Yesus Kristus Anak-Nya Yang Tunggal

THE APOSTLES CREED WEEK 4 "Yesus Kristus Anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita" 

Ps. Michael Chrisdion


Pembacaan                : Yohanes 1:14

Kita kembali melanjutkan sermon series kita yang berjudul di Apostle Creed atau Kredo Rasuli. Kita sudah memasuki minggu yang ketiga dengan judul Yesus Kristus Anak-Nya yang tunggal Tuhan kita. Judul ini diambil dari butir ketiga Kredo Rasuli. Apa itu kredo (pengakuan iman) rasuli? Kredo rasuli bukanlah firman Allah tetapi cerminan firman Allah. Kredo rasuli tidak memiliki otoritas dalam dirinya sendiri, tetapi mencerminkan Terang Firman Allah yang Hidup.

Mengapa kita membahas Kredo Rasuli? Pertama, untuk memperbaiki pengertian yang salah dan meluruskan penyimpangan. Kedua, untuk membangun dan membentuk spiritualitas orang Kristen.

Baca : Yohanes 1:14

“Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” 

Ada 3 poin dalam khotbah ini, yaitu:

          1. APA MAKNA “LOGOS” YANG LEBIH DALAM?

Dari firman yang kita baca tadi dikatakan “Firman menjadi manusia”. Firman dalam bahasa aslinya adalah “Logos”. Kalau kita baca Injil Yohanes, kemunculan kata “Logos” ini cukup banyak. Saat Yohanes membicarakan “Logos”, konteks saat itu memahaminya atau membicarakannya lebih dari sekadar ngomong firman saja. Karena “Logos” memiliki arti yang spesifik dan unik. Arti “Logos” dapat dipahami melalui kata yang familiar bagi kita yaitu logika (logic – reason/purpose). Logika akar katanya dari “Logos”. Arti dari “Logos” adalah alasan (reason) kenapa sesuatu itu ada; tujuan (purpose) suatu entitas itu diciptakan. Kalau kita perhatikan Allah kita adalah Allah yang “Logos”, logic. Artinya semua yang diciptakan Tuhan ada alasannya, bukan random dan acak. Semua hal dalam dunia ini termasuk hidup kita ada tujuan dan maknanya.

         1A. Manusia tidak dapat hidup tanpa makna alasan atau tujuan di balik eksistensinya.Itulah sebabnya kita sangat haus dan rindu akan makna. Segala sesuatu terjadi bukan karena kebetulan, tetapi ada tujuan-Nya karena Allah adalah Allah yang logic. Segala sesuatu terjadi dengan desain masing-masing. 

Di dalam Amsal 16:4 dikatakan, 

Tuhan membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing”. 

Alat musik drum ada tujuannya. Barang itu tidak dipakai buat masak. Kita duduk dibangku, karena bangku tujuannya untuk diduduki. Jadi, di dalam kehidupan kita semua ada tujuannya. Misalnya, kalkulator. Tujuan dari kalkulator adalah hitung menghitung. Namun, jika kita ambil kalkulatot untuk dijadikan remote TV, bisa gak? Tidak akan bisa karena kalkulator tidak diciptakan, “Logos”nya kalkulator itu bukan mengganti channel TV. Tidak cocok. Kalau kita pakai kalkulator jadi remote TV, kita akan frustasi, gagal melakukan apa yang kita mau. Misalnya, kita ingin memalu paku, tetapi kita tidak punya palu, lalu kita pakai kalkulator melalu paku itu, apa yang terjadi? Kalkulatornya pasti rusak karena “Logos”nya bukan untuk memalu paku. Jadi, jika suatu entitas tidak digunakan sesuai dengan tujuan eksistensinya, maka akan muncul kefrustasian, kegagalan, kehancuran, dan kerusakan.

