

Tapi sekarang, katanya, suaminya rajin catat materi katekismus, bahkan suka memfoto slide. Setelah ibadah, dia berkata, “Ini yang benar.” Itu kabar baik. Tapi izinkan saya katakan: kita bisa tersentuh oleh firman, bahkan jatuh cinta pada eksposisi yang padat logika, berisi filsafat, dan tetap… kita belum sungguh-sungguh mengenal Sang Firman.

Karena kagum pada firman belum tentu sama dengan kagum kepada Pribadi yang difirmankan.

Kalau boleh saya simpulkan: berdiam bersama Allah berarti menjadikan Tuhan rumah kita, bukan hotel. Selama hati masih menjadikan Tuhan tempat singgah, bukan tempat tinggal, kita akan terus diliputi kecemasan. Hati tidak akan stabil karena pusatnya bukan Tuhan.

Ilustrasinya begini: ada yang bilang, “Saya kenal Pastor Mike”—karena lihat di panggung, atau mungkin di Instagram. Tapi itu bukan kenal sungguhan. Untuk benar-benar mengenal, kita harus duduk bersama, saling memandang, menyebut nama, berbagi cerita. Kita mengenal secara pribadi, bukan dari kutipan di khotbah.

Demikian juga dengan Tuhan. Kita tidak cukup hanya mendengar tentang-Nya, melihat karya-Nya dari jauh, atau mendengar kesaksian orang lain. Kita perlu mendekat, menatap wajah-Nya, memahami isi hati-Nya, dan membuka hati agar Dia pun melihat ke dalam kita. Itulah dwell—berdiam.

Daud tidak berhenti di situ. Selanjutnya ia berkata: “Untuk menyaksikan kemurahan Tuhan.” One thing I want, one thing I desire. Satu hal yang diingini adalah berdiam di rumah Tuhan untuk menyaksikan kemurahan Tuhan. Dalam bahasa Inggris lebih tepat: to gaze—memandang dengan kekaguman dan penghormatan. To gaze upon the beauty of the Lord.

Daud ingin menatap keindahan Tuhan. Bukan sekadar menyadari bahwa Tuhan ada. Bukan cuma mengalami hadirat-Nya. Tapi imajinasi dan hati Daud dipenuhi oleh keindahan Tuhan. Ia tidak hanya mengandalkan pengertian logika atau teologi—ia memandang Tuhan sebagai Pribadi yang indah. Jika kita ingin true rest, kita butuh lebih dari sekadar datang ke hadirat Tuhan. Kita perlu melihat keindahan-Nya.

True rest diperoleh dengan gaze – memandang keindahan Tuhan

Mungkin kamu berpikir, “Hari ini firmannya banyak kiasan. Berdiam, memandang… ya gimana caranya memandang keindahan Tuhan? Tuhan kan tidak kelihatan.” Baik, mari saya jelaskan bagaimana caranya to gaze

Kalau kita jujur, sebenarnya kita semua tahu caranya memandang sesuatu secara mendalam. Contohnya begini—pernahkah kamu membayangkan rumah impianmu? Kamu lihat di Instagram, kamu screenshot, lalu kamu lihat lagi dan berkata, “Wah, bagus ya rumahnya. Aku ingin tinggal di situ.” Lalu kamu mulai cari interior rumah itu di Google, kamu pikirkan detilnya, kamu mulai berkata, “Kalau aku punya rumah ini, pasti hatiku damai.” Itu namanya gazing—memandang.

Atau, kamu mungkin bukan pencari rumah. Tapi pernah ke pameran mobil? Katakanlah ke GIIAS. Kamu lihat mobil keren, foto, rekam, cari model dan warna lainnya. Kamu bayangkan diri kamu menyetir mobil itu, kamu rasakan sensasinya. Itu pun namanya gazing.

Atau, buat yang masih single, saat kamu suka seseorang. Difoto diam-diam, dizoom, pura-pura selfie tapi sebenarnya motret dia. Lalu kamu membayangkan, “Gimana ya kalau aku bisa jalan bareng dia?” Itu gazing juga.

Kamu membayangkan pekerjaan impianmu, cuan dari kripto, naik Lamborghini. Kamu membayangkan dan memutar ulang skenario itu di kepala sebelum tidur. Kamu isi waktu kosong dengan bayangan-bayangan itu.