Kenapa kita mengalami kefrustasian, kegagalan, kehancuran, dan kerusakan dalam hidup kita, keluarga kita, pekerjaan kita? Jangan-jangan karena banyak dari kita menjalani kehidupan tanpa memahami “Logos”, tujuan, dan alasan hidup kita sendiri. Apa asalan kita untuk kerja, bangun pagi setiap hari. Kalau itu tidak sesuai dengan kenapa kita ciptakan, tidak heran kita frustasi, kecewa, gagal, hancur, dan rusak. Kita harus mengenal “Logos” kita. Apa “Logos” dalam pernikahan kita? Apa “Logos” keluarga kita?

          1B. Jika manusia tidak hidup sesuai dengan tujuan mengapa kita diciptakan, maka kehampaan, kegagalan, bahkan kehancuran menjadi konsekuensi logisnya. 

Pada zaman itu, saat Yohanes menuliskan bagian ini, ada kebingungan dan keputusasaan. Mereka mempertanyakan, “Apa benar ‘Logos’ dari kehidupan itu ada?”, “Apa benar hidup ini ada tujuan?”. Karena ada begitu banyak preposisi zaman itu. Manusia katanya diciptakan untuk kemuliaan kerajaannya, maka mereka hidup untuk berperang. Manusia juga katanya diciptakan untuk sains, seperti Galileo. Manusia juga katanya diciptakan untuk seni, sehingga muncul orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk seni buda seperti Michaelangelo, Leonardo da Vinci.

Pertanyaannya adalah apakah segala sesuatu itu pada akhirnya membawa pada kepuasan? Tidak. Gara-gara mendedikasikan hidup untuk kerajaannya timbullah perang dan penindasan, dan mereka mulai merasa “Logos” yang mereka cari-cari tidak dapat ditemukan sehingga yang timbul adalah keputusasaan. Maka pada saat itu, banyak paham baru yang memberikan preposisi, “Jangan-jangan ‘Logos’ itu tidak ada”. “Udahlah gak usah berjuang-berjuang”.  Akhirnya ada paham yang muncul pada zaman kitab Yohanes ditulis yang mengajarkan “Tidak ada ‘Logos’, hiduplah untuk dirimu sendiri, hiduplah untuk kenikmatan dan kesenanganmu”. Mereka ini disebut golongan Epikuros (Epicurean). Dari golongan inilah muncul paham Hedonisme. Mereka mengakui tidak ada tujuan dan makna dalam kehidupan ini.

Yohanes mengatakan dengan lugas di ayat 14,

Firman (Logos) itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya. 

Inilah kabar baiknya. “Logos” yang dicari oleh setiap manusia, Sang Tujuan, Sang Alasan telah menjadi manusia dan diam di antara kita.

          2. ARTI “LOGOS” MENJADI MANUSIA?

Yohanes berkata bahwa pada mulanya adalah “Logos”. Ada alasan, ada tujuan hidup. Hidup kita tidak sia-sia, ada tujuan dan arti dari kehidupan. 

          2A. “Logos” bukan hanya prinsip abstrak atau suatu ideologi/idealisme, namun harus menjadi sesuatu yang nyata dan khusus.

Manusia itu punya 2 pergumulan dan masalah yaitu masalah fundamental. Masalah fundamental adalah kejahatan, penderitaan, dan kematian. Semua manusia bergumul dengan kejahatan, penderitaan, dan kematian. Namun, juga kita menghadapi masalah eksistensial, yaitu manusia selalu mencari makna. Kita bekerja, kita ingin sesuatu karena kita mencari makna. Di dalam mencari makna itu untuk supaya manusia menemukan eksistensialnya, maka mereka ingin terlibat dengan narasi dan cerita yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Filsuf dari Skotlandia, Alasdair Macintyre mengatakan,

Orang di zaman dahulu tidak mengajarkan nilai kebaikan kepada generasi berikutnya dengan memberikan seperangkat peraturan, namun mereka bercerita tentang kisah kepahlawanan, mereka menceritakan perbuatan-perbuatan besar yang mengajarkan persahabatan, kesetiaan, pengorbanan, komitmen, kejujuran, cinta, kesetiaan, etika. Mereka mengajarkan nilai-nilai mulia melalui kisah-kisah hebat, karena cerita membuat suatu prinsip/nilai/idealisme menjadi nyata.

           2B. Manusia tidak menemukan makna hidupnya melalui sesuatu yang abstrak atau prinsip moral saja, namun dengan mengaitkan dirinya secara konkret di dalam suatu cerita nyata yang lebih besar.

Profesor dari Columbia University, Andrew Delbanco mengatakan,

Kita sering menggunakan cerita-cerita & simbol budaya untuk mengobati kecurigaan melankolis kita akan hidup yang tak bermakna di dunia ini. Di dalam sejarah Amerika ada banyak cerita yang mengagumkan, kisah-kisah heroik dan mulia, itu sangat menginspirasi dan menggugah hati kita untuk dapat beraspirasi: “Aku ingin jadi seperti itu, hidupku akan bermakna jika aku menjadi bagian dari cerita yang seperti itu”.

Kita suka sekali dengan novel, drama, film karena cerita-cerita tersebut sangat menginspirasi. Kita suka cerita kepahlawanan (heroic), orang yang menjadi pahlawan atas satu kelompok. Kita suka cerita pembebasan (liberation) seperti Martin Luther King, Nelson Mandela, Gus Dur, orang-orang yang membawa pembebasan dan mengembalikan hak bagi orang-orang minoritas. Kita suka cerita pengorbanan (sacrifice). Kita suka cerita cinta yang tanpa syarat (unconditional love), seperti film Beauty and Beast.

Cerita-cerita ini mengisi budaya yang kita tinggali. Kita rindu mengalami cerita tersebut dapat kita alami. Namun, pertanyaannya, apakah cerita-cerita tersebut memberikan kepuasan dan membuatmu keluar dari frustasi? 

Andrew Delbanco melanjutkan,

Karena beberapa alasan, seperti di masa lalu, semua cerita heroik mulai kehilangan kekuatannya. Di masa ini (pasca modern) narasi yang beredar adalah antitesis dari cerita yaitu hiduplah untuk dirimu sendiri, jalani kehidupan yang ingin kau jalani, jangan biarkan siapapun memberitahu apa yang benar dan yang salah, hidupilah kebenaranmu sendiri!

“Hidupilah kebenaranmu sendiri” ini adalah narasi dari zaman sekarang. Ini persis kembali seperti konteks waktu Yohanes menulis ini, seperti golongan Epikuros. “Ngapain berjuang, ngapain berdampak seperti pahlawan gak bakal bisa, pikirkan saja kesenanganmu”. “Apa cari cinta, kalau mau seks gak usah nikah, one night stand, kalau kamu suka dan aku suka ya let’s go”. Inilah keadaan kita saat-saat ini, inilah cerita-cerita yang ada di budaya kita yang mirip persis seperti konteks Yohanes menulis ini. Apakah hidup seperti ini membawa kebahagiaan? Tidak.

Semua cerita narasi di dunia akhirnya gagal memberikan kepuasan bahkan justru membawa kefrustrasian serta kehampaan di dalam kehidupan. Persis seperti kita memakai kalkulator untuk mengganti channel TV, tidak nyambung “Logos”nya. Kalau kita frustasi, kalau kita hampa, jangan-jangan hidup kita yang kita hidupi ini tidak sesuai dengan “Logos”nya. Lantas apa jawabannya dari semua ini?

Yohanes mengatakan bahwa firman itu, “Logos” itu sendiri telah menjadi manusia. Semua orang cari makna. Kita hidup dalam kecenderungan dosa dan selalu mengkaitkan diri kita dengan narasi-narasi yang fana dalam dunia. Namun akhirnya narasi-narasi tersebut akan membawa kepada kehampaan dan kekosongan. Namun, kalau kita bahwa “Logos” yang kita cari itu sekarang sudah jadi pribadi yaitu Yesus Kristus.