Itulah gazing. Dan sesungguhnya, gazing adalah bentuk penyembahan. Karena apa yang kamu pandang, itu yang kamu kejar. Dan apa yang kamu kejar, itu yang menguasai hatimu.

Pertanyaannya: apa yang sedang kamu pandang minggu ini? Apa yang akhir-akhir ini menguasai perhatianmu?

Daud tidak memandang tahtanya. Tidak memandang kemerdekaannya. Tidak memandang keamanannya. Tapi ia berkata: one thing I want—memandang keindahan Tuhan.

Rest sejati tidak datang dari pikiran yang kosong, tapi dari pikiran yang dipenuhi oleh Tuhan.

Mungkin kamu tanya, “Pastor, masa enggak boleh sih lihat tas keren, posting foto, edit warna, lalu dalam hati berkata, ‘Wah, ini keren ya’?”

Jawabannya bukan soal boleh atau tidak. Pertanyaannya: setelah kamu memandang semua itu—rumah, pasangan, karier, tas—apakah kamu menyerahkannya kepada Tuhan? Apakah kamu berkata di dalam hati, “Tuhan, aku percaya Engkau tahu yang terbaik. Aku bersyukur dengan apa yang Engkau berikan hari ini. Aku percaya ini yang tercocok, terbaik, dan terindah menurut kehendak-Mu”?

Jika kamu bersyukur, maka kamu tidak sedang menyembah hal itu, melainkan menyembah Tuhan melalui hal itu. Kenapa ini penting? Karena kita tidak bisa memandang dua keindahan sekaligus—keindahan Tuhan dan keindahan dunia. Coba bayangkan kamu nonton dua film yang berbeda di dua layar dalam satu ruangan. Bingung, kan?

Begitu juga dalam hidup rohani. Kamu tidak bisa memandang Tuhan sambil pada saat yang sama menjadikan dunia sebagai sumber kepuasan utama. Yang sering terjadi adalah kebingungan, hati jadi rancu. Di gereja kamu bisa memandang Tuhan. Tapi begitu keluar, kamu kembali lagi ke keindahan dunia yang sementara.

Yang seharusnya terjadi adalah: bisakah kita melihat keindahan Tuhan dalam semua hal yang kita jalani di dunia ini, bahkan saat keadaan belum ideal?

Tim Keller dalam bukunya The Songs of Jesus menulis: “Kita diciptakan untuk memandang kemuliaan Tuhan, tapi seringkali kita mengisi mata kita dengan pantulan dunia.” Kalau kamu ingin mengalami true rest, kamu harus mulai memalingkan pandangan dari semua keindahan palsu, dan memakai lensa Tuhan.

Apa itu keindahan palsu?

Hal-hal seperti: karier yang jadi pusat, pujian orang, penerimaan sosial, penampilan, pencapaian. Itu semua hanyalah pantulan dunia yang fana. Kita perlu mengalihkan mata dari dunia, dan menatap kepada Tuhan yang jauh lebih indah—karena kekudusan dan kasih-Nya bersinar sempurna di dalam Kristus.

Saya ingin ajak kamu belajar: lihatlah semua hal—karir, keluarga, materi—dari lensa Tuhan. Bukan sebaliknya. Jangan memandang Tuhan dari lensa karier. Jangan memandang Tuhan dari lensa keluarga. Karena kalau begitu, kamu hanya akan menggunakan Tuhan sebagai alat untuk memuliakan karirmu. Tapi kalau kamu memandang karier dari lensa Tuhan, kamu akan memakai karirmu untuk memuliakan Tuhan. Begitu pula dengan keluarga. Kalau kamu memandang keluarga dari lensa Tuhan, maka semua yang Tuhan titipkan—waktu, materi, energi—akan kamu gunakan untuk kemuliaan-Nya.

Agustinus, dalam bukunya Confessions, menulis:“You created us for Yourself, and our hearts are restless until they find rest in You. – Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai kami menemukan perhentian di dalam Engkau.”

Ini bukan sekadar kalimat bijak. Ini adalah teologi kecemasan. Hati manusia tidak akan stabil dalam dirinya sendiri. Kita akan terus mencari. Tak peduli seberapa banyak yang kita punya—kalau itu fana—entah kekayaan, pencapaian, validasi, kenyamanan—akan tetap ada ruang kosong. Dan ruang itu hanya bisa diisi oleh Tuhan.

Kita tidak akan memandang Tuhan dengan sungguh-sungguh jika hati kita belum menemukan rumah di dalam-Nya. Rest sejati bukan datang saat masalahmu selesai. Karena masalah tidak akan pernah selesai selama kita hidup di dunia.

Rest sejati datang saat hati berhenti berpindah-pindah mencari kenyamanan, kepastian, dan keamanan—karena kita tahu bahwa semua itu hanya ada di dalam Tuhan.

Dan menariknya, Daud tidak berhenti di gaze…

True rest diperjuangkan dengan seek – mencari wajah Tuhan

True rest bukan hanya tentang diam atau berserah pasif, melainkan aktif mencari Tuhan. Dalam Mazmur 27, Daud berkata: "Satu hal telah kuminta kepada Tuhan, itulah yang kuingini: diam di rumah Tuhan seumur hidupku, menyaksikan kemurahan-Nya, dan menikmati bait-Nya." Dalam terjemahan Inggris, bagian “menikmati bait-Nya” juga bisa dibaca sebagai to inquire in His temple, yaitu mencari kehendak Tuhan di bait-Nya.

Mengapa ini penting? Karena dalam ayat 8, Daud menegaskan kembali: "Carilah wajah-Ku" lalu jawabnya, "Wajah-Mu kucari, ya Tuhan." Kata "carilah" berasal dari bahasa Ibrani baqash, yang berarti mencari dengan sungguh-sungguh untuk mengetahui kehendak Tuhan agar bisa ditaati.

Daud tidak hanya ingin melihat keindahan Tuhan. Ia juga ingin hidup sesuai kehendak-Nya. Bahkan jika kehendak Tuhan itu berarti menyerah kepada musuh, Daud bersedia. Yang terpenting, Tuhan ada di sana. Kekaguman kepada Tuhan tidak bisa dipisahkan dari ketaatan kepada-Nya. Jika kita hanya mengagumi tanpa menaati, itu hanyalah ilusi. Sebaliknya, jika kita menaati tanpa kekaguman, ketaatan menjadi beban.

Saya pernah berbincang dengan seorang teman yang mengalami perceraian. Ia melihat relasi saya dengan istri saya, lalu berkata, “Kalian itu masih saling mengejar ya.” Benar. Bahkan setelah puluhan tahun menikah, saya masih berdandan, olahraga, bukan untuk orang lain, tapi untuk istri saya. Begitu juga dia terhadap saya. Kami masih saling berkencan, saling menyentuh, saling berterima kasih. Karena inti dari pernikahan adalah saling melayani dan saling mengejar hati satu sama lain.

Bayangkan sebuah pernikahan dengan kemesraan yang indah, tetapi ketika pasangan berkata, “Tolong bantu aku,” lalu kita menjawab, “Malas, capek, nanti saja.” Jika ini terus terjadi, cinta pasti padam. Mungkin hubungan tetap berjalan, tapi hati sudah kapalan. Begitu juga dengan relasi kita dengan Tuhan. Kita bisa datang ke gereja, menikmati hadirat-Nya, tapi tidak tertarik mengenal isi hati-Nya, tidak ingin tahu kehendak-Nya. Maka keintiman dengan Tuhan akan sirna.

Kebanyakan orang lebih sering mencari tangan Tuhan—berkat, perlindungan, pertolongan. Itu tidak salah. Tapi Daud mengajarkan untuk mencari wajah Tuhan—pribadi-Nya, karakter-Nya, kesukaan-Nya. Kita bisa menikmati pertolongan Tuhan tanpa mengenal-Nya. Namun kita akan terus diliputi kecemasan sampai benar-benar mengenal siapa Tuhan itu. Semakin kita mengenal pribadi-Nya, hati kita semakin dipenuhi damai.

Apa yang kita kagumi hari ini, itu yang akan kita kejar besok. Jika kita mengagumi dunia, kita akan kejar dunia. Bahkan mungkin memakai Tuhan sebagai alat untuk mencapainya. Tapi jika kita mengagumi Tuhan, kita akan memakai segala yang duniawi untuk memuliakan Dia.

Belajarlah mencari wajah Tuhan secara sengaja. Bangun waktu harian bersama Tuhan. Bukan sebagai rutinitas mati, tapi sebagai relasi hidup.  Bacalah firman Tuhan, renungkan: siapa Tuhan, apa karakter-Nya, apa kehendak-Nya hari ini?