          2C. Di dalam semua narasi yang menyentuh hati, semua mitos kuno, semua cerita dan semua struktur budaya bahkan semua dongeng yang menggugah, ada suatu dambaan di dalam hati yang kita cari dan benang merahnya merujuk kepada cerita di atas segala cerita yaitu: cerita Yesus Kristus Sang “Logos” karena Dialah penulis dari segalanya. 

Cerita Yesus bukanlah salah satu dari cerita yang ada. Namun, semua cerita itu menunjuk kepada cerita Yesus. Kalau ada cerita kepahlawanan yang ada di legenda dan mitos, menjadi kenyataan di dalam Yesus. Tuhan cari manusia dan rela berkorban bagi manusia. Bukankah ini cerita kepahlawanan yang terbesar. Kalau ada cerita tentang pembebasan, pengorbanan, dan cinta tanpa syarat, yang biasanya cerita itu hanya terdapat dalam cerita fiksi dan legenda, cerita “Logos” sesungguhnya 2000 tahun yang lalu datang menjadi manusia yang kita kenal Yesus Kristus. Kelahiran, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus adalah cerita di atas segala cerita yang ada.

Semua sinar kemuliaan kepahlawanan seseorang yang berkorban itu bukan lagi mitos, tetapi Yesus melakukan dan berkorban untuk mencari kita yang berdosa. Cerita ini adalah Injil dan para Murid membagikannya ke seluruh dunia bahkan mengancam nyawa. Cerita ini adalah Sang “Logos” menjadi manusia. 

JRR Tolkien mengatakan,

Injil berisi cerita yang mencakup esensi dari semua dongeng dan narasi yang ada di dunia, namun cerita ini telah masuk ke dalam sejarah dan menjadi kenyataan di bumi. Cerita ini menjadi Kabar Injil. Kabar ini tidak menghapus legenda; malah membuat keindahan legenda menjadi suatu kenyataan dalam hidup orang beriman, terutama akhir yang bahagia (Happy Ending).

Kita sangat suka cerita-cerita baik itu yang kita baca atau tonton berakhir dengan happy ending. Kita pasti akan kecewa kalau akhir dari sebuah cerita tidak jelas. Sama dengan kita yang terus berjuang menulis cerita kita sendiri. Kita berjuang keras supaya cerita kita memiliki akhir yang bahagia. Kerja keras supaya happy ending dengan bentuk uang yang banya. Kita berusaha punya keluarga supaya happy ending dengan bentuk punya anak yang pintar dan baik. Kita tidak perlu lagi berusaha mencari “Logos” lain dari dunia. Kita tidak perlu lagi membuat cerita yang kita tulis dengan kekuatan kita sendiri, untuk mencari happy ending. Karena semuanya itu akan membuat frustasi dan hampa.

Tujuan dan “Logos” kita sudah ditulis yaitu Yesus Kristus. Kita tidak perlu menulis cerita kita sendiri. Tuhan sudah menulis cerita di atas segala cerita. Akhir yang bahagia dan happy ending terindah dari semua musim hidup kita karena Dia menyertai kita. Kenapa kita mendambakan happy ending?

Kita memiliki lubang di dalam hati yang berbentuk “CERITA”, kita berusaha mengisinya dengan cerita-cerita fana yang dunia tawarkan! Hanya cerita Injil yaitu Firman yang menjadi manusia, Yesus Kristus Anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita yang bisa memenuhi dan memuaskan lubang di dalam hati kita!

          3. IMPLIKASINYA BAGI CARA PANDANG KITA?

Kita suka nonton, mendengar cerita, dan kagum akan film. Tapi kita harus sadar bahwa cerita, mitos, atau kisah di dunia akhirnya gagal. Meskipun semua cerita itu ada pahlawannya, tetapi mereka berakhir dengan kematian. Kisah kepahlawanan yang nyata, biografi, tetap saja gagal untuk memuaskan hati kita. Karena yang kita butuhkan bukan pahlawan yang menjadi teladan dan inspirasi kita. Pahlawan yang menjadi teladan dan inspirasi, pada akhirnya sangat membebani kita. Kita tidak bisa seperti mereka, orang-orang berpengaruh, bahkan pada akhirnya mereka tetap mati juga. Kita juga selalu berusaha menjadi yang utama dalam cerita kita, dengan usaha kita, dan semuanya hanya akan berakhir kegagalan, karena kita manusia yang lemah, berdosa.

Kalaupun Yesus Kristus dijadikan teladan, maka Ia akan menghancurkan kita. Kenapa? Siapa yang bisa jadi seperti Yesus? Tidak ada. Dosa terbesar yang harus kita pertobatkan adalah kita selalu menjadi pahlawan dari cerita kita, peran utamanya kita, percayalah itu hanya sia-sia.

Gospel Connection
Namun apa yang berbeda dengan Injil? Apa yang berbeda dengan Yesus Sang “Logos” yang telah menjadi manusia? Yesus Kristus bukan hanya sekadar pahlawan yang menjadi teladan dan inspirasi kita, namun Dialah pahlawan sejati yang menyelamatkan kita secara nyata dari belenggu dosa dan maut. Jadi pahlawan kita bukan diri kita, tetapi Yesus. Dia bukan hanya contoh, tetapi benar-benar menjadi pahlawan kita.

Kasih karunia dan kebenaran Allah dapat dilihat bentuknya melalui pribadi Yesus Kristus. Kasih karunia bukanlah mitos yang kita dengar, bukanlah dongeng yang kita dengar. Kasih karunia Allah nyata dan bukan sekadar konsep tetapi itu menjadi pribadi. Karya salib adalah kisah nyata cerita kepahlawanan terbesar.

Yesus anak tunggal Bapa, Tuhan yang menjadi manusia dengan kasih tanpa syarat rela berkorban, untuk membebaskan dan memberikan kemuliaan bagi kita yang hina, kebenaran bagi kita yang bersalah, kekudusan bagi kita yang berdosa, kehidupan kekal bagi kita yang seharusnya mendapatkan maut. Dia adalah perwujudan kisah cinta terbesar di dalam seluruh jagad raya. Dialah happy ending yang kita dambakan. Dialah cerita kita yang sesungguhnya.

Melalui kematian Yesus di salib dan kebangkitan-Nya, Kristus selalu hadir menjadi pahlawan kita, menjadi happy ending di dalam setiap momen kehidupan kita. Semua pahlawan dalam dunia ini berakhir mati, tetapi Yesus Kristus bangkit. Kalaupun hidupmu menurut dunia tidak happy ending, tapi di dalam Yesus, kematian kita pun akan happy ending, karena Kristus mengalahkan maut. 

Pertanyaan Reflektif

  • Apakah kita percaya (mempercayakan hidup) kepada Yesus Kristus Anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita?
  • Apa yang menjadi “Logos” kita? Apa yang menjadi tujuan hidup kita? Maukah kita menghidupi cerita-Nya?

Gospel Response

  • Bertobat dari menghidupi cerita kita sendiri dan membuat narasi hidup dengan kekuatan sendiri!
  • Pandanglah Dia yang sudah menjadi pahlawan yang menyelamatkan kita, Dialah cerita dari semua cerita yang kita dambakan! Hidupilah cerita-Nya.

Karena Injil

  • Saat ada kefrustasian, kegagalan, & kehampaan, hati kita bisa bertobat untuk kembali menemukan tujuan hidup di dalam Kristus.
  • Kita tidak menghidupi cerita buatan kita sendiri namun kita dimampukan hidup di dalam cerita-Nya Tuhan.
  • Kita sadar bahwa kita bukan lagi hidup unutk dunia namun tujuan (Logos) hidup kita adalah untuk kemuliaan Tuhan
  • Kita sadar bahwa Kristus bukan hanya menjadi teladan kita namun Dialah pahlawan kita yang sejati.