Seperti melatih otot tubuh dengan konsisten, disiplin rohani juga membangun otot iman dan memperkuat lensa rohani kita. Kita jadi tidak mudah goyah, tidak gampang stres. Kita melihat dunia bukan dengan kacamata masalah, tapi dari lensa kasih karunia Tuhan.

Daud hidup di Perjanjian Lama. Ia iri pada mereka yang bisa tinggal dekat dengan bait Allah. Tapi sekarang bait itu tidak ada lagi. Yang ada hanyalah tembok ratapan. Lalu di Yohanes 2:19, Yesus berkata, "Rombak bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan membangunnya kembali." Yang dimaksud-Nya adalah tubuh-Nya sendiri.

Yesus adalah bait suci sejati. Dia adalah tempat di mana manusia benar-benar bisa bertemu dengan Tuhan. Dia adalah korban sejati, Anak Domba yang disembelih di kayu salib. Di sanalah wajah Bapa berpaling dari-Nya, agar wajah Tuhan tidak pernah berpaling dari kita. Dia diserahkan dalam kegelapan supaya kita bisa tinggal dalam terang. Dan kini, karena kebangkitan-Nya, kita memiliki akses langsung kepada Allah, bukan dengan rasa takut, tapi dalam kasih dan keamanan.

Roh Kudus, yang dulu hanya hadir di ruang maha kudus, sekarang tinggal dalam diri kita. Kita bukan hanya datang ke rumah Tuhan—kita menjadi rumah Tuhan. Maka jangan pandang hidup dengan lensa ketakutan dan duniawi. Lihatlah dengan lensa Injil. Ketika kita berkata, "Aku harus kontrol semuanya," tidak heran kita hidup cemas. Tapi jika kita berkata, "Tuhan memegang kendali. Dia mengasihiku. Kristus sudah menanggung segalanya," kita bisa tenang.

Seorang misionaris Inggris, Allen Gardiner, meninggal dalam misi ke suku Yahgan di Patagonia karena kelaparan dan cuaca ekstrem. Dalam catatan terakhirnya, ia menulis dengan tangan gemetar: "Aku tidak pernah merasa kelaparan seperti ini sebelumnya. Tapi aku tidak pernah begitu merasakan kehadiran dan kebaikan Tuhan seperti sekarang ini. Aku tidak punya roti, tapi aku punya Tuhan, dan itu cukup bagiku."

Mengapa ia bisa bertahan tanpa marah atau kecewa? Karena ia memiliki satu hal—one thing—yang paling berharga: Yesus.

Roma 8:32 berkata: "Ia yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri... bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?" Kalau Tuhan sudah memberikan yang terbaik—Yesus sendiri—bagaimana mungkin Dia meninggalkan kita sekarang? Jika keadaan belum baik, itu artinya cerita Tuhan dalam hidupmu belum selesai.

Istirahat sejati, true rest, bukan datang dari kekuatan diri, tapi dari pribadi Yesus. Dialah bait suci yang dihancurkan dan dibangkitkan supaya kita bisa tinggal bersama Tuhan selamanya.

Pertanyaan Reflektif

  • Apakah hidupmu lebih digerakkan oleh ketakutan atau oleh iman? Selama ini aku mencari tempat aman dan identitasku dalam hal-hal lain (pekerjaan, reputasi, pencapaian, orang-orang tertentu)?
  • Apakah kamu mengejar keindahan dunia... Mencari distraksi, kontrol, atau validasi yang fana? Ataukah secara intensional memandang wajah Kristus?
  • Apakah kamu masih kuatir karena ingin Tuhan ikut rencanamu sendiri? Atau kamu sungguh percaya bahwa jalan Tuhan lebih baik?

Orang Berinjil

  • Memiliki “True Rest” menghadapi hari esok, bukan karena mereka tahu apa yang akan terjadi, tapi karena mereka tahu kepada siapa mereka berserah.
  • Tetap mampu merasa aman bahkan di tengah ketidakpastian, karena mereka dimiliki Pribadi yang lebih besar dari semua kepastian.
  • Hidup tenang bukan karena semuanya beres, tapi karena mereka percaya Tuhan tetap baik dan menyertai bahkan di tengah kondisi yang berantakan.